Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian
Mifftahur
Rizky
�Universitas
Muhammadiyah Kalimantan Timur, Indonesia
Email: [email protected]
� Kata Kunci |
Abstrak |
Perlindungan Hukum, Anak, Tindak Pidana |
Penelitian
ini bertujukan guna mengetahui faktor - faktor yang
menyebabkan anak terlibat dalam tindak pidana, serta untuk memahami dan
menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana percurian dalam
perkara putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. Metode penelitian yang digunakan dipenelitian
ini adalah metode penelitian normatif dengan sifat preskriptif dan terapan
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun teori � teori
hukum yang berkaitan terhadap perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana. Penulis melihat masalah hukum ini melalui pendekatan
perundang-undangan dan studi kasus. Bahan hukum primer dan sekunder adalah
sumber data yang digunakan dipenelitian ini. Hasil penelitian penulis yaitu
faktor � faktor penyebabnya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak
antara lain faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor lingkungan, dan majelis
hakim dalam memberi sanksi pada Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. Masih
kurang tepat karena anak mendapat sanski penjara, jika dilihat dari pasal
pencurian 362 KUHP yang maksimalnya adalah 5 tahun. Sedangkan syarat pidana
penjara pada anak adalah anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman 7
tahun atau lebih. Seharusnya penegak hukum dalam sistem peradilan pidana anak
lebih mengutamakan diversi. Memastikan hak � hak anak agar dapat hidup,
berkembang, tumbuh, dan berpartisipasi merupakan tujuan perlindungan anak dan
juga menerima perlindungan terhadap kekerasan maupun diskriminasi. |
Keywords |
�Abstract |
Legal Protection,
Children, Crime of Theft |
This study aims to determine the
factors that cause children to be involved in criminal acts, as well as to
understand and analyze how the judge's consideration in handing down a
verdict against children as perpetrators of theft in case No. 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. The research method used in this research is
normative research method with prescriptive and applied nature to find legal
rules, legal principles, and legal theories related to legal protection of
children as perpetrators of criminal acts. The author looks at this legal
problem through a statutory approach and case studies. Primary and secondary
legal materials are the data sources used in this research. The results of
the author's research are the factors that cause theft crimes committed by
children, including economic factors, educational factors, environmental
factors, and the panel of judges in giving sanctions in Number 6/Pid.Sus-Child/2023/Pn Bpp. It is still inappropriate because the child gets a
prison sentence, when viewed from the theft article 362 of the Criminal Code,
the maximum is 5 years. Meanwhile, the requirements for imprisonment for
children are children who commit criminal offenses with a threat of 7 years
or more. Law enforcers in the juvenile criminal justice system should
prioritize diversion. Ensuring the rights of children to live, develop, grow,
and participate is the goal of child protection and also receiving protection
against violence and discrimination. |
*Correspondence Author:
Mifftahur Rizky
Email: [email protected] ��
PENDAHULUAN
Pendidikan anak usia dini ialah salah satu wahana dalam mengembangkan
seluruh aspek perkembangan anak secara optimal. Langkah awal untuk dapat
menguatkan kembali karakter pada generasi�
muda� ini� yakni�
dengan� memberi� tonggak�
pendidikan,� terutama� dalam�
penguatan� dalam ideologi bangsa.
Hal tersebut dapat diatasi dengan cara memberi pemahaman lebih mengenai 4 Pilar
bangsa yakni Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika (Handitya, 2019). Maka dari itu, salah satu masalah pembangunan
yang paling krusial di negara ini adalah pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak. Hal tersebut ditegaskan didasarkan atas UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2)
berbunyi : �Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi� (UU RI No 32, 2009).
Istilah �Juvenile Delinquency�
sering digunakan untuk menggambarkan jenis perilaku ini, yang dicirikan sebagai
kesalahan sosial. Perilaku yang sedikit melanggar peraturan dan ketentuan yang
mengatur suatu masyarakat disebut dengan delinkuensi. Menerjemahkan istilah �juvenile delinquency�, kenakalan anak
diartikan sebagai suatu kelainan perilaku, setiap tindakan anak yang bersifat
antisosial, melanggar hukum, dan bertentangan dengan norma-norma sosial. Dalam
konteks ini, anak yang belum menikah dan berusia antara dua belas hingga
delapan belas tahun masih dianggap anak (Kartono, 2014). Anak-anak ialah aset terbesar suatu negara untuk
masa depannya. Selain aspek positif dari aktivitas anak-anak, akhir-akhir ini
kita juga menyaksikan kemerosotan moral, atau kenakalan anak, yang semakin
cepat menyebar di kalangan anak-anak kita. Surat kabar sering melaporkan
insiden yang melibatkan perkelahian pelajar, peredaran narkoba dan alkohol,
serta pencurian oleh anak � anak (Sumara et al., 2017).
Pencurian kendaraan bermotor menjadi salah satu kejahatan yang kini
semakin sering dilakukan oleh anak di bawah umur. Tidak hanya pelaku dewasa
yang bertanggung jawab atas meningkatnya insiden pencurian mobil, namun pelaku
dewasa juga sering mengambil keuntungan dari remaja dalam kejahatan mereka.
Anak-anak melakukan pencurian kendaraan bermotor, seperti yang terjadi di Kota
Balikpapan yang terletak di sebelah ibu kota nusantara. Salah satu alasannya
ialah komunikasi, globalisasi informasi, dan kurangnya sumber daya manusia
berdampak cepat pada interaksi sosial anak (Abrianti, 2020). Perbuatan yang bercirikan �mengambil� dalam hal
ini dianggap mencuri, yakni suatu pelanggaran yang diakui secara hukum dan
dilarang dan dapat dikenakan hukuman (Lamintang & Lamintang, 2022). Mengambil sesuatu milik orang lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, dengan tujuan disimpan untuk diri sendiri secara
melawan hukum, merupakan salah satu unsur pencurian (Guna et al., 2018).
Pencurian ialah masalah dimana anak muda maupun
orang dewasa biasanya melakukan kejahatan ilegal. Seorang anak
dapat melakukan kejahatan karena berbagai alasan, seperti alasan internal,
penyebab lingkungan, faktor keluarga, atau kemiskinan. Salah satu hal yang
mendorong anak melakukan kejahatan mencuri ialah perekonomian. Pencurian ialah
perilaku buruk yang dilakukan anak-anak ketika orang tua tidak mengawasi
mereka. Hal ini� terjadi ketika orang tua
terlalu sibuk bekerja untuk mengurus anak, sehingga anak memanfaatkan perhatian
tersebut dengan mencuri. Anak-anak juga sering mencari cara untuk mendapat sesuatu
dengan cepat dengan mencuri lalu menjualnya untuk mendapat uang (Shafira & Rizanizarli, 2021).
Data pada tahun 2012 sampai dengan 2023 Kasus pencurian yang dilakukan
oleh anak berjumlah keseluruhan 5.445 didasarkan atas putusan Mahkamah Agung
yang dimana pada tahun 2012 ada 3 putusan, tahun 2013 ada 0 putusan, tahun 2014
ada 4 putusan, tahun 2015 ada 43 putusan, tahun 2016 ada 94 putusan, tahun 2017
ada 163 putusan, tahun 2018 ada 800 putusan, tahun 2019 ada 758 putusan, tahun
2020 ada 776 putusan, tahun 2021 ada 786 putusan, tahun 2022 ada 989 putusan,
dan tahun 2023 ada 1.029 putusan (Anand et al., 2024).
Sedangkan di Kota Balikpapan pada tahun 2018 ada 8 Kasus, tahun 2019 ada
9 Kasus, tahun 2020 ada 6 kasus, tahun 2021 ada 0 kasus, tahun 2022 ada 2
kasus, tahun 2023 ada 5 kasus, total keseluruhan 2018 hingga tahun 2023 tindak
pidana pencurian yang di lakukan oleh anak ada 30 kasus yang telah didaftarkan
ke Pengadilan Negeri Balikpapan. Bisa kita simpulkan dari data yang telah ada
bahwasanya setiap tahunnya anak sebagai tindak pidana pencurian selalu
meningkat (Anand et al., 2024).
Jelas bahwasanya resolusi dan strategi yang digunakan dalam kasus-kasus
yang melibatkan anak di bawah umur yang mengalami masalah hukum harus berbeda
dengan yang digunakan dalam proses penyelesaian orang dewasa. Seorang anak
berhak mendapat perlindungan hukum sebagai pelanggar kasus pencurian.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur
adanya sistem peradilan hukum khusus bagi anak yang berhadapan langsung dengan
hukum karena mengingat kondisi psikologisnya yang masih sangat belum matang dan
labil, sikapnya masih sangat tidak berpendapat (Tambalean, 2013). Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
disahkan di Indonesia dan bertujukan guna mengontrol proses-proses dalam
penegakan hak-hak anak.�
Anak-anak merupakan kelompok yang rentan dan otonom, dan kelompok
anak-anak yang menghadapi hambatan dalam perkembangan spiritual, fisik, dan
sosialnya merupakan salah satu alasan mengapa perlindungan hak-hak anak pada
dasarnya memerlukan pengaturan langsung dalam undang-undang, kebijakan, dunia
usaha, dan kegiatan yang menjamin kesejahteraan anak serta terwujudnya
perlindungan hak-hak anak (Dala, 2009).
Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 juga
menjelaskan,� �Perlindungan anak ialah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat kekerasan dan diskriminasi� (Nomor, 2002). Maka dari itu, penting untuk melindungi anak-anak
agar mereka dapat berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang dapat
mengabdi kepada bangsa dan negara dengan sebaik-baiknya, atau dengan kata lain,
perlindungan anak dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia (Putri et al., 2023).
Kasus tindak pidana pencurian di Indonesia yang dilakukan oleh anak
sudah banyak bermunculan dari berbagai daerah, salah satu Pengadilan Negeri
Balikpapan. Salah satu kasus yang disorot dipenelitian ini yakni kasus Putusan
Pengadilan Negeri Balikpapan dengan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/PN Bpp, yang
didalamnya diadili seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang melakukan
tindak pidana pencurian sepedah motor Yamaha Vision berwarna biru milik salah
satu korban yang sedang beristirahat dan tidur disebuah masjid. Setelah itu
anak tanpa sepengetahuan dan seijin pemiliknya mengambil kunci kontak yang
tergeletak di lantai, lalu anak mendong sepeda motor milik korban yang
terpakir, dan anak mendorong sepeda motor tersebur sampai keluar gerbang masjid
dan setelah dirasa aman, anak menyalakan sepeda motor dan membawa sepeda motor
milik korban.
Hakim menimbang bahwasanya pelaku telah terbukti melanggar dakwaan pasal 362 KUHP Tentang pencurian. Maka pelaku dijatuhkan pidana terhadap anak dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 2 (dua) bulan pada Dinas Sosial Kota
Balikpapan, berkaitan dengan hal
tersebut, hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana penjara anak selama
6 (enam) bulan dapat dikatakan bahwasanya kurang tepat karena jika
dilihat dari usia sang anak yang di mana statusnya masih ialah anak dan perbuatan yang meringankan perkara tersebut, seharusnya sang
anak bisa untuk mendapat opsi diversi ataupun
sanksi selain pidana penjara seperti pidana bersyarat yang mana didalamnya ada pembinaan di padahal menurut M Taufik Makarao �kultur sebagian
masyarakat Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum
justru belum mendukung penerapan restorative justice, termasuk
diversi. menghukum pelaku anak dibawah
umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan menyelesaikan
sepenuhnya masalah yang dihadapi.� (Zulyadi, 2020).
Restorative
justice merupakan implementasi konsep
diversi yang telah dirumuskan dalam sistem peradilan anak yakni dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Restorative justice atau Keadilan Restoratif ialah �penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan� (Zulyadi, 2020).
Diversi ini merupakan upaya untuk mengeluarkan sistem peradilan pidana
dari proses resmi sehingga dapat ditangani melalui diskusi. Di Indonesia,
penggunaan teknik-teknik keadilan restoratif masih lebih banyak didasarkan pada
penghakiman. Intinya, budaya Indonesia terbiasa menggunakan diskusi untuk
menyelesaikan konflik dan menyelesaikan masalah (Pasaribu & Napitu, 2022).
Didasarkan atas latar belakang informasi di atas, nampaknya diversi
masih belum merupakan solusi yang tepat dalam kasus-kasus yang melibatkan
pelaku di bawah umur. Mengingat masih banyaknya anak di bawah umur yang harus
divonis pidana penjara fisik akibat praktik restorative justice yang tidak
diterapkan secara maksimal di setiap tingkatan baik oleh kepolisian maupun
pengadilan, maka dikhawatirkan kejadian seperti ini akan terus terjadi karena
belum dilakukannya diversi secara optimal.
Kebaruan dari penelitian ini dapat dilihat dengan cara membandingkan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya yang juga membahas
penelitian dengan tema yang hampir sama , yakni Perlindungan hukum terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian (analisis putusan nomor
13/pid.sus.anak/2021/pn jkt.utr.). Perlindungan hukum terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan di pengadilan negeri balige
(studi putusan perkara nomor 1/pid.sus-anak/2018/pn blg). Perlindungan hukum terhadap anak dalam kasus pencurian (studi putusan nomor 8/pid.sus-anak/2020/pn mbn).
Berdasarkan rincian yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian saya berfokus pada putusan baru yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain dan saya menggunakan dari sudut pandang perlindungan
hukum.
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum normatif (normative law research)
digunakan dalam studi kasus normatif untuk menciptakan produk perilaku hukum,
seperti tinjauan hukum. Hukum yang digambarkan sebagai standar atau peraturan
masyarakat yang menjadi aturan bagi perilaku setiap orang menjadi topik
penelitian ini. Dengan demikian, hukum positif, doktrin dan asas hukum,
sistematika hukum, tingkat sinkronisasi, perbandingan hukum, dan sejarah hukum
menjadi topik utama penelitian hukum normatif (Muhammad, 2004). Penelitian ini memilih untuk
meneliti dan menulis skripsi ini dengan menggunakan metodologi penelitian hukum
normatif sebagai metode penelitian hukum, berdasarkan alasan yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Metode pengumpulan data untuk kajian legal research ialah penelitian kepustakaan, yang mencakup pengumpulan, pemeriksaan, dan evaluasi ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan hukum anak (Harahap, 2023).
Memuat penjelasan rasional mengenai langkah-langkah pengumpulan dokumen
hukum primer, sekunder, dan tersier serta inventarisasi dan klasifikasi
bahan-bahan tersebut didasarkan atas permasalahan yang dibicarakan. Sistem yang
umum ialah sistem kartu. Untuk memahami peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sumber daya hukum yang berkaitan dengan topik yang dibicarakan
diberikan, diorganisasikan, dan kemudian diperiksa (Marzuki, 2019).
Johnny Ibrahim mendefinisikan penelitian hukum normatif sebagai metode ilmiah untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan penalaran ilmiah dari sudut pandang normatif. Peraturan perundang-undangan bukanlah satu-satunya contoh sisi normatif dari hal ini. Penelitian hukum menurut Peter Mahmud merupakan penelitian normatif, namun lebih dari sekedar mempelajari hukum positivis. Norma tidak terbatas pada perundang-undangan positif, yang diartikan oleh John Austin sebagai peraturan yang dibuat oleh politisi yang menduduki jabatan lebih tinggi atau oleh penguasa, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen. Penelitian hukum menurut pandangan ini bertujukan guna menemukan kebenaran koherensi, yakni apakah peraturan hukum konsisten dengan norma hukum, apakah norma hukum yang membebankan kewajiban dan hukuman konsisten dengan asas hukum, dan apakah tindakan seseorang konsisten dengan hukum. norma hukum atau asas hukum
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Peradilan Anak di
Indonesia.
Pencurian anak merupakan salah satu kejahatan yang
telah dikriminalisasi karena variasi kondisi dan perkembangan sepanjang
sejarah. Penitipan anak selalu ada seiring dengan kemajuan peradaban manusia
sehari-hari. karena anak ialah masa depan negara dan negara, putra kehidupan.
Maka dari itu, agar anak dapat berkembang secara fisik, kognitif, dan spiritual
sesuai dengan kemampuannya, diperlukan perhatian dan pengasuhan yang khusus.
Kegiatan perlindungan anak diperlukan untuk menangani remaja kriminal. Disinilah
asas equality before the law
diterapkan, semua manusia tidak pandang bulu akan sama kedudukannya di hadapan
hukum, jadi semua orang harus melakukan kewajibannya terhadap hukum dan
hak-haknya berhak untuk mendapat perlindungan dari hukum. Bahkan seorang
terdakwa sekalipun berhak mendapat perlindungan hukum (Rahardjo, 2003).
Sebelum berbicara tentang perlindungan hukum
terhadap anak, penulis menganlisis putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Reg.
Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp, yang menyatakan:
Identitas
Terdakwa
Nama�������������������������� :
Achmad Affandi Bin Irwan
Tempat Lahir��������������� :
Balikpapan
Umur/Tanggal Lahir����� :
17 Tahun / 22 April 2005
Jenis Kelamin�������������� :
Laki - Laki
Kebangsaan����������������� :
Indonesia
Tempat Tinggal������������ :
Jalan Soekarno Hatta Km. 12 Rt. 21����
� Kelurahan� Karang Joang �������
� Kecamatan Balikpapan Utara Kota
Balikpapan
Agama������������������������� :
Islam
Pekerjaan��������������������������������� :
Tidak Bekerja
Pendidikan������������������������������� :
SMP (Tidak Tamat)
Kronologi Kasus
1. Pada hari Sabtu tanggal 01 April 2023 sekira pukul 01.20 wita, Anak Achmad
Affandi Bin Irwan dengan berjalan
kaki berangkat dari rumah Anak menuju ke Km. 13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara
Kota Balikpapan, kemudian dikarenakan
kondisi hujan deras, Anak berteduh di sebuah Masjid yang terletak di Km. 13 dan di saat
yang bersamaan saksi
Budiono Bin Samsuri dan saksi Nursalim
Bin Soher berteduh di
Masjid tersebut dan memarkirkan
sepeda motor Yamaha Vixion warna biru Nopol
KT 4755 ZO milik saksi Budiono
di halaman Masjid. Selanjutnya
sekira pukul 02.30 wita, Anak melihat saksi Budiono dan saksi Nursalim sedang tidur didalam Masjid sehingga timbul niat Anak untuk mengambil sepeda motor milik saksi Budiono, kemudian sekira pukul 03.00 wita, Anak mengamati keadaan sekitar dan setelah aman, Anak tanpa sepengetahuan dan seijin pemiliknya mengambil kunci kontak sepeda motor yang diletakkan saksi Budiono di lantai dekat dengan helm milik saksi Budiono dan mengambil 1 (satu) unit handphone
merk Oppo dari dalam tas milik saksi Nursalim.
Setelah itu Anak keluar dari dalam Masjid dan
menuju ke halaman tempat dimana sepeda motor milik saksi Budiono terparkir,
lalu Anak mendorong sepeda motor tersebut keluar dari gerbang Masjid dan
setelah dirasa aman, Anak menyalakan mesin sepeda motor dan membawa sepeda
motor milik saksi Budiono pergi.
2. Bahwasanya akibat dari perbuatan Anak, Budiono Bin
Samsuri mengalami kerugian sebesar � Rp. 11.500.000 (sebelas juta lima ratus
ribu rupiah) dan saksi Nursalim Bin Soher mengalami kerugian sebesar � Rp.
2.200.000 (dua juta dua ratus ribu rupiah).
Dakwaan
Penuntut Umum
Bahwasanya perbuatan anak berhadapan dengan hukum
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
1) �Menyatakan Anak Achamd Affandi Bin Irwan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Pencurian� melanggar Pasal 362 KUHP sebagaimana
Dakwaan penuntut umum;
2) Menjatuhkan pidana terhadap Anak Achmad Affandi Bin Irwan
dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi dengan masa penangkapan dan masa penahanan
yang telah dijalani dengan menempatkan Anak di lembaga pembinaan Khusus Anak (LPKA);
3) Menyatakan agar anak tetap di tahan;
4) Menetapkan agar Anak membayar biaya perkara sebesar
Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah)�;
Menurut Soetjipto Rahardjo, perlindungan hukum ialah
suatu upaya untuk menjaga kepentingan seseorang dengan memberi kewenangan untuk
bertindak demi kepentingan tersebut. Selain itu disebutkan bahwasanya
melindungi (membimbing) masyarakat merupakan salah satu sifat hukum dan juga
mempunyai tujuan tersebut. Maka dari itu, kepastian hukum sangat diperlukan
untuk mencapai perlindungan hukum bagi masyarakat.
Perlindungan hukum adalah penerapan undang-undang
yang tepat untuk melindungi subjek hukum dan ditegakkan dengan sanksi. Ada dua klasifikasi perlindungan hukum :
a. Perlindungan Hukum Preventif
Pemerintah menawarkan perlindungan dengan tujuan
menghentikan pelanggaran sebelum terjadi. Peraturan perundang-undangan memuat
hal ini untuk mencegah pelanggaran dan memberi pedoman atau batasan dalam
memenuhi suatu tanggung jawab.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan akhir berupa denda, hukuman penjara,
dan hukuman lain yang dijatuhkan setelah terjadi perselisihan atau pelanggaran
disebut dengan perlindungan hukum yang represif.
Perlindungan hukum represif yang dimana Bentuk
�perlindungan hukum yang lebih ditujukan pada penyelesaian sengketa�.
Perlindungan hukum ini mencakup perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan
Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia. Karena prosedur penyelesaian
sengketa di pengadilan merupakan komponen dari penegakan hukum, maka
perlindungan hukum yang bersifat represif identik dengan penegakan hukum (Muchsin, 2003).
Didasarkan atas hal tersebut, terdapat
undang-undang berbeda yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memuat �prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak Anak, termasuk non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak,
dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak juga memuat asas perlindungan anak
yang melakukan tindak pidana, intinya mengutamakan asas restorative justice
dengan menerapkan diversi dalam rangka perlindungan anak� (Sunarso et al., 2022).
Penyelesaian perkara anak dialihkan dari sistem
peradilan pidana ke mekanisme eksternal yang disebut diversi. Kegiatan pengalih
perhatian antara lain berdamai dengan atau tanpa kehilangan, mengembalikan
kendali kepada orang tua atau wali, mengikuti pelatihan atau pendidikan, dan
melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dalam kondisi tertentu, diversi dapat
dilakukan terhadap anak di bawah umur yang pernah melakukan tindak pidana
dengan ancaman hukuman kurang dari tujuh tahun penjara sepanjang pelanggaran
tersebut tidak diulangi. Jika seorang anak muda melakukan kejahatan lagi,
diputuskan bahwasanya pelanggarannya serupa atau berbeda. Diversi tidak dapat
dilakukan kembali apabila anak melakukan tindak pidana yang sama dan telah
dialihkan karena pelanggaran sebelumnya (Efendi, 2018).
Pada pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak membahas tujuan diversi. Pasal ini menjelaskan
tujuan dari diversi antara lain :
a. �Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak�.
Konsep diversi juga didasarkan pada pengamatan
bahwasanya pelaku remaja yang melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menderita dampak negatif dibandingkan dampak positif. Salah satu alasan
utamanya adalah bahwa lebih baik bagi anak tersebut untuk menghindari peradilan
pidana karena pengadilan akan memengaruhi anak tersebut karena tindakan yang
dilakukannya (Putra, 2020).
Selain itu, memberi opsi bagi pelaku untuk mengambil
jalan non-kriminal seperti kompensasi, pekerjaan sosial, atau pengawasan orang
tua, diversi ialah upaya untuk membujuk orang agar mengikuti dan menghormati
hukum negara. Eksekusinya mengutamakan rasa keadilan di atas segalanya. Dengan
mengurangi penggunaan paksaan dalam proses pidana, diversi dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan dan penegakan hukum yang baik. Diversi dilaksanakan dengan
tujuan memberi kesempatan kedua kepada pelanggar hukum untuk melakukan
penebusan melalui jalur informal yang menggunakan sumber daya lokal. Untuk
memberi keadilan dan menjangkau aparat penegak hukum ketika seorang anak sudah
terlanjur melakukan tindak pidana, diversi dilakukan.
Ketika anak di bawah umur melanggar hukum, mereka
tunduk pada otoritas negara, yang dapat menerapkan tindakan koersif yang
membatasi atau bahkan menolak beberapa hak mereka dalam upaya menjaga
ketertiban umum. Perkembangan anak dipicu oleh keterbatasan dan pengingkaran
terhadap hak-hak mereka; misalnya, mereka tidak bisa bermain dengan
teman-temannya saat mereka tumbuh dewasa, tidak bisa menghabiskan waktu bersama
orang tua, dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan fisik dan mental
yang mereka perlukan. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk kepedulian dan
perhatian khusus yang dimaksudkan agar anak tidak menjadi korban penafsiran
hukum yang tidak tepat, yang dapat mengakibatkan kerugian sosial, emosional,
dan fisik.
Inisiatif perlindungan hukum terhadap anak dapat
berupa perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan anak, serta hak asasi
manusianya. Melindungi berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kesejahteraan
anak merupakan tujuan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Perlindungan
hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak merupakan salah satu
bentuk perlindungan hukum terhadap hak asasi anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak merupakan perubahan selanjutnya atas Undang-Undang Perlindungan Anak
seiring dengan perkembangan yang terjadi (Mukantardjo, 2010).
Anak-anak yang mengalami masalah hukum, korban
kejahatan, atau saksi kegiatan kriminal semuanya dianggap sebagai anak di bawah
umur dalam sistem peradilan pidana anak. Anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang menderita kerugian baik fisik, mental, maupun finansial
akibat tindak pidana dianggap sebagai korban hukum; anak di bawah umur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana tergolong anak yang
berhadapan dengan hukum; dan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun yang bisa
memberi keterangan untuk kepentingan proses hukum, mulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan, dan persidangan mengenai suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, atau dialami. Anak-anak perlu dilindungi dari segala bentuk
perlakuan kejam yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia karena
merekalah generasi penerus bangsa, tunas dan penerus keyakinan bangsa dalam
perjuangannya.
Maka dari itu, jika seorang
anak di bawah umur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyuluh atau penyidik masyarakatlah
yang memutuskan apakah akan memberi anak
tersebut kepada orang tua atau walinya, mendaftarkannya pada program pendidikan, atau memberi pembinaan pada instansi pemerintah atau organisasi kesejahteraan sosial yang menangani masalah kesejahteraan. Anak tidak memerlukan orang tua atau wali untuk
menemani pada setiap tahap ujian jika sudah
dewasa (berusia 18 tahun ke atas); namun, memerlukannya dalam situasi di
mana anak di bawah umur terlibat dalam masalah hukum.
Tentu saja penanganan perkara pidana yang melibatkan
anak di bawah umur berbeda dengan penanganan perkara yang melibatkan orang
dewasa; selain itu, penanganan anak diatur dengan peraturan perundang-undangan
yang unik. Wajar saja jika sebagian kelompok masyarakat masih belum mampu
memahami proses penanganan kasus anak, sehingga dapat menimbulkan beragam
penilaian. Lebih berbahaya lagi jika terjadi kesalahan dalam penanganan anak,
terutama yang terlibat perselisihan hukum, mendapat perlakuan khusus dan ada yang
berpendapat bahwasanya meski tidak terlalu jauh, anak tidak bisa dihukum;
sebaliknya, prosedur penanganannya diatur secara khusus (Nuraeny & Solihah, 2020).
Pengadilan pada umumnya tidak sama dengan peradilan
anak. Dalam memeriksa perkara yang melibatkan anak, anak korban, dan/atau saksi
anak, penyidik, penuntut umum, penyuluhan masyarakat, advokat, atau pemberi
bantuan hukum lainnya, dan petugas lainnya tidak mengenakan togas atau atribut
resmi lainnya. Pengadilan anak hanya terdiri dari satu hakim, disebut juga
hakim tunggal. Kecuali putusan dibacakan, proses peradilan anak harus dilakukan
secara tertutup. Baru setelah itu dapat dilakukan di depan umum. Ketika seorang
anak terlibat dalam proses hukum, maka orang tuanya wajib mendampinginya. Tata cara persidangan peradilan anak:
a) Penyidikan
Setelah suatu tindak pidana dilaporkan
atau diadukan, penyidik
yang menyelidiki perkara
anak wajib berkonsultasi dengan Penyuluh
Masyarakat untuk meminta nasihat atau pertimbangan. Pada dasarnya, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak penyidikan
dimulai, penyidik
wajib melakukan
diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari
sistem peradilan pidana ke mekanisme
di luar peradilan pidana. Apabila
Diversi berhasil mencapai kesepakatan, maka penyidik memberi
persetujuan Diversi dan berita acara Diversi untuk dipertimbangkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Namun apabila diversi tidak berhasil, maka penyidik
harus melanjutkan penyidikan dan menyerahkan perkara tersebut
kepada penuntut umum dengan disertai laporan penelitian masyarakat dan berita
acara diversi.
b) Penangkapan dan Penahanan
Anak ditahan maksimal 24 jam untuk melakukan
penyidikan. Waktu kerja digunakan untuk menghitung jangka waktu 24 jam
penyidik. untuk melindungi hak asasi manusia dan kepentingan dalam hal ini.
Anak-anak yang ditangkap harus ditempatkan di area layanan anak yang ditunjuk.
Dalam hal penuntutan, penuntut umum dapat menahan tersangka paling lama 5
(lima) hari. Jika waktu yang ditentukan telah habis, anak tersebut harus
dikeluarkan secara sah. Hakim dapat menjatuhkan hukuman penahanan paling lama
10 (sepuluh) hari apabila diperlukan untuk melakukan pemeriksaan dalam suatu
persidangan. Ketua pengadilan negeri atas permohonan hakim dapat memperpanjang
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. Anak tersebut harus dikeluarkan
secara sah jika jangka waktunya telah lewat dan hakim belum mengambil
keputusan. Orang yang melakukan penangkapan atau penahanan mempunyai kewajiban
untuk memberitahukan anak di bawah umur dan orang tua/walinya mengenai hak
mereka untuk mendapat perwakilan hukum. Pejabat tidak berhak menangkap atau
menahan anak di bawah umur jika mereka tidak mengikuti pedoman ini.
c) Penuntutan
Penuntut umum menyerahkan berkas perkara ke
pengadilan dengan mengajukan surat dakwaan yang disebut dengan penuntutan.
Dalam proses pidana anak, penuntutan mengacu pada keputusan jaksa penuntut umum
anak untuk memindahkan kasus anak ke pengadilan anak, di mana hakim anak akan
mengadili kasus tersebut dan mengambil keputusan. Setelah memperoleh berkas
perkara dari penyidik, penuntut umum mempunyai waktu 7 (tujuh) hari untuk
meminta diversi. Pengalihan paling lama dapat diselesaikan dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut
umum memberi kesepakatan dan berita acara diversi kepada ketua pengadilan
negeri untuk diambil keputusan. Dalam hal diversi tidak berhasil, maka Jaksa
Penuntut Umum wajib memberi berita acara diversi beserta laporan hasil
penelitian sosiologi pada saat menyerahkan perkara ke pengadilan.
d) Pemeriksaan di Pengadilan
Anak-anak diadili di ruang sidang khusus anak-anak
selama proses persidangan. Selain itu, terdapat ruang
tunggu terpisah untuk uji coba anak dan area dewasa. Tanggal sidang anak-anak lebih penting daripada
tanggal sidang orang dewasa. Hakim dalam persidangan anak harus meminta diversi
paling lambat tujuh (tujuh) hari sejak ia ditunjuk sebagai hakim oleh ketua
pengadilan negeri. Apabila diversi tidak berhasil, perkara tersebut akan dibawa
ke pengadilan. Dalam sidang yang tertutup untuk umum selain pembacaan putusan,
hakim mempertimbangkan perkara anak. Persidangan di pengadilan anak harus
diperiksa di ruang sidang anak yang telah ditentukan, secara tertutup. Namun
hakim dapat memutuskan dalam keadaan tertentu yang dianggap penting agar
pemeriksaan perkara dilaksanakan secara transparan tanpa merugikan hak-hak
anak.
Selain rasa trauma dan stigma, sistem peradilan
pidana formal juga dapat mengakibatkan anak-anak dikeluarkan dari sekolah.
Trauma dapat diakibatkan oleh berbagai jenis kekerasan yang dialami anak-anak.
Anak yang melakukan kenakalan juga mempunyai stigma atau tanda kejahatan yang
menyebabkan mereka selalu khawatir akan melakukan kejahatan lagi. Dampak atau
dampak buruk ini pada hakikatnya harus dialami oleh anak-anak ketika terlibat
dalam sistem peradilan pidana karena merekalah yang dimintai pertanggungjawaban
atas perilaku nakalnya. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwasanya
unsur yang paling mendasar ialah pengaturan yang ketat mengenai Keadilan
Restoratif dan Diversi. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar anak terhindar
dari masalah hukum dan mencegah pengaruh atau dampak negatif terhadap dirinya.
Idealnya, anak-anak dapat berintegrasi kembali secara alami ke dalam lingkungan
sosialnya (Sabihi & Kaluku, 2023).
Faktor lingkungan dan ekonomi mempunyai dampak yang
signifikan terhadap kemungkinan remaja melakukan kejahatan pencurian. Seluruh
komponen sistem peradilan pidana yang menangani perkara kenakalan remaja secara
bersama-sama disebut dengan sistem peradilan pidana anak. Anak yang mencuri
dalam kasus ini masih berada di balik jeruji besi, namun hukuman yang
diterimanya terkait erat dengan Undang-undang Perlindungan anak. Sementara itu,
pelibatan anak dalam sistem peradilan pidana mempunyai banyak dampak buruk bagi
mereka, terutama bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Dampak buruknya
antara lain kejahatan dengan kekerasan tindakan agresi yang bersifat seksual,
psikologis, atau fisik. Anak akan terkena dampak negatif dari faktor kejiwaan
atau psikologis sebagai akibat dari sistem peradilan pidana. Bagi anak-anak,
agresi psikologis ini dapat menimbulkan trauma. Sistem peradilan pidana juga
berdampak negatif terhadap ingatan anak. Anak muda ini akan memiliki kenangan
abadi melalui berbagai proses hukum yang berat. Bahkan setelah anak muda
tersebut diberi penalti, konsekuensi buruknya masih tetap ada, seperti stigma
yang terus berlanjut (Rohmah, 2023).
Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak
Pidana
Banyak faktor memengaruhi bagaimana seseorang berada
di dalam masyarakat. Status sosial seseorang ditentukan oleh pelapisan
masyarakat di mana sesuatu dihargai. Berbagai faktor memengaruhi posisi sosial
seseorang di kota besar seperti Balikpapan. Menurut Kartini Kartono, Perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh anak terjadi karena berbagai faktor. Faktor-faktor
ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari
dalam diri anak, yang mendorongnya untuk melakukan tindak pidana yang meliputi
beberapa hal yaitu:
a. Untuk memenuhi kebutuhan yang anak inginkan.
b. Meningkatnya dorongan seksual atau agresifitas.
c. Anak menjadi manja dan mentalnya lemah karena orang
tuanya tidak mengasuh dan mendidiknya dengan benar.
d. Rasa ingin tahu untuk bersosialisasi dengan
teman-teman yang senasib dan seumur hidup menjadi dorongan untuk meniru-niru.
e. Kecenderungan pembawaan yang patologis
f. konflik dengan diri sendiri dan menggunakan
mekanisme pelarian diri yang irasional (Jatmiko, 2021).
Faktor Eksternal
Menurut Kartini Kartono Faktor eksternal adalah
faktor yang berasal dari luar anak, yang terdiri dari beberapa hal, antara
lain:
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang
mendorong anak-anak untuk melakukan tindak pidana, seperti pencurian, karena
kondisi ekonomi anak-anak biasanya buruk (Ihsan & Jonyanis, 2016). Karena situasi keuangan sebuah keluarga yang susah
dan dia memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu, maka untuk
memenuhi keinginannya tersebut dia melakukan tindak pidana pencurian. Selain
itu, krisis ekonomi yang melanda bangsa ini secara sosial telah melahirkan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang hidup dalam garis kemiskinan.
Kemiskinan struktural yang demikian, pada tingkat tertentu mengubah perilaku
seorang anak untuk berbuat sesuatu guna tetap bertahan dalam kchidupannya,
dengan cara mencuri (Arifin, 2020). Dari sudut pandang psikologis dijelaskan bahwa
keadaan sosial tentu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan
anak. Ketika sebuah keluarga memiliki perekonomian yang sehat, anak-anak
memiliki akses terhadap materi yang lebih luas dan peluang untuk memperoleh
keterampilan baru (Anggraini et al., 2023).
Faktor Pendidikan
Salah satu penyebab anak melakukan kejahatan ialah
tingkat pendidikannya. Setiap orang tentunya sangat penting untuk berhak
mendapat sebuah pendidikan (Simbolon, 2018). Hal ini menunjukkan betapa rendahnya tingkat
pendidikan formal suatu masyarakat dapat memengaruhi masyarakatnya, membuat
mereka merasa dan bertindak rendah diri serta kurang memiliki daya cipta,
sehingga mereka tidak memiliki kendali diri dan memudahkan mereka melakukan
kejahatan, terutama ketika mereka masih di bawah umur. Menurut Redja Mudiaharjo
Anak-anak yang tidak bersekolah lebih besar kemungkinannya untuk melakukan
perilaku buruk karena jika orang tua gagal tidak peduli dengan tahap
perkembangan anaknya, sekolah akan mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap
anak tersebut dan memberi hukuman kepada anak. Untuk itu, orang tua memiliki
peran penting serta berkewajiban menyediakan pendidikan yang layak untuk anak.
Faktor Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal seseorang mempunyai
pengaruh besar terhadap baik atau buruknya perilakunya. keadaan psikologis anak
yang masih sangat sensitif dan mudah terpancing. Lingkungan yang dibicarakan
ialah lingkungan komunal dan lingkungan keluarga. Salah satu alasan mengapa
anak-anak melakukan kejahatan ialah karena persahabatan dan tetangga mereka.
Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan temperamen, karakter, dan
kepribadian seseorang saat memilih teman. Lingkungan sosial seseorang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap baik atau tidaknya seseorang berperilaku. Jika
mereka bergaul dengan orang-orang yang positif, niscaya mereka akan berperilaku
baik, dan jika mereka bergaul dengan orang-orang yang cenderung berperilaku
buruk, kemungkinan besar mereka akan terkena dampaknya.
Didasarkan atas faktor-faktor tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwasanya anak-anak yang mencuri dan menimbulkan keresahan
masyarakat masih berbuat dalam batas kemampuannya dalam mengendalikan tingkah
laku dan emosinya terhadap tingkah laku korban yang menyebabkan ia melakukan
tindak pidana tersebut. Upaya preventif harus dilakukan agar kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak dapat dikurangi. Upaya preventif adalah upaya untuk
menghindari atau mencegah kejahatan terjadi, dengan melibatkan berbagai organisasi
masyarakat sehingga dapat diberdayakan secara bersama-sama dalam rangka
pengawasan terhadap kelompok atau orang yang berpotensi melakukan kejahatan (Bachtiar, 2017).
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Putusan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Perkara
Putusan NOMOR 6/PID.SUS-ANAK/2023/PN BPP.
Ketika seorang hakim mengambil suatu keputusan di
pengadilan, maka perlu dijelaskan alasannya, karena alasan-alasan itulah yang
pada akhirnya akan membawa keadilan bagi putusan tersebut. Hakim
mempertimbangkan berbagai keadaan ketika memutuskan apakah akan menuntut suatu
pelanggaran yang berkelanjutan. Hakim mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan sengketa hukum. Karena keputusan yang diambilnya mempunyai
kekuasaan untuk menentukan nasib seseorang, maka hakim mempunyai tanggung jawab
yang besar. Hakim juga dapat memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak,
dan seberapa serius atau tidak pelanggaran yang dilakukan pelaku. Hakim juga
mampu mengambil keputusan ketika meninjau suatu perkara yang tindak pidananya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia (Djamil, 2017).
Hakim harus menangani permasalahan pidana secara
adil dan berhak secara hukum untuk menerima, mempertimbangkan, dan memberi
keputusan dalam kasus tersebut. Hakim mengambil keputusan didasarkan atas
berbagai macam faktor yang mungkin berasal dari dalam dan luar dirinya, seperti
agama, budaya, pendidikan, moral, konvensi, dan lain sebagainya. Akibatnya,
sudut pandang yang berbeda bisa saja berdampak pada faktor-faktor yang
dipertimbangkan. Namun penting untuk diingat bahwasanya kepastian, keuntungan,
dan keadilan ialah tiga kualitas terbaik dalam sebuah keputusan (Effendy, 2018).
Menurut Sudikno Mertokusumo, ada tiga faktor yang
harus selalu diperhatikan dalam menegakkan hukum: asas yuridis (kepastian
hukum), asas sosiologis (kemanfaatan), dan asas filosofis (keadilan). Hal ini
akan menjamin keadilan bagi penggugat di persidangan. Berikut tafsir ucapan
Sudikno Mertokusumo:
a. Yuridis (kepastian hukum)
Kepastian hukum menyoroti bagaimana susunan kata
dalam peraturan atau regulasi memastikan bahwasanya peraturan tersebut
diterapkan sebagaimana dimaksud. Semua orang berharap jika terjadi keadaan
tertentu, peraturan perundang-undangan dapat dikembangkan. Begitulah cara hukum
harus berjalan, yang pada dasarnya berarti bahwasanya meskipun segala
sesuatunya berantakan, hukum harus dipatuhi dan tidak dapat dilanggar. Inilah
kepastian hukum yang diinginkan. Kepastian hukum ialah pertahanan yang sah
terhadap perilaku yang berubah-ubah, atau jaminan bahwasanya, dalam kondisi
tertentu, seseorang akan mampu mencapai tujuannya (Serlika Aprita, 2021).
Masyarakat menantikan kejelasan hukum karena
diyakini akan membuat masyarakat lebih tertib. Sebagai sarana tercapainya
ketertiban umum, hukum bertugas untuk mewujudkan kepastian hukum. Dalam
pandangannya yang sangat mendasar, kepastian hukum dapat diartikan sebagai
salah satu dari empat hal. Hal ini menurut Radbruch. Hukum itu positif untuk
memulai. Kedua, hukum didasarkan pada fakta-fakta atau undang-undang yang dapat
dipastikan secara pasti yakni melalui informasi. Ketiga, realitas (fakta) perlu
disajikan secara lugas agar tidak terjadi kesalahpahaman dan mudah diterapkan. Keempat, hukum positif harus sulit
diubah.
b. Nilai sosiologis (kemanfaatan)
Masyarakat mengantisipasi manfaat dari penerapan
atau penegakan hukum. Karena manusialah yang membuat undang-undang, maka
penerapan dan penegakannya harus memberi manfaat atau manfaat bagi masyarakat
secara keseluruhan. Jangan sampai terjadi ketidakpuasan sosial hanya karena
hukum diterapkan atau ditegakkan. Upaya diversi dapat mengurangi akuntabilitas
orang dewasa atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Melalui pengalihan perkara di luar sistem hukum, dilakukan upaya diversi dengan
memberi pembelajaran berupa hukuman dibandingkan hukuman pidana kepada anak di
bawah umur yang berusia antara 12 dan 15 tahun yang diduga memiliki kemampuan
kognitif yang kurang memadai. Demikian pula, taktik pengalih perhatian juga
dapat menguntungkan generasi muda berusia antara 15 dan 18 tahun. Anak-anak
berusia antara 12 dan 18 tahun mempunyai hak atas pendidikan untuk berkembang
menjadi anggota keluarga, komunitas, dan agama yang berharga.
c. Filosofis (keadilan)
Dari penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwasanya Pancasila, akar seluruh sumber hukum Indonesia,
yang menjunjung tinggi lima
prinsip moral, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, merupakan landasan filosofis Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012. Ketika anak berhadapan dengan
hukum, Indonesia dengan adat dan budayanya yang beragam tahu bagaimana
menyelesaikan konflik di luar pengadilan. Sementara itu, perlu dilakukan upaya
untuk mengurangi jumlah anak yang berhadapan dengan hukum guna memberi perlindungan
hukum bagi anak-anak tersebut.
Sistem peradilan pidana bagi anak di bawah umur
dilaksanakan secara rahasia oleh hakim khusus yang disebut hakim anak, yang
mengadili kasus-kasus yang melibatkan anak-anak. Tujuannya ialah untuk
menyembunyikan atau menyembunyikan identitas anak. Seorang anak dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama � (satu per dua) dari masa pidana penjara
paling lama yang dapat dipidana oleh orang dewasa. Saat mengambil keputusan
yang melindungi anak, hakim sering kali mengacu pada sejumlah aturan hukum,
seperti:
1. Asas Kepentingan Terbaik Anak: Ini ialah prinsip
yang mendasari hukum keluarga dan perlindungan anak di mana kepentingan terbaik
anak menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan.
2. Asas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak: Hakim
memastikan bahwasanya anak dilindungi dari segala bentuk penganiayaan,
penelantaran, atau penyalahgunaan, serta memastikan kesejahteraan mereka
terjamin.
3. Asas Non-Diskriminasi: Hakim memastikan bahwasanya
anak-anak tidak didiskriminasi didasarkan atas jenis kelamin, agama, ras,
etnis, atau kondisi lainnya, dan setiap keputusan haruslah adil dan merata.
4. Asas Partisipasi Anak: Hakim dapat memperhatikan
pendapat anak dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka,
tergantung pada usia dan kematangan mereka.
5. Asas Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Anak: Hakim
memastikan bahwasanya hak-hak asasi anak, seperti hak atas pendidikan,
kesehatan, dan keamanan, diakui dan dihormati.
Melalui penerapan asas-asas ini, hakim dapat membuat
putusan yang berpihak pada Melalui penerapan asas-asas ini, hakim dapat membuat
putusan yang berpihak pada kepentingan dan perlindungan anak dalam sistem
peradilan.
Saat meninjau suatu kasus, hakim memerlukan bukti,
dan temuan mereka diperhitungkan saat mengambil keputusan. Tahap pemeriksaan di
persidangan yang dikenal dengan pembuktian merupakan tahap yang paling krusial.
Untuk menjamin putusan hakim yang akurat dan tidak memihak, pembuktian berupaya
untuk membuktikan dengan kepastian yang mutlak bahwasanya suatu peristiwa atau
fakta yang dikemukakan benar-benar terjadi. Untuk memberi kesan adanya hubungan
hukum antara para pihak, maka hakim tidak dapat mengambil keputusan sebelum
jelas baginya bahwasanya fakta atau peristiwa itu benar-benar terjadi dan telah
ditetapkan kebenarannya. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan beberapa
faktor, antara lain:
Pertimbangan yuridis
Keputusan hakim didasarkan pada fakta-fakta yuridis
yang dikemukakan selama persidangan dan undang-undang yang telah menentukan
hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan. Ini dikenal sebagai pertimbangan
hakim. Surat dakwaan jaksa, keterangan terdakwa dan saksi, alat bukti, dan
pasal merupakan beberapa contoh faktor hukum.
Pertimbangan Non-Yuridis
Keputusan hakim yang didasarkan pada keadaan yang
tidak tercakup dalam undang-undang tetapi merupakan bawaan dari orang yang
melakukan kejahatan atau berkaitan dengan masalah sosial dan struktur
masyarakat disebut pertimbangan non-yuridis. Sedangkan permasalahan non-yuridis
mencakup hal-hal yang melibatkan terdakwa, seperti keadaan pribadinya dan
konteks tindakannya.
Anak Achmad Affandi Bin Iran menjadi subjek perkara
pidana di Pengadilan Negeri Balikpapan Reg. Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp.
Rincian perkaranya, pada Sabtu, 1 April 2023, sekitar pukul 03.00 WITA atau di
kemudian hari pada April 2023, di masjid yang terletak di Jalan Soekarno Hatta
Km. 13 Desa Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, atau di
tempat lain yang masih berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Balikpapan
yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. peraturan perundang-undangan (Hariyanto & Swardhana, 2021).
Studi kasus terhadap anak di bawah umur yang
melakukan pencurian, yang merupakan tindak pidana pokok yang tercakup dalam
Pasal 362 KUHP, diselesaikan didasarkan atas studi kasus tersebut di atas.
Kriteria yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus menjadi pertimbangan pengadilan
dalam menilai perkara ini karena menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa dan
mengadili perkara ringan. Pengadilan harus membangun dan menilai apakah perbuatan
anak tersebut sesuai dengan komponen delik utama mencuri didasarkan atas Pasal
362 KUHP untuk mengetahui apakah anak tersebut bersalah atau tidak. Maka dari
itu, Hakim akan menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan Pasal 362
KUHP yang mencakup aspek-aspek berikut, dengan tetap mempertimbangkan realitas
hukum tersebut di atas:
�Unsur Barangsiapa
Bahwasanya, yang dimaksud barangsiapa ialah subyek
hukum yang sehat jasmani dan rohani, akal pikirannya, sadar atau mengetahui (wittens) atas perbuatannya dan mampu
mengisyafi akibat dari setiap perbuatannya itu (willens);
Bahwasanya, Penuntut Umum telah mengajukan di
persidangan seorang Anak laki-laki yang mengaku Bernama Achmad Affandi Bin
Irwan, mengaku lahir di Balikpapan pada tanggal 22 April 2005 sehingga pada
saat kejadian perkara tanggal 1 April 2023 Anak masih berusia 17 (tujuh belas)
tahun atau masih anak;
Bahwasanya didasarkan atas keterangan saksi-saksi
dan keterangan orang yang bersangkutan bahwasanya benar dirinyalah yang
dimaksud dalam identitas Anak / Terdakwa dalam surat dakwaan, dengan demikian
tidak terjadi kesalahan subyek hukum yang dimaksud dalam dakwaan ;
Bahwasanya, selama persidangan Hakim melihat Anak
dalam keadaan sehat jasmani, rohani dan akal pikirannya tidak dalam keadaan
terganggu, sadar dan mampu mengikuti jalannya persidangan, memberi tanggapan
atas keterangan saksi-saksi, didampingi pula oleh orangtua dan Penasehat
Hukumnya maka dengan demikian unsur �Barangsiapa� telah terpenuhi.
Unsur
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
Menimbang, bahwasanya yang dimaksud dengan anak
ialah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
didalam kandungan (Ketentuan Umum UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak);
�Menimbang,
bahwasanya didasarkan atas fakta-fakta hukum dipersidangan, bahwasanya pada
hari Sabtu tanggal 1 April 2023 pukul 03.00 Wita di Masjid yang bertempat di
Jalan Soekarno Hatta Km.13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara
Kota Balikpapan, Budiono kehilangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Vixion
warna biru Nopol KT 4755 ZO No. Rangka MH31PA003EK417039, No Mesin 1PA417155
milik Budiono dan 1 (satu) unit handphone merk Oppo A17 warna hitam Imei1 :
868852065810579 Imei 2 : 868852065810561 milik Nursalim ;
�Menimbang,
bahwasanya awalnya Budiono dan Nursalim beristirahat di Masjid di Jalan
Soekarno Hatta Km.13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara Kota
Balikpapan dan Budiono memarkirkan sepeda motor Yamaha Vixion Nopol KT 4755 ZO
di halaman parkir Masjid ;
Menimbang, bahwasanya tidak selang lama datang Anak
dengan mengendarai sepeda motor ikut berteduh di Masjid kemudian Budino dan
Nursalim mengobrol dengan Anak ;
Menimbang, bahwasanya pukul 02.30 Wita Budiono dan
Nursalim tertidur diteras Masjid dan pukul 03.30 Wita Budiono dan Nursalim
terbangun dan sepeda motor Yamaha Vixion Nopol KT 4755 Zo milik saksi sudah
tidak ada dan 1 (satu) unit handphone milik Nursalim yang berada didalam tas
Nursalim juga tidak ada ;
Menimbang, bahwasanya sebelum kejadian sepeda motor
milik Budiono dalam keadaan terkunci stang dan kunci kontak berada didalam tas
yang dibawa oleh Budiono dan Budiono mengalami kerugian sebesar Rp
11.500.000,00 (sebelas juta lima ratus ribu rupiah) dan Nursalim mengalami
kerugian sebesar Rp 2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah) ;
Menimbang, bahwasanya dengan demikian maka unsur
�mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum� telah terpenuhi�;
Keberadaan setiap komponen yang disebutkan di atas
membuat suatu tindakan atau kejadian dikualifikasikan sebagai pencurian.
Putusan pengadilan harus mempertimbangkan hal-hal
yang memberatkan dan meringankan. Pertimbangan ini digunakan oleh hakim untuk
membuat keputusannya, baik itu mengenai pemidanaan atau hal-hal lain. Keadaan
yang Meringankan merupakan kondisi Dimana barang bukti serta fakta yang
terungkap di peradilan menjadi bahan yang berguna sebagai pertimbangan hakim
dalam menjatuhi putusan, antara lain :
3. Anak belum pernah dihukum ;
4. Anak mengakui terus terang perbuatannya ;
5. Anak menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi
lagi perbuatannya.
Mengingat pencurian merupakan tindak pidana, maka
pengaturan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan pelanggaran hukum
khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak harus diutamakan. Nantinya, undang-undang ini akan menjadi pedoman bagi
hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam mengusut dan memutus perkara yang
melibatkan anak di bawah umur yang bermasalah hukum. Anak-anak yang melanggar
hukum dapat menghadapi hukuman pidana utama dan tambahan; keterangan lebih
lanjut dapat dilihat pada ketentuan m 71 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 yakni:
�Pidana Pokok :
1) Pidana peringatan;
2) Pidana dengan syarat:
3) Pеmbinaan di luar lеmbaga
4) Pеlayanan masyarakat
5) Pеngawasan
6) Pelatihan kerja;
7) Pembinaan dalam lembaga;
8) Penjara.
Pidana Tambahan :
a. Pеrampasan kеuntungan yang dipеrolеh dari tindak
pidana;
b. Pеmеnuhan kеwajiban adat�
Anak-anak juga dapat dikenakan tindakan, selain pidana pokok atau pidana tambahan, sebagai hukuman pidana untuk anak
di bawah umur. Anak-anak dapat dikenakan
tindakan sebagaimana berikut ini :
1. �pengembalian
kepada orang tua/wali;
2. penyerahan kepada seseorang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab oleh hakim serta dipercaya oleh anak;
3. perawatan di rumah sakit jiwa jika
anak pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa;
4. perawatan di Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
(�LPKS�);
5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
6. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
7. perbaikan akibat tindak pidana, misalnya memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai
dengan sebelum terjadinya tindak pidana.�(Chrysan et al., 2020).
Pendapat
penulis dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp.
Menurut penulis, keputusan hakim untuk melindungi
terdakwa anak sangat penting karena anak merupakan bagian masyarakat yang
rentan dan masih dalam tahap perkembangan. Melalui putusan yang
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, hakim dapat memastikan bahwasanya
hak-hak anak terlindungi dan kebutuhan serta kepentingannya diutamakan dalam
proses hukum. Hal ini juga menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi
anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam kasus yang penulis teliti di Pengadilan Negeri
Balikpapan, kasus pencurian yang dikenakan Pasal 362 KUHP, dengan pelakunya
seorang anak yang dihukum penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan.
Dalam putisan, hakim Pengadilan Negeri Balikpapan mempertimbangkan beberapa
hal. Mereka memvonis pelaku berusia 17 tahun (tujuh belas) tahun dengan pidana
penjara 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja 2 (dua) bulan di Dinas Sosial Kota
Pelayanan Balikpapan.
Dalam hal penahanan terhadap pelaku anak, penulis
berpendapat bahwa hakim harus mempertimbangkan kembali keputusan mereka karena
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa :
�Pеnahanan tеrhadap Anak hanya dapat dilakukan dеngan syarat sеbagai bеrikut:
Karena usia pelaku 17 (tujuh belas) tahun, sesuai
dengan penjelasan di atas, pelaku anak memenuhi syarat Pasal 32 ayat (2) huruf
a. Namun, perlu diingat bahwa �pelaku anak melakukan tindak pidana tersebut
ialah pencurian, yang menurut Pasal 362 KUHP memiliki ancaman pidana paling
lama 5 (lima) tahun, tetapi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku anak tidak
memenuhi syarat Pasal 32 ayat (2) huruf b�.
Menurut penulis, Budiono mengalami kerugian akibat
perbuatan pelaku anak karena keadaan yang memberatkan. Bahkan dalam kasus di
mana pelaku di bawah umur dinyatakan bersalah, terdapat faktor-faktor yang
meringankan. Ketika hakim memvonis bersalah pelaku kekerasan terhadap anak,
menurut penulis ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan. Intinya,
pengadilan perlu memikirkan matang-matang apakah hukuman atau sanksi yang akan
diterima pelaku remaja akan membuat ia patah semangat atau malah memperburuk kondisinya.
Pelaku kekerasan terhadap anak tidak boleh menghadapi konsekuensi apa pun.
Dalam kasus ini, hakim memvonis pelaku remaja tersebut dengan dua bulan
pelatihan kerja dan enam bulan penjara.
Menurut penulis, jika ada sanksi atau hukuman maka
kondisi anak yang menjadi pelanggar akan semakin parah. Pelaku muda tersebut
belum pernah menjalani hukuman sebelumnya, maka dari itu penulis menyatakan
bahwa hal-hal yang mungkin terjadi padanya dapat memengaruhi kesehatan mental
dan fisiknya setelah dia menyelesaikan hukumannya. Masalah lebih lanjut yang
akan dihadapi oleh pelaku remaja adalah stigmatisasi atau kecaman sosial. Masih
banyak anggapan bahwa anak-anak yang pernah berurusan dengan sistem peradilan
pidana atau melakukan kejahatan biasanya akan terus melakukan lebih banyak
kejahatan; stigma ini sulit dihilangkan dari masyarakat.
Berdasarkan pernyataan penulis, terdapat
faktor-faktor penting yang diabaikan dalam proses pengambilan keputusan, namun
dianggap signifikan. Belum ada penjelasan mengenai temuan penelitian sosial
atau kajian komunitas terhadap pelaku kekerasan anak yang dilakukan oleh
pendamping komunitas. Faktor-faktor ini dipandang penting untuk dipertimbangkan
ketika mengambil keputusan karena hakim mempunyai kewenangan untuk menilai dan
menghukum pelaku remaja sesuai dengan hasil litmas. Dalam peradilan anak,
penelitian komunitas laporan publik atau laporan yang diselesaikan sebelum
dilakukannya suatu kejahatan sangat penting karena penelitian ini memberikan
data dan informasi yang relevan kepada penegak hukum tentang anak-anak, latar
belakang pelaku dan keluarganya, pers, tingkat kejahatan yang dilakukan
pendidikan yang dicapai di sekolah, dan topik lainnya.
Maka dari itu, ketika mengambil keputusan mengenai
kenakalan remaja, temuan penelitian komunitas dianggap penting. Diversi, atau
memindahkan penyelesaian perkara anak dari sistem peradilan pidana ke prosedur
di luar sistem peradilan pidana, karenanya merupakan salah satu komponen
keadilan restoratif. Menurut teori keadilan restoratif, penyelesaian perkara
pidana harus dilakukan oleh pelaku, korban, keluarga, dan pihak-pihak terkait
lainnya yang bekerja sama untuk mencapai kesimpulan yang adil yang mengutamakan
pemulihan dan kembali ke keadaan sebelum terjadinya kejahatan daripada
pembalasan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kondisi ekonomi, pendidikan, dan lingkungan semuanya berkontribusi
terhadap pencurian anak secara tidak sah, dengan banyak dari unsur-unsur ini
mempengaruhi kecenderungan anak-anak untuk berperilaku buruk dan meningkatkan
kerentanan mereka terhadap ajakan yang merugikan orang lain dan anak-anak.
Keluarga korban sering merasa kesal ketika pelaku lolos dari hukuman yang adil,
yang menjadi salah satu tantangan dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak
di bawah umur yang terlibat kasus pencurian. Majelis hakim mempertimbangkan
sejumlah faktor sebelum mengambil kesimpulan dalam putusan nomor
6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp, dengan merujuk pada Pasal 362 KUHP yang menyebutkan
pencurian sebagai tindak pidana. Namun, diputuskan bahwa keputusan hakim tidak
tepat, sehingga anak dipidana penjara selama 6 (enam) bulan. Keputusan ini
dinilai tidak pantas karena menurut Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian
oleh pelaku di bawah umur memiliki ancaman hukuman paling lama lima tahun,
sementara anak seharusnya tidak dapat ditahan kecuali mereka melakukan
kejahatan yang ancaman hukumannya tujuh tahun atau lebih. Penahanan anak
memiliki dampak jangka panjang, termasuk kerugian psikologis yang diderita
selama masa penahanan serta penindasan dan pengucilan dari lingkaran sosial
setelah pembebasan. Oleh karena itu, diversi harus mendapat prioritas utama
oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana anak.
REFERENSI
Abrianti, D. (2020). Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan
Pencurian Dengan Kekerasan Oleh Anak. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 26(7).
Anand, G., Kusuma Putri, D. E., & Nugraha, X. (2024).
Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Akibat Pencemaran Nama Baik melalui Media
Elektronik terhadap Perseroan Terbatas. Notaire, 7(2).
Anggraini, T., Wulandari, A., Bella, H. S., Anggraini, T. W.,
& Fetriasih, R. (2023). Dampak lingkungan sosial terhadap perkembangan
psikologi anak. Nautical: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(4),
216�225.
Arifin, J. (2020). Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan
Kemiskinan di Indonesia. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha
Kesejahteraan Sosial, 6(2), 114�132.
https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2372
Bachtiar, T. C. C. (2017). Tinjauan Kriminologis Terhadap
Kejahatan Perjudian Game Online. dipublikasikan) Fakutas Hukum, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Chrysan, E. M., Rohi, Y. M., & Apituley, D. S. F. (2020).
Penerapan Sanksi Tindakan Pada Anak Yang Melakukan Bullying Sehingga
Menyebabkan Trauma Pada Korban Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Hukum Magnum Opus, 3(2),
457455.
Dala, B. N. A. (2009). Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak.
Djamil, N. (2017). Anak Bukan untuk dihukum. Sinar
Grafika.
Efendi, E. (2018). Tafsir Atas Melawan Sifat Materil Yang
Dilakukan Oleh Pejabat Administrasi Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana
Korupsi. Al-Risalah, 11(02), 146�159.
Effendy, M. (2018). Teori Hukum dari perspektif kebijakan,
perbandingan dan harmonisasi hukum pidana.
Guna, D. B. A., Mertha, I. K., & Purwan, S. P. M. E.
(2018). Penanggulangan terhadap tindak pidana pencurian sepeda motor yang
dilakukan oleh anak dibawah umur (studi kasus di wilayah hukum Polresta
Denpasar). Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 7(02).
Handitya, B. (2019). Menyemai Nilai Pancasila Pada Generasi
Muda Cendekia. ADIL Indonesia Journal, 1(2).
Harahap, S. P. R. (2023). Pola interaksi antara guru dan
murid dalam proses peningkatan kedisiplinan di SMP Negeri 1 Portibi Kecamatan
Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara. UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary
Padangsidimpuan.
Hariyanto, D. R. S., & Swardhana, G. M. (2021).
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Yang
Berorientasi Pada Restorative Justice Di Kota Denpasar. Jurnal Legislasi
Indonesia, 18(3), 394�404.
Ihsan, K., & Jonyanis, J. (2016). Faktor Penyebab Anak
Melakukan Tindakan Kriminal (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru Kelas
II B). Riau University.
Jatmiko, B. (2021). Diversi Bagi Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang.
Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).
Kartono, K. (2014). Kenakalan remaja. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Lamintang, P. A. F., & Lamintang, F. T. (2022). Dasar-dasar
hukum pidana di Indonesia. Sinar Grafika.
Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum, 2nd Edn (Jakarta:
Kencana).
Muchsin, M. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi
Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.
Muhammad, A. (2004). Hukum dan penelitian hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mukantardjo, R. S. (2010). Ketentuan Pidana dalam Sistem
Peradilan di Indonesia. Materi Disampaikan Pada Acara Ceramah Peningkatan
Pengetahuan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan HAM
Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Jumat, 27.
Nomor, U.-U. (2002). tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Nuraeny, H., & Solihah, C. (2020). Sanksi Pidana Diyat
Sebagai Alternartif Meminimalisir Permasalahan Overcrowding Penjara di
Indonesia. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 8(1).
Pasaribu, M. P. J., & Napitu, P. E. (2022). Penegakan
Hukum Melalui Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia. JURNAL SOSIAL EKONOMI DAN HUMANIORA, 8(4), 564�571.
Putra, G. S. (2020). Implikasi Tanggungjawab Hukum Atas
Tindakan Malpraktik yang Dilakukan Oleh Tenaga Medis Di Indonesia. Muhammadiyah
Law Review.
Putri, A. A., Gusman, E., & Zulfiko, R. (2023).
Pelaksanaan Perlindungan Hak Anak Sebagai Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Oleh Ayah Kandung Terhadap Ibu Kandung Di Unit Ppa Polres Sijunjung. Palar
(Pakuan Law Review), 9(3), 33�49.
Rahardjo, S. (2003). Sisi-sisi lain dari Hukum di
Indonesia. Penerbit Buku Kompas.
Rohmah, E. I. (2023). Perempuan Sebagai Pelopor Pencegahan
Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Anak Di Lingkungan Keluarga. Ma�mal:
Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum, 4(3), 234�255.
Sabihi, A. R., & Kaluku, J. A. (2023). Faktor Penyebab
Anak Melakukan Tindak Pidana Kekerasan Fisik Yang Mengakibatkan Kematian. Jurnal
Ilmu Sosial, Humaniora Dan Seni, 1(3), 429�435.
Serlika Aprita, S. H. (2021). Sosiologi Hukum. Prenada
Media.
Shafira, N., & Rizanizarli, R. (2021). Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Suatu Penelitian Tindak Pidana
Pencurian Di Wilayah Hukum Kota Lhokseumawe). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang
Hukum Pidana, 5(1), 143�150.
Simbolon, D. F. (2018). Kurangnya Pendidikan Reproduksi Dini
Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak. Soumatera
Law Review, 1(1), 43�66.
Sumara, D., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017).
Kenakalan remaja dan penanganannya. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, 4(2), 346�353.
Sunarso, H. S., Sh, M. H., & Kn, M. (2022). Viktimologi
dalam sistem peradilan pidana. Sinar Grafika.
Tambalean, P. (2013). Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana
Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur. Lex et Societatis, 1(2).
UU RI No 32. (2009). UU RI No 32 tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Zulyadi, R. (2020). Penerapan Restorative Justice atas
Kelalaian Maskapai Penerbangan yang Membahayakan Penumpang (Studi Bandara
Internasional Kualanamu). Universitas Medan Area.
|
|