Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian

 

Mifftahur Rizky

�Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

� Kata Kunci

Abstrak

Perlindungan Hukum, Anak, Tindak Pidana

Penelitian ini bertujukan guna mengetahui faktor - faktor yang menyebabkan anak terlibat dalam tindak pidana, serta untuk memahami dan menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana percurian dalam perkara putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. Metode penelitian yang digunakan dipenelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan sifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun teori � teori hukum yang berkaitan terhadap perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Penulis melihat masalah hukum ini melalui pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Bahan hukum primer dan sekunder adalah sumber data yang digunakan dipenelitian ini. Hasil penelitian penulis yaitu faktor � faktor penyebabnya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak antara lain faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor lingkungan, dan majelis hakim dalam memberi sanksi pada Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. Masih kurang tepat karena anak mendapat sanski penjara, jika dilihat dari pasal pencurian 362 KUHP yang maksimalnya adalah 5 tahun. Sedangkan syarat pidana penjara pada anak adalah anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman 7 tahun atau lebih. Seharusnya penegak hukum dalam sistem peradilan pidana anak lebih mengutamakan diversi. Memastikan hak � hak anak agar dapat hidup, berkembang, tumbuh, dan berpartisipasi merupakan tujuan perlindungan anak dan juga menerima perlindungan terhadap kekerasan maupun diskriminasi.

 

Keywords

�Abstract

Legal Protection, Children, Crime of Theft

This study aims to determine the factors that cause children to be involved in criminal acts, as well as to understand and analyze how the judge's consideration in handing down a verdict against children as perpetrators of theft in case No. 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. The research method used in this research is normative research method with prescriptive and applied nature to find legal rules, legal principles, and legal theories related to legal protection of children as perpetrators of criminal acts. The author looks at this legal problem through a statutory approach and case studies. Primary and secondary legal materials are the data sources used in this research. The results of the author's research are the factors that cause theft crimes committed by children, including economic factors, educational factors, environmental factors, and the panel of judges in giving sanctions in Number 6/Pid.Sus-Child/2023/Pn Bpp. It is still inappropriate because the child gets a prison sentence, when viewed from the theft article 362 of the Criminal Code, the maximum is 5 years. Meanwhile, the requirements for imprisonment for children are children who commit criminal offenses with a threat of 7 years or more. Law enforcers in the juvenile criminal justice system should prioritize diversion. Ensuring the rights of children to live, develop, grow, and participate is the goal of child protection and also receiving protection against violence and discrimination.

*Correspondence Author: Mifftahur Rizky

Email: [email protected] ��

PENDAHULUAN

Pendidikan anak usia dini ialah salah satu wahana dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak secara optimal. Langkah awal untuk dapat menguatkan kembali karakter pada generasi� muda� ini� yakni� dengan� memberi� tonggak� pendidikan,� terutama� dalam� penguatan� dalam ideologi bangsa. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara memberi pemahaman lebih mengenai 4 Pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika (Handitya, 2019). Maka dari itu, salah satu masalah pembangunan yang paling krusial di negara ini adalah pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Hal tersebut ditegaskan didasarkan atas UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2) berbunyi : �Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi� (UU RI No 32, 2009).

Istilah �Juvenile Delinquency� sering digunakan untuk menggambarkan jenis perilaku ini, yang dicirikan sebagai kesalahan sosial. Perilaku yang sedikit melanggar peraturan dan ketentuan yang mengatur suatu masyarakat disebut dengan delinkuensi. Menerjemahkan istilah �juvenile delinquency�, kenakalan anak diartikan sebagai suatu kelainan perilaku, setiap tindakan anak yang bersifat antisosial, melanggar hukum, dan bertentangan dengan norma-norma sosial. Dalam konteks ini, anak yang belum menikah dan berusia antara dua belas hingga delapan belas tahun masih dianggap anak (Kartono, 2014). Anak-anak ialah aset terbesar suatu negara untuk masa depannya. Selain aspek positif dari aktivitas anak-anak, akhir-akhir ini kita juga menyaksikan kemerosotan moral, atau kenakalan anak, yang semakin cepat menyebar di kalangan anak-anak kita. Surat kabar sering melaporkan insiden yang melibatkan perkelahian pelajar, peredaran narkoba dan alkohol, serta pencurian oleh anak � anak (Sumara et al., 2017).

Pencurian kendaraan bermotor menjadi salah satu kejahatan yang kini semakin sering dilakukan oleh anak di bawah umur. Tidak hanya pelaku dewasa yang bertanggung jawab atas meningkatnya insiden pencurian mobil, namun pelaku dewasa juga sering mengambil keuntungan dari remaja dalam kejahatan mereka. Anak-anak melakukan pencurian kendaraan bermotor, seperti yang terjadi di Kota Balikpapan yang terletak di sebelah ibu kota nusantara. Salah satu alasannya ialah komunikasi, globalisasi informasi, dan kurangnya sumber daya manusia berdampak cepat pada interaksi sosial anak (Abrianti, 2020). Perbuatan yang bercirikan �mengambil� dalam hal ini dianggap mencuri, yakni suatu pelanggaran yang diakui secara hukum dan dilarang dan dapat dikenakan hukuman (Lamintang & Lamintang, 2022). Mengambil sesuatu milik orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, dengan tujuan disimpan untuk diri sendiri secara melawan hukum, merupakan salah satu unsur pencurian (Guna et al., 2018).

Pencurian ialah masalah dimana anak muda maupun orang dewasa biasanya melakukan kejahatan ilegal. Seorang anak dapat melakukan kejahatan karena berbagai alasan, seperti alasan internal, penyebab lingkungan, faktor keluarga, atau kemiskinan. Salah satu hal yang mendorong anak melakukan kejahatan mencuri ialah perekonomian. Pencurian ialah perilaku buruk yang dilakukan anak-anak ketika orang tua tidak mengawasi mereka. Hal ini� terjadi ketika orang tua terlalu sibuk bekerja untuk mengurus anak, sehingga anak memanfaatkan perhatian tersebut dengan mencuri. Anak-anak juga sering mencari cara untuk mendapat sesuatu dengan cepat dengan mencuri lalu menjualnya untuk mendapat uang (Shafira & Rizanizarli, 2021).

Data pada tahun 2012 sampai dengan 2023 Kasus pencurian yang dilakukan oleh anak berjumlah keseluruhan 5.445 didasarkan atas putusan Mahkamah Agung yang dimana pada tahun 2012 ada 3 putusan, tahun 2013 ada 0 putusan, tahun 2014 ada 4 putusan, tahun 2015 ada 43 putusan, tahun 2016 ada 94 putusan, tahun 2017 ada 163 putusan, tahun 2018 ada 800 putusan, tahun 2019 ada 758 putusan, tahun 2020 ada 776 putusan, tahun 2021 ada 786 putusan, tahun 2022 ada 989 putusan, dan tahun 2023 ada 1.029 putusan (Anand et al., 2024).

Sedangkan di Kota Balikpapan pada tahun 2018 ada 8 Kasus, tahun 2019 ada 9 Kasus, tahun 2020 ada 6 kasus, tahun 2021 ada 0 kasus, tahun 2022 ada 2 kasus, tahun 2023 ada 5 kasus, total keseluruhan 2018 hingga tahun 2023 tindak pidana pencurian yang di lakukan oleh anak ada 30 kasus yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Balikpapan. Bisa kita simpulkan dari data yang telah ada bahwasanya setiap tahunnya anak sebagai tindak pidana pencurian selalu meningkat (Anand et al., 2024).

Jelas bahwasanya resolusi dan strategi yang digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan anak di bawah umur yang mengalami masalah hukum harus berbeda dengan yang digunakan dalam proses penyelesaian orang dewasa. Seorang anak berhak mendapat perlindungan hukum sebagai pelanggar kasus pencurian. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur adanya sistem peradilan hukum khusus bagi anak yang berhadapan langsung dengan hukum karena mengingat kondisi psikologisnya yang masih sangat belum matang dan labil, sikapnya masih sangat tidak berpendapat (Tambalean, 2013). Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disahkan di Indonesia dan bertujukan guna mengontrol proses-proses dalam penegakan hak-hak anak.�

Anak-anak merupakan kelompok yang rentan dan otonom, dan kelompok anak-anak yang menghadapi hambatan dalam perkembangan spiritual, fisik, dan sosialnya merupakan salah satu alasan mengapa perlindungan hak-hak anak pada dasarnya memerlukan pengaturan langsung dalam undang-undang, kebijakan, dunia usaha, dan kegiatan yang menjamin kesejahteraan anak serta terwujudnya perlindungan hak-hak anak (Dala, 2009).

Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 juga menjelaskan,� �Perlindungan anak ialah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat kekerasan dan diskriminasi� (Nomor, 2002). Maka dari itu, penting untuk melindungi anak-anak agar mereka dapat berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang dapat mengabdi kepada bangsa dan negara dengan sebaik-baiknya, atau dengan kata lain, perlindungan anak dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia (Putri et al., 2023).

Kasus tindak pidana pencurian di Indonesia yang dilakukan oleh anak sudah banyak bermunculan dari berbagai daerah, salah satu Pengadilan Negeri Balikpapan. Salah satu kasus yang disorot dipenelitian ini yakni kasus Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan dengan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/PN Bpp, yang didalamnya diadili seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang melakukan tindak pidana pencurian sepedah motor Yamaha Vision berwarna biru milik salah satu korban yang sedang beristirahat dan tidur disebuah masjid. Setelah itu anak tanpa sepengetahuan dan seijin pemiliknya mengambil kunci kontak yang tergeletak di lantai, lalu anak mendong sepeda motor milik korban yang terpakir, dan anak mendorong sepeda motor tersebur sampai keluar gerbang masjid dan setelah dirasa aman, anak menyalakan sepeda motor dan membawa sepeda motor milik korban.

Hakim menimbang bahwasanya pelaku telah terbukti melanggar dakwaan pasal 362 KUHP Tentang pencurian. Maka pelaku dijatuhkan pidana terhadap anak dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 2 (dua) bulan pada Dinas Sosial Kota Balikpapan, berkaitan dengan hal tersebut, hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara anak selama 6 (enam) bulan dapat dikatakan bahwasanya kurang tepat karena jika dilihat dari usia sang anak yang di mana statusnya masih ialah anak dan perbuatan yang meringankan perkara tersebut, seharusnya sang anak bisa untuk mendapat opsi diversi ataupun sanksi selain pidana penjara seperti pidana bersyarat yang mana didalamnya ada pembinaan di padahal menurut M Taufik Makarao �kultur sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung penerapan restorative justice, termasuk diversi. menghukum pelaku anak dibawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.� (Zulyadi, 2020).

Restorative justice merupakan implementasi konsep diversi yang telah dirumuskan dalam sistem peradilan anak yakni dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Restorative justice atau Keadilan Restoratif ialah �penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan� (Zulyadi, 2020).

Diversi ini merupakan upaya untuk mengeluarkan sistem peradilan pidana dari proses resmi sehingga dapat ditangani melalui diskusi. Di Indonesia, penggunaan teknik-teknik keadilan restoratif masih lebih banyak didasarkan pada penghakiman. Intinya, budaya Indonesia terbiasa menggunakan diskusi untuk menyelesaikan konflik dan menyelesaikan masalah (Pasaribu & Napitu, 2022).

Didasarkan atas latar belakang informasi di atas, nampaknya diversi masih belum merupakan solusi yang tepat dalam kasus-kasus yang melibatkan pelaku di bawah umur. Mengingat masih banyaknya anak di bawah umur yang harus divonis pidana penjara fisik akibat praktik restorative justice yang tidak diterapkan secara maksimal di setiap tingkatan baik oleh kepolisian maupun pengadilan, maka dikhawatirkan kejadian seperti ini akan terus terjadi karena belum dilakukannya diversi secara optimal.

Kebaruan dari penelitian ini dapat dilihat dengan cara membandingkan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya yang juga membahas penelitian dengan tema yang hampir sama , yakni Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian (analisis putusan nomor 13/pid.sus.anak/2021/pn jkt.utr.). Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan di pengadilan negeri balige (studi putusan perkara nomor 1/pid.sus-anak/2018/pn blg). Perlindungan hukum terhadap anak dalam kasus pencurian (studi putusan nomor 8/pid.sus-anak/2020/pn mbn).

Berdasarkan rincian yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian saya berfokus pada putusan baru yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain dan saya menggunakan dari sudut pandang perlindungan hukum.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum normatif (normative law research) digunakan dalam studi kasus normatif untuk menciptakan produk perilaku hukum, seperti tinjauan hukum. Hukum yang digambarkan sebagai standar atau peraturan masyarakat yang menjadi aturan bagi perilaku setiap orang menjadi topik penelitian ini. Dengan demikian, hukum positif, doktrin dan asas hukum, sistematika hukum, tingkat sinkronisasi, perbandingan hukum, dan sejarah hukum menjadi topik utama penelitian hukum normatif (Muhammad, 2004). Penelitian ini memilih untuk meneliti dan menulis skripsi ini dengan menggunakan metodologi penelitian hukum normatif sebagai metode penelitian hukum, berdasarkan alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Metode pengumpulan data untuk kajian legal research ialah penelitian kepustakaan, yang mencakup pengumpulan, pemeriksaan, dan evaluasi ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan hukum anak (Harahap, 2023).

Memuat penjelasan rasional mengenai langkah-langkah pengumpulan dokumen hukum primer, sekunder, dan tersier serta inventarisasi dan klasifikasi bahan-bahan tersebut didasarkan atas permasalahan yang dibicarakan. Sistem yang umum ialah sistem kartu. Untuk memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku, sumber daya hukum yang berkaitan dengan topik yang dibicarakan diberikan, diorganisasikan, dan kemudian diperiksa (Marzuki, 2019).

Johnny Ibrahim mendefinisikan penelitian hukum normatif sebagai metode ilmiah untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan penalaran ilmiah dari sudut pandang normatif. Peraturan perundang-undangan bukanlah satu-satunya contoh sisi normatif dari hal ini. Penelitian hukum menurut Peter Mahmud merupakan penelitian normatif, namun lebih dari sekedar mempelajari hukum positivis. Norma tidak terbatas pada perundang-undangan positif, yang diartikan oleh John Austin sebagai peraturan yang dibuat oleh politisi yang menduduki jabatan lebih tinggi atau oleh penguasa, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen. Penelitian hukum menurut pandangan ini bertujukan guna menemukan kebenaran koherensi, yakni apakah peraturan hukum konsisten dengan norma hukum, apakah norma hukum yang membebankan kewajiban dan hukuman konsisten dengan asas hukum, dan apakah tindakan seseorang konsisten dengan hukum. norma hukum atau asas hukum

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Peradilan Anak di Indonesia.

Pencurian anak merupakan salah satu kejahatan yang telah dikriminalisasi karena variasi kondisi dan perkembangan sepanjang sejarah. Penitipan anak selalu ada seiring dengan kemajuan peradaban manusia sehari-hari. karena anak ialah masa depan negara dan negara, putra kehidupan. Maka dari itu, agar anak dapat berkembang secara fisik, kognitif, dan spiritual sesuai dengan kemampuannya, diperlukan perhatian dan pengasuhan yang khusus. Kegiatan perlindungan anak diperlukan untuk menangani remaja kriminal. Disinilah asas equality before the law diterapkan, semua manusia tidak pandang bulu akan sama kedudukannya di hadapan hukum, jadi semua orang harus melakukan kewajibannya terhadap hukum dan hak-haknya berhak untuk mendapat perlindungan dari hukum. Bahkan seorang terdakwa sekalipun berhak mendapat perlindungan hukum (Rahardjo, 2003).

Sebelum berbicara tentang perlindungan hukum terhadap anak, penulis menganlisis putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Reg. Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp, yang menyatakan:

Identitas Terdakwa

Nama�������������������������� : Achmad Affandi Bin Irwan

Tempat Lahir��������������� : Balikpapan

Umur/Tanggal Lahir����� : 17 Tahun / 22 April 2005

Jenis Kelamin�������������� : Laki - Laki

Kebangsaan����������������� : Indonesia

Tempat Tinggal������������ : Jalan Soekarno Hatta Km. 12 Rt. 21����
� Kelurahan� Karang Joang �������
� Kecamatan Balikpapan Utara Kota Balikpapan

Agama������������������������� : Islam

Pekerjaan��������������������������������� : Tidak Bekerja

Pendidikan������������������������������� : SMP (Tidak Tamat)

Kronologi Kasus

1.      Pada hari Sabtu tanggal 01 April 2023 sekira pukul 01.20 wita, Anak Achmad Affandi Bin Irwan dengan berjalan kaki berangkat dari rumah Anak menuju ke Km. 13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara Kota Balikpapan, kemudian dikarenakan kondisi hujan deras, Anak berteduh di sebuah Masjid yang terletak di Km. 13 dan di saat yang bersamaan saksi Budiono Bin Samsuri dan saksi Nursalim Bin Soher berteduh di Masjid tersebut dan memarkirkan sepeda motor Yamaha Vixion warna biru Nopol KT 4755 ZO milik saksi Budiono di halaman Masjid. Selanjutnya sekira pukul 02.30 wita, Anak melihat saksi Budiono dan saksi Nursalim sedang tidur didalam Masjid sehingga timbul niat Anak untuk mengambil sepeda motor milik saksi Budiono, kemudian sekira pukul 03.00 wita, Anak mengamati keadaan sekitar dan setelah aman, Anak tanpa sepengetahuan dan seijin pemiliknya mengambil kunci kontak sepeda motor yang diletakkan saksi Budiono di lantai dekat dengan helm milik saksi Budiono dan mengambil 1 (satu) unit handphone merk Oppo dari dalam tas milik saksi Nursalim. Setelah itu Anak keluar dari dalam Masjid dan menuju ke halaman tempat dimana sepeda motor milik saksi Budiono terparkir, lalu Anak mendorong sepeda motor tersebut keluar dari gerbang Masjid dan setelah dirasa aman, Anak menyalakan mesin sepeda motor dan membawa sepeda motor milik saksi Budiono pergi.

2.      Bahwasanya akibat dari perbuatan Anak, Budiono Bin Samsuri mengalami kerugian sebesar � Rp. 11.500.000 (sebelas juta lima ratus ribu rupiah) dan saksi Nursalim Bin Soher mengalami kerugian sebesar � Rp. 2.200.000 (dua juta dua ratus ribu rupiah).

Dakwaan Penuntut Umum

Bahwasanya perbuatan anak berhadapan dengan hukum sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

1)     �Menyatakan Anak Achamd Affandi Bin Irwan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Pencurian� melanggar Pasal 362 KUHP sebagaimana Dakwaan penuntut umum;

2)     Menjatuhkan pidana terhadap Anak Achmad Affandi Bin Irwan dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani dengan menempatkan Anak di lembaga pembinaan Khusus Anak (LPKA);

3)     Menyatakan agar anak tetap di tahan;

4)     Menetapkan agar Anak membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah)�;

Menurut Soetjipto Rahardjo, perlindungan hukum ialah suatu upaya untuk menjaga kepentingan seseorang dengan memberi kewenangan untuk bertindak demi kepentingan tersebut. Selain itu disebutkan bahwasanya melindungi (membimbing) masyarakat merupakan salah satu sifat hukum dan juga mempunyai tujuan tersebut. Maka dari itu, kepastian hukum sangat diperlukan untuk mencapai perlindungan hukum bagi masyarakat.

Perlindungan hukum adalah penerapan undang-undang yang tepat untuk melindungi subjek hukum dan ditegakkan dengan sanksi. Ada dua klasifikasi perlindungan hukum :

a.      Perlindungan Hukum Preventif

Pemerintah menawarkan perlindungan dengan tujuan menghentikan pelanggaran sebelum terjadi. Peraturan perundang-undangan memuat hal ini untuk mencegah pelanggaran dan memberi pedoman atau batasan dalam memenuhi suatu tanggung jawab.

b.      Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan akhir berupa denda, hukuman penjara, dan hukuman lain yang dijatuhkan setelah terjadi perselisihan atau pelanggaran disebut dengan perlindungan hukum yang represif.

Perlindungan hukum represif yang dimana Bentuk �perlindungan hukum yang lebih ditujukan pada penyelesaian sengketa�. Perlindungan hukum ini mencakup perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia. Karena prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan komponen dari penegakan hukum, maka perlindungan hukum yang bersifat represif identik dengan penegakan hukum (Muchsin, 2003).

Didasarkan atas hal tersebut, terdapat undang-undang berbeda yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memuat �prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak, termasuk non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak juga memuat asas perlindungan anak yang melakukan tindak pidana, intinya mengutamakan asas restorative justice dengan menerapkan diversi dalam rangka perlindungan anak� (Sunarso et al., 2022).

Penyelesaian perkara anak dialihkan dari sistem peradilan pidana ke mekanisme eksternal yang disebut diversi. Kegiatan pengalih perhatian antara lain berdamai dengan atau tanpa kehilangan, mengembalikan kendali kepada orang tua atau wali, mengikuti pelatihan atau pendidikan, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dalam kondisi tertentu, diversi dapat dilakukan terhadap anak di bawah umur yang pernah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman kurang dari tujuh tahun penjara sepanjang pelanggaran tersebut tidak diulangi. Jika seorang anak muda melakukan kejahatan lagi, diputuskan bahwasanya pelanggarannya serupa atau berbeda. Diversi tidak dapat dilakukan kembali apabila anak melakukan tindak pidana yang sama dan telah dialihkan karena pelanggaran sebelumnya (Efendi, 2018).

Pada pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membahas tujuan diversi. Pasal ini menjelaskan tujuan dari diversi antara lain :

a.      �Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b.      Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c.      Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d.      Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e.      Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak�.

Konsep diversi juga didasarkan pada pengamatan bahwasanya pelaku remaja yang melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menderita dampak negatif dibandingkan dampak positif. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa lebih baik bagi anak tersebut untuk menghindari peradilan pidana karena pengadilan akan memengaruhi anak tersebut karena tindakan yang dilakukannya (Putra, 2020).

Selain itu, memberi opsi bagi pelaku untuk mengambil jalan non-kriminal seperti kompensasi, pekerjaan sosial, atau pengawasan orang tua, diversi ialah upaya untuk membujuk orang agar mengikuti dan menghormati hukum negara. Eksekusinya mengutamakan rasa keadilan di atas segalanya. Dengan mengurangi penggunaan paksaan dalam proses pidana, diversi dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan penegakan hukum yang baik. Diversi dilaksanakan dengan tujuan memberi kesempatan kedua kepada pelanggar hukum untuk melakukan penebusan melalui jalur informal yang menggunakan sumber daya lokal. Untuk memberi keadilan dan menjangkau aparat penegak hukum ketika seorang anak sudah terlanjur melakukan tindak pidana, diversi dilakukan.

Ketika anak di bawah umur melanggar hukum, mereka tunduk pada otoritas negara, yang dapat menerapkan tindakan koersif yang membatasi atau bahkan menolak beberapa hak mereka dalam upaya menjaga ketertiban umum. Perkembangan anak dipicu oleh keterbatasan dan pengingkaran terhadap hak-hak mereka; misalnya, mereka tidak bisa bermain dengan teman-temannya saat mereka tumbuh dewasa, tidak bisa menghabiskan waktu bersama orang tua, dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan fisik dan mental yang mereka perlukan. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk kepedulian dan perhatian khusus yang dimaksudkan agar anak tidak menjadi korban penafsiran hukum yang tidak tepat, yang dapat mengakibatkan kerugian sosial, emosional, dan fisik.

Inisiatif perlindungan hukum terhadap anak dapat berupa perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan anak, serta hak asasi manusianya. Melindungi berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kesejahteraan anak merupakan tujuan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap hak asasi anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan perubahan selanjutnya atas Undang-Undang Perlindungan Anak seiring dengan perkembangan yang terjadi (Mukantardjo, 2010).

Anak-anak yang mengalami masalah hukum, korban kejahatan, atau saksi kegiatan kriminal semuanya dianggap sebagai anak di bawah umur dalam sistem peradilan pidana anak. Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang menderita kerugian baik fisik, mental, maupun finansial akibat tindak pidana dianggap sebagai korban hukum; anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana tergolong anak yang berhadapan dengan hukum; dan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun yang bisa memberi keterangan untuk kepentingan proses hukum, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan mengenai suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, atau dialami. Anak-anak perlu dilindungi dari segala bentuk perlakuan kejam yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia karena merekalah generasi penerus bangsa, tunas dan penerus keyakinan bangsa dalam perjuangannya.

Maka dari itu, jika seorang anak di bawah umur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyuluh atau penyidik ​​masyarakatlah yang memutuskan apakah akan memberi anak tersebut kepada orang tua atau walinya, mendaftarkannya pada program pendidikan, atau memberi pembinaan pada instansi pemerintah atau organisasi kesejahteraan sosial yang menangani masalah kesejahteraan. Anak tidak memerlukan orang tua atau wali untuk menemani pada setiap tahap ujian jika sudah dewasa (berusia 18 tahun ke atas); namun, memerlukannya dalam situasi di mana anak di bawah umur terlibat dalam masalah hukum.

Tentu saja penanganan perkara pidana yang melibatkan anak di bawah umur berbeda dengan penanganan perkara yang melibatkan orang dewasa; selain itu, penanganan anak diatur dengan peraturan perundang-undangan yang unik. Wajar saja jika sebagian kelompok masyarakat masih belum mampu memahami proses penanganan kasus anak, sehingga dapat menimbulkan beragam penilaian. Lebih berbahaya lagi jika terjadi kesalahan dalam penanganan anak, terutama yang terlibat perselisihan hukum, mendapat perlakuan khusus dan ada yang berpendapat bahwasanya meski tidak terlalu jauh, anak tidak bisa dihukum; sebaliknya, prosedur penanganannya diatur secara khusus (Nuraeny & Solihah, 2020).

Pengadilan pada umumnya tidak sama dengan peradilan anak. Dalam memeriksa perkara yang melibatkan anak, anak korban, dan/atau saksi anak, penyidik, penuntut umum, penyuluhan masyarakat, advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lainnya tidak mengenakan togas atau atribut resmi lainnya. Pengadilan anak hanya terdiri dari satu hakim, disebut juga hakim tunggal. Kecuali putusan dibacakan, proses peradilan anak harus dilakukan secara tertutup. Baru setelah itu dapat dilakukan di depan umum. Ketika seorang anak terlibat dalam proses hukum, maka orang tuanya wajib mendampinginya. Tata cara persidangan peradilan anak:

a)      Penyidikan

Setelah suatu tindak pidana dilaporkan atau diadukan, penyidik ​​yang menyelidiki perkara anak wajib berkonsultasi dengan Penyuluh Masyarakat untuk meminta nasihat atau pertimbangan. Pada dasarnya, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak penyidikan dimulai, penyidik ​​wajib melakukan diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari sistem peradilan pidana ke mekanisme di luar peradilan pidana. Apabila Diversi berhasil mencapai kesepakatan, maka penyidik ​​memberi persetujuan Diversi dan berita acara Diversi untuk dipertimbangkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Namun apabila diversi tidak berhasil, maka penyidik ​​harus melanjutkan penyidikan dan menyerahkan perkara tersebut kepada penuntut umum dengan disertai laporan penelitian masyarakat dan berita acara diversi.

b)     Penangkapan dan Penahanan

Anak ditahan maksimal 24 jam untuk melakukan penyidikan. Waktu kerja digunakan untuk menghitung jangka waktu 24 jam penyidik. untuk melindungi hak asasi manusia dan kepentingan dalam hal ini. Anak-anak yang ditangkap harus ditempatkan di area layanan anak yang ditunjuk. Dalam hal penuntutan, penuntut umum dapat menahan tersangka paling lama 5 (lima) hari. Jika waktu yang ditentukan telah habis, anak tersebut harus dikeluarkan secara sah. Hakim dapat menjatuhkan hukuman penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari apabila diperlukan untuk melakukan pemeriksaan dalam suatu persidangan. Ketua pengadilan negeri atas permohonan hakim dapat memperpanjang jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. Anak tersebut harus dikeluarkan secara sah jika jangka waktunya telah lewat dan hakim belum mengambil keputusan. Orang yang melakukan penangkapan atau penahanan mempunyai kewajiban untuk memberitahukan anak di bawah umur dan orang tua/walinya mengenai hak mereka untuk mendapat perwakilan hukum. Pejabat tidak berhak menangkap atau menahan anak di bawah umur jika mereka tidak mengikuti pedoman ini.

c)      Penuntutan

Penuntut umum menyerahkan berkas perkara ke pengadilan dengan mengajukan surat dakwaan yang disebut dengan penuntutan. Dalam proses pidana anak, penuntutan mengacu pada keputusan jaksa penuntut umum anak untuk memindahkan kasus anak ke pengadilan anak, di mana hakim anak akan mengadili kasus tersebut dan mengambil keputusan. Setelah memperoleh berkas perkara dari penyidik, penuntut umum mempunyai waktu 7 (tujuh) hari untuk meminta diversi. Pengalihan paling lama dapat diselesaikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum memberi kesepakatan dan berita acara diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk diambil keputusan. Dalam hal diversi tidak berhasil, maka Jaksa Penuntut Umum wajib memberi berita acara diversi beserta laporan hasil penelitian sosiologi pada saat menyerahkan perkara ke pengadilan.

d)     Pemeriksaan di Pengadilan

Anak-anak diadili di ruang sidang khusus anak-anak selama proses persidangan. Selain itu, terdapat ruang tunggu terpisah untuk uji coba anak dan area dewasa. Tanggal sidang anak-anak lebih penting daripada tanggal sidang orang dewasa. Hakim dalam persidangan anak harus meminta diversi paling lambat tujuh (tujuh) hari sejak ia ditunjuk sebagai hakim oleh ketua pengadilan negeri. Apabila diversi tidak berhasil, perkara tersebut akan dibawa ke pengadilan. Dalam sidang yang tertutup untuk umum selain pembacaan putusan, hakim mempertimbangkan perkara anak. Persidangan di pengadilan anak harus diperiksa di ruang sidang anak yang telah ditentukan, secara tertutup. Namun hakim dapat memutuskan dalam keadaan tertentu yang dianggap penting agar pemeriksaan perkara dilaksanakan secara transparan tanpa merugikan hak-hak anak.

Selain rasa trauma dan stigma, sistem peradilan pidana formal juga dapat mengakibatkan anak-anak dikeluarkan dari sekolah. Trauma dapat diakibatkan oleh berbagai jenis kekerasan yang dialami anak-anak. Anak yang melakukan kenakalan juga mempunyai stigma atau tanda kejahatan yang menyebabkan mereka selalu khawatir akan melakukan kejahatan lagi. Dampak atau dampak buruk ini pada hakikatnya harus dialami oleh anak-anak ketika terlibat dalam sistem peradilan pidana karena merekalah yang dimintai pertanggungjawaban atas perilaku nakalnya. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwasanya unsur yang paling mendasar ialah pengaturan yang ketat mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar anak terhindar dari masalah hukum dan mencegah pengaruh atau dampak negatif terhadap dirinya. Idealnya, anak-anak dapat berintegrasi kembali secara alami ke dalam lingkungan sosialnya (Sabihi & Kaluku, 2023).

Faktor lingkungan dan ekonomi mempunyai dampak yang signifikan terhadap kemungkinan remaja melakukan kejahatan pencurian. Seluruh komponen sistem peradilan pidana yang menangani perkara kenakalan remaja secara bersama-sama disebut dengan sistem peradilan pidana anak. Anak yang mencuri dalam kasus ini masih berada di balik jeruji besi, namun hukuman yang diterimanya terkait erat dengan Undang-undang Perlindungan anak. Sementara itu, pelibatan anak dalam sistem peradilan pidana mempunyai banyak dampak buruk bagi mereka, terutama bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Dampak buruknya antara lain kejahatan dengan kekerasan tindakan agresi yang bersifat seksual, psikologis, atau fisik. Anak akan terkena dampak negatif dari faktor kejiwaan atau psikologis sebagai akibat dari sistem peradilan pidana. Bagi anak-anak, agresi psikologis ini dapat menimbulkan trauma. Sistem peradilan pidana juga berdampak negatif terhadap ingatan anak. Anak muda ini akan memiliki kenangan abadi melalui berbagai proses hukum yang berat. Bahkan setelah anak muda tersebut diberi penalti, konsekuensi buruknya masih tetap ada, seperti stigma yang terus berlanjut (Rohmah, 2023).

Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana

Banyak faktor memengaruhi bagaimana seseorang berada di dalam masyarakat. Status sosial seseorang ditentukan oleh pelapisan masyarakat di mana sesuatu dihargai. Berbagai faktor memengaruhi posisi sosial seseorang di kota besar seperti Balikpapan. Menurut Kartini Kartono, Perbuatan kriminal yang dilakukan oleh anak terjadi karena berbagai faktor. Faktor-faktor ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak, yang mendorongnya untuk melakukan tindak pidana yang meliputi beberapa hal yaitu:

a.      Untuk memenuhi kebutuhan yang anak inginkan.

b.      Meningkatnya dorongan seksual atau agresifitas.

c.      Anak menjadi manja dan mentalnya lemah karena orang tuanya tidak mengasuh dan mendidiknya dengan benar.

d.      Rasa ingin tahu untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang senasib dan seumur hidup menjadi dorongan untuk meniru-niru.

e.      Kecenderungan pembawaan yang patologis

f.       konflik dengan diri sendiri dan menggunakan mekanisme pelarian diri yang irasional (Jatmiko, 2021).

Faktor Eksternal

Menurut Kartini Kartono Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak, yang terdiri dari beberapa hal, antara lain:

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong anak-anak untuk melakukan tindak pidana, seperti pencurian, karena kondisi ekonomi anak-anak biasanya buruk (Ihsan & Jonyanis, 2016). Karena situasi keuangan sebuah keluarga yang susah dan dia memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu, maka untuk memenuhi keinginannya tersebut dia melakukan tindak pidana pencurian. Selain itu, krisis ekonomi yang melanda bangsa ini secara sosial telah melahirkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang hidup dalam garis kemiskinan. Kemiskinan struktural yang demikian, pada tingkat tertentu mengubah perilaku seorang anak untuk berbuat sesuatu guna tetap bertahan dalam kchidupannya, dengan cara mencuri (Arifin, 2020). Dari sudut pandang psikologis dijelaskan bahwa keadaan sosial tentu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak. Ketika sebuah keluarga memiliki perekonomian yang sehat, anak-anak memiliki akses terhadap materi yang lebih luas dan peluang untuk memperoleh keterampilan baru (Anggraini et al., 2023).

Faktor Pendidikan

Salah satu penyebab anak melakukan kejahatan ialah tingkat pendidikannya. Setiap orang tentunya sangat penting untuk berhak mendapat sebuah pendidikan (Simbolon, 2018). Hal ini menunjukkan betapa rendahnya tingkat pendidikan formal suatu masyarakat dapat memengaruhi masyarakatnya, membuat mereka merasa dan bertindak rendah diri serta kurang memiliki daya cipta, sehingga mereka tidak memiliki kendali diri dan memudahkan mereka melakukan kejahatan, terutama ketika mereka masih di bawah umur. Menurut Redja Mudiaharjo Anak-anak yang tidak bersekolah lebih besar kemungkinannya untuk melakukan perilaku buruk karena jika orang tua gagal tidak peduli dengan tahap perkembangan anaknya, sekolah akan mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap anak tersebut dan memberi hukuman kepada anak. Untuk itu, orang tua memiliki peran penting serta berkewajiban menyediakan pendidikan yang layak untuk anak.

Faktor Lingkungan

Lingkungan tempat tinggal seseorang mempunyai pengaruh besar terhadap baik atau buruknya perilakunya. keadaan psikologis anak yang masih sangat sensitif dan mudah terpancing. Lingkungan yang dibicarakan ialah lingkungan komunal dan lingkungan keluarga. Salah satu alasan mengapa anak-anak melakukan kejahatan ialah karena persahabatan dan tetangga mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan temperamen, karakter, dan kepribadian seseorang saat memilih teman. Lingkungan sosial seseorang mempunyai pengaruh yang besar terhadap baik atau tidaknya seseorang berperilaku. Jika mereka bergaul dengan orang-orang yang positif, niscaya mereka akan berperilaku baik, dan jika mereka bergaul dengan orang-orang yang cenderung berperilaku buruk, kemungkinan besar mereka akan terkena dampaknya.

Didasarkan atas faktor-faktor tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya anak-anak yang mencuri dan menimbulkan keresahan masyarakat masih berbuat dalam batas kemampuannya dalam mengendalikan tingkah laku dan emosinya terhadap tingkah laku korban yang menyebabkan ia melakukan tindak pidana tersebut. Upaya preventif harus dilakukan agar kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dapat dikurangi. Upaya preventif adalah upaya untuk menghindari atau mencegah kejahatan terjadi, dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sehingga dapat diberdayakan secara bersama-sama dalam rangka pengawasan terhadap kelompok atau orang yang berpotensi melakukan kejahatan (Bachtiar, 2017).

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Perkara Putusan NOMOR 6/PID.SUS-ANAK/2023/PN BPP.

Ketika seorang hakim mengambil suatu keputusan di pengadilan, maka perlu dijelaskan alasannya, karena alasan-alasan itulah yang pada akhirnya akan membawa keadilan bagi putusan tersebut. Hakim mempertimbangkan berbagai keadaan ketika memutuskan apakah akan menuntut suatu pelanggaran yang berkelanjutan. Hakim mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa hukum. Karena keputusan yang diambilnya mempunyai kekuasaan untuk menentukan nasib seseorang, maka hakim mempunyai tanggung jawab yang besar. Hakim juga dapat memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak, dan seberapa serius atau tidak pelanggaran yang dilakukan pelaku. Hakim juga mampu mengambil keputusan ketika meninjau suatu perkara yang tindak pidananya sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia (Djamil, 2017).

Hakim harus menangani permasalahan pidana secara adil dan berhak secara hukum untuk menerima, mempertimbangkan, dan memberi keputusan dalam kasus tersebut. Hakim mengambil keputusan didasarkan atas berbagai macam faktor yang mungkin berasal dari dalam dan luar dirinya, seperti agama, budaya, pendidikan, moral, konvensi, dan lain sebagainya. Akibatnya, sudut pandang yang berbeda bisa saja berdampak pada faktor-faktor yang dipertimbangkan. Namun penting untuk diingat bahwasanya kepastian, keuntungan, dan keadilan ialah tiga kualitas terbaik dalam sebuah keputusan (Effendy, 2018).

Menurut Sudikno Mertokusumo, ada tiga faktor yang harus selalu diperhatikan dalam menegakkan hukum: asas yuridis (kepastian hukum), asas sosiologis (kemanfaatan), dan asas filosofis (keadilan). Hal ini akan menjamin keadilan bagi penggugat di persidangan. Berikut tafsir ucapan Sudikno Mertokusumo:

a.      Yuridis (kepastian hukum)

Kepastian hukum menyoroti bagaimana susunan kata dalam peraturan atau regulasi memastikan bahwasanya peraturan tersebut diterapkan sebagaimana dimaksud. Semua orang berharap jika terjadi keadaan tertentu, peraturan perundang-undangan dapat dikembangkan. Begitulah cara hukum harus berjalan, yang pada dasarnya berarti bahwasanya meskipun segala sesuatunya berantakan, hukum harus dipatuhi dan tidak dapat dilanggar. Inilah kepastian hukum yang diinginkan. Kepastian hukum ialah pertahanan yang sah terhadap perilaku yang berubah-ubah, atau jaminan bahwasanya, dalam kondisi tertentu, seseorang akan mampu mencapai tujuannya (Serlika Aprita, 2021).

Masyarakat menantikan kejelasan hukum karena diyakini akan membuat masyarakat lebih tertib. Sebagai sarana tercapainya ketertiban umum, hukum bertugas untuk mewujudkan kepastian hukum. Dalam pandangannya yang sangat mendasar, kepastian hukum dapat diartikan sebagai salah satu dari empat hal. Hal ini menurut Radbruch. Hukum itu positif untuk memulai. Kedua, hukum didasarkan pada fakta-fakta atau undang-undang yang dapat dipastikan secara pasti yakni melalui informasi. Ketiga, realitas (fakta) perlu disajikan secara lugas agar tidak terjadi kesalahpahaman dan mudah diterapkan. Keempat, hukum positif harus sulit diubah.

b.      Nilai sosiologis (kemanfaatan)

Masyarakat mengantisipasi manfaat dari penerapan atau penegakan hukum. Karena manusialah yang membuat undang-undang, maka penerapan dan penegakannya harus memberi manfaat atau manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Jangan sampai terjadi ketidakpuasan sosial hanya karena hukum diterapkan atau ditegakkan. Upaya diversi dapat mengurangi akuntabilitas orang dewasa atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Melalui pengalihan perkara di luar sistem hukum, dilakukan upaya diversi dengan memberi pembelajaran berupa hukuman dibandingkan hukuman pidana kepada anak di bawah umur yang berusia antara 12 dan 15 tahun yang diduga memiliki kemampuan kognitif yang kurang memadai. Demikian pula, taktik pengalih perhatian juga dapat menguntungkan generasi muda berusia antara 15 dan 18 tahun. Anak-anak berusia antara 12 dan 18 tahun mempunyai hak atas pendidikan untuk berkembang menjadi anggota keluarga, komunitas, dan agama yang berharga.

c.      Filosofis (keadilan)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya Pancasila, akar seluruh sumber hukum Indonesia, yang menjunjung tinggi lima prinsip moral, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, merupakan landasan filosofis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Ketika anak berhadapan dengan hukum, Indonesia dengan adat dan budayanya yang beragam tahu bagaimana menyelesaikan konflik di luar pengadilan. Sementara itu, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi jumlah anak yang berhadapan dengan hukum guna memberi perlindungan hukum bagi anak-anak tersebut.

Sistem peradilan pidana bagi anak di bawah umur dilaksanakan secara rahasia oleh hakim khusus yang disebut hakim anak, yang mengadili kasus-kasus yang melibatkan anak-anak. Tujuannya ialah untuk menyembunyikan atau menyembunyikan identitas anak. Seorang anak dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama � (satu per dua) dari masa pidana penjara paling lama yang dapat dipidana oleh orang dewasa. Saat mengambil keputusan yang melindungi anak, hakim sering kali mengacu pada sejumlah aturan hukum, seperti:

1.      Asas Kepentingan Terbaik Anak: Ini ialah prinsip yang mendasari hukum keluarga dan perlindungan anak di mana kepentingan terbaik anak menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan.

2.      Asas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak: Hakim memastikan bahwasanya anak dilindungi dari segala bentuk penganiayaan, penelantaran, atau penyalahgunaan, serta memastikan kesejahteraan mereka terjamin.

3.      Asas Non-Diskriminasi: Hakim memastikan bahwasanya anak-anak tidak didiskriminasi didasarkan atas jenis kelamin, agama, ras, etnis, atau kondisi lainnya, dan setiap keputusan haruslah adil dan merata.

4.      Asas Partisipasi Anak: Hakim dapat memperhatikan pendapat anak dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka, tergantung pada usia dan kematangan mereka.

5.      Asas Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Anak: Hakim memastikan bahwasanya hak-hak asasi anak, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan keamanan, diakui dan dihormati.

Melalui penerapan asas-asas ini, hakim dapat membuat putusan yang berpihak pada Melalui penerapan asas-asas ini, hakim dapat membuat putusan yang berpihak pada kepentingan dan perlindungan anak dalam sistem peradilan.

Saat meninjau suatu kasus, hakim memerlukan bukti, dan temuan mereka diperhitungkan saat mengambil keputusan. Tahap pemeriksaan di persidangan yang dikenal dengan pembuktian merupakan tahap yang paling krusial. Untuk menjamin putusan hakim yang akurat dan tidak memihak, pembuktian berupaya untuk membuktikan dengan kepastian yang mutlak bahwasanya suatu peristiwa atau fakta yang dikemukakan benar-benar terjadi. Untuk memberi kesan adanya hubungan hukum antara para pihak, maka hakim tidak dapat mengambil keputusan sebelum jelas baginya bahwasanya fakta atau peristiwa itu benar-benar terjadi dan telah ditetapkan kebenarannya. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain:

Pertimbangan yuridis

Keputusan hakim didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang dikemukakan selama persidangan dan undang-undang yang telah menentukan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan. Ini dikenal sebagai pertimbangan hakim. Surat dakwaan jaksa, keterangan terdakwa dan saksi, alat bukti, dan pasal merupakan beberapa contoh faktor hukum.

Pertimbangan Non-Yuridis

Keputusan hakim yang didasarkan pada keadaan yang tidak tercakup dalam undang-undang tetapi merupakan bawaan dari orang yang melakukan kejahatan atau berkaitan dengan masalah sosial dan struktur masyarakat disebut pertimbangan non-yuridis. Sedangkan permasalahan non-yuridis mencakup hal-hal yang melibatkan terdakwa, seperti keadaan pribadinya dan konteks tindakannya.

Anak Achmad Affandi Bin Iran menjadi subjek perkara pidana di Pengadilan Negeri Balikpapan Reg. Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp. Rincian perkaranya, pada Sabtu, 1 April 2023, sekitar pukul 03.00 WITA atau di kemudian hari pada April 2023, di masjid yang terletak di Jalan Soekarno Hatta Km. 13 Desa Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, atau di tempat lain yang masih berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Balikpapan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. peraturan perundang-undangan (Hariyanto & Swardhana, 2021).

Studi kasus terhadap anak di bawah umur yang melakukan pencurian, yang merupakan tindak pidana pokok yang tercakup dalam Pasal 362 KUHP, diselesaikan didasarkan atas studi kasus tersebut di atas. Kriteria yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus menjadi pertimbangan pengadilan dalam menilai perkara ini karena menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara ringan. Pengadilan harus membangun dan menilai apakah perbuatan anak tersebut sesuai dengan komponen delik utama mencuri didasarkan atas Pasal 362 KUHP untuk mengetahui apakah anak tersebut bersalah atau tidak. Maka dari itu, Hakim akan menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan Pasal 362 KUHP yang mencakup aspek-aspek berikut, dengan tetap mempertimbangkan realitas hukum tersebut di atas:

�Unsur Barangsiapa

Bahwasanya, yang dimaksud barangsiapa ialah subyek hukum yang sehat jasmani dan rohani, akal pikirannya, sadar atau mengetahui (wittens) atas perbuatannya dan mampu mengisyafi akibat dari setiap perbuatannya itu (willens);

Bahwasanya, Penuntut Umum telah mengajukan di persidangan seorang Anak laki-laki yang mengaku Bernama Achmad Affandi Bin Irwan, mengaku lahir di Balikpapan pada tanggal 22 April 2005 sehingga pada saat kejadian perkara tanggal 1 April 2023 Anak masih berusia 17 (tujuh belas) tahun atau masih anak;

Bahwasanya didasarkan atas keterangan saksi-saksi dan keterangan orang yang bersangkutan bahwasanya benar dirinyalah yang dimaksud dalam identitas Anak / Terdakwa dalam surat dakwaan, dengan demikian tidak terjadi kesalahan subyek hukum yang dimaksud dalam dakwaan ;

Bahwasanya, selama persidangan Hakim melihat Anak dalam keadaan sehat jasmani, rohani dan akal pikirannya tidak dalam keadaan terganggu, sadar dan mampu mengikuti jalannya persidangan, memberi tanggapan atas keterangan saksi-saksi, didampingi pula oleh orangtua dan Penasehat Hukumnya maka dengan demikian unsur �Barangsiapa� telah terpenuhi.

Unsur mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum

Menimbang, bahwasanya yang dimaksud dengan anak ialah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang didalam kandungan (Ketentuan Umum UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak);

�Menimbang, bahwasanya didasarkan atas fakta-fakta hukum dipersidangan, bahwasanya pada hari Sabtu tanggal 1 April 2023 pukul 03.00 Wita di Masjid yang bertempat di Jalan Soekarno Hatta Km.13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara Kota Balikpapan, Budiono kehilangan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Vixion warna biru Nopol KT 4755 ZO No. Rangka MH31PA003EK417039, No Mesin 1PA417155 milik Budiono dan 1 (satu) unit handphone merk Oppo A17 warna hitam Imei1 : 868852065810579 Imei 2 : 868852065810561 milik Nursalim ;

�Menimbang, bahwasanya awalnya Budiono dan Nursalim beristirahat di Masjid di Jalan Soekarno Hatta Km.13 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara Kota Balikpapan dan Budiono memarkirkan sepeda motor Yamaha Vixion Nopol KT 4755 ZO di halaman parkir Masjid ;

Menimbang, bahwasanya tidak selang lama datang Anak dengan mengendarai sepeda motor ikut berteduh di Masjid kemudian Budino dan Nursalim mengobrol dengan Anak ;

Menimbang, bahwasanya pukul 02.30 Wita Budiono dan Nursalim tertidur diteras Masjid dan pukul 03.30 Wita Budiono dan Nursalim terbangun dan sepeda motor Yamaha Vixion Nopol KT 4755 Zo milik saksi sudah tidak ada dan 1 (satu) unit handphone milik Nursalim yang berada didalam tas Nursalim juga tidak ada ;

Menimbang, bahwasanya sebelum kejadian sepeda motor milik Budiono dalam keadaan terkunci stang dan kunci kontak berada didalam tas yang dibawa oleh Budiono dan Budiono mengalami kerugian sebesar Rp 11.500.000,00 (sebelas juta lima ratus ribu rupiah) dan Nursalim mengalami kerugian sebesar Rp 2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah) ;

Menimbang, bahwasanya dengan demikian maka unsur �mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum� telah terpenuhi�;

Keberadaan setiap komponen yang disebutkan di atas membuat suatu tindakan atau kejadian dikualifikasikan sebagai pencurian.

Putusan pengadilan harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Pertimbangan ini digunakan oleh hakim untuk membuat keputusannya, baik itu mengenai pemidanaan atau hal-hal lain. Keadaan yang Meringankan merupakan kondisi Dimana barang bukti serta fakta yang terungkap di peradilan menjadi bahan yang berguna sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhi putusan, antara lain :

3.      Anak belum pernah dihukum ;

4.      Anak mengakui terus terang perbuatannya ;

5.      Anak menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

Mengingat pencurian merupakan tindak pidana, maka pengaturan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan pelanggaran hukum khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus diutamakan. Nantinya, undang-undang ini akan menjadi pedoman bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam mengusut dan memutus perkara yang melibatkan anak di bawah umur yang bermasalah hukum. Anak-anak yang melanggar hukum dapat menghadapi hukuman pidana utama dan tambahan; keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada ketentuan m 71 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yakni:

�Pidana Pokok :

1)     Pidana peringatan;

2)     Pidana dengan syarat:

3)     Pеmbinaan di luar lеmbaga

4)     Pеlayanan masyarakat

5)     Pеngawasan

6)     Pelatihan kerja;

7)     Pembinaan dalam lembaga;

8)     Penjara.

Pidana Tambahan :

a.      Pеrampasan kеuntungan yang dipеrolеh dari tindak pidana;

b.      Pеmеnuhan kеwajiban adat�

Anak-anak juga dapat dikenakan tindakan, selain pidana pokok atau pidana tambahan, sebagai hukuman pidana untuk anak di bawah umur. Anak-anak dapat dikenakan tindakan sebagaimana berikut ini :

1.      �pengembalian kepada orang tua/wali;

2.      penyerahan kepada seseorang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab oleh hakim serta dipercaya oleh anak;

3.      perawatan di rumah sakit jiwa jika anak pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa;

4.      perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (�LPKS�);

5.      kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

6.      pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

7.      perbaikan akibat tindak pidana, misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana.�(Chrysan et al., 2020).

Pendapat penulis dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp.

Menurut penulis, keputusan hakim untuk melindungi terdakwa anak sangat penting karena anak merupakan bagian masyarakat yang rentan dan masih dalam tahap perkembangan. Melalui putusan yang mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, hakim dapat memastikan bahwasanya hak-hak anak terlindungi dan kebutuhan serta kepentingannya diutamakan dalam proses hukum. Hal ini juga menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam kasus yang penulis teliti di Pengadilan Negeri Balikpapan, kasus pencurian yang dikenakan Pasal 362 KUHP, dengan pelakunya seorang anak yang dihukum penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan. Dalam putisan, hakim Pengadilan Negeri Balikpapan mempertimbangkan beberapa hal. Mereka memvonis pelaku berusia 17 tahun (tujuh belas) tahun dengan pidana penjara 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja 2 (dua) bulan di Dinas Sosial Kota Pelayanan Balikpapan.

Dalam hal penahanan terhadap pelaku anak, penulis berpendapat bahwa hakim harus mempertimbangkan kembali keputusan mereka karena Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa :

�Pеnahanan tеrhadap Anak hanya dapat dilakukan dеngan syarat sеbagai bеrikut:

  1. Anak tеlah bеrumur 14 (еmpat bеlas) tahun atau lеbih; dan
  2. diduga mеlakukan tindak pidana dеngan ancaman pidana pеnjara 7 (tujuh) tahun atau lеbih�.

Karena usia pelaku 17 (tujuh belas) tahun, sesuai dengan penjelasan di atas, pelaku anak memenuhi syarat Pasal 32 ayat (2) huruf a. Namun, perlu diingat bahwa �pelaku anak melakukan tindak pidana tersebut ialah pencurian, yang menurut Pasal 362 KUHP memiliki ancaman pidana paling lama 5 (lima) tahun, tetapi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku anak tidak memenuhi syarat Pasal 32 ayat (2) huruf b�.

Menurut penulis, Budiono mengalami kerugian akibat perbuatan pelaku anak karena keadaan yang memberatkan. Bahkan dalam kasus di mana pelaku di bawah umur dinyatakan bersalah, terdapat faktor-faktor yang meringankan. Ketika hakim memvonis bersalah pelaku kekerasan terhadap anak, menurut penulis ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan. Intinya, pengadilan perlu memikirkan matang-matang apakah hukuman atau sanksi yang akan diterima pelaku remaja akan membuat ia patah semangat atau malah memperburuk kondisinya. Pelaku kekerasan terhadap anak tidak boleh menghadapi konsekuensi apa pun. Dalam kasus ini, hakim memvonis pelaku remaja tersebut dengan dua bulan pelatihan kerja dan enam bulan penjara.

Menurut penulis, jika ada sanksi atau hukuman maka kondisi anak yang menjadi pelanggar akan semakin parah. Pelaku muda tersebut belum pernah menjalani hukuman sebelumnya, maka dari itu penulis menyatakan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi padanya dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisiknya setelah dia menyelesaikan hukumannya. Masalah lebih lanjut yang akan dihadapi oleh pelaku remaja adalah stigmatisasi atau kecaman sosial. Masih banyak anggapan bahwa anak-anak yang pernah berurusan dengan sistem peradilan pidana atau melakukan kejahatan biasanya akan terus melakukan lebih banyak kejahatan; stigma ini sulit dihilangkan dari masyarakat.

Berdasarkan pernyataan penulis, terdapat faktor-faktor penting yang diabaikan dalam proses pengambilan keputusan, namun dianggap signifikan. Belum ada penjelasan mengenai temuan penelitian sosial atau kajian komunitas terhadap pelaku kekerasan anak yang dilakukan oleh pendamping komunitas. Faktor-faktor ini dipandang penting untuk dipertimbangkan ketika mengambil keputusan karena hakim mempunyai kewenangan untuk menilai dan menghukum pelaku remaja sesuai dengan hasil litmas. Dalam peradilan anak, penelitian komunitas laporan publik atau laporan yang diselesaikan sebelum dilakukannya suatu kejahatan sangat penting karena penelitian ini memberikan data dan informasi yang relevan kepada penegak hukum tentang anak-anak, latar belakang pelaku dan keluarganya, pers, tingkat kejahatan yang dilakukan pendidikan yang dicapai di sekolah, dan topik lainnya.

Maka dari itu, ketika mengambil keputusan mengenai kenakalan remaja, temuan penelitian komunitas dianggap penting. Diversi, atau memindahkan penyelesaian perkara anak dari sistem peradilan pidana ke prosedur di luar sistem peradilan pidana, karenanya merupakan salah satu komponen keadilan restoratif. Menurut teori keadilan restoratif, penyelesaian perkara pidana harus dilakukan oleh pelaku, korban, keluarga, dan pihak-pihak terkait lainnya yang bekerja sama untuk mencapai kesimpulan yang adil yang mengutamakan pemulihan dan kembali ke keadaan sebelum terjadinya kejahatan daripada pembalasan.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi, pendidikan, dan lingkungan semuanya berkontribusi terhadap pencurian anak secara tidak sah, dengan banyak dari unsur-unsur ini mempengaruhi kecenderungan anak-anak untuk berperilaku buruk dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap ajakan yang merugikan orang lain dan anak-anak. Keluarga korban sering merasa kesal ketika pelaku lolos dari hukuman yang adil, yang menjadi salah satu tantangan dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak di bawah umur yang terlibat kasus pencurian. Majelis hakim mempertimbangkan sejumlah faktor sebelum mengambil kesimpulan dalam putusan nomor 6/Pid.Sus-Anak/2023/Pn Bpp, dengan merujuk pada Pasal 362 KUHP yang menyebutkan pencurian sebagai tindak pidana. Namun, diputuskan bahwa keputusan hakim tidak tepat, sehingga anak dipidana penjara selama 6 (enam) bulan. Keputusan ini dinilai tidak pantas karena menurut Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian oleh pelaku di bawah umur memiliki ancaman hukuman paling lama lima tahun, sementara anak seharusnya tidak dapat ditahan kecuali mereka melakukan kejahatan yang ancaman hukumannya tujuh tahun atau lebih. Penahanan anak memiliki dampak jangka panjang, termasuk kerugian psikologis yang diderita selama masa penahanan serta penindasan dan pengucilan dari lingkaran sosial setelah pembebasan. Oleh karena itu, diversi harus mendapat prioritas utama oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana anak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Abrianti, D. (2020). Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan Oleh Anak. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 26(7).

Anand, G., Kusuma Putri, D. E., & Nugraha, X. (2024). Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Akibat Pencemaran Nama Baik melalui Media Elektronik terhadap Perseroan Terbatas. Notaire, 7(2).

Anggraini, T., Wulandari, A., Bella, H. S., Anggraini, T. W., & Fetriasih, R. (2023). Dampak lingkungan sosial terhadap perkembangan psikologi anak. Nautical: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(4), 216�225.

Arifin, J. (2020). Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 6(2), 114�132. https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2372

Bachtiar, T. C. C. (2017). Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Perjudian Game Online. dipublikasikan) Fakutas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Chrysan, E. M., Rohi, Y. M., & Apituley, D. S. F. (2020). Penerapan Sanksi Tindakan Pada Anak Yang Melakukan Bullying Sehingga Menyebabkan Trauma Pada Korban Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Hukum Magnum Opus, 3(2), 457455.

Dala, B. N. A. (2009). Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak.

Djamil, N. (2017). Anak Bukan untuk dihukum. Sinar Grafika.

Efendi, E. (2018). Tafsir Atas Melawan Sifat Materil Yang Dilakukan Oleh Pejabat Administrasi Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi. Al-Risalah, 11(02), 146�159.

Effendy, M. (2018). Teori Hukum dari perspektif kebijakan, perbandingan dan harmonisasi hukum pidana.

Guna, D. B. A., Mertha, I. K., & Purwan, S. P. M. E. (2018). Penanggulangan terhadap tindak pidana pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh anak dibawah umur (studi kasus di wilayah hukum Polresta Denpasar). Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 7(02).

Handitya, B. (2019). Menyemai Nilai Pancasila Pada Generasi Muda Cendekia. ADIL Indonesia Journal, 1(2).

Harahap, S. P. R. (2023). Pola interaksi antara guru dan murid dalam proses peningkatan kedisiplinan di SMP Negeri 1 Portibi Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara. UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan.

Hariyanto, D. R. S., & Swardhana, G. M. (2021). Optimalisasi Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Yang Berorientasi Pada Restorative Justice Di Kota Denpasar. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(3), 394�404.

Ihsan, K., & Jonyanis, J. (2016). Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindakan Kriminal (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru Kelas II B). Riau University.

Jatmiko, B. (2021). Diversi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang. Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).

Kartono, K. (2014). Kenakalan remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lamintang, P. A. F., & Lamintang, F. T. (2022). Dasar-dasar hukum pidana di Indonesia. Sinar Grafika.

Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum, 2nd Edn (Jakarta: Kencana).

Muchsin, M. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.

Muhammad, A. (2004). Hukum dan penelitian hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mukantardjo, R. S. (2010). Ketentuan Pidana dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Materi Disampaikan Pada Acara Ceramah Peningkatan Pengetahuan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan HAM Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Jumat, 27.

Nomor, U.-U. (2002). tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Nuraeny, H., & Solihah, C. (2020). Sanksi Pidana Diyat Sebagai Alternartif Meminimalisir Permasalahan Overcrowding Penjara di Indonesia. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 8(1).

Pasaribu, M. P. J., & Napitu, P. E. (2022). Penegakan Hukum Melalui Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. JURNAL SOSIAL EKONOMI DAN HUMANIORA, 8(4), 564�571.

Putra, G. S. (2020). Implikasi Tanggungjawab Hukum Atas Tindakan Malpraktik yang Dilakukan Oleh Tenaga Medis Di Indonesia. Muhammadiyah Law Review.

Putri, A. A., Gusman, E., & Zulfiko, R. (2023). Pelaksanaan Perlindungan Hak Anak Sebagai Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Ayah Kandung Terhadap Ibu Kandung Di Unit Ppa Polres Sijunjung. Palar (Pakuan Law Review), 9(3), 33�49.

Rahardjo, S. (2003). Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas.

Rohmah, E. I. (2023). Perempuan Sebagai Pelopor Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Anak Di Lingkungan Keluarga. Ma�mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum, 4(3), 234�255.

Sabihi, A. R., & Kaluku, J. A. (2023). Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Kekerasan Fisik Yang Mengakibatkan Kematian. Jurnal Ilmu Sosial, Humaniora Dan Seni, 1(3), 429�435.

Serlika Aprita, S. H. (2021). Sosiologi Hukum. Prenada Media.

Shafira, N., & Rizanizarli, R. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Suatu Penelitian Tindak Pidana Pencurian Di Wilayah Hukum Kota Lhokseumawe). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, 5(1), 143�150.

Simbolon, D. F. (2018). Kurangnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak. Soumatera Law Review, 1(1), 43�66.

Sumara, D., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Kenakalan remaja dan penanganannya. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 346�353.

Sunarso, H. S., Sh, M. H., & Kn, M. (2022). Viktimologi dalam sistem peradilan pidana. Sinar Grafika.

Tambalean, P. (2013). Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur. Lex et Societatis, 1(2).

UU RI No 32. (2009). UU RI No 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Zulyadi, R. (2020). Penerapan Restorative Justice atas Kelalaian Maskapai Penerbangan yang Membahayakan Penumpang (Studi Bandara Internasional Kualanamu). Universitas Medan Area.

 

 

� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).