Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 519
menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien. Prinsip keadilan menjamin
semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi nilai moral akan
menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang paling baik. Dalam
menjamin terjadinya keadilan, penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan
apakah sebuah tindakan medis: 1) mengobati, mencegah dan memberikan harapan hidup
yang tinggi, 2) menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan, 3) memberikan
manfaat dan 4) secara nyata memberikan dampak positif dibanding dampak negatif.
Terdapat beberapa Negara yang telah mengeluarkan guidelines nasional perihal
euthanasia, namun sebagian besar Negara di dunia belum memiliki egulasi perihal
euthanasia. Di Indonesia sendiri, konsep DNR belum secara luas diketahui dan dipahami
secara hukum di Fasilitas Kesehatan dalam hal ini adalah Rumah Sakit. Sebagian besar
Rumah sakit di Indonesia belum memilki regulasi tentang DNR, diantaranya tentang
pemberian label pasien DNR dengan kode gelang ungu sebagai penanda, saat ini regulasi
tersebut mayoritas baru dijalankan di RS atas dasar pemenuhan akreditasi, dan peraturan
dan/atau hukum yang mengatur tentang tindakan ini masih belum jelas, sehingga sebagian
besar perintah DNR di Indonesia belum terdokumentasi secara legal.
Pengaturan tentang pelaksanaan DNR dari perspektif civil law ini harus
diperjelas, karena prinsip-prinsip dalam euthanasia, pseudoeuthanasia dan pembunuhan
mempunyai unsur-unsur yang berbeda dan juga mengkaji lebih dalam mengenai DNR
(Do Not Resucitate) yang termasuk dalam salah satu bentuk tindakan penolakan tindakan
dan perawatan medis. (Againts Medical Advice). Hal ini sangat penting untuk dikaji
secara terfokus dan mendalam mengingat adanya polemik mengenai pelaksanaan DNR,
tidak adanya hukum positif Indonesia mengatur pelaksanaan DNR secara jelas.
(Do Not Resucitate) dalam Perspektif Hukum Pidana
Perdebatan mengenai aspek hukum DNR (Do Not Resucitate) masih terus
berlaku. Beberapa negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di
Cina dan Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan
pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang
dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa
orang yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak
mendapat penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun
menolak resusitasi jantung paru secara irasional (Makino et al., 2014).
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, masalah euthanasia maupun
pseudoeuthanasia belum diatur secara khusus sehingga pelaksanaanya di fasilitas
kesehatan belum memiliki titik terang dalam pelaksanannya. Pelaksanaan diserahkan
sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan yang dibuat masing-masing fasilitas kesehatan
mengacu pada standar akreditasi rumah sakit secara nasional, padahal belum ada hukum
yang mengatur mengenai batasan-batasan perbuatan mana yang termasuk kategori
euthanasia dan mana yang kategori pseudoeuthanasia. Dalam praktiknya digunakan
peraturan yang mendekati yang dapat digunakan sebagai acuan pertanggung jawaban atau
penyelesaian masalah apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tindakan
melawan hukum. Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) dapat dikaji dari
aspek Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) seseorang dapat
dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau
kelalaian. Penerapan Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 KUHPidana dan
pasal 340 KUHPidana. Dalam hal Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate)