Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Mei 2021, 1 (5), 515 - 523
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
10.36418/cerdika.v1i5.82 515
DO NOT RESUCITATE (DNR) DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Gina Adriana
Fakultas Hukum, Universitas Lancang Kuning, Indonesia
Email: gina.adriana.md@gmail.com
Abstract
Received:
Revised:
Accepted:
28-04-2021
10-05-2021
21-05-2021
increasingly developing when it raises problems that are
closely related to the right to life of a person, which is
currently being debated, namely the termination of life
support therapy in terminal patients. This action is the same
as the Do Not Resucitate action, which is an order not to / not
to perform or provide cardiopulmonary resuscitation
assistance or CPR (Cardiopulmonary Resucitation) in the
event of stopping breathing and cardiac arrest after the
family agrees to this. In daily practice, the implementation of
DNR in Indonesia is related to DNR actions, in this case
withdrawing treatment or with-holding treatment has been
running, but until now there have never been any cases that
have surfaced but the implementation is already in Hospital.
This research mainly uses a normative juridical approach,
which is a description of legal facts obtained through further
research which is systematically analyzed.
Keywords: Do Not Resucitate; Advanced Directives;
Euthanasia.
Abstrak
Ilmu dan Teknologi dalam bidang kedokteran yang semakin
berkembang tatkala menimbulkan permasalahan yang
berhubungan erat dengan hak untuk hidup seseorang, yang
mana akhir akhir ini yang masih banyak diperdebatkan
yakni tindakan penghentian terapi bantuan hidup pada pasien
terminal. Tindakan ini sama halnya dengan tindakan Do Not
Resucitate yaitu merupakan perintah untuk tidak/ jangan
melakukan atau memberikan tindakan pertolongan resusitasi
jantung paru atau CPR (Cardiopulmonary Resucitation) jika
terjadi henti nafas dan henti jantung setelah keluarga
menyetujui hal tersebut. Dalam praktek keseharian,
pelaksanaan DNR di Indonesia terkait tindakan DNR dalam
hal ini withdrawing treatment ataupun witholding treatment
sudah berjalan, namun sampai saat ini kasus yang mencuat
belum pernah ada. pelaksanaannya sudah berjalan.
Penelitian ini terutama menggunakan suatau metode
pendekatan yuridis normatif, yang merupakan pemaparan
fakta fakta hukum yang didapat melalui penelitian
selanjutnya dianalisis secara sistematis.
Kata kunci: Jangan Resusitasi; Arahan Lanjutan; Eutanasia.
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 516
Coresponden Author : Gina Adriana
Email : gina.adriana.md@gmail.com
CC BY ND
PENDAHULUAN
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarganya saat menghadapi masalah terkait dengan penyakit yang
mengancam nyawa (Shatri et al., 2020). Fokus perawatan paliatif adalah mengurangi
penderitaan karena penyakit yang diderita pasien dan meningkatkan kualitas hidup
penderitanya. Keputusan perihal Resusitasi Jantung Paru ini sering dibuat dalam hitungan
detik oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan tanpa mengetahui apakah pasien
mempunyai Advanced Directives atau tidak. Advanved directives adalah dokumen yang
sah secara hukum, yang ditulis sebelum penderita menderita penyakit yang bersifat
incapacitating (Rifai & Ilyas, 2018).
Petunjuk yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas-tugaskan
tenaga medis dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced directives adalah
pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medis apa yang sebaiknya
dilakukan atau tidak dilakukan dalam keadaan incompetency. Hak otonomi atau
preferensi pasien menentukan kematiannya dapat berupa “advanced directives yakni
salah satu bentuk pernyataan yang terdapat didalam advanced directives adalah perintah
untuk menolak tindakan CPR yang kemudian dikenal dengan nama perintah “Jangan
Lakukan Resusitasi” atau yang lebih dikenal dengan istilah Do Not Resucitate (DNR).
Dokumen ini adalah bentuk perintah untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan ataupun
masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau memberikan tindakan
pertolongan CPR/ RJP terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya
henti napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien, tetapi harus
ditandatangani dan diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang
(McCormick, 2011).
DNR merupakan salah satu keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan
masalah dilemma etika yang menyangkut perawat ataupun dokter dan tenaga kesehatan
lainnya yang terlibat. Perintah ini dibuat dalam keadaan belum sakit atau sadar penuh,
untuk mengantisipasi suatu saat dia berada dalam kondisi kegawatdaruratan. Di Negara
barat Do Not Resucitate (DNR) dianggap sebagai pseudo-euthanasia dikenal dengan
istilah Againts Medical Advice, yakni pasien menolak rekomendasi tenaga kesehatan
mengenai rencana perawatan terhadap dirinya. Pasien mempunyai hak untuk
mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis namun ada benturan terhadap hak pasien
untuk menolak menolak tindakan medis (Indonesia, 2004).
Terdapat beberapa pro dan kontra perihal DNR. Beberapa pertimbangan yang
digunakan kelompok pro terhadap DNR adalah pertimbangan legal dan etis.
Pertimbangan legal misalnya, bahwa rekomendasi American Heart Association (AHA),
sebagai salah satu panduan yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa
RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit
yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan,
tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id & Mrayyan, 2015). Pelaksanaan DNR kerapkali terjadi
pada pasien yang ditempatkan ruang perawatan intensif. Untuk pasien-pasien dengan
fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak yang mengalami
kegagalan jantung paru atau organ multipel lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, dimasukkan dalam kriteria yang tidak perlu mendapat
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 517
resusitasi/ DNR. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk kenyamanan pasien atau
dalam istilahnya “patient first”.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan
Penelitian ini terutama menggunakan suatu metode pendekatan yuridis normatif,
artinya penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum, yaitu dalam arti law as it is
written in the books ( dalam peraturan perundang undangan ). Pendekatan perundang-
undangan (Statue Approach). Yang digunakan untuk menelaah seluruh peraturan
perundang-undangan yang berkaita dengan permasalahan atau isu hukum yang dihadapi.
Pendekatan ini dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian aturan hukum yang
berlaku.
Dalam penelitian kualitatif ini bersifat kontekstual dan lebih berupaya menelaah
fenomena sosial pada level mikro , dan tidak dimaksudkan melakukan generalisasi.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang merupakan pemaparan fakta fakta
hukum yang didapat melalui penelitian selanjutnya dianalisis secara sistematis, oleh
karena hal tersebut penelitian ini dinamakan Penelitian Hukum. Hukum yang dijadikan
sebagai objek penelitian yaitu sebgai suatu norma kaidah yang mempedomani atau
sebagai patokan dalam perilaku manusia dalam mengambil hukum sebagai obyeknya.
C. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian berupa bahan bahan hukum primer, bahan bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa perundang undangan, putusan
putusan hakim , sedangkan bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan dokumen resmi
,
Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif, data diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan dari berbagai literatur
(library research) dan peraturan peraturan yang berhubungan masalah pengelolaan
sumber daya manusia kesehatan. Bahan hukum sekunder yaitu berupa yang memberikan
penjelasan bahan hukum primer yang berupa rancangan undang-undang, hasil penelitian.
Karya ilmiah dari kalangan hukum dan lainnya. Bahan hukum tersier yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
D. Teknik Analisis
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah untuk dibaca dan diintrepetasikan. Dari data hasil penelitian ini selanjutnya
dinalisis secara kualitatif, artinya data data yang ada dianalisis secara mendalam dan
komprehensif dengan melakukan langkah langkah :
a. Mengumpulkan bahan hukum primer berupa peraturan perundang
undangan yang relevan dan berhubungan dengan pengelolaan sumber daya
manusia kesehatan.
b. Mencari doktrin doktrin, asas asas atau prinsip ilmu hukum dalam
perundang undangan.
c. Membuat kategori dari bahan bahan yang dikumpulkan dan konsep
konsep yang lebih umum
d. Mencari hubungan katagori katagori tersebut dan menjelaskan
hubungannya antara satu dengan yang lain
e. Membuat simpulan dari hasil analisis
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 518
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Etik DNR sebagai Pseudo-Euthanasia
DNR dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik
yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip etik yang
dilakukan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya, orang Asia
sangat menekankan pada keputusan kelompok akan keputusan yang ingin di ambil.
Berbeda dengan orang di Amerika Serikat yang sangat menekankan pada prinsip otonomi
individual.
Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran tindakan
tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan
teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika, asas manfaat (beneficence),
prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi
pasien (autonomy). Selain itu, beberapa pandangan agama juga membenarkan
dilakukannya DNR terutama bila RJP tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan
justru menambah beban pasien dan keluarga. Prinsip Beneficience adalah prinsip yang
menjadi keuntungan upaya pemulihan yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP
dipandang sebagai upaya pemulihan kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk
meringankan kesakitan dan penderitaan pasien. RJP berdasarkan prinsip ini dokter harus
memikirkan kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang sangat
efektif pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang
sekali ditemukan pasien yang mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung terjadi
akibat penyebab lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain. Penyebab
yang irreversibel seperti syok bekerpanjangan merupakan indikasi untuk tidak melakukan
RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan bukanlah kontraindikasi
dilakukannya RJP (Hazinski & Field, 2010).
Prinsip non maleficence (do no harm) adalah prinsip yang mencegah tindakan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan meningkatkan kesakitan pada pasien. Pemberian
RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat pada dasarnya memberikan
kesakitan lebih lanjut pada pasien. Pasien dapat bertahan hidup tetapi berada dalam
kondisi koma persisten atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip ini, RJP dikatakan tidak
memberikan kesusahan lebih lanjut bila keuntungan akibat tindakan ini dianggap lebih
besar dibanding kerugiannya (Association, 2000).
Prinsip otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal. Dalam
mengambil keputusan, pasien menggunakan hak otonominya, harus dipastikan pasien
secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak tindakan medis,
termasuk RJP. Pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan negara yakni berusia 18
tahun. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan. Sebelum
keputusan diambil pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien.
Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien mampu menerima
dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit,
prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari
masing-masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau
penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai pasien mampu
memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi gawat darurat sebelum pasien belum
mengambil keputusan dengan waktu yang terbatas untuk mengambil keputusan, pilihan
yang bijaksana adalah memberikan perawatan medis sesuai standar (Association, 2000).
Prinsip keadilan menjamin terpenuhinya hak-hak pasien dengan
menyeimbangkan tercapainya tujuan social. Prinsip keadilan diperlukan untuk
mengurangi ketidaksamaan perlakuan pada pasien. Namun, diperlukan nilai moral untuk
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 519
menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien. Prinsip keadilan menjamin
semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi nilai moral akan
menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang paling baik. Dalam
menjamin terjadinya keadilan, penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan
apakah sebuah tindakan medis: 1) mengobati, mencegah dan memberikan harapan hidup
yang tinggi, 2) menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan, 3) memberikan
manfaat dan 4) secara nyata memberikan dampak positif dibanding dampak negatif.
Terdapat beberapa Negara yang telah mengeluarkan guidelines nasional perihal
euthanasia, namun sebagian besar Negara di dunia belum memiliki egulasi perihal
euthanasia. Di Indonesia sendiri, konsep DNR belum secara luas diketahui dan dipahami
secara hukum di Fasilitas Kesehatan dalam hal ini adalah Rumah Sakit. Sebagian besar
Rumah sakit di Indonesia belum memilki regulasi tentang DNR, diantaranya tentang
pemberian label pasien DNR dengan kode gelang ungu sebagai penanda, saat ini regulasi
tersebut mayoritas baru dijalankan di RS atas dasar pemenuhan akreditasi, dan peraturan
dan/atau hukum yang mengatur tentang tindakan ini masih belum jelas, sehingga sebagian
besar perintah DNR di Indonesia belum terdokumentasi secara legal.
Pengaturan tentang pelaksanaan DNR dari perspektif civil law ini harus
diperjelas, karena prinsip-prinsip dalam euthanasia, pseudoeuthanasia dan pembunuhan
mempunyai unsur-unsur yang berbeda dan juga mengkaji lebih dalam mengenai DNR
(Do Not Resucitate) yang termasuk dalam salah satu bentuk tindakan penolakan tindakan
dan perawatan medis. (Againts Medical Advice). Hal ini sangat penting untuk dikaji
secara terfokus dan mendalam mengingat adanya polemik mengenai pelaksanaan DNR,
tidak adanya hukum positif Indonesia mengatur pelaksanaan DNR secara jelas.
(Do Not Resucitate) dalam Perspektif Hukum Pidana
Perdebatan mengenai aspek hukum DNR (Do Not Resucitate) masih terus
berlaku. Beberapa negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di
Cina dan Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan
pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang
dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa
orang yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak
mendapat penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun
menolak resusitasi jantung paru secara irasional (Makino et al., 2014).
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, masalah euthanasia maupun
pseudoeuthanasia belum diatur secara khusus sehingga pelaksanaanya di fasilitas
kesehatan belum memiliki titik terang dalam pelaksanannya. Pelaksanaan diserahkan
sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan yang dibuat masing-masing fasilitas kesehatan
mengacu pada standar akreditasi rumah sakit secara nasional, padahal belum ada hukum
yang mengatur mengenai batasan-batasan perbuatan mana yang termasuk kategori
euthanasia dan mana yang kategori pseudoeuthanasia. Dalam praktiknya digunakan
peraturan yang mendekati yang dapat digunakan sebagai acuan pertanggung jawaban atau
penyelesaian masalah apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tindakan
melawan hukum. Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) dapat dikaji dari
aspek Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) seseorang dapat
dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau
kelalaian. Penerapan Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate) diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 KUHPidana dan
pasal 340 KUHPidana. Dalam hal Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not Resucitate)
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 520
dimana permintaannya oleh karena sesuatu hal misalnya karena pasien tidak sadar dalam
jangka waktu lama, dilakukan oleh keluarga pasien, ataupun tindakan yang dilakukan
oleh dokter tanpa diminta oleh keluarga pasien, maka Pasal 338 KUHPidana atau bahkan
Pasal 340 KUHPidana dapat diancamkan kepada dokter yang melakukannya (Chazawi,
2001).
Selain dua pasal tersebut terhadap dokter yang melakukan euthanasia terhadap
pasien yang dengan sadar memintanyapun dapat dikenakan ancaman hukuman pidana,
karena diatur dalam KUHPidana pada pasal 344. Dalam mengkaji Euthanasia pasif, maka
analisa euthanasia pasif dalam perpektif hukum pidana dibagi menjadi tiga kelompok
(Karyadi, 2001): Euthanasia pasif atas permintaan pasien. Euthanasia atas permintaan
pasien berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52
1. Euthanasia Pasif Tanpa Permintaan Pasien , berarti dokter sendirilah yang
berinisiatif untuk berbuat euthanasia pasif, tanpa melakukanpengobatan. Biasanya
dokter dalam melakukan euthanasia pasif terdoromg karena anggapan dokter
bahwa tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasiennya sudah tidak ada
gunanya lagi. Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang
akan dilakukan itu sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak mendapatkan
tuntutan hukum., sebaliknya bila yang dilakukannya tidak dapat dibuktikan maka
dokter dapat dijerat Pasal 304 dan Pasal 306 ayat (2) KUHPidana (Karyadi,
2001).
2. Euthanasia Pasif Tanpa Sikap Pasien, biasanya berdasarkan pertimbangan bahwa
pengobatan sudah tidak ada gunanya. Adapun tanpa sikap pasien adalah apabila
keadaan pasien sudah dalam tidak sadarkan diri. Hal ini berarti tanpa diketahui
apa kehendak pasien yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian “tanpa
permintaan” dengan “tanpa sikap” pasien hampir sama, akibat hukum yang
ditimbulkan antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil pula.
Euthanasia dan Pseudoeuthanasia dalam Hukum Perdata
Pada Hakikatnya ada dua bentuk pertanggung jawaban dokter dibidang hukum
perdata, yaitu pertama hubungan hukum disebabkan oleh suatu kesepakatan dan apabila
kesepakatan ini dilanggar akan menyebabkan wanprestasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 1239 KUHPerdata dan yang kedua berdasarkan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Umumnya dalam
persetujuan secara tertulis, setelah dokter memberikan penjelasan, selanjutnya dokter
akan memberikan formulir yang akan ditanda tangani oleh pasien jika pasien memberikan
persetujuan (Etika, 2007).
Dalam kasus Euthanasia pasif jelas harus ada informed consent. Menurut Sutarno
persetujuan ini diperlukan pada euthanasia pasif, untuk euthanasia aktif tenaga kesehatan
belum berani karena belum ada payung hukumnya sehingga dapat terancam pidana.
Namun menurut Akhmad Budi Cahyono, euthanasia dalam hal ini dinilai bukan
merupakan suatu bentuk perjanjian yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ha ini karena kegiatan tersebut merupan
tindakan melawan hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain KUHPidana, Undang-
Undang Praktik Kedokteran, Kode Etik Kedokteran Indonesia, dll, sehingga kesepakatan
untuk dilakukannya tindakan euthanasia tidak memenuhi poin ke-empat syarat sah
perjanjian yakni sebab yang halal (Irmanti, 2016).
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 521
Di Rumah Sakit saat ini berlaku Dokter perlu mempraktekkan komunikasi dokter
pasien dalam hal diskusi DNR. Kemampuan berkomunikasi dokter adalah kemampuan
yang perlu dilatihkan terutama dalam setting yang sebenarnya. Observasi dan simulasi
adalah bentuk pelatihan komunikasi yang dapat dilakukan oleh dokter, terutama dokter
muda.
DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien. Dokumentasi yang
dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil. Penjelasan yang
diberikan dokter, termasuk pertanyaan yang dikeluarkan pasien serta jawabannya harus
dituliskan dalam catatan. Pendokumentasian tersebut harus diikuti dengan pemberian
tanda khusus yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan. Keputusan DNR bukan
merupakan keputusan yang kaku. Bila dalam perjalanan penyakitnya pasien berkeinginan
mengubah keputusan DNRnya, harus dilakukan pendokumentasian yang baik. Keputusan
DNR harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh semua petugas
kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan pasien, misalnya dengan menarik tanda
yang sudah dibuat sebelumnya.
Dokumen DNR harus memuat kondisi yang ditolak oleh pasien, tindakan dan
obat yang ditolaknya dan hal-hal pengecualian. Misalnya, pasien menolak untuk
dilakukan RJP dan pemberian bantuan obat pada pasien yang mengalami henti jantung,
kecuali henti jantung akibat komplikasi prosedur, misalnya syok anafilaktik akibat
penggunaan obat, bahan kontras dan komplikasi pada tindakan kateterisasi jantung.
Berdasarkan uraian diatas jelas, saat ini belum ada kepastian hukum yang
mengatur DNR sehingga abu-abu untuk pelaksanaanya di fasilitas kesehatan. Bila
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan
kematian dan pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa praktik
kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam pandangan
ini, DNR dapat dianggap sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun belum jelas
kedudukan hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX tentang kejahatan
terhadap nyawa.
Saat ini juga belum diatur bagaimana apabila keputusan DNR dilakukan oleh
pasien, bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal ini, pasien yang pernah
mengambil keputusan DNR di perawatan sebelumnya atau fasilitas kesehatan lain tidak
dapat melakukan penuntutan pada dokter apabila atasnya dilakukan tindakan
penyelamatan nyawa.
Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus dilakukan
dengan pertimbangan yang matang. Kesepakatan mengenai kondisi pasien dan bagaimana
kualitas hidup pasien menjadi penting. Pendokumentasian keputusan ini dalam form
khusus juga penting sebagai pembuktian bila ada permasalahan hukum di kemudian hari.
KESIMPULAN
DNR dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik
yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip etik yang
dilakukan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya, orang Asia
sangat menekankan pada keputusan kelompok akan keputusan yang ingin di ambil.
Berbeda dengan orang di Amerika Serikat yang sangat menekankan pada prinsip otonomi
individual. Perdebatan mengenai aspek hukum DNR (Do Not Resucitate) masih terus
berlaku. Beberapa negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di
Cina dan Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 522
pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang
dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa
orang yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak
mendapat penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun
menolak resusitasi jantung paru secara irasional. Berdasarkan hukum positif di Indonesia,
masalah euthanasia maupun pseudoeuthanasia belum diatur secara khusus sehingga
pelaksanaanya di fasilitas kesehatan belum memiliki titik terang dalam pelaksanannya.
Pelaksanaan diserahkan sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan yang dibuat masing-
masing fasilitas kesehatan mengacu pada standar akreditasi rumah sakit secara nasional,
padahal belum ada hukum yang mengatur mengenai batasan-batasan perbuatan mana
yang termasuk kategori euthanasia dan mana yang kategori pseudoeuthanasia. Dalam
praktiknya digunakan peraturan yang mendekati yang dapat digunakan sebagai acuan
pertanggung jawaban atau penyelesaian masalah apabila terbukti melakukan pelanggaran
hukum atau tindakan melawan hukum.
BIBLIOGRAPHY
Association, A. H. (2000). Part 2: Ethical aspects of CPR and ECC. Resuscitation, 46,
1727.
Chazawi, A. (2001). Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Etika, S. A. (2007). Hukum kesehatan. Hasanuddin University Press.
Hazinski, M. F., & Field, J. M. (2010). 2010 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science.
Circulation, 122(Suppl), S639S946.
Indonesia, R. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI.
Irmanti, R. (2016). Analisis perintah.
Karyadi, P. Y. (2001). Euthanasia dalam perspektif hak azasi manusia. Media Pressindo.
Makino, J., Fujitani, S., Twohig, B., Krasnica, S., & Oropello, J. (2014). End-of-life
considerations in the ICU in Japan: ethical and legal perspectives. Journal of
Intensive Care, 2(1), 17.
McCormick, A. J. (2011). Self-determination, the right to die, and culture: A literature
review. Social Work, 56(2), 119128.
Rifai, A., & Ilyas, M. (2018). Penatalaksanaan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Pada
Masyarakat Awam (Santri Ponpes Yambuul Hikmah) Di Andong Boyolali. (JKG)
Jurnal Keperawatan Global, 3(2), 115118.
Gina Adriana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(5), 515 - 523
Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia 523
Sa’id, A. N., & Mrayyan, M. (2015). Do Not Resuscitate: An Argumentative Essay.
Palliat Med Care, 2(1), 15.
Shatri, H., Faisal, E., Putranto, R., & Sampurna, B. (2020). Advanced Directives pada
Perawatan Paliatif. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(2), 125132.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons
Attribution (CC BY ND) license
(https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).