Agus Supriatna1, Iwan Kurniawan Subagja2 ,
Azis Hakim3 , Conrita Ermanto4 , Akbar Ali5
Krisnadwipayana University,
Jakarta, Indonesia
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
� Kata Kunci |
Abstrak |
Perhutanan Sosial, Ekonomi
Masyarakat |
Isu kehutanan merupakan salah satu topik utama di era kepemimpinan presiden Joko
Widodo. Target RPJMN tahun 2015-2019 dan masih berlanjut pada RPJMN Tahun� 2020-2024 merupakan
bukti konkrit komitmen kebijakan dalam Pemberian Akses Kelola
Kawasan Hutan oleh masyarakat seluas
12,7 juta ha melalui skema perhutanan sosial. Program ini dipercaya mampu mendistirbusikan manfaat secara berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang pada akhirnya berimplikasi pada kontribusi terhadap kelestarian hutan. Capaian pendistribusian akses Kelola perhutanan sosial s.d bulan
Mei 2024 seluas 6,6 Juta ha yang meliputi 1.314.275 penerima SK
dan sebanyak 13.719 Kelompok
usaha perhutanan sosial (KUPS) |
Keywords |
�Abstract |
Social Forestry, Community Economy |
Forestry
issues are one of the main topics in the era of President Joko Widodo's
leadership. The target of the 2015-2019 RPJMN and continuing in the 2020-2024
RPJMN is concrete evidence of the policy commitment in Granting Access to
Manage Forest Areas by the community covering an area of 12.7
million ha through the social forestry scheme. This program is believed to be
able to distribute benefits fairly for improving the welfare of communities
in and around forest areas, which ultimately has implications for
contributing to forest sustainability. The achievement of the distribution of
access to Manage social forestry until May 2024 is 6.6 million ha covering
1,314,275 SK recipients and 13,719 Social Forestry Business Groups (KUPS) |
*Correspondence Author: Agus Supriatna
Email: [email protected] ��
PENDAHULUAN
Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat
hukum adat sebagai pelaku utama meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam
bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan
(HKM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA),
dan Kemitraan Kehutanan (Chambers, 1994). Perhutanan Sosial sejatinya sudah dirintis sejak lama melalui berbagai bentuk kegiatan, baik berupa program tumpangsari di perhutani, maupun PMDH oleh HPH/HTI. �(Gilmour et al.,
2004)Pasca
Orde Baru pemerintah pusat semakin membuka ruang untuk hak
yang lebih besar bagi masyarakat lokal melalui Undang-Undang
Tentang Kehutanan No. 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 jo No
3 tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Selanjutnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 tahun 2012, Wilayah Adat diakui
dan bukan menjadi bagian dari Kawasan Hutan Negara (Agrawal, 2007).
Program Perhutanan Sosial bertujuan untuk untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang berazaskan demokrasi dan berbasis
ekonomi pasar yang adil serta mewujudkan keadilan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan agar memperoleh
kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup yang adil dengan equality atau kesamaan perlakuan (Alma, 2020). Program Perhutanan Sosial� bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek
kelestarian. Program Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat
di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah.
Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari
hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan (Syahputra, 2022). Dengan ini, masyarakat akan mendapatkan berbagai
insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan
tanaman dalam area yang mereka ajukan. Hasil panen dari perkebunan ini dapat
kemudian dijual oleh masyarakat demi pemenuhan kebutuhan ekonominya
sehari-hari.
Melalui Perhutanan Sosial, masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan
dan lahan yang setara dan seluas-luasnya (Mahardika & Muyani, 2021). Dan dengan bentuk pemanfaatan hasil hutan yang
sesuai prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi
lingungan dapatsejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tambahan manfaat lainnya adalah pelibatan masyarakt setempat sebagai pihak
utama dan terdekat yang menjaga kelestarian hutan. Program perhutanan sosial
tersebut masih terdapat beberapa kendala yaitu pemahaman masyarakat di tingkat
tapak masih minim, peran stakeholder lain belum optimal (KL, NGO), dukungan
pendanaan dari berbagai pihak perlu didorong (Agung & Indonesia, n.d.). Berdasarkan latar belakang dalam penulisan ini,
maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui alterntif kebijakan perhutanan
sosial mana yang sesuai untuk mengantisipasi kendala dalam menwujudkan
keberhasilan program perhutanan sosial
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu
peneliti tidak menggunakan metode matematik, statistik atau komputer akan
tetapi aturan berpikir yang diterapkan sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan data dan argumentasi. Deskriptif menitikberatkan pada observasi
dan suasana alamiah. Penelitian ini akan
difokuskan pada Strategi Pengembangan Perhutanan Sosial untuk
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan. Sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah informasi yang diperoleh melalui wawancara dan
data pendukung seperti dokumen dan lain sebagainya (Afrizal,
2015). Untuk memperoleh
data dan informasi yang akurat,
maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposif atau sengaja, informan
telah ditentukan sebelumnya. Instrumen penelitian ini terdiri dari wawancara,
telaah dokumen, dan observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemecahan Masalah
Program perhutanan sosial memiliki berapa permasalahan diantaranya yaitu pemahaman masyarakat di tingkat tapak masih minim, peran
stakeholder lain belum optimal (KL, NGO), dukungan pendanaan dari berbagai
pihak perlu didorong. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut dilakukan
beberapa alternatif kebijakan diantaranya kebijakan lahan, kebijakan kesempatan
berusaha, dan kebijakan sumber daya.
Penggunan kebijakan yang berfokus pada lahan dimana
kepentingan terhadap lahan cukup tinggi terutama didaerah tertentu misalkan
pulau Jawa (Putra,
2016). Selanjutnya, peran
pemerintah daerah yang belum optimal dalam mendukung pemberian akses kepada
masyarakat (cenderung berpihak kepada pengusaha) serta peran Kementerian/Lembaga seperti
Kementerian Koordinator sangat berperan
dalam mendorong Kementerian
lain mendukung program perhutanan
social.
Perhutanan sosial juga memberikan kesempatan berusaha untuk masyarakat dikarenakan masih sdanya paradigma di masyarakat masih terbiasa mendapatkan bantuan berupa pendanaan dan barang (Hidayat, 2015). Selain itu, masyarakat yang terlena dengan sumberdaya yang tersedia sehingga montifasi untuk pengembangan usaha masih minim. Kebijakan kesempatan berusaha juga memerlukan peran pendampingan dalam mendorong Masyarakat untuk berusaha/mengambangkan usaha pada akses perhutanan social yang telah diberikan.
Kebijakan yang dapat
diambil dalam perhutanan sosial adalah kebijakan sumber daya. Potensi
usaha dari perhutanan sosial sangat menjanjikan, per September 2023. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat transakni nilai ekonomi di kelompok Masyarakat senilai 765 Milyar. Produk perhutanan social berupa hasil hutan bukan
kayu (Kopi, Gula Semut,
Madu dll) melimpah dan dapat dikembangkan melalui marketplace. Penyediaan
pasar cukup sulit dikarenakan keterbatasan
Masyarakat dalam mengemas atau mengembangkan produk (Devkota, 2010).
Perbandingan Alternatif Kebijakan
Untuk meningkatkan mensukseskan program perhutanan sosial, berikut adalah perbandingan dari ketiga alternatif
kebijakan perhutanan sosial yaitu :
1.
Tingkat efektifitas dalam kebijakan lahan untuk mendukung program perhutanan sosial sangat rendah sebesar 60% dikarenakan banyaknya penolakan stakeholder dan tingginya
resiko politik, komplikasi administrasi serta tingginya pendanaan yang diperlukan.
2.
Kefektifitasan dalam kebijakan kesempatan berusaha sebesar 70%, tidak adanya penolakan stackeholder, tingginya resiko politik namun komplikasi administrasi dan pendaanan dalam kondisi normal.
3.
Kebijakan sumber daya untuk
mendukung perhutanan sosial mempunyai kemampuan besar untuk memecahkan permasalahan yang ada. Tidak ada resiko politik
yang mencampuri dalam kebijakan perhutanan sosial, tidak ada
penolakan stakeholder serta
pendanaan yang dibutuhkan dalam batas wajar
KESIMPULAN
Pengelolaan Hutan melalui program perhutanan sosial dapat dilakukan
melalui beberapa kebijakan yaitu kebijakan akses lahan, kebijakan kesempatan berusaha dan kebijakan peningkatan ekonomi sumber daya manusia. Kebijakan
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan . Kebijakan yang dapat ditingkatkan yaitu kebijakan sumber daya ekonomi
dengan mengembangkan produk hasil perhutanan sosial berupa hasil hutan bukan kayu
(Kopi, Gula Semut, Madu dll)
melimpah. Hasil tersebut dapat dikembangkan melalui marketplace dengan memanfaatkan teknologi pemasaran yang semakin maju di Indonesia. Selain hasil hutan
bukan kayu juga potensi jasa lingkungan
dan jasa wisata memiliki potensi yang sangat baik sehingga menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam prioritas pengembangan usaha perhutanan sosial
Dari data GoKUPS
tahun 2023 nilai transaksi ekonomi pada aperhutanan sosial mencapai 1,1 T dan triwulan pertama di tahun 2024 telah mencapai 93 M sehingga angka ini dapat menunjukan
pergerakan perekonomian
yang bersumber dari perhutanan sosial.
REFERENSI
Afrizal, M. A. (2015). Metode Penelitian Kualitatif
Sebagai Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai
Disiplin Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.
Agrawal, A. (2007). Forests, governance, and sustainability:
common property theory and its contributions. International Journal of the
Commons, 1(1), 111�136.
Agung, J. T., & Indonesia, M. (n.d.). Tinjauan Morfologi
Keausan Pahat Karbida Terhadap Rasio Pemampatan Tebal Geram pada Proses Bubut
Tirus. WEBINAR & CALL for PAPER, 121.
Alma, F. (2020). Ekonomi Kerakyatan Pemikiran Mohammad
Hatta Dan Relevansinya Pada Perekonomian Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi
Syariah. UIN Raden Intan Lampung.
Chambers, R. (1994). The origins and practice of
participatory rural appraisal. World Development, 22(7), 953�969.
Devkota, R. R. (2010). Interests and power as drivers of
community forestry: a case study of Nepal. Universit�tsverlag G�ttingen.
Gilmour, D., Malla, Y., & Nurse, M. (2004). Linkages
between community forestry and poverty. Bangkok: Regional Community Forestry
Center for Asia and the Pacific.
Hidayat, H. (2015). Pengelolaan Hutan Lestari:
Partisipasi, Kolaborasi dan Konflik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mahardika, A., & Muyani, H. S. (2021). Analisis legalitas
perhutanan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten
Asahan. Jurnal Administrasi Publik Dan Kebijakan (JAPK), 1(1),
10�18.
Putra, D. M. (2016). Kontribusi industri tekstil dalam
penggunaan bahan berbahaya dan beracun terhadap rusaknya sungai Citarum. Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia, 3(1), 133�152.
Syahputra, O. H. (2022). Masa depan kedaulatan pangan:
dukungan agroforestri dalam produksi pangan melalui perhutanan sosial. Prosiding
Seminar Nasional Pertanian, 4(1), 255�266.
|
|