Mohammad
Fadil Akbar Islamy1, Mohammad Samsul Ulum2, Nurhadi3,
Muhammad Aminudin4
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Jawa Timur, Indonesia
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
� Kata Kunci |
Abstrak |
progresivisme, pendidikan berbasis siswa,
peran guru, pemecahan masalah, konstruktivisme, pembelajaran |
Pendidikan
progresif merupakan suatu aliran dalam ilmu pendidikan yang berkembang di
awal abad ke 20. Aliran ini berusaha untuk memberikan kebebasan bagi peserta
didik dalam mengeksplorasi bakat dan kemampuannya secara mandiri.
Progresivisme menekankan pada aspek psikologis dan sosiologis proses
pendidikan, artinya bahwa peserta didik dipandang sebagai subjek yang aktif
dalam kegiatan belajar, bukan objek pasif yang harus menerima segala materi
yang diajarkan. Peran guru dalam aliran ini adalah sebagai fasilitator,
pembimbing, penasehat atau pengarah pembelajaran. Pembelajaran lebih
menekankan pada pemecahan masalah nyata di lingkungan peserta didik, bukan
hanya transfer pengetahuan. Aliran Progresivisme telah memberikan warna
tersendiri dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya
dalam upaya untuk menciptakan suasana belajar yang bebas, demokratis dan
berpusat pada peserta didik. |
Keywords |
�Abstract |
progressivism,
student-based education, teacher role, problem solving, constructivism,
learning |
Progressive education is a stream
in educational science that developed at the beginning of the 20th century.
This stream seeks to provide freedom for students to explore their talents
and abilities independently. Progressivism emphasizes the psychological and
sociological aspects of the educational process, meaning that students are
seen as active subjects in learning activities, not passive objects who must
receive all the material taught. The role of the teacher in this stream is as
a facilitator, guide, advisor or learning director. Learning places more
emphasis on solving real problems in the students' environment, not just
transferring knowledge. Progressivism has given its own color to the
implementation of education in Indonesia today, especially in efforts to
create a learning atmosphere that is free, democratic and student-centered. |
*Correspondence Author: Mohammad Fadil Akbar Islamy
Email: [email protected] ��
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu usaha yang ditempuh seseorang agar dapat mengembangkan potensi dirinya. Melalui pendidikan, seseorang juga dibentuk menjadi pribadi yang cerdas, bermoral dan
bertanggung jawab. Dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I disebutkan tentang pengertian pendidikan, yaitu bahwa �Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara�.
Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka dalam hal
ini butuh suatu proses rancangan yang matang, yang beorientasi pada tujuan pendidikan itu sendiri. Beberapa komponen yang berhungan dengan pendidikan yaitu adanya pendidik
dan peserta didik. Disamping itu, terdapat faktor yang menentukan terbangunnya pondasi sebuah pendidikan yaitu melalui landasan
filosofis dari pendidikan itu sendiri.
Dewasa ini, banyak kajian-kajian tentang landasan filosofis atau aliran-aliran yang digunakan oleh
pemangku pendidikan untuk menentukan arah pendidikannya. Beberapa aliran dalam pendidikan
yang dikenal diantaranya, aliran empirisme, behaviorisme, progresivisme, esensialisme, perenialisme, rekontruksionalisme, dan lain sebagainya.
Pada tiap aliran ini mempunyai sudut
pandang yang berbeda-beda terhadap pendidikan yang dibawa oleh masing-masing tokoh pencetusnya.
Dalam kajian ini, peneliti mengangkat
salah satu aliran pendidikan tersebut yaitu aliran progresivisme.
Aliran Progresivisme dalam pendidikan merupakan salah satu konsep penting dalam pendidikan modern (Hafidah &
Sunardi, 2023). Pendidikan progresif
memandang bahwa pembelajaran harus berpusat pada siswa, di mana siswa berperan aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri (Yusuf &
Arfiansyah, 2021). Pembelajaran tidak lagi dipandang sebagai proses penyampaian informasi dari guru ke siswa, melainkan sebagai proses interaktif di mana
siswa terlibat langsung dalam kegiatan belajar (Rivalina, 2015).
Salah satu tokoh penting dalam
aliran Progresivisme adalah John Dewey, seorang filsuf dan pedagogik Amerika.
Dewey menekankan pentingnya
pengalaman dan minat siswa dalam proses pembelajaran (Nurhidayati, 2017). Selain itu, konsep
pendidikan progresif juga sejalan dengan pendekatan konstruktivisme, di
mana siswa aktif mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan peng-alaman dan pemikirannya sendiri (Hendrayanto, 2019).
Aliran ini berkembang di awal abad ke 20 dan membawa pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan. Aliran ini lahir
sebagai pembaharuan dalam dunia filsafat pendidikan, terutama sebagai lawan terhadap
kebijakan pendidikan yang bersifat konvensional seperti esensialisme dan perenialisme. Aliran progresivisme mendukung proses pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada peserta didik agar dapat mengembangkan potensi yang ia miliki sebagai
bekal menghadapi kehidupan sosial dan bermasyarakat. Sejalan dengan hal ini,
Jalaluddin dan Abdullah Idi menjelaskan bahwa filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadapap kekuatan alamiah manusia, yakni kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir
(man�s natural powers). Lebih lanjut
para tokoh filsafat progesivisme beranggapan bahwa manusia sejak
lahir telah membawa bakat dan kemampuan atau potensi dasar, terutama daya akalnya,
sehingga manusia akan dapat mengatasi
segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya (Jalaluddin &
Idi, 2011).
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat
kualitatif. Library research adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan data, informasi, dan berbagai macam data-data lainnya yang
terdapat dalam kepustakaan (Subagyo,
1991). Adapun data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu buku dan jurnal terkait pembahasan Aliran
Progresivisme dalam Pendidikan. Selanjutnya, diuraikan oleh penulis dalam
penelitian tersebut. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis
yaitu Library Research setelah dikumpulkan dari berbagai sumber, penulis
menganalisa terhadap sumber data yang dikumpulkan kemudian mengambil poin-poin
penting sesuai dengan pembahasan yang dilakukan penulis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asal-usul Aliran Progresivisme
Awal mula lahirnya aliran
progresivisme dilatar belakangi ketidak puasan terhadap pelaksanaan pendidikan yang
sangat tradisional, cenderung
otoriter dan peserta didik hanya dijadikan
sebagai objek pembelajaran. Menurut Gutek, aliran ini berakar
dari semangat pembaharuan sosial pada awal abad ke 20 yakni gerakan pembaharuan politik Amerika. Adapun aliran progresif pendidikan Amerika mengacu pada pembaharuan pendidikan di Eropa barat (Gutek, 1974).
Pendapat lain menyebutkan
bahwa aliran progresivisme sebagai aliran filsafat pendidikan memang sudah mulai pada abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditelusuri hingga tokoh-tokoh filosof Yunani. Secara ringkas perkembangan aliran progresivisme dapat dibagi dalam beberapa
fase:
Fase awal perkembangan
progresivisme
Awal perkembangan progresivisme dapat diketahui dari tokoh-tokoh filosof Yunani kuno, seperti;
a. Heraklitus (544-484 sM). Pada masa ini, akar progresivisme dalam filsafat Heraklitus dapat ditelusuri pada salah satu pemikirannya, yaitu bahwa sifat yang terutama dari realita
ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap dalam dunia ini, semuanya berubah-ubah
kecuali asas perubahan itu sendiri. Dengan berpijak pada konsep �segala sesuatu itu berubah�, dapat diartikan bahwa dengan perubahan
itu akan tercipta kemajuan atau progresivitas.
b. Protagoras (480-410 sM). Seorang shopis yang mengajarkan bahwa �kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat
mutlak melainkan relatif, yakni bergantung pada waktu dan tempat. Dengan demikian nilai akan terus mengalami
perubahan, perkembangan dan
kemajuan sesuai dengan situasi dan kondisi.
c. Socrates (469-399 sM). Berusaha menyatukan epistemologi dengan aksiologi. Socrates mengajarkan bahwa �pengetahuan adalah kunci kebijakan,
yang berarti bahwa kekuatan
intelektual dan pengetahuan
yang baik, menjadi pedoman bagi manusia
untuk melakukan yang baik�.
Dengan kemampuan itu manusia akan terus
melakukan perubahan untuk menuju kemajuan.
d. Aristoteles (383-322 sM).
Menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah, bukan jalan
ekstrim) dalam kehidupan. Dengan menghindari ekstrimitas dalam kehidupan, manusia dapat menggagas
perubahan dan kemajuan secara lebih jernih
dan tertata dengan baik, sehingga sikap moderasi merupakan salah satu langkah menuju kemajuan (Zuhairini, 1995).
Perkembangan progresivisme pada abad ke-16
Dalam asas modern, para filosof abad ke-16 juga memberikan kontribusi pemikiran terhadap dasar-dasar perkembangan progresivisme. Diantara filosof tersebut, meliputi;
a. Francis Bacon (1561-1626). Memberikan
sumbangan pemikiran dalam proses terjadinya aliran progresivisme, yaitu dengan usahanya
untuk memperbaiki dan memperhalus
metode eksperimentil (metode ilmiah dalam
pengetahuan alam).
b. John Locke (1632-1704). Pemikiran
progresivisme dapat dilacak dalam ajaranya
mengenai kebebasan politik.
c. Jean Jaques Rousseau (1721-1778). Dengan keyakinannya bahwa manusia lahir
sebagai mahluk yang baik, artinya kebaikan
berada dalam manusia melulu karena kodrat yang baik ada pada manusia.
Oleh karena itu pastilah manusia menghendaki kemajuan.
d. Immanuel Kant (1724-1804). Berpandangan
bahwa memuliakan, menjunjung tinggi kepribadian dan memberi martabat manusia adalah suatu kedudukan
yang tinggi. Hal ini sejalan dengan konsep progresivisme yang selalu menghendaki perubahan dan kemajuan.
e. Hegel, mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan
gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.
Perkembangan progresivisme pada abad ke-19 dan 20
Dalam abad ke-19 dan 20, tokoh-tokoh progresivisme terutama terdapat di Amerika Serikat.
Thomas Paine dan Thomas Jefferson, memberikan sumbangan pemikirannya terhadap progresivisme, karena mereka percaya
terhadap demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis terutama dalam agama. Charles S.
Peirce mengemukakan teori pikiran dan hal berpikir. Bahwa pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila
pikiran itu �bekerja� yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat, perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) merupakan manifestasi-manifestasi
yang khas dari aktifitas manusia, dan kedua hal itu tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan intelek
(berpikir). Jika dipisahkan,
perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia. Tokoh progresivisme yang terkenal adalah William James dan John Dewey.
Progresivisme sebagai ajaran filsafat mempunyai watak yang dapat digolongkan sebagai negatif and
diagnostic dan positive and remidal (Syam, 1983). Negative and diagnostic berarti bersikap anti terhadap otoritarianisme dan obsultisme dalam segala bentuk.
Penolakan tesebut berlaku baik untuk tradisi kuno maupun
modern seperti, agama, moral, sosial,
politik dan ilmu pengetahuan. Positive and remedial, yakni
suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subjek yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan untuk menghadapi
dan mengatasi semua problem hidupnya.
Pengaruh kebudayaan dalam perkembangan progresivisme
Di samping
pengaruh dari tokoh-tokoh filsafat tersebut, ada pengaruh
kebudayaan. Brameld menyebutkan tiga faktor kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan progresivisme, yakni revolusi industri, modern science
dan perkembangan demokrasi.
Perkembangan progresivisme di Amerika
dan Uni Soviet
Meskipun tokoh-tokoh progresivisme yang terkenal ada di Amerika, namun sejak Perang Dunia I, di Amerika sudah ada
sejenis perang dingin pada bidang filsafat pendidikan antara pengikut �progresif� dan madzhab tradisional. Madzhab tradisional dipandang hanya sebagai dasar-dasar
esensial pengetahuan, untuk
menjadi titik tolak bagi anak
didik dalam kehidupannya di kemudian hari. Madzhab progresif
mempertahankan bahwa sekolah itu harus mencerminkan keadaan masyarakat sekelilingnya dan anak-anak harus
dipersiapkan untuk menjadi warga yang baik bagi masyarakat. Jadi tugas pendidikan adalah menyesuaikan anak didik untuk hidup. Sehingga progresivisme mengutamakan perhatiannya ke masa depan, masa lalu sekedar dijadikan
sebagai pelajaran untuk menghadapi masa depan (Bakar & Daulai,
2022).
Pada tahun 1896, John Dewey mendirikan
sebuah sekolah percobaan di Universitas Chicago, dan sejak
saat itu dapat dikatakan Amerika Serikat terus mengadakan percobaan di segala lapangan pendidikan. Akan tetapi yang menjadi bulan-bulanan percobaan itu adalah sekolah rendah. Gagasan-gagasan Dewey,
sangat mempengaruhi praktek
pengajaran disekolah rendah. Salah satu karya yang sangat mempengaruhi pendidikan rendah yaitu School and society pada awal
abad ke-20 di antara pendidik Amerika Serikat banyak melontarkan kritik keras, dengan
mengatakan bahwa anak-anak sekolah rendah sudah terlalu lama diperlakukan hanya sebagai tikus percobaan
saja dan tidak sebagai manusia. Terlalu banyak ahli yang sok ilmiah
dan memperlakukan sekolah
itu sebagai laboratorium, bukan tempat manusia
yang hidup dan berjiwa (Sad, 2016).
Hal-hal
yang menyimpang dari kesungguhan pengabdian pada pendidikan tentu saja tidak selayaknya
dibebankan pada Dewey. Gagasan
yang dimulai oleh Dewey ialah
suatu reaksi melawan kufur yang waktu itu merajalela. Maka berdirilah sekolah-sekolah yang dinamakan child-centered (berpusat
pada anak didik, bukan pada guru atau mata pelajaran). Akan tetapi praktek ini pun mendapat serangan pula, karena dianggap sangat merugikan kepentingan masyarakat. Padahal pendidikan di Amerika Serikat waktu itu yang menjadi primadona adalah pendidikan yang menganggap kepentingan masyarakat sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Kemudian dinamakan pendidikan cumunity-centered,
dimana diusahakan agar anak didik mempunyai
pengertian yang sebaik-baiknya
untuk mengenal alam sekelilingnya.
Sesungguhnya pembedaan kedua pusat orientasi,
antara child centered dan community
centered bukanlah teori
dan praktek pendidikan progresivisme. Aliran ini menyadari bahwa
tiada pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan, sebab
keduanya adalah vital. Pembedaan hanya mungkin dalam arti aksentuasi saja (Syam, 1983).
Hal ini
dilakukan agar anak didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-cita demokrasi yang dijunjung tinggi dan dipraktekkan Amerika. Dan menjadi
ciri khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat
pengajaran terletak pada belajar dalam kumpulan
(kelompok) dan kerjasama.
Dalam kegiatan ini biasanya yang dipelajari adalah suatu topik
(Redi, 2019).
Masyarakat Amerika terus melontarkan kritikan-kritikan atas pendidikan negerinya, puncaknya terjadi sesudah perang dunia kedua. Pergolakan dalam dunia pendidikan dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Pertama, dengan metode progresif, pendidikan Amerika bukan lagi
jadi pembawa nila-nilai kebudayaan dari bangsa itu. Kedua, mengkonstantir bahwa kepandaian anak didik dalam mata
pelajaran dasar (baca-tulis-hitung) sudah jauh berkurang sebagai akibat dari cara-cara
mengajar progresif itu (Bernadib, 2014).
Dalam situasi seperti ini, para pemimpin perusahaan, pabrik, dan jawatan-jawatan di Amerika sudah lama mengeluh
bahwa tamatan sekolah menengah yang menjadi pegawai sangat rendah mutu pegetahuannya.
Orang tua juga sering ragu akan kemampuan anak-anaknya, karena kemajuan tidak dinyatakan dengan angka atau haruf,
melainkan dengan komentar-komentar yang sering mirip dengan lelucon.
Para guru sekolah menengah mengeluh murid-murid sampai di tangan mereka tanpa
persiapan yang cukup.
Karena kemampuan membaca mereka itu sama dengan kemampuan mengerti yang ada pada anak kelas
4 atau 5 sekolah dasar. Atas dasar itu, tugas para guru sekolah menengah yang terutama adalah mengobati kekurangan itu (remedial teaching).
Perkembangan selanjutnya, perhatian para pendidik makin tertuju pada kebutuhan anak didik yang kecerdasaanya tinggi (Hisyam &
Pamungkas, 2016). Seringkali mereka bosan di sekolah menengah dan selama dua tahun pertama di perguruan tinggi, karena bahan pengajaran terlalu mudah dan tidak merupakan tantangan. Hal ini merupakan akibat keseganan guru-guru menyuruh anak didik untuk bekerja keras, karena takut anak
didik mengalami frustasi. Juga ada anggapan bahwa menyuruh bekerja keras itu tidak �demokratis�. Meskipun di Amerika kiranya tidak dapat
diterima gagasan pemisahan sekolah menengah menjadi beberapa jurusan, sesuai dengan kecerdasan anak didik seperti
yang telah dilakukan di
negara Inggris, Prancis,
dan juga Uni Soviet. Akan tetapi mulai
disadari bahwa sudah terlalu lama pendidikan Amerika mengabaikan kebutuhan anak-anak ber-IQ tinggi.
Secara sepintas di Uni
Soviet orang sudah mulai tertarik
dengan progresivisme sekitar tahun 1920-an. Akan tetapi sejak tahun
1931 baru disadari bahwa cara-cara yang terlalu bebas, tidaklah memberikan hasil memuaskan.
Sesuai dengan kritik kaum essensialis, orang-orang Eropa menganggap bahwa pendidikan progresiv tidak memberikan pendidikan yang cukup dibidang dasar-dasar pengetahuan, dan dengan demikian persiapannya kurang untuk meneruskan pendidikan menengah dan tinggi.
Pendidikan rendah di Uni Soviet, ditempuh dalam waktu 4 tahun,
ciri khas dalam pendidikan rendah guru menerangkan pelajaran yang ada dalam buku dan anak didik mendengarkan.
Selain itu pendidikan yang diutamakan
dalam sekolah rendah adalah cinta
tanah air dan keberanian, serta menanamkan dalam jiwa anak
didik bahwa kepentingan rakyat Uni Soviet dan kepentingan
kaum buruh seluruh dunia. Selain anak belajar di sekolah formal, juga terdapat pendidikan luar sekolah, yaitu
untuk anak usia 8 tahun masuk pada Octobrists. Sedangkan anak berusia lebih
dari 10 tahun masuk pada perkumpulan Pioneers
(Harahap, 2018).
Amerika dan Uni Soviet merupakan negara-negara yang sedikit
banyak berusaha,
menggunakan sekolah dan perguruan
tinggi mereka menjadi sebuah alat, untuk mengubah masyarakat mereka. Orang-orang
Amerika ditekankan pada usaha
menjadikan suatu bangsa dari sekian
banyak imigran yang berbeda asal-usulnya, dan membawa mereka pada semangat
puritan dan demokratis, yang menjadi
dasar konstusi dan deklarasi kemerdekaan, sebagaimana ditafsirkan paling sedikit oleh generasigenerasi berikutnya. Uni Soviet sudah tentu
usaha itu diarahkan pada marxisme-leninisme, materialistis
historis, ilmu ekonomi dan bahasa.
Namun kedua bangsa itu telah menggunakan sistem pendidikan sebagai alat untuk kemajuan ekonomi, dan keduanya memiliki patriotisme mendalam yang diungkapkan dalam pelajaran-pelajaran mereka di sekolah (Aripin, n.d.). Akibatnya meskipun menunjukkan perbedaan, tetapi terdapat persamaan antara tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan baik di Amerika maupun Uni
soviet.
Meskipun menuai banyak kritikan, namun progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar dalam dunia pendidikan pada abad 20. Karena telah menempatkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.
Anak diberi kebebasan baik secara fisik
maupun cara berfikir, untuk mengembangkan bakat dan kemampuan terpendam dalam dirinya tanpa adanya
hambatan dan rintangan yang
dibuat orang lain. Oleh karena
itu, progresivisme tidak menyetujui pendidikan otoriter.
Tokoh Aliran Progresivisme
Menurut sejarah munculnya aliran progresivisme ini sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat pragmatisme sebagaimana telah disebutkan di atas, seperti William James dan John Dewey, serta
ada nama tokoh Charles S. Peirce , Johan
Heinrich Pestalozzi, Sigmund Freud, dan penganut aliran ekspereimentalisme,
Francis Bacom. Selain itu, ada
pula tokoh seperti John
Locke yang merupakan tokoh filsafat kebebasan politik dan J.J. Rousseu dengan ajarannya tentang kebaikan manusia telah dibawa
sejak lahir (Rif�ati, 2018).
Adapun pemikiran-pemikiran yang berpengaruh
terhadap perkembangan aliran progresivisme adalah pemikiran Johan Heinrich
Pestalozzi, Sigmund Freud, dan John Dewey. Pemikiran ketiga tokoh tersebut
merupakan inspirasi bagi aliran progresivisme.
Johann Heinrich
Pestalozzi, seorang pembaharu
pendidikan Swiss pada abad
19, menyatakan bahwa pendidikan seharusnya lebih dari pembelajaran
buku, dimana merangkul kesuluruhan bagian pada anakemosi, kecerdasan, dan tubuh anak. Pendidikan lama, menurut
Pestalozzi, seharusnya dilakukan
di sebuah lingkungan yang terikat secara emosional dengan anak dan memberi keamanan pada anak. Pendidikan tersebut seharusnya juga dimulai di lingkungan anak sejak dini
dan melibatkan indera anak pada benda-benda di sekililingnya (Fadlillah, 2017).
Pengaruh pemikiran
Sigmund Freud terhadap pendidik
progresif ialah melalui kajian kasus Histeria (gangguan pada syaraf), Freud mengusut pada asal usul penyakit
mental ini dari masa kanak-kanak. Orang tua yang otoriter dan lingkungan tempat tinggal anak sangat memengaruhi kasus tersebut. Kekerasan/penindasan, khususnya pada masalah seksual dapat menjadi
penyebab penyakit syaraf yang dapat menganggu perkembangan anak bahkan sampai
mereka dewassa.
Adapun pengaruh pemikiran John Dewey dan
para pengikutnya ialah didasarkan pada penjelasannya
yang menyatakan bahwa pendidikan progresif merupakan sebuah gerakan yang tepat sebagai perkumpulan para penentang paham tradisionalisme. Kebanyakan dari mereka terinspirasi
pada paham naturalis Eropa seperti Rousseau dan
Pestalozzi, dari teori psikoanalisis Freudian dan neoFreudian,serta penganut aliran sosial politik
Amerika dan juga paham John Dewey instrumentalisme
pragmatik.
Substansi Pemikiran yang Diusung dalam Aliran
Progresivisme
Knight memberikan gambaran mengenai prinsip - prinsip progresivisme yaitu (Virnayanthi et al.,
2024): 1) proses pendidikan
menemukan asal muasal dan tujuannya pada anak, 2) subjek adalah aktif bukan
pasif, 3) peran guru adalah sebagai penasehat, pembimbing, pemandu, dari pada sebagai rujukan otoriter (tak bisa dibantah) dan pengarah ruang kelas, 4) sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar, 5) aktifitas ruang kelas menfokuskan
pada pemecahan masalah daripada metode-metode artifisial (buatan) untuk pengajaran materi kajian, 6) atmosfer sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis. Labaree (2005) dalam jurnal Paedagogica Historica
menyebutkan progresif administrasi dan progresif pedagogi. Labaree menyoroti gerakan sekolah di Amerika dimana progresif administrasi yang dilakukan di Amerika berhasil terbukti dengan direkonstruksinya organisasi dan kurikulum di sekolah- sekolah. Namun untuk progresif pedagogi belum berhasil atau dikatakan
gagal. Progresif pedagogi sendiri adalah mendasarkan instruksi pada kebutuhan, kepentingan dan tahap perkembangan anak, mengajar siswa keterampilan yang mereka butuhkan bukan berfokus pada transmisi topik tertentu, mempromosikan penemuan dan self directed belajar oleh
siswa melalui keterlibatan aktif, siswa bekerja pada proyek-proyek yang mengungkapkan tujuan siswa dan yang mengintegrasikan disiplin sekitar tema yang relevan secara sosial, itu berarti mempromosikan
nilai-nilai masyarakat, kerjasama, toleransi, keadilan dan kesetaraan demokratis.
Hanurawan menerangkan,
untuk memahami progresevisme
dibagi tiga tahap, yaitu:
1.
Dasar-dasar Ontologi Progresivisme
Secara ontologi, progresivisme menolak pendidikan tradisional yang bersifat vercalisme dan
menggunakan metode belajar
duduk, dengar, hafal, catat yang membuat siswa bersifat reseptif dan pasif. Pandangan Dewey dalam dualisme philosophical tradisional
antara tubuh dan jiwa, tindakan dan pikiran, kesadaran dan aktivitas, alasan dan emosi, individu dan masyarakat, larut dalam situasi di mana total organisme dalam interaksi terus-menerus dengan dunia dan masyarakat. Progresivisme menolak dualisme klasik yang memisahkan ide dan materi, mind-
body, soul-body. Memisahkan teori dan praktik, pendidikan umum dan kejuruan, teori dan seni terapan, pemikiran
dan aksi.
2.
Dasar-dasar Epistemologi Progresivisme
Progresivisme menolak dualisme pengetahuan. Dualisme epistemologi yang memisahkan pengetahuan objektif dan subjektif, fisik dan psikis, empiris dan rasional, intelek dan emosi, pemisahan antara pengetahuan dan pekerjaan, teori dan praktik. Dalam progresivisme ide bukan sesuatu yang terpisah dari pengalaman tetapi merupakan aspek yang tak terpisahkan dari tindakan manusia. Metode eksperimental dan instrumental serta
problem solving sangat penting dalam progresivisme Dewey.
3.
Dasar-dasar Aksiologi Progresivisme
Dewey menerapkan metode eksperimentalalisme pada isu-isu nilai sebagai bahan
faktual penyelidikan. Metodologi penilaian sangat dibutuhkan dalam dunia modern
yang bebas, dan digunakan dalam menentukan konflik silang budaya. Tradisi dan kebiasaan tidak cukup lagi dijadikan dasar untuk menentukan nilai- nilai dalam
masyarakat yang mempunyai ciri-ciri perubahan yang sangat cepat. Progresivisme menempatkan nilai berdasarkan kegunaan yang lebih besar bagi
sebagian besar orang.
Dampak Implikasi Aliran Progresivisme dalam Dunia Pendidikan
Dalam pandangan progresivisme, pendidikan merupakan suatu sarana atau
alat yang dipersiapkan
untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik supaya tetap survive terhadap semua tantangan kehidupannya yang secra praktis akan senantiasa
mengalami kemajuan. Selain
itu, proses pendidikan dilaksanakan
berdasarkan pada asas pragmatis. Artinya, pendidikan harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi peserta didik,
terutama dalam menghadapi persoalan yang ada di lingkungan masyarakat.
Dalam buku Philosophical Alternatives in Education, Gutek menyebutkan bahwa pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal: 1) pendidikan progresif hendaknya memberikan kebebasan yang mendorong anak untuk berkembang dan tumbuh secara alami melalui
kegiatan yang dapat menanamkan inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak; 2) segala
jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang dirangsang melalui kontak dengan dunia nyata; 3) pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan sebagai pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih
ataupun memberikan banyak tugas; 4) prestasi peserta didik diukur dari
segi mental, fisik, moral
dan juga perkembangan sosialnya;
5) dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan
dan pertumbuhannya mutlak diperlukan kerjasama antara guru, sekolah, rumah, dan keluarga anak tersebut; 6) sekolah progresif yang sesungguhnya berperan sebagai laboratorium ynag berisi gagasan
pendidikan inovatif dan latihan-latihan.
Menurut progresivisme,
proses pendidikan memiliki
dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik
yang akan dikembangkan.
Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Di samping itu, progresivisme memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan, sehingga seorang pendidik harus selalu siap untuk memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang
menjadi kencenderungan dalam suatu masyarakat.
Dalam konteks ini, pendidikan harus lebih dipusatkan pada peserta didik, dibandingkan berpusat pada pendidik maupun bahan ajar. Karena peserta didik merupakan
subjek belajar yang dituntut untuk mampu menghadapi berbagai persoalan kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu, menurut Ahmad Ma�ruf ada beberapa prinsip
pendidikan yang ditekankan dalam aliran progresivisme,
diantaranya: 1) Proses pendidikan
berawal dan berakhir pada anak, 2) Subjek didik adalah aktif,
bukan pasif, 3) Peran guru hanya sebagai fasilitator,
pembimbing atau pengarah, 4) Sekolah harus kooperatif dan demokratis, 5) Aktifitas lebih fokus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaraan materi kajian.
Bila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia saat ini, maka progresivisme
memiliki andil yang cukup besar, terutama
dalam pemahaman dan pelaksanaan pendidikan yang sesungguhnya. Dimana pendidikan
sudah seharusnya diselenggarakan
dengan memperhatikan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, serta berupaya
untuk mempersiapkan peserta
didik supaya mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadi di lingkungan sosialnya.
Hal tersebut
senada dengan pengertian pendidikan di
Indonesia, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pengertian ini, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai transfer pengetahuan.
Pendidikan berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia,
seperti kemampuan akademis, relasional, bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik dan daya-daya seni.
Dengan
demikian dapat dipahami, bahwa aliran progesivisme telah memberikan sumbangan
yang besar di dunia pendidikan di Indonesia. Aliran ini telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain.
KESIMPULAN
Aliran Progresivisme
merupakan salah satu dari aliran-aliran yang ada dalam dunia pendidikan. Aliran ini berkembang di awal abad ke 20 dan membawa pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan terutama di Amerika Serikat. Awal mula lahirnya aliran progresivisme dilatar belakangi ketidak puasan terhadap pelaksanaan pendidikan yang
sangat tradisional, cenderung
otoriter dan peserta didik hanya dijadikan
sebagai objek pembelajaran. Adapun tokoh yang disebut sebagai penggagas aliran Progresivisme diantaranya:
William James dan John Dewey, Charles S. Peirce ,
Johan Heinrich Pestalozzi, Sigmund Freud, Francis Bacom,
John Locke, J.J. Rousseu, dsb.
Beberapa prinsip pendidikan yang ditekankan dalam aliran progresivisme,
diantaranya: 1) Proses pendidikan
menemukan asal muasal dan tujuannya pada anak, 2) Subjek didik adalah aktif,
bukan pasif, 3) Peran guru adalah sebagai fasilitator, pembimbing, penasehat atau pengarah, 4)
sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur)
masyarakat besar, 5) Atmosfir sosial
sekolah harus kooperatif
dan demokratis, 5) Aktifitas
ruang kelas lebih fokus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaraan materi kajian.
REFERENSI
Aripin, S. (n.d.). Modernisasi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Sekolah Unggulan: Studi Kasus SMA Islam Al-Azhar 1 Jakarta.
Bakar, R. A., & Daulai, A. F. (2022). Dasar-dasar
kependidikan.
Bernadib, I. (2014). Pendidikan Partisipatof, Menimbang
Konsep Fitrah dan Progressivisme John Dewey. Safira Insania Press.
Fadlillah, M. (2017). Aliran progresivisme dalam pendidikan
di Indonesia. Jurnal Dimensi Pendidikan Dan Pembelajaran, 5(1),
17�24.
Gutek, G. L. (1974). Philosophical alternatives in
education.
Hafidah, R., & Sunardi, S. (2023). Pendidikan di
Indonesia Berdasarkan Aliran Pendidikan (Konsep dan Praktik). Edukatif:
Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(3), 1335�1345.
Harahap, A. G. (2018). Konsep Pendidikan Islam Perspektif
Mahmud Yunus.
Hendrayanto, D. N. (2019). Implications of the Constructivism
Philosophy Perspective in Mathematics Learning. Journal of Mathematics and
Mathematics Education, 9(1), 15�22.
Hisyam, M., & Pamungkas, C. (2016). Indonesia,
globalisasi, dan global village. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jalaluddin, H., & Idi, H. A. (2011). Filsafat
pendidikan: manusia, filsafat, dan pendidikan. Divisi Buku Perguruan
Tinggi, PT Rajagrafindo Persada.
Nurhidayati, E. (2017). Pedagogi konstruktivisme dalam
praksis pendidikan Indonesia. Indonesian Journal of Educational Counseling,
1(1), 1�14.
Redi, P. (2019). Buku Ajar Film Sebagai Gejala Sosial.
-.
Rif�ati, M. I. (2018). Realisme Dalam Filsafat Pendidikan. File:///C:/Users/Administrator/Downloads/REALISME_DALAM_FILSAFAT_PENDIDIKAN.
Pdf.
Rivalina, R. (2015). Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran di
SDN Cipayung 1, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Jurnal Teknodik,
135�146.
Sad, M. (2016). Pendidikan Partisipatif: Menimbang konsep
Fitrah dan Progresivisme Dohn Dewey.
Subagyo, J. (1991). Metode Penelitian dan Praktek. Jakarta:
Rhineka Cipta.
Syam, M. N. (1983). Filsafat pendidikan dan dasar filsafat
pendidikan pancasila. (No Title).
Virnayanthi, N. P. E. S., Candiasa, I. M., Ratnaya, I. G.,
& Widiartini, N. K. (2024). Perspektif Filsafat Pendidikan terhadap
Kreativitas dan Berpikir Kritis (Profil Pelajar Pancasila) dalam Meningkatkan
Minat Berwirausaha di SMK: Educational Philosophy Perspective on Creativity and
Critical Thinking (Pancasila Student Profile) in Increasing Entrepreneurial
Interest in Vocational Schools. Jurnal Filsafat Indonesia, 7(2),
310�317.
Yusuf, M., & Arfiansyah, W. (2021). Konsep � �Merdeka
Belajar� dalam Pandangan Filsafat Konstruktivisme. AL-MURABBI: Jurnal Studi
Kependidikan Dan Keislaman, 7(2), 120�133.
Zuhairini, F. (1995). Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
|
|