Bayu Pramana Suryawan Putra1, Kadek Devi Indah Anggelina2, Sheila Gerhana
Darmayanti3
Universitas Pendidikan Ganesha-RSUD Kabupaten Buleleng, Indonesia123
Email: [email protected]
Abstrak |
Tuberkulosis paru adalah infeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan komplikasi
destroyed lung yang berakibat timbulnya
chronic airway obstruction. Destroyed lung merupakan
penyebab morbiditas dan komplikasi yang sering ditemukan pada penderita TB. Kondisi ini dapat
meningkatkan timbulnya komplikasi gagal napas sehingga sangat berbahaya. Pada
pasien kasus ini, lelaki, 33 tahun, mengeluhkan sesak yang memberat 12 jam yang
lalu, batuk berdahak dengan darah dan demam sejak 3 bulan, keringat malam, dan penurunan berat badan dengan tidak ada riwayat konsumsi
obat anti-tuberkulosis. Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan pada kasus ini sehingga
tegaknya diagnosis tuberkulosis
paru kasus baru dengan destroyed lung dextra, emphysematous lung sinistra compensata,
chronic airway obstruction TB, dan cardiac shifting et causa destroyed lung dextra. Pasien diberikan terapi oksigen, cairan, simtomatis, obat anti-tuberkulosis. Terapi khusus penderita destroyed lung
belum ditemukan hingga saat ini,
beberapa pilihan terapi saat ini
yaitu pembedahan berupa pulmonary resection atau
pneumectomy. Namun, tindakan
tersebut susah dan beresiko tinggi sehingga tidak dilakukan dan lebih cenderung memilih terapi konvensional. Kata kunci: Komplikasi,
Destroyed Lung, Tuberkulosis Paru |
|
Abstract |
Pulmonary tuberculosis is an infection by
Mycobacterium tuberculosis that can cause complications of destroyed lung
resulting in chronic airway obstruction. Destroyed lung is a cause of
morbidity and complications that are often found in TB patients. This
condition can increase the incidence of respiratory failure complications so
it is dangerous. In this case, the patient, a 33-year-old man, complained of
worsening shortness of breath 12 hours ago, coughing up phlegm with blood and
fever for 3 months, night sweats, and weight loss with no history of taking
anti-tuberculosis drugs. Physical and supporting examinations were carried
out in this case so that the diagnosis of new pulmonary tuberculosis cases
with destroyed lung dextra, emphysematous lung sinistra compensata, chronic
airway obstruction TB, and cardiac shifting et causa destroyed lung dextra.
The patient was given oxygen therapy, fluids, symptomatic, and
anti-tuberculosis drugs. Specific therapy for destroyed lung patients has not
been found until now, some current therapy options are surgery in the form of
pulmonary resection or pneumectomy. However, this procedure is difficult and
high-risk, so it is not done, and tend to choose conventional therapy.. Keywords: Complication; Destroyed lung; Lung
Tuberculosis |
*Correspondence
Author: Bayu Pramana Suryawan Putra
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Tuberkulosis
(TB) paru merupakan penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M. TB). Lokasi penyakit ini sebagian besar
menginfeksi paru namun bisa juga menginfeksi organ lain diluar paru seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ lainnya (Burhan, 2020). TB dapat menginfeksi manusia
jika adanya inhalasi droplet yang terkontaminasi (Walczak-Nowicka & Herbet, 2022).
Di
dunia pada tahun 2019, terdapat 10 juta kasus baru (Walczak-Nowicka & Herbet, 2022). Berdasarkan World Health
Organisation (WHO) dengan diagnosis TB baru terdapat 7,1 juta orang pada 2019,
lalu pada tahun 2020 sebanyak 5,8 juta. Pada tahun 2022 kembali meningkat
menjadi 7,5 juta orang dan pada tahun 2023 naik kembali menjadi 8,2 juta. Angka
kematian akibat TB sebanyak 1,25 juta kematian pada tahun 2023. Indonesia masih
menjadi negara dengan kasus TB yang tinggi. Hal tersebut disampaikan pada
survey dari WHO dimana pada tahun 2020, ditemukan incidence rate sebesar 300 �
499 insiden per 100.000 (Kisyombe, 2022).
Infeksi
TB dapat menimbulkan beberapa komplikasi, seperti destroyed lung yang akan
berakibat timbulnya chronic airway obstruction (Kim et al., 2015). Pada laporan kasus ini,
ditemukan pasien yang datang dengan keluhan sesak yang memberat dengan klinis
TB yang berlangsung sudah 3 bulan tanpa pengobatan obat anti tuberkulosis
(OAT). Pasien ini terdiagnosa TB Paru dengan destroyed lung dextra,
emphysematous lung sinistra compensata, dan chronic airway obstruction.
METODE
PENELITIAN
Pengkajian laporan kasus ini dilakukan pada pasien disalah satu Rumah Sakit Umum Daerah yang telah dilakukan informed concent terlebih dahulu. Kasus dianalisa berdasarkan follow up dan rekam medik pasien kemudian dibahas dengan menggunakan sumber jurnal, guideline, buku dan laporan kasus yang search melalui platform di Google Scholar dan PubMed dengan rentang tahun 2010-2025.
KASUS
Seorang laki - laki, 33 tahun, dirawat dengan
keluhan sesak. Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum
Daerah dengan keluhan sesak yang memberat sejak 12 jam yang lalu. Sesak
tersebut memberat ketika beraktivitas. Sesak dirasakan tidak membaik dalam
posisi apapun. Pasien juga mengeluhkan batuk disertai dengan dahak dan darah 3
bulan lalu. Dahak pasien berwarna hijau kekuningan dan kental. Darah yang
dihasilkan perharinya mencapai 50 mL. Pasien juga mengeluhkan riwayat demam
lama selama 3 bulan terakhir ini. Selain itu, terdapat juga keringat malam,
lemas, dan penurunan nafsu makan. Pasien mengatakan terjadi penurunan berat
badan kurang lebih 10 kg. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sulit untuk
berkomunikasi karena suara pasien menjadi serak dan tidak dapat berbicara
dengan jelas sejak sekitar 2 minggu lalu. Pasien memiliki gejala ini selama 3
bulan terakhir. Pengobatan yang dilakukan yaitu paracetamol tablet 3 x 500 mg
dan tidak ada riwayat mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Keluarga pasien
tidak memiliki riwayat serupa. Pasien memiliki riwayat merokok selama 15 tahun
dengan jumlah satu bungkus rokok per-hari.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan
umum kesan sakit berat, kesadaran kompos mentis. Berat badan 45 kg, tinggi
badan 165 cm, BMI 16.5 kg/m2. Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 104 x/menit
teraba kuat reguler, frekuensi napas 26x/menit dan suhu aksila 38,0 ℃,
skala nyeri 0, SpO2 90% Room Air kemudian 96% Nasal Canule 3 liter per-menit.
Pemeriksaan kardio didapatkan auskultasi bunyi
jantung S1S2 tunggal reguler terdengar di hemitoraks kanan, murmur (-),
gallop (-). Pemeriksaan pulmo didapatkan pada inspeksi ditemukan takipneu,
pergerakan hemitoraks kanan tertinggal dan penyempitan celah iga kanan, trakea
deviasi ke kanan. Palpasi ditemukan fremitus taktil meningkat pada superior
dan medial hemitoraks kanan serta menurun di inferior hemitoraks
kanan akibat penarikan jantung, dan ditemukan deviasi trakea ke sisi kanan.
Perkusi ditemukan redup di hemitoraks kanan dan sonor pada hemitoraks kiri, dan
lebar kronig isthmus berkurang. Auskultasi ditemukan suara napas bronkial pada
superior dan medial kemudian vesikular menurun pada inferior hemitoraks kanan.
Pada hemitoraks kiri ditemukan vesikular menurun. Ronkhi basah halus
ditemukan pada kedua hemitoraks, bronkofoni positif pada hemitoraks kanan, dan
suara bisik meningkat pada hemitoraks kanan.
Hasil laboratorium dari darah lengkap didapatkan
leukositosis (13.6 10^3/uL) dan neutrofilia (10.3 10^3/uL), kimia darah didapatkan
dalam batas normal. Hasil elektrokardiografi menunjukkan normal sinus rythm
(Gambar 1). Hasil foto toraks kesan TB paru aktif dengan schwarte, Destroyed
lung dextra, dan Cardiac shifting et causa destroyed lung dextra
(Gambar 2). Hasil Expert MTB-RIF didapatkan MTB detected high and Rifampicin
resistance not detected. Hasil VCT didapatkan B24 non-reactive.
Gambar 1. Foto
EKG Pasien
Gambar 2. Foto
Toraks Pasien
Pasien terdiagnosis Tuberkulosis paru kasus baru
dengan destroyed lung dextra, emphysematous lung sinistra compensata,
chronic airway obstruction TB, dan cardiac shifting et causa destroyed
lung dextra.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah
dengan terapi umum berupa O2 Nasal Canul 2 lpm, IVFD Normal Saline 14 tpm, dan
terapi khusus berupa pemberian Levofloxacin 1x750mg IV, Paracetamol 3x1000mg
IV, N-acetylcystein 3x1000mg IV, serta Nebulizer ipratropium bromide dan
albuterol setiap 8 jam. Setelah penegakan diagnosis Tuberculosis, OAT KDT 1x3
tab diberikan� pada hari ke-enam
perawatan. Pada hari ke-tujuh pasien dipulangkan dan diberikan obat pulang
berupa N-acetylcystein 3 x 400 mg, Nebulizer Procaterol, OAT KDT 1x3 tab, serta
pasien disarankan untuk kontrol ke poliklinik paru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien mengalami TB dengan
komplikasi berupa destroyed lung dengan emphysematous lung sinistra
compensata dan chronic airway obstruction (CAO). Destroyed lung
merupakan penyebab morbiditas dan komplikasi yang sering ditemukan. Penyebab
tertinggi adalah penderita TB dan pneumonia. Namun terdapat juga pada penderita
karsinoma bronkogenik, tumor mediastinum, dan aneurisma aorta (Hossain
& Rahman, 2021; Osarenkhoe et al., 2022). Sisi
kiri paru sering mengalami destroyed lung (58,1%) diikuti oleh sisi
kanan (35,5%) dan sedikit yang bilateral (6,5%) (Osarenkhoe
et al., 2022). Destroyed lung memiliki gambaran
radiologis berupa kerusakan bronkus dan parenkim penarikan bronkovaskular,
bronkiektasis, emphysematous lung dan fibrosis (Kim
et al., 2015).
Destroyed lung akhirnya akan menyebabkan CAO, penelitian mengungkapkan
bahwa pada 159 pasien, terdapat 128 pasien dengan CAO menderita destroyed
lung karena TB (Kim
et al., 2015). Patogenesis CAO berawal dari infeksi TB paru yang
menyebabkan hancurnya salah satu atau kedua paru secara progresif yang
mengakibatkan fibrosis ekstensif atau striktur endobronkial. Hal tersebut
mengakibatkan kerusakan bronkus yang kemudian berakibat timbulnya sequele
berupa CAO (Rold�n,
2022). Manifestasi klinis adalah dyspnea,
hemoptisis, dan penurunan berat badan. Beberapa kasus akan datang ketika dalam
kondisi gagal napas (Osarenkhoe
et al., 2022).
Penderita TB beresiko mengalami destroyed lung
jika termasuk dalam kelompok sebagai berikut, penderita yang tidak pernah
menjalani terapi, terapi yang tidak tuntas, atau terapi yang dihentikan dalam
waktu tertentu, laki � laki, dan berusia < 40 tahun (Osarenkhoe et al., 2022;
Ravimohan et al., 2018)Kemudian penderita destroyed lung yang
beresiko mengalami chronic airway obstruction jika terdapat faktor
resiko seperti perokok dan status BMI yang kurang (de la
Mora et al., 2015; Kim et al., 2015). Pada
kasus ini terdapat kesesuaian dengan teori dimana pasien termasuk dalam
kelompok yang tidak pernah menjalani terapi TB, berjenis kelamin laki � laki,
berusia 33 tahun, kebiasaan merokok, dan BMI kurang.��
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien datang
dengan mengeluhkan keluhan batuk lama lebih dari 2 minggu batuk berdahak, batuk
disertai darah, nyeri dada, dan sesak napas dengan gejala lain meliputi
malaise, penurunan berat badan, menurunnya nafsu makan, menggigil, demam, dan
berkeringat malam (Burhan,
2020). Pada kasus ini ditemukan keluhan sesak napas yang
memberat ketika beraktivitas yang tidak membaik dalam posisi apapun, batuk
berdahak kental warna hijau kekuningan dengan darah sejak 3 bulan, keringat
malam, lemas, dan penurunan nafsu makan. Terdapat penurunan berat badan pada
pasien kurang lebih 10 kg. Telah dilakukan juga perhitungan body mass index
(BMI) dan ditemukan status �kurang�. Hal tersebut dapat disebabkan karena
infeksi TB dapat menyebabkan dari penurunan respon metabolik mulai dari
penurunan nafsu makan, malabsorpsi nutrien, malabsorpsi mikronutrian, dan
perubahan metabolisme. Secara patofisiologi, terjadi penurunan produksi leptin
sehingga memenyebabkan penurunan nafsu makan, kemudian peningkatan penggunaan
energi untuk melawan M.TB dan keterlibatan sitokin proinflamasi seperti
TNF-α menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan (Ye
& Bian, 2018). Pasien juga mengeluhkan Hoarseness yang
merupakan gejala yang cukup sering. Gejala ini yang wajib untuk dicurigai
adalah jenis TB pada laring (Felemban
et al., 2019). Sehingga, pasien ini seharusnya dikonsulkan ke
ahli Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher (THT-KL) untuk mengevaluasi lebih
lanjut.
Pada pemeriksaan fisik jantung, bunyi jantung
ditemukan di hemitoraks kanan sehingga mengesankan pasien mengalami keadaan
yang disebut cardiac shifting. Dalam hal ini, patut ditinjau kembali
pada pasien dimana tidak memiliki riwayat kelaian letak anatomis jantung.
Pemeriksaan radiologis x-ray harus dilakukan untuk konfirmasi adanya fibrosis,
tergesernya mediastinum ke kanan, emphysematous lung kiri kompensata,
dan deviasi trakea ke kanan karena hal tersebut merupakan bukti kuat dari
adanya cardiac shifting et causa destroyed lung dextra.
Pada pemeriksaan paru, ditemukan adanya trakea
terdeviasi ke kanan atau kearah kelainan. Hal tersebut disebabkan karena
berkurangnya volume dari paru kanan sehingga akan terjadi penarikan trakea ke
kanan (Herring,
2019). Kemudian ditemukan juga pada hemitoraks kanan
adanya peningkatan fremitus di superior dan medial, perkusi redup
di superior, medial, inferior, suara napas bronkial di superior
dan medial, bronkofoni, dan suara bisik meningkat. Hal tersebut
disebabkan karena paru kanan berada dalam kondisi airless lung.
Pada x-ray thorax ditemukan gambaran TB paru aktif
dengan schwarte, destroyed lung dextra, dan dekstrokardia
et causa destroyed lung dextra. Pasien disini telah mengalami komplikasi
dari TB yaitu destroyed lung dengan emphysematous lung sinistra
compensata dan chronic airway obstruction (CAO) TB. Penelitian
mengungkapkan bahwa pada destroyed lung akan ditemukan gambaran berupa
hiperinflasi kontralateral dan opasitas difusa dengan kavitas multipel atau
satu kavitas ukuran besar (Osarenkhoe
et al., 2022). Kemudian pada CAO TB mencakup fibrocavity,
residual lung cavities, dan penarikan mediastinum (de
la Mora et al., 2015). Kemudian pasien ini telah diuji tes cepat
molekular (TCM) GeneXpert dengan hasil infeksi TB positif dengan
terdeteksi MTB high dan tidak ada resistensi terhadap rifampisin. Tes
Cepat Molekuler (TCM) merupakan metode tercepat saat ini yang sudah dijadikan
standar diagnosis TB. Dalam hal ini dilakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk
mendeteksi M. tuberculosis dan gen peng-kode resistensi rifampisin pada sputum
dalam waktu 2 jam. Jadi, semua pasien yang dicurigai TB paru dan mampu
mengeluarkan dahak, harus memberikan satu spesimen dahak untuk TCM TB MTB/RIF
di laboratorium. Jika hasil positif maka pengobatan lini pertama TB dapat
dimulai (Burhan,
2020). Dilakukan juga konsul voluntary HIV
counselling and testing (VCT) pasien, didapatakan B24 non-reactive.
Menurut pedoman penatalaksanaan tuberkulosis, semua pasien dengan terduga TB
harus menjalani VCT karena hubungan TB dengan HIV yang sangat erat. Indikasi
VCT ini adalah untuk mencegah, mendiagnosis, dan pengobatan yang optimal baik
pada TB maupun HIV (Burhan,
2020).
Terapi yang diberikan pada penderita ini mencakup
terapi umum dan khusus mulai dari terapi oksigen, simtomatis, OAT, dan terapi
khusus destroyed lung. Terapi oksigen merupakan terapi yang
diindikasikan ketika tekanan parsial oksigen kurang dari 60 mmHg atau nilai
saturasi oksigen kurang dari 90% saat pasien beristirahat dan dalam suhu ruangan.
Terapi oksigen wajib diberikan pada pasien dengan infark miokard, edema paru,
cidera paru akut, acute respiratory disterss syndrome (ARDS), fibrosis
paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbonmonoksida. Pasien ini memiliki
indikasi untuk dilakukan terapi oksigen yaitu kondisi saturasi 90% dan destroyed
lung sehingga tatalaksana oksigen sudah sesuai dengan teori.
Untuk terapi simtomatis bertujuan untuk mengurangi
sesak, bersihan mukus, dan menurunkan demam. Untuk mengurangi keluhan sesak,
diberikan nebulizer Ipratropium Bromide dan albuterol. Ipratropium
Bromide merupakan obat dari golongan Short Acting Muscarinic Antagonist
(SAMA) memiliki mekanisme kerja mengurangi bronkokonstriksi dan mengurangi
sekresi mukus dengan mekanisme kerja antagonis pada reseptor muskarinik pada
sel otot polos bronkial dan sel goblet. Obat ini akan digunakan secara
bersamaan dengan albuterol pada nebulizer dimana albuterol merupakan obat dari
golongan Short Acting Beta-2 Agonist (SABA) akan meningkatkan relaksasi
otot polos dengan meningkatkan konsentrasi cAMP. Interaksi antara kedua obat
tersebut akan meningkatkan efek bronkodilatasi sehingga akan meringankan
keluhan sesak pasien. Untuk meningkatkan bersihan mukus dapat diberikan
N-acetylcystein. Obat ini bertujuan sebagai mukolitik atau pengencer dahak
sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan oleh penderita. Selain itu, obat ini
juga dapat sebagai agen anti-inflamasi dengan supresi aktivasi NF-Kappa B dan
produksi sitokin TNF-α, IL-1, dan IL-6). Obat ini juga memiliki kandungan
antioksidan (Ten�rio
et al., 2021). Untuk menurunkan demam dapat diberikan
paracetamol. Pada kasus ini, pasien diberikan nebulizer Ipratropium Bromide dan
albuterol dipakai setiap 8 jam, N-acetylcystein 3 x 1000 mg IV, dan paracetamol
3 x 500 mg IV. Pemberian obat ini sudah sesuai dengan indikasi pasien dimana
terdapat keluhan sesak, batuk berdahak, susah mengeluarkan dahak, serta demam
sehingga terdapat kesesuaian dengan teori.
Pengobatan TB dengan OAT merupakan upaya penting
dan efisien untuk mencegah penyebaran dan perburukan lebih lanjut dari M. TB.
Terapi OAT dilakukan selama 6 bulan terdiri atas 2 bulan fase intensif dengan
regimen isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol (E) dan 4
bulan fase lanjutan dengan regiman isoniasid dan rifampisin (Burhan,
2020). Pemberian dapat dilakukan dalam bentuk kombinasi
berdasarkan pada berat badan penderita. Rekomendasi terbaru menyatakan bahwa
panduan standar untuk TB kasus baru adalah 2RHZE/4RH (Isbaniah
et al., 2021).
Tabel 1. Penggunaan
Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
Berat Badan (Kg) |
Fase Intensif setiap Hari dengan KDT (150/75/400/275) |
Fase Lanjutan setiap hari dengan KDT RH (150/75 |
Selama 8 minggu |
Selama 16 minggu |
|
30 �
37 kg |
2 tablet 4 KDT |
2 tablet |
38 �
54 kg |
3 tablet 4 KDT |
3 tablet |
≥
55 kg |
4 tablet 4 KDT |
4 tablet |
Sumber: (Isbaniah
et al., 2021)
Berdasarkan tabel tersebut, pasien kasus ini
memiliki berat badan 45 kg. Berarti obat yang telah diberikan kepada pasien
sudah sesuai yaitu OAT yang diberikan adalah 3 tablet 4FDC untuk fase intensif
dan 3 tablet 2FDC untuk fase lanjutan.
Hingga saat ini, pedoman terapi destroyed lung
belum ditemukan sehingga belum ada terapi definitif. Terapi yang dapat
dilakukan hanya pemberian simtomatis seperti bronkodilator. Terapi bedah berupa
pneumectomy diindikasikan pada pasien ini untuk mencegah komplikasi (Yadav,
2023). Selain itu beberapa peneliti mengungkapkan pulmonary
resection yang dilakukan dengan membuang jaringan dengan TB yang aktif
dapat memengaruhi survival rate pasien (Kosasih
et al., 2016). Namun tindakan � tindakan tersebut tergolong
susah dan beresiko tinggi untuk dilakukan sehingga saat ini pasien hanya
diterapi dengan simtomatis dan OAT saja.
Destroyed lung menyebabkan banyak gejala respiratorik dan disfungsi paru.
Keadaan ini akan memiliki prognosis buruk pada jangka panjang pasien.
Berdasarkan literatur, angka mortalitas pada pasien yang tidak menjalani
operasi adalah 27,8% dengan estimasi kurang lebih 39 bulan dan literatur lain
menerangkan bahwa prognosis buruk utamanya pada penderita dengan destroyed
lung extensif (Kosasih
et al., 2016). Status pasien saat ini dipulangkan dengan prognosis
quo ad vitam: dubia ad bonam, quo ad sanationam: malam, quo ad functionam:
dubia ad malam.
Walaupun pasien masih memiliki sequele dari TB,
pasien dapat menjalani terapi rehabilitasi paru. Dimana menurut penelitian,
terdapat program pelatihan seperti relaksasi, latihan napas, latihan pada otot
napas, dan dukungan edukasi dan terdapat juga pelatihan seperti latihan fisik
dengan tujuan memperkuat ekstremitas atas dan bawah dan aerobik, edukasi
tentang TB, dan latihan beraktivitas sehari � hari. Program pelatihan tersebut
dijalani tiga kali seminggu untuk delapan minggu. Luaran pada pelatihan
tersebut ternyata memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan kualitas
hidup penderita
(Mu�oz-Torrico
et al., 2016).
KESIMPULAN
Burhan, E. (2020). Pedoman nasional pelayanan kedokteran
(PNPK) tata laksana tuberkulosis.
de la Mora, I. L., Mart�nez-Oceguera, D., &
Laniado-Labor�n, R. (2015). Chronic airway obstruction after successful
treatment of tuberculosis and its impact on quality of life. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 19(7),
808�810. https://doi.org/10.5588/ijtld.14.0983
Felemban, T., Ashi, A., Sindi, A., Rajab, M., & Al
Jehani, Z. (2019). Hoarseness of voice as a rare presentation of tuberculosis:
a case report study. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences,
7(19), 3262. https://doi.org/10.3889/oamjms.2019.817
Herring, W. (2019). Learning radiology: recognizing the
basics. Elsevier Health Sciences.
Hossain, A. S. M. Z., & Rahman, M. H. (2021). CT
evaluation of unilateral destroyed lung among Bangladeshi population. TAJ:
Journal of Teachers Association, 34(1), 75�79.
https://doi.org/10.3329/taj.v34i1.54909
Isbaniah, F., Burhan, E., Sinaga, B. Y., Yanifitri, D. B.,
Handayani, D., & Harsini, D. (2021). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Kim, S. J., Lee, J., Park, Y. S., Lee, C.-H., Lee, S.-M.,
Yim, J.-J., Kim, Y. W., Han, S. K., & Yoo, C.-G. (2015). Effect of airflow
limitation on acute exacerbations in patients with destroyed lungs by
tuberculosis. Journal of Korean Medical Science, 30(6), 737.
Kisyombe, M. C. (2022). Factors associated with mortality
among paediatric tuberculosis patients in Blantyre and knowledge, attitudes and
practice on tuberculosis transmission among parents and guardians of children
with tuberculosis at Ndirande Health Centre in Blantyre, Malawi. Kamuzu
University of Health Sciences (Malawi).
Kosasih, K. A., Amin, Z., & Amanda, A. P. (2016).
Mortality rate of patients with tuberculosis-destroyed lung who underwent
pulmonary resection: Evidence based case report. Indon J Chest Critical
Emergency Med, 3.
Mu�oz-Torrico, M., Rendon, A., Centis, R., D�Ambrosio, L.,
Fuentes, Z., Torres-Duque, C., Mello, F., Dalcolmo, M., P�rez-Padilla, R.,
& Spanevello, A. (2016). Is there a rationale for pulmonary rehabilitation
following successful chemotherapy for tuberculosis? Jornal Brasileiro de
Pneumologia, 42, 374�385.
https://doi.org/10.1590/S1806-37562016000000226
Osarenkhoe, J., Aiwuyo, H., Aisosa, O., & Ejiroghene, U.
(2022). Destroyed lung syndrome: a review of 31 published cases. Open
Journal of Respiratory Diseases, 12(2), 37�43.
https://doi.org/10.4236/ojrd.2022.122003
Ravimohan, S., Kornfeld, H., Weissman, D., & Bisson, G.
P. (2018). Tuberculosis and lung damage: from epidemiology to pathophysiology. European
Respiratory Review, 27(147).
https://doi.org/10.1183/16000617.0077-2017
Rold�n, S. R. (2022). Chronic obstructive pulmonary disease
and biomass food cooking: a transdisciplinary problem. Revista Salud P�blica
y Nutrici�n, 21(1), 36�42.
Ten�rio, M. C. dos S., Graciliano, N. G., Moura, F. A.,
Oliveira, A. C. M. de, & Goulart, M. O. F. (2021). N-acetylcysteine (NAC):
impacts on human health. Antioxidants, 10(6), 967.
https://doi.org/10.3390/antiox10060967
Walczak-Nowicka, Ł. J., & Herbet, M. (2022). Sodium
benzoate�Harmfulness and potential use in therapies for disorders related to
the nervous system: A review. Nutrients, 14(7), 1497.
https://doi.org/10.3390/nu14071497
Yadav, S. (2023). Destroyed lung syndrome in a young Indian
male: a case report. Cureus, 15(4).
https://doi.org/10.7759/cureus.38174
Ye, M., & Bian, L.-F. (2018). Association of serum leptin
levels and pulmonary tuberculosis: a meta-analysis. Journal of Thoracic
Disease, 10(2), 1027. https://doi.org/10.21037/jtd.2018.01.70
|
� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |