Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Mei 2021, 1 (5), 524 - 529
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
10.36418/cerdika.v1i5.80 524
PENANGANAN DAN PREVENTIF SINDROM STEVENS JOHNSON DI
MASYARAKAT
Hermiaty
1
, Rachmat Faisal Syamsu
2
, dan Nur Akhsan Diana
3
Dosen Bagian IKM-IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
1,2
MPPD Bagian IKM-IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
3
.
Email : Herminas@gmail.com
1
, rachmatfaisal@umi.ac.id
2
,
nurakhsandiana456@gmail.com
3
Abstract
Received:
Revised:
Accepted:
16-04-2021
17-05-2021
22-05-2021
Stevens-Johnson syndrome (SSJ) is a syndrome affecting the
skin, mucous membranes in the orifice, and eyes with a
general condition that varies from mild to severe. CNS is a
minor form of toxic epidermal necrolysis (TEN) with
exfoliation of less than 10% of the body surface area. This
disease is acute and in its severe form it can cause death,
therefore this disease is one of the emergencies of skin
disease. The etiology of CNS and TEN are classified into
four categories, including infections, drugs, related to
malignancy, and idiopathic, but the causes drug exposure. In
Indonesia, the drugs that are thought to cause SJS most often
are antipyretics and analgesics. The main treatment for SSJ-
NET is the use of drugs suspected of being the cause. Other
therapies that can be given are controversial, such as
administration of corticosteroids, IVIG, plasmapheresis and
cyclosporine.
Keywords: treatment; preventive; Stevens Johnson
syndrome; prevalence.
Abstrak
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang
mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan
keadaan umum yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ
merupakan bentuk minor dari toxic epidermal necrolysis
(TEN) dengan pengelupasan kulit kurang dari 10% luas
permukaan tubuh. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk
yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu
penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan dari
penyakit kulit. Etiologi SSJ dan NET digolongkan menjadi
empat kategori, antara lain infeksi, obat, berhubungan
dengan keganasan, serta idiopatik, namun penyebab utama
adalah paparan obat.Di Indonesia obat yang diperkirakan
paling sering menyebabkan SJS adalah antipiretik dan
analgetik.Penanganan utama pada SSJ-NET adalah dengan
menghentikan penggunaan obat yang dicurigai sebagai
penyebab. Terapi lain yang dapat diberikan masih
kontroversial, seperti pemberian kortikosteroid, IVIG,
Hermiaty, Rachmat Faisal Syamsu, dan Nur Akhsan Diana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia
1(5), 524 - 529
Penanganan dan Preventif Sindrom Stevens Johnson
di Masyarakat 525
plasmaferesis dan cyclosporine.
Kata kunci: penanganan; preventif; sindrom Stevens
Johnson
Coresponden Author : Hermiaty
Email : herminas@gmail.com
CC BY ND
PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan hingga
berat (Nastiti, 2019). SSJ merupakan bentuk minor dari toxic epidermal necrolysis (TEN)
dengan pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Penyakit ini bersifat
akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit
ini merupakan salah satu kegawat daruratan dari penyakit kulit. Penyebab belum jelas
angka mortalitas SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada usia lanjut. Insiden
sindrom ini semakin meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan
sekarang obat-obatan cenderung dapat diperoleh bebas (Fitriany & Alratisda, 2019).
Beberapa factor yang dapat dianggap sebagai penyebab antara lain alergi obat,
infeksi, dan idiopatik. Beberapa obat yang dianggap sebagai penyebab alergi obat
tersering ialah analgetik/antipiretik, antikonvulsan, antibiotik dan antimalaria. Data yang
diperoleh berdasarkan penelitian oleh Committe Drug Adverse Reaction Monitoring
Directory for Drug and Food Administration, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi
samping obat. Sebanyak 35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-
Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus
(Indrastiti et al., 2016).
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifactorial, Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut
eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang sama
(Fitriany & Alratisda, 2019). Etiologi SSJ dan NET digolongkan menjadi empat
kategori, antara lain infeksi, obat, berhubungan dengan keganasan, serta idiopatik, namun
penyebab utama adalah paparan obat.. Pada kasus SSJ, 50% kasus berhubungan dengan
paparan obat dan lebih dari 100 macam obat telah dilaporkan sebagai kemungkinan
penyebab (Diana et al., 2021). Pengobatan dengan obat tunggal dapat memprediksi obat
sebagai penyebab pada 60-79% kasus, dan umumnya reaksi timbul antara 4-30 hari
setelah paparan awal. Pada penggunaan obat dalam jangka waktu lama, seperti
penggunaan carbamazepine, phenytoin, phenobarbital, atau allopurinol, risiko tertinggi
terjadinya SSJ adalah dalam 2 bulan pertama pemakaian obat, setelah itu risiko terjadinya
SSJ akan menurun (Diana & Irawanto, n.d.).
Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Gejala SSJ-NET timbul
dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat. Pada fase akut Sebelum terjadi lesi
kulit, dapat timbul gejala prodromal atau gejala non-spesifik berupa, demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, arthralgia, rinitis, terkadang
disertai muntah dan diare selama 1-14 hari. Gejala prodromal selanjutnya akan
berkembang ke arah manifestasi mukokutaneus
(Nastiti, 2019).
Hermiaty, Rachmat Faisal Syamsu, dan Nur Akhsan Diana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia
1(5), 524 - 529
Penanganan dan Preventif Sindrom Stevens Johnson
di Masyarakat 526
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode review article. Sumber data penelitian ini
berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet berupa hasil penelitian dari publikasi
jurnal. Dalam hal kepustakaan menggunakan literatur internasional dan nasional. Kriteria
inklusi adalah variable-variable yang diteliti oleh peneliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Sauteur Penatalaksanaan SJS
bergantung pada penghentian obat yang menyinggung selain hidrasi, nutrisi, antibiotik,
dan perawatan suportif. Kortikosteroid oral atau imunoglobulin intravena dapat diberikan
pada kelompok pasien tertentu. Pasien kami membaik dengan penghentian sofosbuvir,
emolien topikal, steroid, dan perawatan suportif tanpa komplikasi sisa.
Total 48 obat ditemukan sebagai agen penyebab yang dicurigai. Antimikroba
(27,1%) adalah kelompok obat yang paling sering dikaitkan diikuti oleh antivirus (23%),
obat antiseizure (8,4%), dan analgesik (8,4%). Nevirapine (23%), kotrimoksazol (10,4%),
parasetamol (8,3%), karbamazepin (4,2%), amoksisilin (4,2%), amoksisilin + asam
klavulinat (4,2%), dan klorokuin (4,2%) ditemukan sebagai obat terkait. Obat tunggal
dicurigai pada 31 (77,5%) kasus dan obat penyebab umum dalam subkelompok ini adalah
antipiretik 16 (40%), nevirapine tujuh (17,5%), klorokuin dua (5%), dan karbamazepin
dua (5%). Sesuai algoritma Naranjo untuk penilaian kausalitas, dalam 26 kasus obat
merupakan “kemungkinan” penyebab erupsi, sedangkan “kemungkinan” penyebab erupsi
dalam 14 kasus. Kematian terlihat dalam dua (5%) kasus TEN.
Carbamazepine dan fenitoin adalah obat penyebab paling umum dalam penelitian
lain. Meskipun sefalosporin dan allopurinol dilaporkan sebagai agen yang paling umum
oleh Yamane dkk. dan Sharma dkk,masing-masing. Di antara 16 (33,2%) kasus, obat
antipiretik yang tidak diketahui bertanggung jawab untuk menyebabkan erupsi. Sembilan
dari 16 kasus mengalami letusan parah (TEN). Ini menyoroti risiko obat bebas untuk
ADR yang langka dan serius. Dalam 77,5% kasus dalam penelitian kami, obat tunggal
ditemukan bertanggung jawab lebih tinggi hingga 60% terlihat pada penelitian
sebelumnya.
Sekitar 2 hingga 3 orang per juta/tahun memiliki SJS atau TEN di Eropa dan
Amerika Serikat. Di Brasil, sindrom Stevens-Johnson bervariasi dari 1,2 hingga 6 kasus
per juta orang/tahun, dan TEN bervariasi dari 0,4 hingga 1,2 juta per tahun 2006). Untuk
tahun 2005 hingga 2007, angka kejadian TEN di Jepang adalah 0,28 hingga 0,52 per juta
per tahun.
Pada sekitar 80% kasus ini, obat adalah penyebab utamanya. Kelas obat yang
paling terkait dengan kondisi ini adalah antiepilepsi, antibiotik, dan inhibitor xantin
oksidase. Penggunaan karbamazepin dianggap sebagai penyebab paling umum. Faktor
lain yang terkait dengan munculnya reaksi ini adalah imunisasi, infeksi virus, produk
kimiawi dan mikoplasma pneumoniae. Salah satu fitur yang tumpang tindih dalam SJS
dan TEN adalah adanya demam dan malaise. Meskipun SJS dan TEN mempengaruhi
pasien dari segala usia, ras dan jenis kelamin, hal ini terutama terkait dengan penggunaan
obat-obatan. Biaya ADR untuk layanan kesehatan biasanya diremehkan, karena sebagian
besar reaksi terjadi pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit, oleh karena itu, reaksi
ini kurang dilaporkan.
Memberikan penjelasan kepada masyarakat apabila meminum obat pastikan
untuk membaca petunjuk dalam kemasan obat, dan observasi tanda-tanda yang muncul
setelah meminum obat.Pasien dan keluarga diberikan penjelasan mengenai penyebab SSJ
Hermiaty, Rachmat Faisal Syamsu, dan Nur Akhsan Diana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia
1(5), 524 - 529
Penanganan dan Preventif Sindrom Stevens Johnson
di Masyarakat 527
sehingga faktor pencetus SSJ dapat dihindari. Penjelasan mengenai kondisi pasien dan
obat-obat yang diduga menjadi penyebab. Memberikan pasien catatan tertulis mengenai
obat-obat yang diduga menjadi pencetus dan memberikan penjelasan pada pasien untuk
menghindari obat-obatan tersebut. Obat-obat yang memiliki resiko tinggi mengakibatkan
SSJ adalah allopurinol, sulfametoksasol, sulfadiazine, sulfapyridin, sulfadoxine,
sulfasalazine, fenobarbital, carbamazepine, lamotrigine, fenitoin, fenibultazon,
nevirapine). Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat yang
rasional yang sesuai dengan indikasi, dosis, dan jangka waktu dalam pemberian obat.
SSJ adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan tatalaksana yang
optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat tersangka, serta perawatan
suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk merawat pasien SSJ di ruang perawatan
khusus (Thaha, 2009).
1. Perawatan suportif mencakup:
a) Mempertahankan dan mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan
pemberian secara iv
b) Suhu lingkungan yang optimal 28-30°C
c) Nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan. Berikan Nutrisi
secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun nasogastric
d) Jika penderita koma, lakukan tindakan darurat terhadap keseimbangan O2 dan
CO2.
e) Perawatan kulit secara aseptik tanpa debridement
f) Perawatan mata dan mukosa mulut. Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter
spesialis mata.
2. Medikamentosa
Prinsip :
a) Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.
b) Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk
mencegah hospital associated infections (hais).
c) Atasi keadaan yang mengancam jiwa
d) Topikal Terapi : bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak, infeksi
mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.
e) Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah
infeksi sekunder. Kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil.
f) Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan 50%
cairan parafin.
g) Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisil 2%Kelainan mulut yang
berat diberikan kompres asam borat 3%
h) Konjungtivitis diberi salep mata yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.
3. Penanganan secara konservatif :
a) Kortikosteroid sistemik: kortikosteroid dosis tinggi.
1) Pada kasus berat diberi deksametason i.v dosis 4x5 mg selama 3-10 hari. jika
keadaan umum membaik, penderita dapat menelan, maka obat diganti dengan
prednison (dosis ekivalen). deksametason intravena dengan dosis setara
prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan
4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.
2) Pada kasus ringan diberikan prednison 4-5 mg-4x20 mg/hari, dosis
diturunkansecara bertahap jika terjadi penyembuhan. prednison 80-200 mg (live
saving) secara parenteral/per oral, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
3) Bila keadaan umum penderita cukup baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.
Hermiaty, Rachmat Faisal Syamsu, dan Nur Akhsan Diana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia
1(5), 524 - 529
Penanganan dan Preventif Sindrom Stevens Johnson
di Masyarakat 528
4) Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, dan
jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol.
5) Pilihan lain: Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan
segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3
hari, Siklosporin dapat diberikan, Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid
sistemik dapat mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan
angka mortalitas.
6) Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi.
7) Pengobatan lain : ACTH (sintetik) 1 mg, obat anabolik, KCL 3x500 mg, obat
hemostatik (adona), dan antihistamin, IVlg, siklosporinA, siklofosfamid,
plasmaferesis dan hemodialisis juga telah digunakan di berbagai negara dengan
hasil yang bervariasi.
8) Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun
belum diperoleh hasil yang jelas karena sulitnya mengadakan uji klinis untuk
penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini,
hasilnya masih sangat beragam, sehingga penggunaannya belum dianjurkan.
Bila keadaan umum penderita cukup baik dan lesi tidak menyeluruh dapat
diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari.Analgesik dapat diberikan.Jika nyeri ringan
dapat diberikan parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based
seperti tramadol.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari article review yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) memiliki dampak yang besar dalam kesehatan
masyarakat karena tingginya angka kematian yang ditimbulkannya. Beberapa factor yang
dapat dianggap sebagai penyebab antara lain alergi obat, infeksi, dan idiopatik. Beberapa
obat yang dianggap sebagai penyebab alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik,
antikonvulsan, antibiotik dan antimalaria. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian
oleh Committe Drug Adverse Reaction Monitoring Directory for Drug and Food
Administration, Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995
menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Penanganan
utama pada SSJ-NET adalah dengan menghentikan penggunaan obat yang dicurigai
sebagai penyebab. Terapi lain yang dapat diberikan masih kontroversial, seperti
pemberian kortikosteroid, IVIG, plasmaferesis dan cyclosporine. Pemahaman mengenai
patofisiologi dan penatalaksaan terkini dari SSJ dan NET diharapkan dapat membantu
dalam pencegahan penyakit, diagnosis dini serta dalam pemberian terapi yang lebih
efektif untuk perawatan SSJ-NET.
BIBLIOGRAPHY
Diana, R., & Irawanto, M. E. (n.d.). Patofisiologi Dan Manajemen Terapi Sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) Dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET).
Diana, R., Rahayu, T., Wirawan, E. P., Dhamayanti, M. E., Yuliarto, D., & Irawanto, M.
E. (2021). Pathophysiology and management therapy of Steven-Johnson Syndrome
(SJS) and Toxic Necrolysis Epidermal (TEN). Journal of General-Procedural
Dermatology and Venereology Indonesia, 2839.
Hermiaty, Rachmat Faisal Syamsu, dan Nur Akhsan Diana. /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia
1(5), 524 - 529
Penanganan dan Preventif Sindrom Stevens Johnson
di Masyarakat 529
Fitriany, J., & Alratisda, F. (2019). Stevens Johnson Syndrome. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 5(1), 94115.
Indrastiti, R., Novitasari, A., & Arum, C. (2016). Faktor Prediktor Sindrom Stevens-
Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah,
5(1).
Nastiti, D. M. (2019). Pengantar Bioetik untuk Mahasiswa Kedokteran. PT Penerbit IPB
Press.
Thaha, M. A. (2009). Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesia, 43(5), 234
239.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY ND)
license (https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).