PEMBUKTIAN TERHADAP PENIPUAN ONLINE BERKEDOK ASMARA MENURUT UU ITE

 

Rusdinah, Seselia Ongso, Andy Winardi, Ricky Banke

Universitas Pelita Harapan, Medan

E-mail : [email protected], [email protected], [email protected],[email protected]

Kata Kunci

Abstrak

penipuan online, asmara, hukum pembuktian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords

Hukum pembuktian sendiri terkait dengan hak-hak terdakwa dalam sistem peradilan pidana, seperti hak untuk berdiam diri atau hak mendapat pembelaan yang layak. Hukum pembuktian memastikan dalam prosesnya peradilan pidana adil dan bahwa terdakwa memiliki hak-hak yang dilindungi dalam proses pengadilan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembuktian terhadap penipuan online berkedok asmara sesuai dengan UU ITE. Metode penelitian yang diterapkan adalah jenis penelitian kepustakaan, di mana sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang telah ada dalam bentuk dokumen-dokumen. Sumber data utama adalah jurnal ilmiah yang terkait dengan penipuan online berkedok asmara yang ditemukan secara online. Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah dengan majunya perkembangan zaman, tindak pidana penipuan online berkedok asmara sudah bisa dihukum. Dan yang bisa dan berkompeten dalam mencari barang bukti tersebut merupakan polisi virtual sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruangan Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Kesimpulan yang didapat adalah dengan seiring berkembangnya globalisasi teknologi, tidak sedikit orang memanfaatkan media sosial menggunakan citra palsu, identitas palsu, sampai banyak korban yang merasakan kerugian baik secara finansial sampai fisik ataupun jasmani mereka.

 

 

Abstract

Online Fraud, Romance, Law of Evidence

The law of evidence itself relates to the rights of defendants in the criminal justice system, such as the right to silence or the right to an adequate defense. The law of evidence ensures that criminal justice is fair and that defendants have protected rights in court proceedings. The purpose of this study is to determine the proof of love scamming fraud in accordance with the ITE Law. The research method applied is a type of literature research, where the data source used is secondary data that already exists in the form of documents. The main data sources are scientific journals related to love scamming scams found online. The results obtained in this study are that with the advancement of the times, the crime of love scamming can be punished. And those who can and are competent in searching for evidence are virtual police in accordance with the Circular Letter of the Chief of Police Number SE/2/II/2021 concerning Ethical Cultural Awareness to Realize a Clean, Healthy, and Productive Indonesian Digital Space. The conclusion obtained is that along with the development of technological globalization, not a few people use social media using false images, false identities, until many victims feel losses both financially and physically themselves.

*Correspondent Author: Rusdinah

Email : [email protected]

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

PENDAHULUAN

Sejatinya hukum pembuktian dan hukum pidana merupakan dua bidang hukum yang sangat saling terkait bahkan sudah pasti akan ada terjadi keterkaitan hukum pembuktian dalam hukum pidana. Kedua bidang ini sudah memiliki hubungan yang erat. Faktanya bisa kita lihat dalam pembuktian dalam tindak pidana penentu dari kesalahan seorang tersangka dan penentuan hukuman yang akan diadili tergantung pada bukti-bukti yang dihadirkan pada pengadilan. Selain itu juga hukum pembuktian turut serta dalam menentukan tingkat kesalahan yang harus diberikan kepada tersangka.

Prinsip-prinsip pembuktian dalam hukum pidana sering mengacu pada berbagai prinsip pembuktian yang mengatur bagaimana bukti-bukti diperlakukan dalam kasus pidana. Salah satu contoh prinsip praduga tak bersalah/presumption of innonce mewajibkan pengadilan untuk menganggap tersangka tida bersalah hingga dapat dibuktikan bahwa bersalah diluar keraguan. Contoh prinsip ialah bagaimana hukum pembuktian dapat mempengaruhi hukum pidana.

Dalam pembuktian juga terdapat jenis-jenis bukti menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat lima jenis bukti yang sah. Pada Pasal 184 KUHAP ayat (1) yang berbunyi �Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat;d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.�Selain itu juga sesuai dengan urutannya maka dari yang pertama yang memiliki kekuatan yang lebih kuat dari pada yang berikutnya yakni : Keterangan saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. Maka seandainya ditemukan sebuah telepon genggam yang digunakan untuk penipuan dapat diklasifikasi dengan keterangan ahli jika sudah dikonfirmasi alat tersebut merupakan alat bukti kejahatan.

Dalam hukum pidana juga memiliki standar pembuktian tertentu yang harus dipenuhi untuk menghukum seorang terdakwa. Hukum pembuktian akan sangat memengaruhi cara pengadilan menilai apakah standar pembuktian ini terpenuhi dalam suatu kasus.

Hukum pembuktian sendiri terkait dengan hak-hak terdakwa dalam sistem peradilan pidana, seperti hak untuk berdiam diri atau hak mendapat pembelaan yang layak. Hukum pembuktian memastikan dalam prosesnya peradilan pidana adil dan bahwa terdakwa memiliki hak-hak yang dilindungi dalam proses pengadilan.

Hukum Pembuktian juga merupakan komponen penting dalam hukum perdata. Hukum perdata adalah cabang hukum yang mengatur hubungan antar individu maupun entitas hukum dalam masyarakat. Tentunya hukum perdata merangkum aspek seperti kontrak, harta warisan, kepemilkan properti, gugatan perdata dan sebagainya. Maka hukum pembuktian dalam konteks hukum perdata adalah aturan dan prinsip yang mengatur bukti-bukti diterima dan dinilai oleh pengadilan dalam proses peradilan perdata.

Kaitan dalam hukum perdata tentang hukum kontrak dapat kita tilik dari pembuktian dalam gugatan perdata yang mengajukan gugatan harus memberikan bukti untuk mendukung tuntukan mereka. Oleh karena itu dalam hal ini beban pembuktian dimiliki oleh si pengugat dan hukum pembuktianlah yang mengatur mengenai hal-hal ini.

Dalam hukum perdata juga terdapat pembuktian terbalik dimana beban pembuktiannya dimiliki oleh tergugat untuk membuktikan bahwa klaim pengugat salah atau tuntutan yang dilayangkan tidak benar apa adanya. Biasanya pada kasus-kasus perlindungan konsumen atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Alat bukti yang digunakan dapat kita lihat pada pasal 1866 KUHPer yakni bukti surat; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; sumpah. Namun juga ada kewajiban bagi para pihak untuk memelihara bukti-bukti yang relevan sehingga kehilangan atau merusak bukti bukti dapat memberikan dampak negatif pada kasus.

Selain itu juga hukum pembuktian memiliki kaitan pentingan dengan kejahatan dunia maya atau dunia digital yang sering kita sebut sebagai cybercrime. Kejahatan ini biasanya mencakup berbagai tindakan illegal dalam dunia digital seperti penipuan online, pencurian datam peretasan (hacking), penyebaran malware, dan sebagainya.

Oleh karena itu hukum pembuktian tentunnya turut andil dalam hal ini di mana aspek umum yang dapat kita lihat pada bukti digital. Tentunya setiap kejahatan yang ditimbulkan memiliki jejak elektroniknya seperti catatan log, pesan teks, email, rekaman video, atau data. Bagaimana agar bukti elektronik ini dapat diterima dalam pengadilan maka hukum pembuktian mengaturnya agar bagaimana pihak yang menggunakan bukti dapat memasuki kategori dalam pasal 184 KUHAP tersebut.

Selain itu dalam menyelediki kejahatan digital maka penyidik dan penegak hukum harus sering bekerja dengan pihak-pihak yang mengelola layanan online. Karena dalam kewenangan penyelidikan tentunya bukti-bukti tersebut harus didapatkan dengan cara yang legal atau sah. Ini juga merupakan aspek penting dalam hukum pembuktian karena kewenangan penyelidikan telah diatur juga dalam peraturan kepala kepolisian Negara Republik Indonesia No.6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana sebagai landasan utama proses penyelidikan baigan satuan reskrim di seluruh Indonesia.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau singkatannya KUHAP dalam pasal 1 ayat 4 KUHAP berbunyi �Penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang dalam undang-undang untuk melakukan penyelidikan�. Sedangkan penyelidikan diatur dalam pasal 1 ayat 7 peraturan kepala kepolisian Negara Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 yang diadopsi dari pasal 1 ayat 5 KUHAP yaitu �Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dengan cara yang diatur dalam undang-undang�.

Maka bukti-bukti tersebut harus dapat dipastikan keaslian dan intergritas bukti tersebut yang artinya hukum pembuktian harus dapat mengatasi isu-isu bahwa bukti tersebut tidak dimanipulasi atau diubah oleh pihak yang terlibat dalam kejahatan dunia maya.

Sering juga dalam kejahatan dunia maya ini didatangkan saksi ahli yang memahami teknologi dan metode pelaku. Maka saksi ahli inilah yang akan memberikan keterangan dan analisis yang mendukung bukti elektronik yang diajukan dan jika kejahatan dunia maya ini merupakan tindak pidana maka dapat dikonversi lagi terhadap sesuai dengan jenis bukti pada pasal 184 KUHAP.

Selain itu juga perlindungan privasi dalam pengumpulan bukti digital, hak-hak privasi individu juga harus diperhatikan karena hukum pembuktian harus sejalan dengan prinsipnya perlindungan privasi, sementara tetap memungkinkan penyelidikan dan penuntuan kejahatan dunia maya.

Karena sifat teknis dan kompleks dari bukti-bukti digital, pemahaman akan tentang hukum pembuktian harus kuat dan perkembagan teknologi digital sangat penting dalam memastikan penegakan hukum yang efektif dalam kejatahan dunia maya. Karena sering kali kejahatan dunia maya yang berubah menjadi pidana maka dapat digunakan juga KUHAP dalam hukum acaranya.

Di zaman yang sudah semakin maju ini kejahatan juga ikut berkembang di mana penipuan bukan hanya sekedar dengan obrolan biasa lagi bahkan juga melibatkan perasaan. Dapat kita lihat salah satu contoh penipuan yang sudah sangat modern di film documentary Netflix berjudul �Tinder Swindler� mengenai seorang pria yang menipu banyak sekali Perempuan dari Tinder dengan melakukan penipuan online berkedok asmara yang berawal dari mendekati pasangan lawan jenis kemudian memorotin seluruh hartanya.

Di Batam telah dilaporkan tertangkap 88 warga negara asing (WNA) oleh pihak kepolisian yang diduga melakukan penipuan online berkedok asmara , para pelaku ini masih terdapat di China dan beroperasi di Batam. Dan kasus tersebut masih diproses oleh piha kepolisian. Seperti diketahui, penipuan online berkedok asmara adalah memanipulasi korbannya secara emosional melalui hubungan romantis.

Berdasarkan laman Federal Bureau of Investigation (FBI), penipuan online berkedok asmara adalah modus penipuan yang melibatkan identitas palsu secara online untuk mendapatkan kasih sayang atau kepercayaan dari korban. Pelaku tersebut akan menggunakan hubungan romantis sebagai ilusi untuk memanipulasi korban. Biasanya para pelaku penipuan online berkedok asmara akan terlihat tulus dan penuh perhatian hingga dapat dipercaya. Kemudian akan tampil dengan membual tentang latar belakang yang hebat dan takut akan Tuhan. Kemudian di suatu saat bekerja di luar kota meminta kiriman uang karena dalam situasi darurat atau terdesak.

Berdasarkan penyampaian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini adalah bagaimanakah pelaksanaan sistem pembuktian dalam tindak pidana penipuan online berkedok asmara berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?.

 

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kajian pustaka atau studi kepustakaan, yang melibatkan penelusuran teori-teori yang relevan terkait dengan isu penelitian. Fokus penelitian adalah untuk memahami bagaimana penipuan online berkedok asmara dibuktikan sesuai dengan UU ITE. Penelitian ini melibatkan analisis konsep dan teori yang ditemukan dalam literatur, terutama dari artikel-artikel dalam jurnal ilmiah.

Metode penelitian yang diterapkan adalah jenis penelitian kepustakaan, di mana sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang telah ada dalam bentuk dokumen-dokumen. Sumber data utama adalah jurnal ilmiah yang terkait dengan penipuan online berkedok asmara yang ditemukan secara online. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik dokumentasi yang melibatkan pengumpulan data dari dokumen tertulis. Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen tersebut kemudian diolah untuk menjadi relevan dengan objek penelitian.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penipuan merupakan golongan dari suatu perbuatan tidak pidana seperti yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan termasuk ke dalam ranah hukum publik (Aritama, 2022). Sehingga apabila dilanggar akan menyebabkan sanksi pidana. Perbuatan penipuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, apalagi zaman modern yang terus mendorong seluruh masyarakat menggunakan media sosial.

Penipuan yang dilakukan dengan menggunakan platform media sosial termasuk pada white collar crime (kejahatan kerah putih) yang mengartikan bahwa penipuan tersebut dilakukan oleh orang yang menguasai teknologi (Rachmat, 2022). Pada faktanya jelas bahwa perbuatan penipuan pada media sosial dapat diberikan perlindungan hukum terhadap para korban. Akan tetapi, tidak banyak dari masyarakat yang masih tidak memahami apalagi terhadap korban penipuan online berkedok asmara .

Tindak pidana Cyber Crime seperti ini sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

�Misdrijven tegen de eigendom en de daaruit voortvloeiende zakelijk rechten� merupakan pengertian dalam bahasa belanda yang menjelaskan bahwa penipuan masuk ke dalam golongan yang ditunjukkan terhadap hak milik (Rachmat, 2022). Dimana penipuan dilakukan dengan cara konvensional terhadap korban berbasis online yang dapat dilakukan secara cepat dan meluas. Penipuan yang dilakukan berkembang menjadi tindak kriminal global dengan memanfaatkan kemurahan teknologi.

Seperti yang ditegaskan oleh Joseph T Wells, ada beberapa jenis penipuan melalui internet atau online yang dikenal sebagai pohon penipuan internet yaitu: penipuan pembayaran online, penipuan konsumen, pencurian identitas, pinupuan investasi, penipuan keamanan, dan pengembilalihan akun (Rachmat, 2023). Jaishankar menjelaskan bahwa seseorang yang membaca konformitas dan kon konformitasnya di dunia nyata dan di dunia siber. Postulat teori yang dimaksud yaitu (Salsabilah & Agustanti, 2021):

Seseorang dengan perilaku jahat yang tertekan di dunia nyata memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan di dunia siber, di mana seseorang tersebut tidak akan melakukan kejahatan di dunia nyata karena status dan posisinya.

Fleksibilitas identitas, anonym disosiasi dan terbatasnya faktor penjeraan di dunia siber memberikan pilihan kepada pelaku untuk melakukan kejahatan siber.

Perilaku jahat yang dimiliki oleh pelaku kejahatan di dunia siber dapat dipindahkan ke dunia nyata, demikian pula sebaliknya.

Usaha berselang dari pelaku kejahatan di dunia siber dan adanya sifat ruang waktu yang alami di dunia siber memberikan peluang untuk melarikan diri.

1) Para pelaku kejahatan yang tidak saling kenal cenderung bergabung di dunia siber dan kemudian melakukan kejahatan di dunia nyata.

2) Perkumpulan para pelaku kejahatan di dunai nyata cenderung menyatukan pelaku untuk melakukan kejahatan di dunia siber secara bersama-sama.

Seseorang yang berasal dari masyarakat tertutup cenderung melakukan kejahatan di dunia siber daripada seseorang yang berasal dari masyarakat terbuka.

Konflik antar norma-norma dan nilai-nilai dari dunia fisik dan dunia siber dapat menyebabkan terjadinya kegiatan di dunia siber.

Sehingga meskipun perkembangan teknlogi yang pesat, namun tetap saja penegak hukum di Indonesia masih belum bisa menerapkan peraturan perundang-undangan yang relevan untuk menjerat pelaku terhadap tindakan penipuan online berkedok asmara . Banyak dari korban mengajukan laporan pidana dengan landasannya Pasal 28 ayat (1) jucto Pasal 45A ayat (1) UU ITE yaitu tindak pidana yang hanya melindungi konsumen. Sedangkan kebanyakan dari posisi para korban bukanlah konsumen. Sehingga korban memilih menggunakan Pasal 378 KUHP, akan tetapi faktanya tindak pidana tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi. Maka secara otomatis, tindak pidana tersebut bukan tugas pokok dan fungsi Divisi Reserse Kriminal Umum (Zahrulswendar et al., 2021).

Akan tetapi, berbagai intrumen hukum sebagai hukum positif saat ini yang seharusnya mampu menjerat pelaku kejahatan penipuan melalui telepon atau pesan singkat nyatanya tidak mampu bertindak sebagaimana mestinya. Banyak permasalahan dialami oleh penyidik Polri, Jaksa, dan Hakim dalam melakukan penyidikan sampai putusan terhadap tindak pidana ini. Mayoritas penegak hukum akan menggunakan rumusan hukum dalam KUHP padahal tindak pidana tersebut dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ekektronik.

Pada kejahatan penipuan online berkedok asmara , para korban sangat dirugikan disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang ditipu oleh serangkaian modus berdasarkan profil palsu dan data diri yang palsu dari perempuan atau pria. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dr. Lurvee asal Sydney, Australia, bahwa �situs kencan online memiliki beberapa keuntungan bagi para penggunanya, yaitu pemakaiannya yang mudah karena tidak perlu untuk bertatap muka dan hanya bermodalkan kuota internet saja serta hemat waktu sehingga banyak diminati oleh para penggunanya. Namun di samping keuntungan yang didapati oleh penggunanya, situs kencan online memiliki kekurangan seperti rentan terhadap penipuan� (Salsabilah & Agustanti, 2021).

Di mana tujuan utama pelaku adalah membuat korban tertarik, percaya, dan jatuh cinta. Sehingga akhirnya korban rela memberikan apapun yang dia miliki tanpa menyadari bahwa mereka sedang ditipu dan dirugikan dalam berbagai macam hal. Akan tetapi, hal yang paling dirugikan adalah korban tidak tahu siapa pelaku sebenarnya sehingga korban tidak dapat melaporkan pelaku tersebut kepada pihak yang berwajib.

Tidak banyak dari korban mengetahui bahwa faktanya perbuatan pelaku dapat dibuktikan dengan alat bukti seperti alat bukti yang dimaksud dalam tindak pidana biasa. Namun memang proses pembuktian pada tindak pidana ini cukup sulit karena tidak ada atau jarang ada interaksi fisik antara pelaku dan korban. Dalam hal ini, bukti chat ataupun telepon dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk apabila diberikan suatu isyarat dalam suatu kejadian.

Dengan majunya perkembangan zaman, tindak pidana online berkedok asmara sudah bisa dihukum. Dan yang bisa dan berkompeten dalam mencari barang bukti tersebut merupakan polisi virtual sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruangan Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif (Polisi Virtual Atau Polisi Siber, Begini Cara Kerjanya - Metro Tempo.Co, n.d.).

Menurut Argo Yuwono, �tim Polisi Virtual akan melakukan patroli siber di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram serta WhatsApp untuk mengawasi akun-akun yang terindikasi mengandung konten hoaks dan hasutan di berbagai platform tersebut�(Polisi Virtual Atau Polisi Siber, Begini Cara Kerjanya - Metro Tempo.Co, n.d.).

Untuk mengerti apa yang menjadi dasar bukti pada tindak penipuan online berkedok asmara, kita perlu memahami Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Di mana dalam Pasal 378 KUHP mensyaratkan bahwa unsur-unsur yang dimaksud yaitu (Zahrulswendar et al., 2021):

a)      Maksud untuk menguntungkan secara melawan hak;

b)     Mempergunakan nama palsu atau sifat palsu;

c)      Tipu muslihat;

d)     Susunan kata-kata bohong;

e)      Menggerakkan orang untuk menyerahkan suatu benda;

f)      Menggerakkan orang untuk mengadakan perjanjian hutang.

Sedangkan unsur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu (Zahrulswendar et al., 2021):

a)      Kesalahan : dengan sengaja;

b)     Melawan hukum : tanpa hak;

c)      Perbuatan : menyebarkan;

d)     Objek : berita bohong dan menyesatkan;

e)      Akibat konstitutif : mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Sehingga, apabila kita coba meninjau kembali, seharusnya perbuatan penipuan online berkedok asmara didasarkan dengan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45 A ayat (1) UU ITE disebabkan saran penipuan yang dipakai menggunakan teknologi dan informasi. Hal ini mengingat Pasal 1 angka (2) UU ITE, �Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya�(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, n.d.).

Perlu diingat juga bahwa terdapat asas lex specialis derogat legi generali bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Maka dari itu, asas ini yang membuktikan bahwa seharusnya para korban menggunakan UU ITE bukannya KUHP. Pada dasarnya tindak penipuan online berkedok asmara tidak berbeda dengan tindak penipuan online. Di mana yang menjadi alat bukti penipuan online sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Menurut Arif Gosita, adapun hak dan kewajiban yang seharusnya diterima korban, yaitu (Salsabilah & Agustanti, 2021):

a)      Korban berhak mendapatkan kompensasi atas apa yang dideritanya, sesuai dengan tingkatan keterlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejahatan tersebut.

b)     Korban berhak menolak restitusi apabila korban tidak memerlukannya.

c)      Ahli waris korban berhak mendapatkan restitusi/kompensasi bila korban meninggal dunia disebabkan kejadian tersebut.

d)     Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

e)      Korban berhak mendapatkan hak miliknya kembali.

f)      Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku apabila melapor sebagai saksi.

g)     Mendapatkan bantuan penasihat hukum.

Adapun hak-hak korban seperti yang dimaksud dalam KUHAP yaitu (Salsabilah & Agustanti, 2021):

a)      Hak untuk melakukan laporan (Pasal 108 ayat (1) KUHAP)

b)     Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum (Pasal 77 jo 80 KUHAP)

c)      Hak menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP)

Bahwa kejahatan penipuan online berkedok asmara tersebut juga dapat dikenakan Pasal 35 Jo Pasal 51 UU ITE disebabkan pelaku membuat sebuah akun dengan identitas palsu untuk menarik korban di mana hal ini memenuhi unsur �dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum�. Disebabkan tindakan pelaku menunjukkan bahwa mens rea (niat jahat) dari pelaku penipuan online berkedok asmara dalam hal menipu korban.

 

KESIMPULAN

Seiring berkembangnya globalisasi teknologi, tidak sedikit orang memanfaatkan media sosial menggunakan citra palsu, identitas palsu, sampai banyak korban yang merasakan kerugian baik secara finansial sampai fisik ataupun jasmani mereka. Sehingga, pelaku penipuan online berkedok asmara terus bertambah dan menargetkan lebih banyak korban untuk ditipu.

Walaupun terdapat begitu banyak korban, tetap saja banyak dari mereka yang masih bingung untuk menindaklanjuti proses hukum disebabkan ketidaktahuan mereka. Padahal tindak pidana penipuan online berkedok asmara yang menyebabkan kerugian kepada korban bisa ditindaklanjuti. Dan yang menjadi bukti utama dalam tindak pidana ini tidak jauh dengan alat bukti penipuan online yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Para korban juga tidak perlu takut untuk melapor, disebabkan sekarang sudah ada polisi virtual yang bertujuan untuk menjaga dan melakukan patroli berskala virtual untuk mewujudkan platform yang aman.

 

REFERENSI

Aritama, R. (2022). Penipuan Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata. Sentri: Jurnal Riset Ilmiah, 1(3), 728�736. https://doi.org/10.55681/SENTRI.V1I3.283

Juditha, C. (2015). Pola Komunikasi Dalam Cybercrime (Kasus Love Scams). Penelitian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika, 6(2), 30.

PPATK. (2021). HATI-HATI MODUS PENIPUAN LOVE SCAM! PPATK. https://www.ppatk.go.id/pengumuman/read/1146/hati-hati-modus-penipuan-love-scam.html

R. Sugandhi. (1980). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Usaha Nasional.

Rachmat, L. A. A. (2022). Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Penipuan melalui Media Sosial. Indonesia Berdaya, 3(4), 771�778. https://doi.org/10.47679/IB.2022326

Rachmat, L. A. A. (2023). Viktimisasi dan Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Penipuan Melalui Media Sosial. Indonesia Berdaya, 4(2), 629�644. https://doi.org/10.47679/IB.2023468

Salsabilah, T., & Agustanti, R. D. (2021). Tindak Pidana Romance Scam Dalam Situs Kencan Online Di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya, 9, 387�403. https://doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i03.p02

Soesilo, R. (1986). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

Zahrulswendar, I. H., Amrianto, A. D., & Ansori, M. A. (2021). Penegakan Hukum Tindak Pidana Penipuan Melalui Sarana Panggilan Suara dari Telepon Seluler. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), 2(3), 147�159. https://doi.org/10.18196/ijclc.v2i3.12351. Website

Polisi Virtual atau Polisi Siber, Begini Cara Kerjanya - Metro Tempo.co. (n.d.). Retrieved 13 November 2023, from https://metro.tempo.co/read/1453165/polisi-virtual-atau-polisi-siber-begini-cara-kerjanya

Rahmadania, S. R. (2023). Apa Itu Love Scamming? Penipuan Berkedok Asmara, Korban Dijebak Pakai VCS. Detikhealth. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6907994/apa-itu-love-scamming-penipuan-berkedok-asmara-korban-dijebak-pakai-vcs

Renata Christha Auli, S. H. (2023). Marak Love Scamming, Begini Pengertian dan Jerat Pidananya. Hukum Online.Com. https://www.hukumonline.com/klinik/a/love-scamming-begini-pengertian-dan-jerat-pidananya-lt651165042ba5d/#!

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license ( https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ ).