KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL MAWARDI DAN RELEVANSINYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS

 

Jaelani

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mahardika Cirebon, Indonesia

[email protected]

 

 

 

Received : 30-03-2021

Revised�� : 14-04-2021

Accepted : 22-04-2021

 

Abstract

This study aims to find out the background of Al Mawardi's thoughts regarding the factors that influence his thinking, Islamic education as stipulated in law number 20 of 2003 concerning the national education system and its relevance to the concept of Al Mawardi's education on the content of Islamic education in Law No. 2003. about the National Education System. This study uses a historical approach, because it examines the thoughts of a character who requires philosophical analysis at a certain time in the past. The research method used is library research. The source data were analyzed using the content analysis method. The collected data were selected and arranged into factual relationships that formed Dian which were described in the form of descriptive analysis, then conclusions were obtained. The results of this study are: first, Al Mawardi's Kiran Pendidikan is influenced by the internal and external conditions of his life which include his socio-cultural and political economy background, as well as his dynamics and intellectual authority; second, the concept of Al Mawardi education is found from the words at Ta'lim and Atta'dih, the goals of Islamic education include intellectual, religious, social, educator goals. Almu'allim means educators and parents who have a high position or al-muta'allim have an ethical code to succeed in learning, is a set of subject matter that is fardhu ain and fardhu kifayah, and the educational environment includes the family and community education environment; third, Islam in SISDIKNAS has historical and philosophical aspects, has opportunities and challenges in the era of global globalization to create superior and competitive human resources, the material for the National Education System contains provisions for the implementation of education which include educational objectives, curriculum, and the educational environment; and fourth, according to Al Mawardi, Islamic education has relevance to the SISDIKNAS Law in terms of similarities and differences, including: (1) the term education; the equation focuses on the effort to humanize humans to have a noble character; the difference is that Al Mawardi's thought is based on religious ethical values, while in the SISDIKNAS Law it is based on the nation's philosophy; (2) educational purposes; similarly, the aims of education according to Al Mawardi: intellectual, moral, religious, social, individual; the difference is, Al Mawardi formulated educational goals based on the Koran and hadith, while the SISDIKNAS Law, philosophical and practical educational goals; (3) educators; the equation is that there are requirements, duties and a code of ethics; the difference is that al-Mawardi emphasizes maturity and a normative code of ethics, while in the National Education System Law, the competency and professional requirements of educators are regulated through laws or government regulations; (4) students; the equation is the existence of conditions, duties and obligations; there is, al-mawardi emphasizes the code of ethics, whereas in the SISDIKNAS Law, this dimension is specifically regulated by each educational institution; (5) curriculum; similarly, the curriculum is structured based on religious values, culture, and community dynamics; the difference is, Mawardi divides the science category into fardhu ain and fardhu; whereas in the SISDIKNAS Law, subject groups are arranged according to the applicable curriculum; and (6) educational environment; the equation, there is an obligation to educate parents to children and community-based education. Al Mawardi emphasizes moral education for children to adulthood, while in the SISDIKNAS Law, it is applied through the implementation of education at every level..

Keywords: Islamic education; Al Mawardi; national education system.

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pemikiran Al Mawardi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya, pendidikan Islam yang tertuang dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan relevansinya dengan konsep pendidikan Al Mawardi pada muatan pendidikan Islam undang-undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, karena mengkaji pemikiran seorang tokoh yang memerlukan analisa filosofis dalam waktu tertentu di masa lalu. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka data sumber dianalisis dengan metode analisis isi. Data yang terkumpul diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta yang membentuk Dian yang diuraikan dalam bentuk deskriptif analisis, kemudian diperoleh kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah: pertama, Kiran Pendidikan Al Mawardi dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal kehidupannya yang mencakup latar sosial budaya dan ekonomi politik, serta dinamika dan otoritas intelektualnya; kedua, konsep pendidikan Al Mawardi ditemukan dari kata at Ta'lim dan Atta'dih, tujuan pendidikan Islam mencakup tujuan intelektual, religius, sosial, pendidik. �Almu'allim bermakna pendidik dan orangtua yang memiliki kedudukan tinggi atau Al-Muta'allim memiliki kode etika agar berhasil dalam belajar, merupakan seperangkat materi pelajaran yang bersifat fardhu ain dan fardhu kifayah, dan lingkungan pendidikan mencakup lingkungan pendidikan keluarga dan masyarakat; ketiga, Islam dalam SISDIKNAS memiliki aspek historis dan filosofis, memiliki peluang dan tantangan dalam era global globalisasi untuk menciptakan SDM yang unggul dan kompetitif, materi sisdiknas memuat ketentuan pelaksanaan pendidikan yang mencakup tujuan pendidikan, kurikulum, dan lingkungan pendidikan; dan keempat, pendidikan Islam menurut Al Mawardi memiliki relevansi dengan UU SISDIKNAS dilihat dari persamaan dan perbedaannya, antara lain: (1) istilah pendidikan; persamaannya terfokus pada upaya memanusiakan manusia agar berakhlak mulia; perbedaannya, pemikiran Al Mawardi dasarkan nilai etis religius, sedangkan dalam UU SISDIKNAS berdasarkan filosofis bangsa; (2) tujuan pendidikan; persamaannya, tujuan pendidikan menurut Al Mawardi: intelektual, akhlak, religius, sosial, Individual; perbedaannya, Al Mawardi merumuskan tujuan pendidikan berdasarkan Alquran dan hadits, sedangkan UU SISDIKNAS, tujuan pendidikan yang filosofis dan praktis; (3) pendidik; persamaannya adalah adanya syarat, tugas dan kode etik; perbedaannya, al-mawardi menekankan kedewasaan dan kode etik normatif, sedangkan dalam UU sisdiknas, persyaratan kompetensi dan profesionalitas pendidik diatur melalui undang-undang atau peraturan pemerintah; (4) peserta didik; persamaannya adalah adanya syarat, tugas dan kewajiban; adanya, al-mawardi menekankan kode etik, sedangkan dalam UU SISDIKNAS, dimensi ini secara khusus diatur setiap lembaga pendidikan; (5) kurikulum; persamaannya, kurikulum disusun berdasarkan nilai-nilai religius, budaya, dan dinamika masyarakat; perbedaannya, Mawardi membagi kategori ilmu menjadi fardhu ain dan fardhu; sedangkan dalam UU SISDIKNAS disusun kelompok mata pelajaran Sesuai kurikulum yang berlaku; dan (6) lingkungan pendidikan;� persamaannya, adanya kewajiban mendidik bagi orang tua kepada anak dan pendidikan berbasis masyarakat. Al Mawardi menekankan pendidikan akhlak bagi anak sampai dewasa, sedangkan dalam UU SISDIKNAS, diterapkan melalui pelaksanaan pendidikan pada setiap jenjang.

Kata kunci: pendidikan Islam; Al Mawardi; sisdiknas.

�

CC BY

 

PENDAHULUAN

 

Pemikiran pendidikan Islam sejak masa klasik sampai sekarang tetap bermuara pada persoalan nilai atau normal, di samping pengembangan aspek-aspek pendidikan nilai, baik kurikulum, metode, maupun evaluasinya. Berbagai teori pendidikan telah dihasilkan yang berusaha untuk mengembangkan konsepsi kependidikan Islam yang biasanya merujuk pada karya-karya klasik di bidang pendidikan, Adab al Mu'allimin sahnun (w. 256 H/ 871M), Ar-risalah Al-Mufashshalah Li Ahwal Al-Mu'allimin Wa Ahkam Al Mu'allimin Al Muta'allimin karya Al-Qabisi (142-403 H), Ihya' Al-Ulumuddin karya Al Ghazali (450-505 H ), Ta'lim Al-Mual-Muta'allim Thoriq at-Ta 'llum karya Burhanuddin Az zarnuji (w. 571 591 H ) dan Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din karya Al Mawardi (364-450 H ). Pola kajian karya-karya tersebut lebih cenderung bersifat doktrinal, normatif dan idealistik yang menekankan dimensi spiritualitas yang bersifat etis normatif dan ideal, sehingga cenderung kurang membumi dan tidak mampu bargaining position dengan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang diluncurkan oleh sains modern.

Secara khusus, sebagaimana yang dicatat (Nakosteen, 2003) karya Al Mawardi, Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din, dapat digolongkan menjadi karya pendidikan model etika atau akhlak (Langgulung, 1980). Membuat 4 (empat) kategori pemikiran pendidikan Islam berdasarkan materi pembahasan dan disiplin ilmu para tokoh pendidikan, yaitu (1) , fiqih tafsir dan hadits, (2) sastra, (3) filosofis dan (4) tonom dengan tetap terikat pada Alquran dan hadis orientasi pada nilai-nilai etis religiusreligius (model akhlak/ etika). Hasan Langgulung, asas-asas pendidikan Islam, Jakarta. 2 Pustaka Al-Husna, 1992:123) karya ini membuat berbagai aturan yang mencakup etika intelektual (Adab Al-'Aql), etika ilmu (Adab Al-'Ilm), etika beragama (Adab Ad Din), etika kehidupan (Ad Dunia), etika pribadi (Ada An-Nafs) (Rahman, 2016). Konsepsi pendidikan yang dicetuskan Al Mawardi lebih difokuskan pada bagian etika ilmu. Kitab ini tidak mengandung spesifikasi fiqh, tafsir dan hadits, meskipun beliau seorang eksponen terbesar Mazhab SyafI'i, tidak membahas materi sastra, dan tidak bernuansa filosofis, Al Mawardi lebih menekankan materi etika atau akhlak hampir setiap materi pembahasannya.

Secara teoritis, kitab adab Ad-Dunya Ad-Din ini dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam, membutuhkan konstruksi agar dapat diaktualisasikan secara praktis dalam lembaga pendidikan, sehingga kemungkinan memberikan solusi terkait dengan rendahnya pendidikan moral yang sedang dialami bangsa ini.

Pada sisi lain, pendidikan Islam di Indonesia semakin menguat dan berakar sebagai sub sistem pendidikan nasional telah ditetapkan nya nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS). Dalam UU SISDIKNAS ini, keagamaan termasuk pendidikan Islam dapat diselenggarakan baik formal, informal maupun nonformal (Putri, Ani, & Dewi, 2019). Dilihat dari kerangka materinya, pendidikan Islam dalam UU SISDIKNAS di kelompokkan menjadi tiga (3) bagian; pertama, sebagai lembaga, yaitu diakuinya eksistensi lembaga pendidikan Islam secara eksplisit; kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, yaitu diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi; dan ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai (value), ditemukannya nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan nasional (Daulay, 2004).

Integrasi pendidikan Islam dalam UU SISDIKNAS tersebut berimplikasi pula penyelenggaraan pendidikan Islam, termasuk tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, kurikulum dan lingkungan pendidikan sebagai 5 faktor penting dalam pendidikan itu sendiri.

Jika dikomparasikan berdasarkan kerangka etis normatif, maka pendidikan Islam dalam UU SISDIKNAS dan kitab adab Adl-Dunya Wa Ad-Din, memiliki kesamaan mengenai pentingnya konsep long life of education (pendidikan seumur hidup) dan pendidikan menjadi persoalan kemanusiaan dalam arti pentingnya mengaktualisasikan diri (self-actualization) atau mengembangkan potensi diri untuk mencapai tingkat kesempurnaan, yang menurut UU SISDIKNAS, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Irawati & Susetyo, 2017) disebutkan, "pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat ".

�Jika demikian, konsepsi pendidikan Islam menurut Al-Mawardi dan UU SISDIKNAS memiliki implikasi yang cukup luas dalam wacana pengembangan dan praktek pendidikan Islam, terutama bila konsep-konsep yang di operasikan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan khususnya penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Biasa mengartikan kurikulum berbasis kompetensi sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab. Adapun KBK diarahkan pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) pelayanan sesuai dengan kebutuhan (Mulyasa, 2002). Aspek-aspek teoritis dan praktis dalam pelaksanaan UU SISDIKNAS dan rekonstruksi pemikiran Al-Mawardi dalam konteks pendidikan kontemporer diharapkan memberikan solusi alternatif bagi problematika dunia pendidikan di Indonesia.

Kajian pedagogis Al-Mawardi yang dikomparasikan dengan UU SISDIKNAS dinilai cukup penting mengingat nilai-nilai filosofis dan aktual yang terkandung didalamnya. kitab Adab Ad-Dunya� Wa Ad-Din sebagai produk pemikiran pendidikan klasik tidak dapat dipisahkan dengan setting sosial budaya fi zamanihi, sehingga perlu dikaji kembali dengan konteks pendidikan di Indonesia, sedangkan UU SISDIKNAS mencerminkan hasil telaah, kajian dan pengalaman atas teori dan praktek pendidikan di Indonesia sampai sekarang. Keduanya, pada aspek-aspek tertentu secara positif menjadi harapan masyarakat untuk memberikan solusi atas persoalan pendidikan sekarang dan tentunya, dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Maka dengan demikian, nampak adanya permasalahan yang perlu diteliti sejauh mana relevansi antara konsep pendidikan Islam menurut Al Mawardi dengan konsep undang-undang sistem pendidikan nasional.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), ilmu penelitian modern membagi penelitian kepada lima bentuk, yaitu penelitian sejarah, skripsi, eksperimental, grounded research dan tindakan. Keunggulan penelitian sejarah antara lain ia mampu menyelidiki secara kritis mengenai pemikiran yang berkembang di zaman lampau dan mengutamakan sumber primer (Nazir, 2003), karena mengkaji pemikiran seorang tokoh yang memerlukan analisa filosofis dalam waktu tertentu dimasa lalu. Bentuk pendekatan sejarah antara lain berupa penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat sifat-sifat, pengaruh pemikiran dan idenya, pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya (Nazir, 2003).

Jadi, keberadaan seorang pemikir dimanapun tidak dapat melepaskan diri dari bentukan sejarah yang mengitarinya (Ahmad & Bekker, 1990).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research), sehingga data-data sumber akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan metode sejarah kritis. Metode analisis ini adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat diulang (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Ansori, 2017), sedangkan metode sejarah kritis ditempuh dengan langkah-langkah menurut norma-norma ilmu sejarah (Notosusanto, 1978), pelaku, waktu dan tempat berlainan tidak mungkin terulang lagi, namun secara makro memiliki ciri-ciri yang hampir bersamaan.

Data-data yang terkumpul dari berbagai sumber, diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta sehingga membentuk pengertian-pengertian yang diuraikan dalam bentuk deskriptif analisis. Metode ini sering digunakan oleh para peneliti sejarah, terutama untuk penggambaran rangkaian peristiwa menurut adanya atau berdasar kronologis kejadian kejadian yang dicatat sebagai peristiwa. Namun, uraian yang bersifat deskriptif naratif diperlukan untuk menjelaskan kejadian kejadian atau fakta-fakta sejarah secara kronologis, terutama mobilitas aktivitas dan posisi Al-Mawardi dalam peristiwa sejarah persepsinya, tingkah laku dan kedudukan peristiwa sejarah itu dalam kerangka peristiwa sejarah yang lebih luas.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Relevansi Esensi Pendidikan Menurut Al-Mawardi Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

A.  Tujuan Pendidikan

Dalam kajian kurikulum, pandangan "objekted oriented" (orientasi pada tujuan) mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada anak didiknya saja, akan tetapi juga merealisir atau mencapai tujuan pendidikan. Tujuan merupakan pedoman yang memberi arah bagi segala aktivitas yang dilakukan (Zaini, 2015).

Bagi Oemar Hamalik, pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran dan atau latihan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan merupakan suatu komponen sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral (Hamalik, 2008). Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut ada saran pokok, yakni:

1)   Aspek-aspek ilmu pengetahuan yang harus disampaikan kepada peserta didik atau kurikulum yang harus dipelajari peserta didik.

2)   Metode yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus, sehingga dapat memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan faedah yang besar mengenai penggunaan metode tersebut (Sulaiman, 1993).

3)   Tujuan tertinggi atau terakhir, yaitu tujuan yang tidak dibatasi oleh tujuan lain, sekalipun bertingkat-tingkat di bawahnya tujuan-tujuan lain yang kurang dekat atau kurang umum dari padanya.

4)   Tujuan 'am atau umum, yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki dan diusahakan untuk mencapainya.

Tujuan khas atau khusus, yaitu perubahan-perubahan yang diinginkan dan bersifat cabang atau bagian-bagian yang termasuk di bawah tiap-tiap tujuan pendidikan 'am dan utama.

Tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan Al-Mawardi tersebar dalam karyanya, Adab ad-Dunya Wa Ad-Din. Pada bab pertama, fadl al-'aql wa dzam al-hawa (keutamaan akal dan kehinaan hawa) , tujuan pendidikan islam adalah:

1)      Mengembangkan akal gharizi (akal bakat) menjadi muktasab (akal perolehan) yang merupakan puncak ilmu pengetahuan (nihayat al-siyasah) dan pemikiran yang benar (ishabat al-fikrah).

2)      Mencapai akal melalui pengembangan intelektual dengan berbagai latihan, pengalaman dan pembiasaan diri.

3)      Membina akal agar mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu.

Tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan Al-Mawardi lebih komprehensif, bahkan lebih signifikan daripada pendidikan modern sekarang ini dan jika bandingkan dengan undang-undang sistem pendidikan nasional nampak memiliki kesesuaian meskipun terdapat persamaan dan perbedaannya.

Penekanan tujuan pendidikan Islam untuk menentukan akhlak yang dirumuskan Al-Mawardi mendahului Al-Ghazali yang merumuskan sama tentang tujuan pendidikan. Al Ghazali menyatakan, bahwa tujuan peserta didik dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya (Zainuddin & Al Ghazali, 1991).

Dalam konteks tersebut, tujuan pendidikan bukan hanya difokuskan untuk kepentingan ibadah atau taqarrub Ila Allah, melainkan juga lebih bersifat praktis dalam membentuk kepribadian muslim dan menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Tujuan pendidikan Islam bersifat ukhrawi dan duniawi atau lebih rinci, terbagi dalam tujuan keagamaan, tujuan etika atau moral dan tujuan sosial.

Usaha kependidikan Islam pada hakekatnya ditujukkan untuk menciptakan pertumbuhan yang seimbang dari seluruh kepribadian muslim melalui latihan atas jiwa, akar diri kenal, perasaan dan indera-indera jasmaniah. Oleh karena itu pendidikan harus mendukung pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, yaitu spiritual intelektual, imajinatif, fisik, alamiah linguistik, baik secara individual maupun kolektif. Sekaligus saya juga harus mendorong semua aspek ini menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah tidak lain Mereka merealisasikan kepasrahan penuh pada Allah pada tingkat individu komunitas dan masyarakat-masyarakat (Q.S. 51:56-58).

�Al Mawardi tentang tujuan pendidikan yang berkaitan dengan bagian dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat merupakan tujuan umum pendidikan. Al-Ghazali merumuskan tujuan umum pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:

1)      Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2)      Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat

Berkaitan dengan konsepsi al-mawardi tersebut di atas, Ibnu Khaldun merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan berpijak pada firman Allah sebagai berikut;

 

����� ���� ��� ���� ����� ��������� ��� ����� �� ������ (����� : ٧٧)

 

� ".... Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa bagian dari (kenikmatan) duniawi." (Q.S. Al-Qashas, 28:77)

 

Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Khaldun merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi atas dua macam yaitu:

1.      Tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban pada Allah.

2.      Tujuan Yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.

Dalam pandangan Saleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najib, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridhaan allah dan mengusahakan penghidupan. Musthafa Amin merumuskan tujuan pendidikan Islam yaitu mempersiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akhirat ( ramayulis, ilmu pendidikan Islam, 26.):

Bagi Abdurrahman Saleh Abdullah, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi empat macam yaitu:

1)      Tujuan pendidikan jasmani (Ahdaf al-jismiyah)

Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi. Oma melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik, beliau berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan "al-qawy" sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisikfisik (Q.S. 2:247, 8; 60).

2)      Tujuan pendidikan rohani-rohani (Ahdaf ar-ruhaniyah)

Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW. Dengan berdasarkan cita-cita ideal dalam Alquran (Q.S. 3: 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (Q.S. 2: 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manusia secara individual dari sikap "tazkiyah"� atau purifikasi dalam "hikmah".

3)      Tujuan pendidikan akal-akal (Ahdaf terusal-'aqliyah)

Pengerahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang membawa iman kepada sang pencipta. Tahapan pendidikan akal ini adalah: pencapaian kebenaran ilmiah ('ilm yaqin) ( Q.S. 105:7) dan pencapaian kebenaran empiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haq al-yaqin) (Q.S. 56:95, 69:51).

4)      Tujuan pendidikan sosial-sosial ( Ahdaf al-ijtima'iyah)

Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh dari roh, tubuh dan akal. Identitas individu disini tercermin sebagai "al-nas" yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk).

 

Adapun menurut Ahmad D. Marimba, tujuan akhir pendidikan adalah terbentuknya kepribadian muslim, tujuan sementara nya, antara lain kecakapan jasmaniah, pengetahuan dan ilmu ilmu kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan serta kedewasaan jasmani dan rohani (Ahmad D. Marimba, Pengantar, 46.).

Al-zarnuji merumuskan tujuan pendidikan yang meliputi tiga aspek, yaitu ketuhanan, individualitas dan kemasyarakatan. Selain bentuk pengabdian kepada Tuhan, Beliau juga menggariskan tujuan pendidikan kepada pembentukan moral pribadi, intelektual, kesehatan jasmani dan pembentukan sikap mental kemasyarakatan "amar ma'ruf nahi munkar" dengan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, bersih dari pamrih pribadi ( Busyairi Madjidi, konsep kependidikan para filosof muslim, 1997, 105-106.).

Tujuan pembentukan akhlak yang dirumuskan Al-Mawardi dapat ditelusuri pada istilah "adab" dan "ta'dib" konsep kunci sebagai inti pendidikan dan proses pendidikan (Muhammad an-Naquib Al-Attas, konsep pendidikan dalam Islam, Bandung; Mizan, 1996, 52.).

"Adab", demikian diungkapkan Naquib Al-Attas, sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan, sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam ialah menghasilkan manusia yang baik meliputi kehidupan material dan spiritual.

Penekanan pada adab yang mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwa ilmu ('ilm), Aku Disini dipergunakan secara baik di dalam masyarakat titik karena alasan inilah, maka orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana diantara orang-orang Islam terdahulu mengkombinasikan 'ilm dengan 'amal dan adab, serta menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan titik pendidikan dalam kenyataannya adalah ta'dib (�����), karena adab, sebagaimana didefinisikan di sini, sudah mencakup 'ilm dan 'amal sekaligus.

Jika demikian, interprestasi Al-Attas Term Adab dan ta'dib yang diartikan sebagai pendidikan dapat menjadi penjelas dan pembuktian pemikiran Al Mawardi mengenai pembentukan akhlak sebagai tujuan pendidikan.

Al Mawardi memperkuat konsepsinya dengan merujuk firman Allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi: (Al-Mawardi, Adab, 54.).

 

����� : ��������� ���� ���� ��� ���

 

"akhlak (adaptor) merupakan gambaran akal, maka akal Engkau adalah gambaran bagi perbuatanmu."

 

����� : ����� ��� �� �����. ������ ��� �� �����

 

" akhlak (adab) merupakan perantara kepada setiap keutamaan dan mediator bagi setiap yang disyariatkan" (ibid, 169.).

Dari pernyataan diatas penulis merumuskan, Al-Mawardi telah menyusun suatu konsep tentang perlunya keseimbangan ilmu dan amal dan kesesuaian amal dengan adab. Jadi jelaslah, Al Mawardi mengkombinasikan kan istilah ilmu dengan amal dan adab sebagai esensi pendidikan.

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, tujuan pendidikan dapat tercapai dengan adanya kurikulum yang dipelajari peserta didik. Dalam hal ini, Al-Mawardi membagi ilmu pengetahuan dalam kategori fardhu ain dan kategori fardhu kifayah. Pembagian ini, menurut penulis, berdasarkan pada perbedaan antara dua tipe kewajiban yang berhubungan dengan pencarian ilmu pengetahuan. Gagasan tentang kewajiban religius dalam pencarian ilmu pengetahuan tersebut, berdasarkan hadis nabi tentang kewajiban belajar bagi setiap muslim (bibit., 25.). Istilah" 'ilm ad-din" yang wajib dipelajari, Al-Mawardi memahaminya sebagai 'ilmu fiqh (Ibid., ).

�Al-Mawardi mengutip hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Humaid dari Anas sebagai berikut:

"Ilmu Fiqh (al-fiqh) dalam agama adalah wajib bagi setiap muslim. Ingatlah! Maka, Engkau pelajari, engkau ajarkan, engkau pahami dan janganlah engkau mati dalam keadaan bodoh".

Muhammad Naquib Al Attas aplikasikan ilmu pengetahuan menjadi kategori fardhu ain, yaitu ilmu-ilmu agama dan kategori fardhu kifayah yang meliputi ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis (Muhammad an-Naquib al-attas pendidikan, 86.).

Al Arzanjani memberikan penjelasan atas klasifikasi ilmu oleh Al Mawardi dengan merujuk pada klasifikasi Al Ghazali tentang ilmu pengetahuan dalam karyanya, Ihya' 'Ulum al-Din.

Klasifikasi ilmu oleh Al-Ghazali meliputi pembagian ilmu menjadi yang religius (syar'iyah) dan pembagian ilmu menjadi yang fardhu ain dan yang fardhu kifayah ( Awia Wafa Al-Arzanjani, Minhaj Al-Yaqin 'Ala Syarh Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din, Jeddah: Al-Haramain, 1328, 53.).

Dengan demikian, penulis berpendapat, isi kurikulum pendidikan Islam yang dirumuskan Al-Ghazali pada hakekatnya memiliki persamaan dengan rumusan Al-Mawardi, apabila ditinjau berdasarkan klasifikasi ilmu dalam kategori fardhu ain dan kategori fardhu kifayah. Meskipun Al Mawardi lebih mengutamakan fiqih sebagai ilmu yang bersifat fardhu ain atau Al Ghazali yang merumuskan ilmu dengan klasifikasi tertentu, menurut penulis bukan untuk mengkaji dikotomi ilmu semata-mata, melainkan untuk membahas perbedaan antara ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah yang memiliki nilai masing-masing dalam sudut pandang religius.

Jadi, berdasarkan tujuan-tujuan pendidikan dan klasifikasi ilmu yang telah dirumuskan Al-Mawardi, penulis mengutip konsepsi Yusuf Amir Feisal, pendidikan Islam (ta'dib) yang dicita-citakan Al-Mawardi adalah (Yusuf Amir Faisal, reorientasi pendidikan Islam, Jakarta. 2 Gema Insani press, 1995: 108.):

"pendidikan (ta'dib) yang memandang bahwa proses pendidikan merupakan usaha yang mencoba membentuk keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi dirinya sebagai muslim yang harus melaksanakan kewajiban serta fungsionalisasi atas niat/ sistem direalisasikan dalam kemampuan berbuat yang teratur (sistematik), terarah (Fa Aqim Wajhaka Li Al-Din Hanifa) dan efektif. "

M. Quraisy Shihab mengajukan rumusan tersendiri mengenai tujuan pendidikan Islam yang didasarkan pada Al-Qur'an. Menurut penulis, rumusan tersebut sebagai penjelasan filosofis atau konsepsi Al-Mawardi. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa (M. Quraisy Shihab membumikan Alquran, Bandung: Mizan 1994, 174.):

"tujuan yang ingin dicapai oleh Alquran adalah membina manusia mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahnya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material membuka jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika titik sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan titik dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, dan iman. Itulah sebabnya, dalam pendidikan Islam dikenal istilah "Ada Al-Din" dan "Ada Al-Dunya".

 

B.     Pendidik

Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, meliputi proses kognitif, potensi afektif, dan potensi psikomotorik.

Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggungjawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan� memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT dan mampu sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk individu yang mandiri.

Al-Mawardi menggunakan istilah pendidik dengan kata al-muaddib, al-mu�allim, al-walid, al-�alim, dan al-�ulama. Term al-muaddib dan al-walid dipergunakan untuk pendidik dan orang tua, seperti pendidikan (ta�dib) prinsip-prinsip akhlak (mabadi al-adab) oleh orang tua kepada anaknya, sedangkan term al-mu�allim, al-�alim dan �al-�ulama berkaitan erat dengan term al-muta�allim (peserta didik) dalam suatu proses belajar-mengajar (ta�lim atau �allama), yaitu antara guru dengan murid.

1.      Kedudukan Pendidikan Dalam Pendidikan Islam

Pendidikan adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskannya. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi sebagai dilukiskan dalam hadits Nabi SAW, �bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sebab nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, elainkan mewariskan ilmu.�(Diriwayatkan oleh Abu Darda�).

 

Al-Mawardi merujuk hadits Nabi SAW yang menjelaskan kedudukan pendidik disamping kedudukan para nabi, bahwa �nabi-nabi mempunyai keutamaan satu derajat diatas ulama (ilmuwan) dan ulama mempunyai keutamaan� satu derajat diatas syuhada (pejuang) (Diriwayatkan oleh Abu Hurairah).

Sependapat dengan Al-Mawardi, Al-Ghazali menukil pula hadits Nabi SAW. Tentang keutamaan seorang pendidik dan berkesimpulan bahwa pendidik tersebut sebagai orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun (lihat Q.S. 9:122). Selanjutnya. Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya (�atha), dan andaikan dunia tak ada pendidik manusia seperti binatang, sebab pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah (al-ihsan).68

��������������������������

2.      Gaji Guru

Para pakar fiqih memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai gaji yang diterima guru (pengajar) dari mengajarkan Al-Qur�an. Masing-masing pakar fiqih mempunyai pendapat yang dipedomani mereka dan masalah ini menjadi perdebatan� sengit diantara mereka, sebab ia menyangkut Al-Qur�an sebagai yang paling suci di kalangan umat Islam. Setelah membahas secara panjang lebar, Al-Qabisi (w. 403H) berkesimpulan bahwa seorang guru boleh menerima gaji (upah).

 

3.      Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam

Menurut Al-Mawardi, tugas pendidikan yang utama adalah mengajarkan prinsip-prinsip akhlak (mabadi al-adab), sehingga tertanam pada diri peserta didik setelah mencapai kedewasaan.

Berkaitan dengan konsep Al-Mawardi mengenai tugas pendidik dalam pendidikan� (ta�dib) Islam di atas, An-Naquib Al-Attas mengemukakan bahwa:

�mendidiki adalah membentuk manusia untuk menempatkan tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku secara proporsional sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasainya. Pendidik juga berkonotasi dengan pengertianbahwa pendidik harus mampu menyampaikan setiap ilmu atau hubungan ilmu dengan ilmu yang lain dalam suatu susunan yang sistematik dan harus disampaikan sesuai dengan susunan kemampuan� dasar (competence) yang dimiliki peserta didik. Melelui teknologi dan keterampilan tertentu, ilmu itu diaplikasikan dalam suatu keteraturtan sistem, sehingga memungkinkan untuk menjadi alat yang ampuh bagi kehidupan manusia dalam membentuk dan mengembangkan masyarakatnya dan budayanya dalam suatu kontinuitas yang terus menerus berproses menuju tingkat kesempurnaan tertentu�.

 

C.     Peserta Didik

Mawardi mempergunakan istilah peserta didik dengan kata al-muta'allim (pelajar), thalib al-'ilm (penuntut ilmu), al-raghib (pecinta ilmu) dan al-walad (anak-anak) yang berkaitan dengan kata al ta'lim (pengajaran), ta'allum (belajar), thalaba al-'ilm (mencintai ilmu) dan jahada fi al-'ilm (kesungguhan dalam belajar).

Beberapa istilah yang digunakan Al-Mawardi menunjukkan bahwa peserta didik merupakan suatu komponen masukan dalam sistem pendidikan yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai suatu komponen pendidikan, dapat ditinjau dari berbagai pendekatan antara lain pendekatan sosial, pendekatan psikologis dan pendekatan edukatif/ pedagogis. Pendekatan-pendekatan tersebut diuraikan Oemar Hamalik sebagai berikut:

1.      Pendekatan sosial

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik, sebagai anggota masyarakat dia berada dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya dan masyarakat yang lebih luas. Situasi inilah, peserta didik akan berinteraksi dengan lingkungannya dan nilai-nilai sosial yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung. Dalam hal ini, Al Mawardi menekankan pentingnya memberikan pendidikan oleh orang tua kepada anaknya tentang prinsip-prinsip akhlak sebagai bagian dari pendidikan keluarga.

2.      Pendekatan psikologis

Adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti bakat, minat, kebutuhan, sosial emosional personal dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah sehingga terjadi Perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, menurut Al Mawardi, pendidik harus memperhatikan perbedaan perbedaan yang dimiliki setiap peserta didik dalam proses belajar mengajar Kak al-ta'lim)

3.      Pendekatan edukatif/ pedagogis

Pendekatan pendidikan dengan menempatkan peserta didik sebagai unsur penting yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan yang menyeluruh dan terpadu. Mengingat pentingnya hubungan atau pergaulan antara pendidik dengan peserta didik, Mawardi merumuskan hak-hak dan kewajiban keduanya sebagai kode etik dalam pendidikan.

1)      Peserta didik dalam pendidikan Islam

Proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin untuk memahami hakikat peserta didiknya sebagai objek pendidikan.� kesalahan dalam pemahaman hakikat peserta didik menjadikan kesalahan total. Disamping itu, peserta didik merupakan anak yang belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah anak didik dalam keluarga, murid adalah anak didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah anak didik masyarakat sekitarnya dan anak-anak umat beragama menjadi anak didik rohaniwan agama.

2)      Klasifikasi peserta didik�

Mengklasifikasi peserta didik menjadi dua macam yaitu:

a)      Mustad'a ila al-'ilm

b)      Thalib al-'ilm

3)      Sifat-sifat dan kode etik peserta didik

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tak langsung. Al-Mawardi merumuskan beberapa kode etik peserta didik, yaitu:

a.       Peserta didik bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dengan tahapan mencintai ilmu, mempelajari ilmu, memperbanyak ilmu dan mengamalkan ilmu.

b.       Peserta didik dalam belajar mengharapkan keridhaan Allah SWT dengan niat yang ikhlas dan keteguhan hati.

c.       Peserta didik mempunyai motivasi dalam belajar yaitu raghbah (pahala) dan rahbah (ancaman) dari Allah SWT.

d.       Peserta didik pada masa belajar bersikap patuh dan merendahkan diri. Kedua sikap ini bila dilaksanakan membawa keberhasilan belajar dan bila ditinggalkan mengakibatkan terhalangnya belajar. Hal ini dikarenakan, sikap patuh (al-tamalluq) menyebabkan pendidik akan mengajarkan ilmu yang dimilikinya dan sikap merendahkan diri (al-tadzallull) menyebabkan kesabaran pendidik dalam mengajarkan ilmu. Sehingga peserta didik memperoleh faedah dan ilmu yang banyak.

e.       Peserta didik tidak diperkenankan memerintah orang yang memberikan pelajaran (pendidik) kepadanya.

f.        Peserta didik tidak boleh menanyakan sesuatu yang belum jelas dan dapat menyulitkan dirinya.

g.       Peserta didik mengambil pelajaran dari orang yang mampu mengajarinya. apabila terdapat manfaat, carilah guru (pendidik) yang masyhur dan memiliki kedudukan yang tinggi.

h.       Peserta didik dalam menuntut ilmu hendaklah mencari yang dekat, mudah dan orang yang telah mengujinya, hal ini dikarenakan, berpindah dalam menuntut ilmu dari tempat yang dekat ke tempat yang jauh menimbulkan kesusahan, meninggalkan ilmu yang mudah dan berpindah mempelajari ilmu yang sulit menimbulkan kesusahan dan berpindah dari guru yang sudah mengujinya kepada guru yang lain menimbulkan bahaya bagi peserta didik.

i.         Peserta didik hendaklah mempelajari ilmu secara berangsur-angsur (tadarruj), mulai dari bagian permulaan (pokok), kemudian pada bagian akhir (cabang). Metode (madkhal) demikian, akan menghantarkan peserta didik menemukan hakikat ilmu.

 

Kemudian, Al Ghazali dalam bidayat Al Hidayah menambahkan kode etik peserta didik sebagai berikut:

a)      Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih dahulu.

b)      Jangan banyak bicara di hadapan guru.

c)      Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru.

d)      Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu.

e)      Jangan sekali-kali menegur ucapan guru, seperti katanya fulan demikian, tapi berbeda dengan Tuan Guru.

f)       Jangan mengisyarati terhadap guru yang dapat memberi perasaan Khilafah dengan pendapat guru.

g)      Jangan berunding dengan teman di tempat duduknya atau berbicara dengan guru sambil tertawa.

h)      Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh noleh, tapi duduklah dengan menundukkan kepala� dan tawadhu bukan salat.

i)        Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak.

j)        Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru.

k)      Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan sampai dihentikan hanya untuk bertanya.

l)        Jangan sekali-kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan, sabarlah nanti setelah sampai di rumah.

m)    Jangan sekali-kali berburuk sangka (su'udzdzon) guru mengenai tindakannya yang kelihatan munkar atau tidak diridhoi Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakan itu.

�

Sebagaimana Al Mawardi, khalifah Ali Bin Abi Thalib merumuskan 6 syarat bagi peserta didik dalam menuntut ilmu yang diungkapkan dalam syairnya:

"ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena 6 syarat; menjelaskan ke-6 syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan (akal), motivasi atau kemauan yang keras, sabar, alat (sarana), petunjuk guru, dan terus-menerus (continue) atau tidak cepat bosan dalam mencari ilmu�.

Dengan demikian, syarat-syarat bagi peserta didik dalam menuntut ilmu yang telah dirumuskan Al-Mawardi Al Iskandar dan Ali Bin Abi Thalib, menurut hemat penulis, dapat dipahami bahwa:

"syarat-syarat mencari ilmu adalah mencakup kecerdasan (akal), peserta didik atau kecerahan penalaran, mempunyai greget (ghirah) pasti yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas dalam memperoleh ilmu, bersabar dan tambah, serta tidak mudah putus asa walaupun banyak rintangan dan hambatan baik hambatan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Disamping itu, syarat-syarat mencari ilmu lainnya adalah mempunyai seperangkat sarana yang memadai, adanya petunjuk pendidik sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari, dan Tiada henti-hentinya mencari ilmu (nolimit to study) sampai pada akhir hayat."

Berkaitan dengan kode etik dan syarat-syarat bagi peserta didik tersebut di atas, Al-Malibary dalam karyanya Syu'b Al-Iman, merumuskan bahwa peserta didik dapat berhasil menurut ilmu dengan dua cara yaitu kasbi dan sima'i. Ilmu Kasbi (usaha) adalah ilmu yang diperoleh peserta didik dengan belajar (menghafal dan membaca), sehingga ilmu Sima'i adalah ilmu yang diperoleh peserta didik dengan belajar kepada pendidik melalui cara mendengarkan pengajarannya tentang masalah agama dan dunia. hal ini akan berhasil dengan syarat mencintai pendidik, berkumpul dengan pendidik, duduk dan bertanya kepada pendidik dalam pengajarannya.

 

D.     Kurikulum (Alat Pendidikan)

Alat-alat pendidikan ialah segala sesuatu secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan yang konkrit maupun berupa nasehat, tuntutan, hukuman, ancaman dan sebagainya. sedangkan menurut Crow & Crow, alat pendidikan diantaranya ialah rencana pelajaran, tempat duduk anak, ruangan ruangan kelas dan sebagainya.

Oleh karena pengertian alat pendidikan demikian luasnya, maka penulis dalam pembahasan bagian batasi pada alat pendidikan yang bukan berupa benda dan disesuaikan dengan bahan penelitian yang ada yaitu kurikulum yang meliputi materi pendidikan dan metode pendidikan.

Materi pendidikan berkaitan erat dengan rumusan Al-Mawardi tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam kategori fardhu ain dan kategori fardhu kifayah dan menempatkan ilmu Fiqh sebagai ilmu fardhu ain. Al Mawardi mementingkan pula materi Pendidikan tentang prinsip-prinsip akhlak bagi anak-anak titik dalam upaya mencapai tujuan pendidikan melalui proses belajar mengajar, Al-Mawardi telah merumuskan konsep-konsepnya yang telah dibahas pula bagian faktor pendidik dan faktor peserta didik.

Jelaskan rumusan metode pendidikan yang di gagas Al-Mawardi Oma ada 2 konsep yang dapat ditemukan, yaitu metode targhib dan tarhib. Istilah rughbah mengacu pada pahala Allah SWT, bagi peserta didik (thalib al-'ilm) yang mengharapkan keridhaan-Nya dan memelihara kewajiban-kewajiban-Nya dan istilah rahbah merujuk pada ancaman Allah SWT bagi peserta didik yang meninggalkan perintah-Nya dan mengabaikan larangan-Nya. Apabila raghbah dan rahbah telah dihayati oleh peserta didik, ia akan mencapai hakikat ilmu dan hakikat zuhud. Hal ini dikarenakan, raghbah adalah dorongan paling kuat terhadap ilmu dan rahbah sebagai sebab paling kuat dalam kezuhudan.

Dari rumusan Al-Mawardi diatas penulis berpendapat alat pendidikan yang berupa raghbah (janji) rahbah (ancaman) dapat dikembangkan metode sebagai suatu alat pendidikan untuk mencapai tujuan yaitu peserta didik memperoleh hakikat ilmu dan hakikat zuhud.

Syahminan Zaini mendukung konsepsi Al-Mawardi dengan merumuskan alat pendidikan Islam menjadi dua macam yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar (Q.S. Ali Imran, 3:104, 110).

Benua ayat tersebut tegas sekali menyatakan, bahwa manusia akan menjadi paling baik dan kehidupan mereka akan menjadi bahagia apabila Amar Ma'ruf (menyuruh berbuat kebaikan) dan Nahi Munkar (melarang kejahatan) sudah dipakai sebagai alat untuk mendidik manusia.

Implikasinya dalam mendidik peserta didik, amar ma'ruf melaksanakan dengan ajaran-ajaran yang baik-baik (Q.S. Al-Maidah, 5:48), teladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab, 33:21) dan dengan ganjaran-ganjaran (Q.S.Ali Imran, 3:57). Sedangkan nahi munkar dilaksanakan dengan menjauhi kejahatan (Q.S.Al-An'am, 6:151), dengan peringatan atau teguran, kalau kesalahannya masih ringan (Q.S. Nuh, 71:1) dan dengan hukuman-hukuman (Q.S.Al-Maidah, 5:38). Pelaksanaan amar ma'ruf dan nahi munkar harus continue (berkelanjutan) (Q.S.Al-Hijr, 15:99), dengan konsekuensi (Q.S. Hud, 11:112) dan dengan adil (Q.S. Al-An'am, 6:152).

Berkaitan tentang teknik hukuman, al-qabisi (w. 1012) dalam karyanya Al-Mufashshalah Li Ahwal Al- Muta'allimin Wa Ahkam Al-Mu'allimin, mengemukakan bahwa pendidik atau guru harus mempunyai izin dari orang tua atau wali murid sebelum menghukumnya dengan lebih dari tiga kali pukulan, sedangkan Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya, menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak kecil mungkin akan berakibat anak tersebut akan belajar menipu dan berdusta. hal ini memberi pertimbangan agar para pendidik dapat menyesuaikan diri agar pelaksanaan hukuman itu berguna atau bernilai edukatif.

Dengan demikian rumusan Al-Mawardi mengenai alat pendidikan yang berbentuk sebagai salah satu teknik dalam pendidikan Islam menurut hemat penulis, sangat berperan dalam proses belajar mengajar sebab teknik targhib (pemberian janji) dan tarhib (pemberian ancaman) dapat memberikan motivasi belajar peserta didik, bahkan mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuannya.

 

E.     Lingkungan pendidikan

Hubungan adalah ruang lingkup luar yang berinteraksi insan yang menjadi medan aneka bentuk kegiatannya. keadaan sekitar benda-benda, seperti air, udara, bumi, langit, matahari dan sebagainya, maupun masyarakat yang merangkumi pesan pribadi, kelompok, institusi, undang-undang, adat kebiasaan dan sebagainya.

Menurut Zainudin, lingkungan pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri individu yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikannya.

Al-Mawardi memakai istilah ta'dib makna pendidikan Islam yang dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:

1.      Pendidikan yang diwajibkan bagi orang tua kepada anaknya pada masa kanak-kanak.

2.      Pendidikan yang diwajibkan bagi manusia secara pribadi pada masa remaja dan lanjut usia.

Ditinjau dari sudut pandang tugas dan tanggung jawab pendidikan, menurut hemat penulis, yang dirumuskan Al-Mawardi merupakan tugas dan tanggung jawab keluarga sekolah dan badan-badan pendidikan kemasyarakatan di luar keluarga dan sekolah. Jadi, penanggung jawab pendidikan dalam Islam ialah orang tua (Q.S. Al-Tahrim, 66:60), diri sendiri (Q.S. Al-Anbiya', 21:7), sekolah (guru) (Q.S. At-Taubah, 9:122), masyarakat (Q.S. Ali Imran, 3:104) dan pemerintah (Q.S. An-Nisa', 4:49).

1.      Lingkungan Pendidikan Keluarga

Dalam pandangan Al Mawardi pendidikan keluarga dilakukan oleh orang tua kepada anaknya pada masa kanak-kanak dengan cara mendidik atau mengajarkan prinsip-prinsip akhlak (mabadi al-adab), agar anak menjadi terbiasa dan tumbuh dengan prinsip-prinsip tersebut hal ini akan memberikan kemudahan bagi anak untuk menerima pendidikan akhlak setelah ia dewasa, karena sudah terbiasa dengan hal tersebut. Sedangkan perkembangan anak dengan prinsip-prinsip akhlak akan menjadikan tabiat atau watak dalam perkembangan berikutnya, sebaliknya bila melalaikan pendidikan akhlak pada fase kanak-kanak menyebabkan kesulitan untuk mendidiknya setelah ia dewasa.

Pemikiran Al Mawardi mengenai pendidikan keluarga menunjukkan posisi penting institusi ini sebagai pendidikan yang pertama dan utama bagi peserta didik, sebelum dasar-dasar kelakuan daripada peserta didik tertanam sejak di dalam keluarga, sikap hidup, dan kebiasaan-kebiasaannya pula.

 

2.      Lingkungan Pendidikan Masyarakat

Al-Mawardi menggolongkannya menjadi dua jenis, yaitu adab al-muwadha'ah wa al-istilah dan adab ar-riyadhah wa al-ishtishlah. Adab al-muwadha'ah wa al-ishthilah adalah dasar-dasar yang disepakati oleh ahli ahli fikih dan para sasterawan berkenaan dengan sopan santun percakapan (khithab) ada cara cara berpakaian manusia, bila melanggar dari ketentuan yang telah disepakati dan memisahkan apa yang telah menjadi kebiasaan atau adat, akan melanggar kesopanan dan patut dicela namun tidak menutup kemungkinan bagi akal. Bila terdapat kebiasaan yang baru untuk menerimanya dengan syarat tidak bertentangan atau memiliki alasan yang benar.

Dalam konteks sosial, anggota masyarakat diwajibkan mendidik dirinya sendiri dengan ada (sopan santun) baik yang merupakan kebiasaan masyarakat ataupun yang sudah diterangkan dalam Nas, sehingga manusia diperintahkan untuk melaksanakannya berpijak pada peranan masyarakat, yang berpengaruh pada pendidikan, sebagaimana Al-Mawardi mementingkan sopan santun dalam masyarakat yang merupakan proses sosialisasi antar individu.

Agar seorang muslim mencapai suatu hasil dalam pembentukan etika tersebut, maka ia harus memenuhi persyaratan berikut:

1)      kesempurnaan akal ('aql kamil) dan pengalaman yang dimiliki (tajribat al salifah) agar mampu berpikir cemerlang (shihhat al rawiyah);

2)      pahami agama dan memiliki ketakwaan sebagai landasan bagi setiap kemaslahatan dan media mencapai tujuan;

3)      memiliki jiwa keteladanan dan bersifat lemah lembut (wadud) sebagai cermin kebenaran intelektual (shidq al-fikrah) dan kejernihan pendapat ( mahdh al-ra'y);

4)      mempunyai pemikiran yang konstruktif (salim al-fikr) akibat kegagalan tujuan dan belenggu aktivitas;

 

Demikianlah pendidikan Islam bertujuan agar setiap muslim dapat mencapai akhlak ideal untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, karakter ini terbentuk melalui pendidikan seseorang pada masa kecil dalam keluarga dan pendidikan pendewasaan diri dalam kehidupannya titik di samping itu, pendidikan Islam akan dipenuhi oleh faktor-faktor tujuan pendidikan pendidik peserta didik, kurikulum yang diterapkan dan lingkungan yang mengitarinya.

 

 

KESIMPULAN

 

Pembahasan tentang "konsep pendidikan Islam menurut Al Mawardi relevansinya dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka penulis menyimpulkan hal-hal berikut:

1.      Pemikiran pendidikan Al Mawardi dilatarbelakangi oleh pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan, mobilitas dan peran politik yang dilakukannya.

2.      Relevansi esensi pendidikan yang dirumuskan al-mawardi dengan UU nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah:

a.       Istilah Pendidikan; Al-Mawardi menggunakan kata at-ta'lim dan at-ta'dib. At-Ta'lim berarti proses pembelajaran, sedangkan At-ta'dib berarti pendidikan anak dan pendidikan orang dewasa.

b.      Tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan Al-Mawardi, yaitu; tujuan pendidikan intelektual, tujuan pendidikan akhlak, tujuan pendidikan religius dan tujuan pendidikan individu.

c.       Rumuskan Al-Mawardi dengan kata al-mu'allim, al-'alim dan al-'ulama ( pendidik, guru) dan al-muaddib atau al-walid (pendidik; orang tua). Pendidik memiliki kedudukan tinggi, tugas, fungsi dan kode etik.

d.      Dirumuskan Al-Mawardi dengan kata al-muta'allim, thalib al- 'ilm, ar-raghib dan al-walad. Peserta didik harus memenuhi syarat-syarat dan kode etik agar berhasil dalam belajar.

e.       Kurikulum yang dirumuskan Al-Mawardi dalam bentuk seperangkat materi pelajaran yang diklasifikasikan menjadi fardhu 'ain dan fardhu kifayah.

f.       Tiket yang dirumuskan Al-Mawardi ada dua jenis, yaitu pendidikan pertama untuk pembiasaan akhlak dan pendidikan masyarakat yang menekankan belajar secara individu pada masa remaja dan dewasa.

3.      Relevansi tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Mawardi dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki aspek historis dan filosofis. Pendidikan Islam dituntut agar mampu membentuk SDM yang unggul dan kompetitif. Oleh karena itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 setiap lembaga dapat meningkatkan mutu pendidikan. Adapun materi UU SISDIKNAS memuat ketentuan pelaksanaan pendidikan keagamaan dan faktor-faktor pendidikan yang mencakup tujuan pendidikan pendidik peserta didik kurikulum dan lingkungan pendidikan.

4.      Relevansi isi/ kurikulum pendidikan menurut al-mawardi dengan undang-undang sisdiknas antara lain:

a.       Istilah pendidikan; persamaannya, fokus utama untuk memanusiakan manusia agar berakhlak mulia. Apa perbedaannya, konsep Al Mawardi berdasarkan nilai-nilai etis religius yang bersumber dari Alquran Hadis, sedangkan sedangkan berdasarkan konsepsi kebangsaan yang berasaskan Pancasila.

b.      Tujuan pendidikan; tanya, tujuan pendidikan mencakup tujuan intelektual akhlak religius sosial dan individual. Perbedaannya Al Mawardi merumuskan tujuan pendidikan berdasarkan Al-quran dan Hadits, SISDIKNAS di samping tujuan pendidikan yang filosofis juga praktis yang diatur melalui peraturan perundangan.

c.       Pendidik persamaannya adalah adanya persyaratan umum dan khusus bagi pendidik titik perbedaannya, Al-Mawardi menekankan persyaratan kedewasaan dan kode etik sedangkan dalam UU sisdiknas, kompetensi dan profesionalitas pendidikan diatur melalui undang-undang.

d.      Setelah adanya hak dan kewajiban serta kode etik peserta didik

e.       Kurikulum titik persamaannya, kurikulum di disusun berdasarkan nilai-nilai religius, gaya dan dinamika masyarakat. Perbedaannya, Al-Mawardi menekankan materi pelajaran yang bersifat fardhu ain dan fardhu kifayah. Sedangkan UU SISDIKNAS menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku.

f.       �Lingkungan pendidikan. Persamaannya, adanya kewajiban mendidik bagi orang tua kepada anak. Perbedaannya, Al-Mawardi menekankan pendidikan akhlak sedangkan dalam UU Sisdiknas diterapkan melalui pelaksanaan pendidikan pada setiap jenjangnya..

 

 

BIBLIOGRAPHY

 

Ahmad, Z. C., & Bekker, A. (1990). Metode Penelitian Filsafat. Yogyarkarta: Kanisius.

 

Ansori, R. A. M. (2017). Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Peserta Didik. Jurnal Pusaka, 4(2), 14�32.

 

Daulay, P. (2004). Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana.

 

Hamalik, O. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Bandung. Bumi Aksara, Cetakan VII.

 

Irawati, E., & Susetyo, W. (2017). Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar. Jurnal Supremasi, 7(1), 3.

 

Langgulung, H. (1980). Beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam. Alma�arif.

 

Mulyasa, E. (2002). Kurikulum berbasis kompetensi: konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

Nakosteen, M. (2003). History of Islamic Origins of Western Education AD 800-1350: with an Introduction to Medieval Muslim Education, terj. Joko Kahhar Dan Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

 

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian Cetakan Kelima. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

Notosusanto, N. (1978). Masalah penelitian sejarah kontemporer:(suatu pengalaman). Yayasan Idayu, Jakarta.

 

Putri, G. K., Ani, Y., & Dewi, S. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Google Classroom Effect Of Google Classroom-Based Distance Learning Model. Al-Fikrah, 2(1), 60�79.

 

Rahman, A. (2016). Etika Pendidikan Tentang Berbicara dan Diam Menurut Al-Mawardi dalam Kitab Adab Al-Dunya Wa Al-Din. Didaktika Religia, 4(2), 163�182.

 

 

Sulaiman, F. H. (1993). Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, terj. Fathur Rahman. Bandung.

 

Zaini, A. A. (2015). Urgensi Manajemen Pendidikan Islam. Jurnal Ulumul Qura, 5(1).

 

Zainuddin, D., & Al Ghazali, S. B. P. (1991). Seluk Beluk Pendidikan Al Ghozali. Jakarta: Bumi Aksara.