Sabila Aulia Aziziah dan Nyoman Djinar Setiawina/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
448-455
- 450 -
menyatakan bahwa “luas lahan berpengaruh signifikan secara parsial dan memiliki
hubungan yang positif terhadap produksi kakao perkebunan rakyat di Provinsi Aceh”.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Pertanian (2020), diketahui bahwa
produksi biji kakao Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya manusia di setiap
proses produksinya. Sebagian besar areal perkebunan kakao di Indonesia merupakan
perkebunan rakyat. Pada 2019 Indonesia memiliki areal perkebunan kakao seluas 1,574,322
Ha, luas areal perkebunan rakyat tersebut sangat jauh di atas perkebunan besar negara dan
perkebunan besar swasta yang masing-masing seluas 11,9466 Ha dan 14,379 Ha.
Dikutip dari Roldan (2013), “Industri Kakao berkembang pesat dan banyak
perusahaan menawarkan produk yang lebih beragam, dimana bahan utamanya adalah biji
kakao. Oleh karena itu, sekelompok perusahaan memutuskan untuk mengkhususkan diri
dalam menyiapkan produk kakao setengah jadi (penggiling) untuk dijual kepada produsen
cokelat, kosmetik, minuman dan penganan lainnya untuk menghasilkan produk kakao yang
bernilai tambah”. Belanda menjadi salah satu negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia dan
negara-negara produsen biji kakao lainnya. Belanda adalah pusat perdagangan kakao penting
di Eropa dan merupakan pengimpor biji kakao terbesar di dunia. Pada 2018, impor biji kakao
Belanda mencapai 1.079 ribu ton dengan nilai US$2,4 miliar. Dari impor tersebut, 98 persen
bersumber langsung dari negara produsen dan merupakan 57 persen dari total impor
langsung biji kakao oleh Eropa.
Penggilingan biji kakao berfungsi sebagai proxy untuk permintaan pasar kakao.
Belanda adalah negara penggiling biji kakao terbesar di dunia di=mana pada 2017/2018
mengonsumsi sekitar 595 ribu ton biji kakao. Aktivitas penggilingan kakao di Belanda
meningkat sebesar 5.3 persen pada periode yang sama. Pada 2018/2019 kebutuhan biji kakao
pabrik penggilingan di Belanda mencapai 605 ribu ton, atau 13 persen dari total penggilingan
global (CBI, 2020).
Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan memperlihatkan jumlah produksi kakao
Indonesia pada 5 tahun terakhir yang mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat.
Produksi kakao terendah terjadi pada 2017 yaitu hanya dapat memproduksi sebanyak
590,683 ton dan tertinggi pada 2019 sebanyak 783,978 ton. Produksi kakao mengalami
peningkatan tertinggi pada tahun 2018 dengan kenaikan sebanyak 176,596 ton atau sebesar
29.89 persen. Seluruh hasil produksi biji kakao tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat
domestik saja, namun juga menjadi konsumsi bagi masyarakat mancanegara melalui
kegiatan ekspor.
Harga komoditi dapat menentukan tinggi rendahnya ekspor yang dilakukan oleh
negara eksportir. Berdasarkan hukum penawaran, semakin tinggi harga komoditi, maka akan
meningkatkan jumlah ekspor komoditi suatu negara (Mankiw, 2016:7). Ini memiliki arti
apabila harga komoditi biji kakao meningkat, maka penawaran, dalam hal ini ekspor, akan
meningkat. Faktor lain yang memengaruhi ekspor adalah nilai tukar. Dari sisi teori ekspor,
nilai tukar merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekspor suatu
komoditi (Hidayati, dkk, 2017;39). Nilai tukar merupakan faktor penting dalam menentukan
apakah barang di negara lain cenderung lebih mahal atau lebih murah dibanding barang
domestik. Sebab, apabila mata uang domestik terdepresiasi oleh mata uang asing, barang-
barang domestik akan menjadi lebih murah bagi negara importir dan akan menurunkan
penawaran barang domestik.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang asosiatif.
Lokasi pada penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan memanfaatkan data yang
diterbitkan oleh UNComtrade, Badan Pusat Statistik, Kementerin Pertanian dan lembaga lain