Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 361 -
Kadar Hb 9.9 g/dL dan maksimum terjadi pada kadar Hb 14 g/dL, selain itu dari 30
responden yang mengalami anemia sebanyak 2 orang (6,7%) dan tidak anemia sebanyak
28 orang. Dari hasil telah diketahui bahwa dari 30 responden terdapat 2 orang mengalami
anemia, yang disebabkan saat dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin ada yang sedang
mengalami menstruasi atau baru selesai menstruasi dan ada yang melakukan program diet
sehingga frekuensi makan dalam sehari tidak teratur 3 x sehari, selain itu juga siswa putri
sangat suka mengkonsumsi makanan siap saji seperti mie, batagor, siomay, bakso dan lain-
lain, serta responden juga mengatakan bahwa mereka sering mengkonsumsi teh atau kopi
atau susu atau minuman buatan yang siap saji, selain itu mereka juga lebih banyak
melakukan aktivitas di sekolah dikarenakan pelajaran dimulai dari jam 07.00-15.00 dan
kadang masing mengikuti ekstrakulikuler disekolah hingga malam atau masih mengikuti
les setelah pulang sekolah (Estri & Cahyaningtyas, 2021).
Penelitian yang dilakukan di SMAN 1 Nganjuk membuktikan diketahui bahwa
sebagian besar responden mengalami anemia ditandai dengan kadar hemoglobin dibawah
normal, status gizi (IMT/U) normal dan kebiasaan sarapan yang tergolong rutin. Meskipun
demikian untuk tingkat kecukupan kalsium, tingkat kecukupan Fe dan tingkat kecukupan
vitamin E masih tergolong tidak cukup dan belum mencukupi anjuran AKG harian remaja
putri. Tingginya angka anemia di SMAN 1 Nganjuk dapat disebabkan karena kurangnya
pengetahuan terhadap asupan sumber Fe. Selain itu, hal lain yang menyebabkan anemia
adalah asupan zat besi yang kurang optimal serta makan tidak teratur dapat menyebabkan
anemia. Anemia dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari remaja putri terutama
penurunan konsentrasi belajar. Anemia berpotensi mengakibatkan penurunan daya ingat
dan rendahnya kemampuan pemecahan masalah yang dapat berpengaruh pada prestasi
belajar (Does, Probabilistic and Work, 1976).
Prevalensi anemia remaja putri di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012
sebesar 36 persen dan prevalensi di Kota Yogyakarta mencapai 35,2 persen. Kerugian
akibat anemia berkaitan dengan penurunan produktivitas kerja dan daya tahan,
terganggunya perkembangan fisik dan psikis, peningkatan kesakitan, hingga kematian
(Hermanto, Kandarina, & Latifah, 2020).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2014 angka kejadian
anemia pada remaja dengan usia 10-14 tahun sebanyak 337 orang (0,13%) dari 269.164
jiwa dan usia 16-18 tahun sebanyak 374 orang (0,14%) dari 267.640 jiwa. Tahun 2015
terjadi peningkatan anemia pada remaja yaitu pada kelompok usia 10-14 tahun sebanyak
431 orang (0,16%) dari 264.915 jiwa, kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 454 orang
(0,17%) dari 263.416 jiwa. Di Kota Palu jumlah anemia pada kelompok 10-14 tahun
sebanyak 16 orang dan kelompok umur 16-18 tahun sebanyak 22 orang (Suryani, Rafika,
& Gani, 2020).
Sedangkan data lain menunjukan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun di Jawa
Barat prevalensi anemia mencapai 42,4% yang diperoleh dari beberapa faktor yaitu asupan
energi, protein, zat besi, vitamin C, kebiasaan minum teh dan kopi serta karena pola
menstruasi (Herwandar & Soviyati, 2020).
Pada penelitian Raditya Atmaka, et al. menyatakan di antara 189 siswi, 69 baru
didiagnosis dengan anemia defisiensi besi (insiden = 36,5 persen), tetapi 7 siswa menolak
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil skrining, rerata hemoglobin subjek
10.365 g / dL dan rerata feritin serum 8.885 µg / L (Atmaka, Ningsih, & Maghribi, 2020).
Persentase prevalensi anemia di Provinsi Jawa Tengah yaitu 57,7% dan masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena persentasenya >20%. Penelitian
sebelumnya di Kota Semarang menunjukan prevalensi anemia pada remaja putri di SMAN
2 Semarang sebesar 36,7%. Hasil penelitian terbaru menunjukan remaja putri yang
mengalami kejadian anemia 83,7% disebabkan akibat kurangnya asupan zat besi (Pancera
et al., 2014).