Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Januari 2020, 1 (1), 1-8
DOI:
p-ISSN: xxxx-xxxx e-ISSN: xxxx-xxxx
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
- 1 -
KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Abdullah dan Royyan Hafizi
Syntax Corporation Indonesia, Universitas Muhamadiyah Cirebon (UMC)
abdullahkhudori62@gmail.com, royyanhafizi18@gmail.com
Received : 07-12-2020
Revised : 15-12-2020
Accepted : 30-12-2020
Abstract
The role of law as a protector is reflected in neglect of the
function of law as a means of social control, social change
(social engineering) and law as an integrative means. The
purpose of this research is to find out how to analyze the
formulation of government policies in handling corruption
criminal behavior. This type of research is a normative
research study or uses a doctrinal approach with literature
study. The results of this study indicate that the criminal law
formulation policy, especially regarding the current
formulation of corruption, has a number of fundamental
weaknesses a) the criminal law policy in terms of the current
corruption crime, the offense includes the qualification of the
offense whether as a "violation" or "crime. ". b) the current
criminal law policy in the case of criminal acts of corruption
does not provide a juridical definition or limitations
regarding "malicious consensus", c) criminal law policy in
the case of non-criminal corruption, is still spread in several
laws and uses sanctions based on law -different invitations.
Keywords: policy; criminal act; corruption.
Abstrak
Peran hukum sebagai pengayom tercermin melalai fungsi
hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control),
perubahan sosial (social engineering) dan hukum sebagai
sarana integrative. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana analisis formulasi kebijkan
pemeriintah dalam penanganan prilaku tindak pidana korupsi.
Jenis penelitian merupkan kajian penelitian normatif atau
menggunakan pendekatan doctrinal dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan formulasi
hukum pidana khususnya mengenai formulasi tindak pidana
korupsi saat ini, memiliki sejumlah kelemahan yang mendasar
a) kebijakan hukum pidana dalam hal tindak pidana korupsi
yang berlaku saat ini, tindak mencantumkan kualifikasi delik
apakah sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan”. b) kebijakan
Hukum pidana dalam hal tindak pidana korupsi saat ini tidak
memberikan pengertian atau batasan-batasan yuridis
mengenai “permufakatan jahat”, c) kebijakan hukum pidana
dalam hal pemberantasan tidak pidana korupsi, masih tersebar
di beberapa perundang-undangan dan menggunakan sanksi
berdasarkan undang-undang yang berbeda.
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 2 -
Kata kunci: Kebijakan; Tindak Pidana; Korupsi.
CC BY
PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan
keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian perekonomian rakyat.
Menurut Barda Nawawi Arief tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat
tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanya oleh
masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia
(Muladi & Arief, 1992).
Dalam kerangka dan ruang lingkup reformasi yang telah berlangsung di Negara
ini, orang makin disadarkan pada peran penting hukum sebagai sarana pengayoman (social
defence) dalam mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam berbagai aspek
kehidupan seperti politik dan ekonomi. Peran hukum sebagai pengayom tercermin melalai
fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control), perubahan sosial (social
engineering) dan hukum sebagai sarana integrative (Halim, 2015). Bagi bangsa Indonesia
secara konstitusional, hukum berfungsi sebagai sarana untuk menegakan kehidupan yang
demokratis, menegakkan kehidupan yang berkeadilan social dan menegakkan kehidupan
yang berperikemanusiaan.
Indonesia negara yang berlandaskan pada Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan
salah satu sila yang terutama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (Hendri, 2014) sebagai
negara yang mengakui eksistensi Tuhan dalam kehidupan Pribadi dan kehidupan
Bermasyarakat dan Bernegara, menjadi bertolak belakang dengan kondisi obyektif
merupakan negara yang cukup terkenal dengan istilah budaya korupsi. Fakta ini tentulah
dirasakan sebagai hal menyedihkan yang dapat mencoreng nama, harkat dan martabat
Indonesia sebagai Negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Bila dilihat dari berbagai kasus di Indonesia (Korupsi yang melibatkan Anggota
Komisi Yudisial RI Irwady Joenoes, Korupsi Urip Tri Gunawan Penyidik kasus BLBI
Kejagung RI, Putusan PN Medan Pembalakan liar Adelian Lis, serta kasus Prita Mulya
Sari dan banyak lagi yang lain), yang menggambarkan prilaku aparat penegak hukum yang
bergerak kearah degradasi hukum, sehingga Satjipto Rahardjo mengungkapkan (Faizal,
2010, pp. 1449):
“Bagaimana mungkin menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau
sapunya sendiri sebuah sapu yang kotor. Dan apakah bisa penegakan hukum itu
dijalankan, dengan berbekal penegak hukum yang korup.”
Perwujudan tujuan nasional tersebut akan tentu berdasarkan atas hukum sebagai
konsekuensi dari Negara Hukum (Usman, 2015), maka suatu Negara memerlukan politik
hukum, merupakan kebijakan dasar penyelenggaraan Negara dalam bidang hukum yang
akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai nilai yang berlaku dimasyarakat
untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan (Thohari & Syaukani, 2007).
Demikian
juga dalam penegakan hukum pidana, perlu politik hukum pidana, sebagai bagian dari
suatu legal planning reform perencanaan pembangunan hukum yang dirancang secara
matang dengan memperhatikan aspek-aspek yang menyertainya (Najih, 2014).
METODE PENELITIAN
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 3 -
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau diktrinal. Penelitian
hukum normatif merupakan jenis penelitian yang menggunakan bahan Literatur (data
sekunder) atau penelitian Hukum Perpustakaan (Supratman, Ediwarman, Hamdan, &
Yunara, 2017).
Studi normatif Termasuk penelitian prinsip Hukum, sistem hukum, daftar Hukum
positif, fondasi filsafat (dogma atau dotrin) penegasan 8 Plus untuk Pemerasan Penduduk
desa menyediakan layanan publik bagi masyarakat.
Ditinjau dari sifatnya, penelitian ini merupakan analisis deskriptif, yaitu mengkaji
tujuan hukum, nilai keadilan, akibat hukum, konsep hukum dan norma hukum (Marzuki,
2008).
Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data pembantu. Data bekas Diperoleh dari
hasil penelitian Penelitian pustaka berupa bahan hukum, meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu: UndangUndang Dasar 1945. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan yang relevan
Bahan hukum utama, seperti Draf hukum, hasil Penelitian, karya ilmiah, buku, dll.
c. Jenis bahan hukum ketiga yaitu bahan Hukum yang memberikan pedoman dan
deskripsi bahan Hukum primer dan sekunder, seperti Kamus, ensiklopedia, dll.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tindak Pidana Korupsi
Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin "dedecorio" atau "decorateus", dan
dikatakan bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin kuno "corrumpe". Diterjemahkan
dari bahasa Latin ke bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris, menjadi korup dan korup; dalam
bahasa Prancis ada korupsi; dalam bahasa Belanda menjadi korup (destruktif) (Hamzah,
2005).
Menurut zaenal dalam Eksiklopedia Indonesia, ada yang mengatakan bahwa
korupsi berasal dari kata korupsi yang artinya suap, dan korupsi berasal dari kata korupsi
yang artinya destruktif. Oleh karena itu, korupsi merupakan gejala penyalahgunaan
kekuasaan oleh pejabat instansi pemerintah yang berujung pada penyuapan, pemalsuan,
dan konsekuensi lain yang tidak diinginkan (Zainal, 2016). Secara harfiah, kata korupsi
dapat berarti kejahatan, kekejaman, penyuapan, maksiat, korupsi dan ketidakjujuran,
perilaku buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;
perbuatan yang kenyataannya dapat menimbulkan keadaan yang bersifat buruk (Soekanto
& Mamudji, 2006). Oleh karena itu definisi korupsi begitu luas, dan banyaknya
permasalahan yang muncul dari perilaku tersebut juga menyebabkan rendahnya moralitas
sosial, dan definisi korupsi pun semakin diperkuat. Justru karena pemerasan (pungutan
liar), manipulasi, penyuapan, penindasan dan intimidasi yang membuat masyarakat merasa
sengsara, yang menunjukkan ciri-ciri korupsi. Situasi ini sangat serius dan telah merembet
ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dalam rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 21 sampai dengan Pasal
24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka yang dimaksudkan dengan pelaku ialah “setiap orang”, yang berarti orang
perseorangan atau korporasi.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pelaku itu dirumuskan
sebagai “barang siapa”, yakni siapa saja atau orang perseorangan saja. Dengan demikian
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 4 -
penjelasan tentang pelaku dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih luas dari
pengertian dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan
pelaku tindak pidana korupsi diperluas lagi yang meliputi penyelenggara negara,
pemborong, ahli bangunan, orang yang menjalankan jabatan umum terus menerus atau
sementara waktu, hakim atau advokat.
Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).
Perilaku korupsi seseorang biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
faktor pribadi yang menjadi penyebab terjadinya korupsi. Dari sudut pandang seorang
aktor korup, penyebab korupsi bisa berupa dorongan batinnya, dengan kata lain keinginan,
niat atau kesadaran untuk melaksanakan perilaku korup. Secara internal, alasan seseorang
melakukan perilaku korup antara lain: keserakahan, semangat tidak kuat menghadapi
godaan, pendapatan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
mendasar dan wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, dan
kurangnya penggunaan ajaran agama. . Selain faktor pribadi, faktor penyebab terjadinya
korupsi juga dapat berasal dari lingkungan, organisasi dan masyarakat tempat orang
tersebut tinggal.
2. Kebijakan Hukum Pidana Korupsi
Apakah korupsi merupakan tindak pidana? Sesuai dengan asas legalitas
(Wiharyangti, 2011) alam beberapa undang-undang selain "Hukum Pidana" tersebut di
atas, korupsi dianggap sebagai kejahatan. Secara politik, kejahatan telah diatur dalam
beberapa undang-undang sejak Indonesia merdeka hingga masa reformasi. Tindak pidana
korupsi telah dibicarakan sebagai salah satu bentuk kejahatan dalam lingkupnya crime as
bussines, dalam kongres PBB ke lima di Jenewa tahun 1975.
Secara etimologis, korupsi berasal dari istilah latin “korupsi yang berarti
kerusakan, kebejatan, dan juga digunakan untuk maksud negara atau kejahatan. Di
Indonesia, istilah korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan
seseorang di sektor keuangan yang formal secara hukum.
Sejauh menyangkut definisi korupsi, terdapat banyak batasan dalam berbagai
dokumen. Menurut Henry Campbell Black (Henry Campbell Black), korupsi mengacu
pada tindakan yang dirancang untuk memberikan manfaat yang tidak sesuai dengan tugas
dan hak resmi pihak lain. Selain itu, Black memberikan batasan bahwa korupsi adalah
tindakan pejabat yang menggunakan jabatannya secara ilegal untuk mendapatkan
keuntungan yang bertentangan dengan kewajibannya. Dalam websters new American
Dictionary kata corruption diartikan sebagai decay (lapuk), contamination (kemasukan
sesuatu yg merusak), impurity (tidak murni) sedang kata corrupt dengan menjadi busuk,
lapuk atau buruk, atau memasukkan sesuatu yg busuk atau yg lapuk kedalam sesuatu yg
semula bersih dan bagus. Dalam kamus besar BI korupsi diartikan sebagai perbuatan yg
buruk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok dan sebagainya. Dengan
Beranekaragamnya konsep korupsi menimbulkan kesulitan merumuskan batasan yang
lengkap tentang korupsi sehingga Klitgaard keberatan mebuat defenisi koupsi karena
buang-buang waktu, lebih baik membahas cara-cara utk membrantas korupsi itu sendiri.
Menurut Syed Husssein Alatas, ruang lingkup korupsi sangat luas, termasuk
penyuapan (penyuapan), pemerasan (pemerasan), dan nepotisme, tetapi ada kesamaan yang
menghubungkan ketiga faktor tersebut, yaitu menempatkan kepentingan publik di bawah
tujuan pribadi dengan melanggar kewajiban berikutnya dan standar
kesejahteraan.Kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas
segala konsekuensi yang diderita oleh public (Waluyo, 2017).
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 5 -
Kebijakan pemerintah republik Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana
sudah dilakukan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan pasca
kemerdekaan, hal ini dapat kita lihat sejarah pengaturan pemberantasan tindak pidana
Korupsi di Indonesia, Produk perundang-undangan tersebut meliputi: Peraturan Penguasa
Peran Pusat Kepala Staf angkatan Darat No.Prt/Perpu/13 tahun 1958, kemudian dikelurkan
lagi UU No.24 prp Tahun 1969 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi, kemudian UU no.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, kemudian UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan direvisi dengan UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 Tahun 1999
tentang pemberabtasan Tindak Pidana Korupsi
3. Upaya Penanggulangan Pidana Korupsi
Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi terutama dari segi substansi
merupakan langkah yang sangat penting dan strategis, artinya pencegahan tindak pidana
korupsi harus dimulai dengan perumusan kebijakan pembenahan hukum pidana. Mengenai
rumusan kebijakan Barda Nawawi Arief dalam penanggulangan kejahatan (termasuk
korupsi), dari segi kebijakan, reformasi hukum pidana memiliki implikasi sebagai berikut:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial (bagian dari upaya untuk mengatasi masalah
sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional);
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal (bagian dari upaya perlindungan masyarakat,
khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum (Barda Nawawi
Arief, 2018)
Menurut Barda Nawawi Arief, usaha penanggulangan dengan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Sering dikatakan
bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy) (Barda Nawawi Arief, 2018, p. 24). Barda Nawawi Arief
menyebutkan, proses legislasi/formulasi/ pembuatan peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya merupakan proses penegakan hukum in abstracto”. Proses legislasi/formulasi
ini merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum”in
concreto”. Oleh karena itu kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi
merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum
“in concreto”(Barda Nawawi Arief, 2018, p. 25).
Penegakan hukum itu sendiri menurut Nyoman Serikat Putra Jaya dapat diartikan
sebagai “perhatian dan penggarapan”, baik perbuatan-perbuatan melawan hukum yang
sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang
mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Dengan demikian, penegakan hukum tidak
hanya diartikan sebagai penerapan hukum positif, tetapi juga penciptaan hukum positif
(Jaya, 2008). Hal ini berarti juga bahwa penal policy merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum pidana. Dalam melakukan pembaharuan tersebut, tentu harus dilihat
masalah pokok hukum pidana yaitu “tindak pidana” (strafbaarfeit/criminal act/actus
rebus), “kesalahan” (schuld/guit/mens rea), dan “pidana” (straf/punishment/poena) (Barda
Nawawi Arief, 2018, p. 5). Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan
masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana atau bukan (Barda Nawawi Arief, 2018, p. 49). Tindak pidana tersebut dalam
KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak
pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan,
misalnya dalam konsep KUHP dirumuskan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa:
a. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 6 -
b. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan
hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
c. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar.
Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat melawan
hukum, yaitu hukum tak tertulis, merupakan jembatan hukum agar penggunaan hukum
pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau keadilan substantif atau
keadilan materil. Terlebih hal tersebut jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi sebagai
perbuatan yang sangat dicela oleh masyarakat. Penempatan sifat melawan hukum materiel
tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Muladi
berpendapat, tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan
keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun
masyarakat (Waworundeng, 2018).
Sebagai suatu sistem, dalam peraturan perundang-undangan khusus perlu
disebutkan atau ditetapkan kualifikasi tindak pidana sebagai “pidana” atau “pelanggaran”.
Oleh karena itu, secara hukum tidak akan mengangkat masalah penerapan aturan umum
KUHP. Undang-undang khusus selain KUHP tidak ada ketentuan khusus untuk ini, karena
menurut aturan pokok (KUHP), hanya persidangan atas tindak pidana yang dapat
ditetapkan. Di sisi lain, perlu juga dijabarkan secara hukum istilah-istilah tertentu yang
merupakan tindak pidana, seperti "persekongkolan", agar penerapan KUHP lebih mungkin
menjembatani aturan-aturan umum yang tidak diatur dalam undang-undang tertentu.
Menurut Barda Nawawi Arief, "konsensus jahat" adalah istilah hukum dan istilah hukum
yuridis lainnya seperti “percobaan” “pembantuan”, ”pengulangan”.
Menurut Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief), di Belanda, jika undang-
undang khusus selain KUHP menetapkan bahwa "persekongkolan jahat" harus dihukum,
maka undang-undang khusus itu akan memasukkan Arti "konsensus jahat" disertakan.
Oleh karena itu, pengertian istilah hukum dalam undang-undang khusus antikorupsi harus
dirumuskan agar undang-undang khusus tersebut tetap sinkron dengan "Undang-Undang
Pidana" sebagai sistem utamanya.
4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Penanggulangan Korupsi
Menurut Hendarman Supandji, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ruang lingkup korupsi sangat luas, antara lain: (a)
Kelompok kriminal yang terkait dengan kerugian keuangan negara. (B) Kejahatan yang
terkait dengan suap dan remunerasi. (C) Jenis kejahatan yang terkait dengan penggelapan.
(D) Kelompok kriminal terkait pemerasan. (E) Jenis kejahatan yang terkait dengan leasing,
pemasok, dan mitra (Supandji, 2009).
Namun, undang-undang tersebut masih memiliki kendala hukum dalam
merumuskan tindak pidana korupsi, yang dapat menyulitkan penerapan UU Pidana sebagai
sistem utama pemberantasan korupsi. Hal-hal tersebut: (a) Tidak ada batasan hukum atau
batasan hukum bagi tindak pidana korupsi dalam perkara persekongkolan pidana, dan
kesepakatan pidana yang termaktub dalam Pasal 88 KUHP adalah istilah yang diatur dalam
Bab IX, dengan memperhatikan Hukum Pidana. Menurut Pasal 103, istilah tersebut tidak
dapat diterapkan.Ketentuan pasal 1 sampai 8 berlaku untuk tindakan yang harus dihukum
oleh undang-undang lain.
Demikian pula, undang-undang tidak mengatur istilah "bantuan" sebagai istilah
hukum. (B) Tidak mencantumkan definisi kejahatan seperti “pelanggaran” atau
“kejahatan”, sehingga UU Pidana tidak dapat digunakan untuk memberantas kejahatan
korupsi. Padahal, kebijakan hukum pidana dirumuskan dalam rangka penanggulangan
tindak pidana korupsi di masa mendatang, yakni melalui rumusan "Pemberantasan UU
Korupsi" (naskah Agustus 2008) (Gani, 2017).
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 7 -
Rancangan RUU tersebut mengacu pada "Konvensi PBB Melawan Korupsi" tahun
2003, yang menekankan selama peninjauan: "Setelah meratifikasi" Konvensi PBB
Melawan Korupsi "tahun 2003 (tahun 2003" Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Melawan
Korupsi "), No. 7 tahun 2006 Undang-undang, "Penghapusan Kejahatan Korupsi" yang
direvisi sesuai dengan UU No. 20 tahun 2001 perlu disesuaikan dengan "Konvensi PBB
Melawan Korupsi" tahun 2003.
KESIMPULAN
Kebijakan perumusan hukum pidana, khususnya undang-undang pidana tentang
tindak pidana korupsi, memiliki kelemahan mendasar sebagai berikut: (a) Untuk kebijakan
hukum pidana yang berlaku saat ini untuk tindak pidana korupsi, perilaku tersebut
mencakup apakah tindak pidana tersebut diartikan sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan”
(b) Kebijakan hukum pidana saat ini untuk kasus korupsi tidak memberikan definisi hukum
atau batasan tentang "persekongkolan jahat", "perilaku kriminal dalam pembantuan atau
membantu" (kejahatan menengah) dan "kejahatan berulang" (penerimaan). (c) Kebijakan
hukum pidana tentang korupsi non-pidana masih tersebar dalam beberapa undang-undang,
dan sanksi yang digunakan menurut undang-undang yang berbeda dapat menimbulkan
masalah, terutama di bidang peradilan.
BIBLIOGRAPHY
Barda Nawawi Arief, S. H. (2018). Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum
pidana dalam penanggulangan kejahatan. Jakarta: Prenada Media.
Faizal. (2010). Menerobos Positivism Hukum. Yogyakarta: Rangkang education.
Gani, K. A. (2017). Penyalahgunaan Wewenang oleh Anggota Militer Dalam Pengadaan
Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Bandung: Fakultas Hukum
Unpas.
Halim, F. (2015). Hukum dan Perubahan Sosial. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan
Ketatanegaraan, 4(1), 107115.
Hamzah, A. (2005). Pemberantasan korupsi: hukum pidana nasional dan internasional.
Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada.
Hendri, W. (2014). Tinjauan Yuridis Kewenangan DKPP Menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 terhadap Putusan DKPP Nomor: 23-25/DKPP-PKE-I/2012.
Jurnal Selat, 2(1), 188200.
Jaya, N. S. P. (2008). Beberapa pemikiran ke arah pengembangan hukum pidana. Jakarta:
Citra Aditya Bakti.
Marzuki, P. M. (2008). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Kencana.
Muladi, & Arief, B. N. (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni.
Najih, M. (2014). Politik hukum pidana: konspesi pembaharuan hukum pidana dalam cita
negara hukum. Malang: Setara Press.
Abdullah dan Royyan Hafizi/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(1), 1-8
- 8 -
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2006). Penelitian Hukum Normatif. Bandung: Raja Grafindo
Persada.
Supandji, H. (2009). Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan
Tugas Kejaksaan. Semarang: Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip
Semarang, tanggal.
Supratman, A., Ediwarman, E., Hamdan, M., & Yunara, E. (2017). Analisis Hukum dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Psikologi Kriminal (Studi
Kasus Pengadilan Negeri Medan). USU Law Journal, 5(1), 164941.
Thohari, A. A., & Syaukani, I. (2007). Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Usman, A. H. (2015). Kesadaran Hukum masyarakat dan Pemerintah sebagai Faktor
Tegaknya Negara Hukum di Indonesia. Jurnal Wawasan Yuridika, 30(1), 2653.
Waluyo, B. (2017). Optimalisasi pemberantasan korupsi di indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2),
162169.
Waworundeng, F. D. M. (2018). Pengaturan dan Penerapan Pidana Bersyarat Menurut
Pasal 14 kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lex Crimen, 7(5).
Wiharyangti, D. (2011). Implementasi Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam
Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum
(Research Law Journal), 6(1).
Zainal, A. (2016). Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan. Al-Izzah:
Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, 11(2), 1936.