Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, April 2021, 1 (4), 403-413
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
- 403 -
PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP
TINGKAT INSOMNIA PADA LANSIA DIWILAYAH KERJA
PUSKESMAS BATU AJI KOTA BATAM TAHUN 2019
Nahrul Hayat
1
, Afif D Alba
2
dan Asfri Sri Rahmadeni
3
Institut Kesehatan Mitra Bunda, Kepulauan Riau, Indonesia
nahroel_ao@rocketmail.com, afifdalba@gmail.com dan aniasfri@gmail.com
Received : 03-04-2021
Revised : 09-04-2021
Accepted : 10-04-2021
Abstract
One of the many health problems faced by the elderly is
insomnia (insomnia). Insomnia is a complaint about the lack
of quality sleep caused by difficulty entering sleep, often
waking up in the middle of the night then having difficulty
returning to sleep, waking up too early, and not sleeping
soundly. One application that can be done in the elderly who
experience insomnia is by non-medication, one of which is by
progressive muscle relaxation exercises. This study aims to
determine the effect of progressive muscle relaxation therapy
on changes in insomnia levels in the elderly. This type of
research is pre-experimental which is included in the pretest
and posttest one group design. Analysis of statistical data
used is Paired t-test and this study was conducted for 3 days.
The sampling technique in this study was purposive sampling
with 15 respondents. Data collection was carried out before
and after progressive muscle relaxation exercises. Based on
statistical tests, P value = 0,000 was obtained, which means
there were significant differences before and after progressive
muscle relaxation therapy. Researchers hope the elderly will
always do this progressive muscle relaxation therapy as a
need for themselves to reduce insomnia..
Keywords: elderly; insomnia; progressive muscle relaxation
therapy.
Abstrak
Lansia banyak mengalami insomnia dan akan berdampak
pada kesehatannya. Insomnia adalah kurangnya kualitas dan
kuantitas tidur yang disebabkan sulit memulai tidur, sering
terbangun kemudian sulit untuk tidur kembali, bangun terlalu
cepat dan tidak nyenyak. Penerapan cara non medikasi yang
dapat dilakukan pada lansia adalah dengan melakukan
relaksasi otot progresif. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap
tingkat insomnia pada lansia. Jenis penelitian ini adalah pra
eksperimen dengan rancangan retest and posttest. Analisa
data statistik yang digunakan adalah Paired t-test dan
penelitian ini dilakukan 3 kali sehari selama 3 hari dengan
durasi 15-30 menit. Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah purposive sampling dengan responden 15
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 404 -
orang. Berdasarkan uji statistik di dapatkan P value = 0,046,
yang berarti terdapat perbedaan bermakna terapi relaksasi otot
progresif terhadap tingkat insomnia antara yang melakukan
dengan yang tidak melakukan. Peneliti berharap lansia akan
selalu melakukan terapi relaksasi otot progresif ini sebagai
kebutuhan bagi diri untuk mengurangi insomnia.
Kata kunci: lansia; insomnia; terapi relaksasi otot progresif.
CC BY
PENDAHULUAN
Usia lanjut merupakan pores alami yang tidak bisa dihindari oleh manusia, hal ini
ditandai dengan perubahan fisik, sosial, emosional, maupun seksual. Gejala kemunduran
fisik ditandai dengan mudah capek, stamina menurun, bongkok, kulit keriput, rambut
tumbuh uban, hilangnya gigi, fungsi indra menurun dan pengapuran pada tulang rawan
(Marwanis, 2016).
WHO mengelompokkan usia lanjut yaitu berumur 60 tahun atau lebih. Pada tahun
2013 secara global populasi penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih adalah 11,7% dari
total populasi dunia dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan
usia harapan hidup. Data menunjukkan tahun 2000 usia harapan hidup adalah 66 tahun,
2012 70 tahun dan tahun 2013 menjadi 71 tahun. Jumlah lansia di Indonesia juga bertambah
setiap tahunnya, pada tahun 2009 lansia berjumlah 7,49, tahun 2011 7,69% dan tahun tahun
2013 menjadi 8,1% dari total populasi.
Data United Nations Economic and Social Comission for Asia and The Pacific
(UNESCAP) tahun 2011, jumlah penduduk lanjut usia di kawasan Asia mencapai 4,22
miliar atau 60% dari penduduk dunia (Fatimah & Setyawati, 2014).
Umur Harapan Hidup di Indonesia meningkat seiring semakin membaiknya
fasilitas kesehatan. Berdasarkan data BPS tahun 2015, umur harapan hidup pada tahun
2008 adalah 69 tahun, tahun 2015 Meningkat menjadi 70,8 tahun.
Menurut data dari BPS tahun 2015, tahun 2008 UHH penduduk Indonesia
mencapai 69 tahun dan tahun 2015 meningkat menjadi 70,8 tahun. Ini berdampak pada
peningkatan jumlah usia lanjut (Lansia), berdasarkan sensus penduduk tahun 2010
didapatkan 20,24 juta jiwa (8,03 % dari total penduduk) berdasarkan hasil Susenas tahun
2014 jumlah penduduk lansia diperkirakan akan meningkat menjadi 36 juta pada tahun
2025 dan 41 juta pada tahun 2035 (Novianti & Yunita, 2020).
Menurut jumlah lansia di Kepulauan Riau adalah 4,28 persen dari total seluruh
penduduk di Kepulauan Riau. Proporsi penduduk lansia perempuan di Kepulauan Riau
menunjukkan proporsi yang sedikit lebih besar disbanding proporsi penduduk laki-laki
terhadap total penduduk laki-laki di Kepulauan Riau, yaitu 4,35 persen berbanding 4,21
persen (Badan Pusat Statistik, 2018a).
Hasil laporan pencatatan kesehatan kelompok lanjut usia Dinas Kesehatan Kota
Batam tahun 2018 adalah sebanyak 216.138 jiwa dan pencatatan jumlah lansia berusia 60
tahun keatas sebanyak 51.463 jiwa dengan prevalensi puskesmas tertinggi terdapat di
Puskesmas Batu Aji sebanyak 30.802 jiwa (4%), Baloi Permai sebanyak 6.401 jiwa (12,5)
dan Sei Langkai sebanyak 6.327 jiwa (12,3%). Data jumlah lansia terlampir (Badan Pusat
Statistik, 2018b).
Lansia banyak mengalami insomnia dan akan berdampak pada kesehatannya.
Insomnia adalah kurangnya kualitas dan kuantitas tidur yang disebabkan sulit memulai
tidur, sering terbangun kemudian sulit untuk tidur kembali, bangun terlalu cepat dan tidak
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 405 -
nyenyak. Insomnia akan berdampak pada gangguan fungsi mental yang mempengaruhi
konsentrasi, gangguan aktifitas fisik, stress dan depresi. Perubahan pola tidur telah terbukti
secara signifikan mempengaruhi suasana hati apabila berlanjut akan menjadi gelisah, sakit
kepala, penurunan gairah seksual, kurang konsentrasi tidak segar dan anemia (Zulfina,
2014).
Insomnia merupakan kelainan dalam tidur berupa kesulitan untuk tidur atau
mempertahankan kualitas tidur, gejala tersebut biasanya kan mengganggu aktivitas fisik.
Sekitar 1/3 orang dewasa mengalami insomnia dan 17% diantaranya mengakibatkan
gangguan kualitas hidup (Sadock, 2010).
Angka kejadian insomnia akan meningkat seiring bertambahnya usia. Dengan kata
lain, gejala insomnia sering terjadi pada orang lanjut usia (lansia), bahkan hampir setengah
dari jumlah lansia dilaporkan mengalami kesulitan memulai tidur dalam mempertahankan
tidurnya, sebanyak 50-70% dari semua lansia yang berusia >65 tahun, penelitian
sebelumnya juga menyebutkan di Thailand, hampir 50% pasien yang berusia >60 tahun
mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2013).
Survey yang dilakukan National Sleep Foundation 2010, 67 persen dari 1.508
lansia (berusia 65 tahun ke atas) di Amerika melaporkan mengalami insomnia. Sementara
73 persen lansia mengalami gangguan dalam memulai tidur dan mempertahankan tidur.
Penelitian yang dilakukan oleh di Jepang disebutkan 29% lansia tidur kurang dari
6 jam, 23% merasa kekurangan dalam jam tidur 6% menggunakan obat tidur, kemudian
21% memiliki prevalensi insomnia dan 15% kondisi mengantuk yang parah pada siang
harinya (Waidmann & Liu, 2000).
Penelitian Citra Borneo (2017) di Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu
Raya Tehnik Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling sebanyak
10 lansia yang menderita insomnia. Uji statistik yang digunakan uji paired samples t test
dengan nilai p < 0,05. Hasil uji t berpasangan didapatkan hasil nilai mean pada pretest 14,80
dengan standar deviasi 3,327 dan pada posttest yang telah di tranformasi data nilai mean
0,7993 dengan standar deviasi 0,18398, dengan hasil nilai p=0,001. Kesimpulan terdapat
pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat insomnia pada lansia di Panti
Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.
Angka kejadian insomnia di Indonesia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%
dan 30% kelompok lansia mengeluh terbangun di waktu mala hari (Amir, 2007). Kejadian
insomnia pada kelompok usia lanjut cukup tinggi. Menurut data dari WHO Prevalensi
insomnia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% dari seluruh lansia di dunia (Badan
Pusat Statistik, 2018b). Di Indonesia insomnia menyerang sekitar 50% orang yang berusia
di atas 65 tahun. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya
insomnia dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius (Kusumowardani &
Puspitosari, 2014).
Penanganan insomnia dapat dilakukan dengan terapi non farmakologi dan
farmakologi. Terapi non farmakologi khususnya behavioral therapies efektif untuk
insomnia kronis pada lansia yang terdiri dari beberapa metode yaitu sleep restriction,
stimulus control, sleep hygiene dan cognitive behavioral therapy. Sementara itu terapi
farmakologis menggunakan 5 prinsip yaitu menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif,
dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka
pendek (3-4 mimggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala
insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari pasien. Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah golongan
Benzodiazepine (BZDs) atau non-Benzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan
dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin, antipsikotik.
Menurut The NIH state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone,
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 406 -
ramelteon, zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut
(Ni Astuti, 2013)
Teknik relaksasi otot progresif bertujuan memusatkan perhatian spada satu
aktivitas otot dengan menurunkan ketegangan otot melalui teknik relaksasi (Herode,
Bhamare, Biswas, & Deokar, 2013).
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi
ketegangan otot dengan proses yang sistematis dalam menegangkan otot kemudian
merilekskannya kembali, yang dimulai dengan otot wajah dan berkhir pada otot kaki.
Tindakan ini biasanya memerlakukan waktu 15-30 menit dan dapat disertai dengan intruksi
yang direkam yang mengarahkan individu untuk memeperhatikan urutan otot yang
direlakskan. Rendahnya aktivitas otot tersebut menyebabkan kekakuan pada otot. Otot
yang kku akan menyebabkan tubuh tidak menjadi rileks sehingga memungkinkan lansia
mengalami insomnia (Marks, Allegrante, MacKenzie, & Lane, 2003).
Penelitian yang dilakukan Erliana, Haroen, Susanti (2013), yaitu penelitian untuk
mencari perbedaan tingkat insomnia lansia sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot
progresif, dari penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang di signifikan terhadap tingkat
insomnia lansia sebelum dan sesudah latihan relaksasi progresif.
Prevalensi insomnia yang di definisikan sebagai gangguan tidur kronis yaitu
sebanyak 50-70% dari semua lansia yang berusia >65 tahun, penelitian sebelumnya juga
menyebutkan di Thailand, hampir 50% pasien yang berusia >60 tahun mengalami insomnia
(dikutip dari Putu, Ardani, 2013).
Menurut teori Kaplan & Sadock (2010) yang menyatakan bahwa jenis kelamin
perempuan merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadi peningkatan prevalensi
gangguan tidur karena adanya gangguan mental dan faktor usia lanjut.
Penelitian Erna dkk, (2015) di BPSTW Ciparay Bandung hasil penelitian, terdapat
perbedaan tingkat insomnia responden sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot
progresif. Perbedaan yang dapat dilihat adalah terjadinya penurunan jumlah responden
pada tingkat insomnia ringan sebanyak 10 orang (34,48%), 19 responden (65,52%) yang
tidak mengalami keluhan insomnia dan tidak ada satupun responden yang mengalami
insomnia berat dan sangat berat. Hasil uji statistik menunjukkan hitung Z (4,706) > Ztabel
(1,96) maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan tingkat insomnia sebelum dan sesudah
latihan relaksasi otot progresif. Berdasarkan hasil penelitian, perawat sebagai care provider
disarankan untuk mengaplikasikan latihan relaksasi otot progresif sebagai salah satu
intervensi bagi lansia yang mengalami gangguan tidur (insomnia).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 24 Mei 2019
pada 15 lansia yang datang berkunjung ke Puskesmas Baloi Permai, didapatkan hasil 12
mengeluhkan sulit untuk memulai tidur dan sering terbangun pada malam hari, mudah
merasakan lelah disiang hari, kesulitan tidur secara teratur, bangun terlalu dini dan 3 tidak
mengalami keluhan. Dari hasil studi pendahuluan tersebut dapat disimpulkan bahwa
presentase lansia yang mengalami insomnia lebih banyak dibandingkan yang tidak
mengalami insomnia.
Peningkatan kualitas tidur pada lansia selain memberikan aktivitas kepada lansia
seperti membaca, menonton juga dapat dipengaruhi oleh tempat tinggal lansia yang
nyaman, suhu ruangan yang sesuai dan juga pencahayaan yang baik dapat meningkatkan
kualitas tidur lansia menjadi lebih baik (Nofiyanto & Prabowo, 2015).
Dampak yang dapat ditimbulkan insomnia ini cukup memprihatinkan, karena saat
tidur terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang
pada keadaan semula, dengan begitu tubuh yang terjadinya mengalami kelelahan akan
menjadi segar kembali (Ulimudiin, 2011).
Menanggapi hal tersebut WHO mecanangkan program peningkatan kesehatan agar
seseorang yang memiliki usia lebih panjang dapat tetap produktif. Pada hari kesehatan 07
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 407 -
April 2012, WHO mengajak negara-negara untuk menjadikan penuaan sebagai prioritas
penting mulai dari sekarang (Badan Pusat Statistik, 2018b). Pemerintah Indonesia melalui
Departemen Kesehatan RI pada tahun 1999 telah menerbitkan Buku Pedoman Pelayanan
Kesehatan Jiwa Usia Lanjut di Puskesmas, tetapi masih diperlukan pedoman yang lebih
lengkap dan rinci, khususnya mengenai gangguan tidur, sehingga diharapkan pelayanan
kesehatan terhadap usia lanjut akan merasa lebih memuaskan (Pedoman Pelayanan
Kesehatan Jiwa Usia Lanjut di Puskesmas, Depkes RI, 1999) UU No.36 tahun 2009 pasal
138 juga telah dikukuhkan dalam undang-undang sebagai upaya pemeliharaankesehatan
bagi lanjut usia untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun
ekonomi sesuai dengan martabat ekonomi sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Penyembuhan terhadap tingkat insomnia tergantung dari penyebab yang
menimbulkan insomnia. Bila penyebabnya adalah kebiasaan yang salah atau lingkungan
yang kurang kondusif untuk tidur maka terapi yang dilakukan adalah merubah kebiasaan
dan lingkungannya. Sedangkan untuk penyebab psikologis maka konseling dan terapi
relaksasi dapat digunakan untuk mengurangi gangguan sulit tidur, terapi ini merupakan
bentuk terapi psikologis yang mendasarkan pada teori-teori behavioris (Safithry, 2014)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot
progresif terhadap tingkat insomnia pada lansisa di wilayah kerja Puskesmas Batu Aji Kota
Batam tahun 2019.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini merupakan desain penelitian eksperimental (percobaan),
adalah kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh
yang timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu (Nursalam, 2003).
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, jenis penelitian ini adalah
penelitian dengan rancangan pra eksperiment.
Sampel penelitian adalah lansia yang berada di wilayah kerja Puskemas Batu Aji
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
berdasarkan teknik purposive sampling berjumlah 15 orang dengan kriteria berusia ≥ 60-75
tahun, mengalami tingkat insomnia ringan/berat/sangat berat, Bersedia menjadi responden
dan mengikuti prosedur penelitian sampai degan tahap akhir. Adapun lansia yang mengalami
gangguan ADL dan lansia yang mengalami penyakit penyerta lainnya seperti DM, reumatik,
asam urat/ komplikasi lainnya tidak dijadikan responden. Data tentang insomnia lansia
sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif, peneliti menggunakan teknik
wawancara (interview) terstruktur dengan menggunakan alat ukur (instrumen) Kelompok
Study Psikiatri Biologis Jakarta- Insomnia Rating Scale (KSPBJ IRS). Angket ini terdiri dari
11 pertanyaan, mencakup 3 pertanyaan tahapan tidur, 4 pertanyaan akibat insomnia dan 4
pertanyaan tanda dan gejala. Penelitian ini dilakukan 3 kali sehari selama 3 hari dengan
durasi 15-30 menit. Analisa bivariat peneliti menggunakan uji paired t test.
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 408 -
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Lansia
Karakteristik
Jumlah
Persentase %
Jenis Kelamin
Laki-laki
2
13,3
Perempuasn
13
86,7
Usia
Lanjut Usia (60-75 tahun)
15
100
Pekerjaan
Bekerja
7
46,7
Tidak Bekerja
8
53,3
Berdasarkan tabel 1 mennjukan sebagian besar lansia berjenis kelamin perempuan
(86,7%) dan sebagian besar lansia tidak bekerja (53.3%) di wilayah kerja Puskesmas Batu
Aji Kota Batam tahun 2019.
Analisa Univariat
Tabel 2. Distribusi Tingkat Insomnia
Sebelum Terapi Relaksasi Otot Progresif (Pre Test) Pada Lansia
Yang Mengalami Insomnia
Jumlah
Persentase (%)
1
6,7
10
66,7
4
26,7
15
100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa lansia yang mengalami insomnia ringan
1 orang (6,7%), insomnia berat 10 orang (66,7%) dan insomnia sangat berat 4 orang
(26,7%).
Tabel 3. Distribusi Tingkat Insomnia
Setelah Terapi Relaksasi Otot Progresif (Post Test) Pada Lansia
Yang Mengalami Insomnia
Variabel
Jumlah
Persentase (%)
Tidak Insomnia
4
26,7
Ringan
9
60
Berat
2
13,3
Total
15
100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa lansia yang mengalami tidak insomnia 4
orang (26,7%), insomnia ringan 9 orang (60%) dan insomnia berat 2 orang (13,3%).
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 409 -
Analisa Bivariat
Tabel 4. Hasil Uji Perbandingan Tingkat Insomnia
Pre-Test dan Post-test Pada Lansia Yang Mengalami Insomnia
Tingkat
Insomnia
N
Mean
Standar
Deviasi
Sig
Sebelum
Intervensi
15
33,53
3,441
0,661
Sesudah
Intervensi
15
22,73
4,383
0,262
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum intervensi (pre test) didapatkan
p value 0,661 > α 0,05 maka data insomnia sebelum intervensi berdistribusi normal, setelah
intervensi (post test) p value 0,262 > α 0,05 maka data insomnia setelah intervensi
berdistribusi normal. Setelah dilakukan uji normalitas maka uji yang digunakan adalah uji
paired t-test berpasangan, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Hasil Uji (Paired t-test) Tingkat Insomnia Pre Test dan Post Test
Pada Lansia Yang Mengalami Insomnia
Tingkat insomnia
N
Corelation
Sig
Pre & Post
15
0,522
0,046
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa hasil dari uji paired t-test sebelum dan
setelah dilakukan terapi relaksasi otot progresif nilai sig 0,046 berarti hasil uji paired t-test
berdistribusi normal.
Pembahasan
Kejadian Tingkat Insomnia Sebelum Dilakukan Terapi Relaksasi Otot Progresif
Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Aji Kota Batam Tahun 2019
Hasil penelitian menunjukkan lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Batu Aji
Kota Batam paling banyak mengalami insomnia yaitu sebanyak 9 orang responden (60%)
yang mengalami insomnia disebabkan pada lanjut usia sering ditemukan masalah seperti
perubahan pola tidur, stress dan masalah kenyamanan dan ketenangan lingkungan sehingga
lanjut usia rentan terhadap insomnia.
Tabel 2 juga menggambarkan tingginya kejadian insomnia pada lansia. Hal ini
terjadi karena seiring bertambahnya usia terjadi perubahan-perubahan fungsi tubuh salah
satunya adalah proses tidur. Keluhan yang sering dialami lansia adalah sulit memulai tidur,
sering terbangun di malam hari dan sulit untuk dapat tidur kembali setelah bangun.
Insomnia sering dijumpai pada lansia, hal ini tidak terlepas dari pengaruh psikis
yang semakin banyak menanggung beban fikiran yang dapat menimbulkan stress sehingga
lansia lebih sulit untuk dapat memulai tidur dan membutuhkan waktu yang lama untuk
masuk tdur, faktor usia lanjut berdampak pada penurunan fungsi sistem, seperti perubahan
sistem genitourinaria yang mengakibatkan kapasitas kandung kemih menurun sehingga
sering berkemih terutama pada malam hari, dan perubahan system integument yang
menyebabkan penurunan perlindungan terhadap suhu yang ekstrim serta berkurangnya
sekresi minyak alami dan keringat. Sehingga pada saat bangun tidur lansia kurang merasa
segar, karena tidur terganggu (Silber, 2005).
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 410 -
Menurut Vaughn (2012) usia lnjut lebih cenderung menderita insomnia yang
ditandai dengan kesulitan mempertahankan tidur dari pada kesulitan memulai tidur.
Gangguan tidur pada lansia terjadi selain karena faktor usia, juga disebabkan masalah
psikologis, masalah medis seperti nyeri dan diet buruk sehingga menyebabkan lansia sulit
tidur.
Berdasarkan kuesioner Insomnia Kelompok Studi Pusat Biologis Jakarta (KSPBJ)
yang telah diisi oleh lansia yang terdiri dari 8 gejala insomnia diketahui bahwa lansia paling
banyak mengalami gejala masuk tidur lebih dari 1 jam sebesar 46%. Hal ini dapat terjadi
karena pada lansia sering dijumpai kerusakan neuron norepinefrin seiring dengan
penurunan fungsi fisiologis norepinefrin adalah neuron yang memiliki peranan utama
dalam mengawali tidur, sehingga apabila neuron norepinefrin ini mengalami kerusakan kan
mengakibatkan kesulitan pada lansia untuk dapat memulai tidur dan membutuhkan waktu
yang lebih lama dari pada orang yang berusia lebih muda (Elble, Thomas, Higgins, &
Colliver, 1991).
Gejala insomnia yang terbanyak ke-2 yaitu tidur dangkal dan mudah terbangun
dengan total tabulasi sebesar 45%. Hal ini dapat tejadi karena serotonin dalah satu
neurotransmitter yang memegang peranan penting dalam siklus bangun tidur. Serotonin
berasal dari asam amino triptofan, dengan bertambahnya jumlah trytopan, maka jumlah
serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur.
Bila serotonin dari trytopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa
tidur/jaga. Pada usia lanjut produksi asam amino triptopfan mengalami penurunan sehingga
lansia sulit untuk dapat tetap tidur, tidur tidak dalam (dangkal) dan mudah terbangun (Kahle
& Tevald, 2014).
Selain gejala diatas gejala insomnia yang terbanyak dialami ke-3 pada lansia yaitu
sering terbangun di malam hari dengan total tabulasi sebesar 44%. Hal ini dapat terjadi
karena seiring bertambahnya usia kemampuan kandung kemih dalam menampung volume
urine juga berkurang sehingga pada lanjut usia sering terbangun pada malam hari untuk
buang air kecil yang dapat mengganggu tidur lanjut usia (Hasiholan, Susilowati, & Satrya,
2019).
Insomnia menurut Chaplin (2001) adalah ketidakmampuan yang kronis untuk
tidur. Menurut Sigmund (dalam Morin, 2000), insomnia adaah suatu penyakit gangguan
tidur yang mencakup setiap sistem, gangguan pada setiap fungsi, dalam kegelapan, dalam
kesunyian, dan dalam kesendirian malam, semua ini disebabkan oleh masalah stress,
timbul bersamaan dengan energy yang berlebihan serta dihantui oleh perasaan tidak
bersemangat.
Kejadian Tingkat Insomnia Setelah Dilakukan Terapi Relaksasi Otot Progresif Pada
Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Aji Kota Batam Tahun 2019
Hasil penelitian menunjukkan lanjut usia di wlayah kerja Puskesmas Batu Aji Kota
Batam setelah dilakukan terapi relaksasi otot progresif paling banyak mengalami insomnia
ringan yaitu sebanyak 9 orang responden (60%) yang mengalami insomnia disebabkan
pada lanjut usia sering ditemukan masalah seperti perubahan pola tidur, stress dan masalah
kenyamanan dan ketenangan lingkungan sehingga lanjut usia rentan terhadap insomnia.
Hal tersebut diatas didukung oleh penelitian intervensi yang dilakukan Masa et al
(2011) dengan menggunakan model pre test dan post test yang dirancang untuk subjek
yang sama, responden merasakan penurunan yang signifikan dari waktu tidur, penurunan
frekuensi terbangun dimalam hari, tidur lebih tenang, perasaan lebih segar saat terbangun,
dan merasa lebih puas dengan tidur yang dialami setelah menggunakan terapi relaksasi otot
progresif.
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 411 -
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Insomnia Pada Lansia
Di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Aji Kota Batam Tahun 2019
Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan
sepenuhnya rileks tidak akan memperlihatkan respon emosional seperti terkejut terhadap
suara keras. Pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian
menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut sebagai Latihan Terapi Relaksasi Otot
Progresif (Progressive Relaxation Training). Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya
bahwa seseorang dapat diubah menjadi rileks pada otot-ototnya. Sekaligus juga latihan ini
mengurangi rileks emosi bergelora, baik pada system saraf pusat maupun pada system saraf
otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat (Gunarsa, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumarsih dan Widad (2013) tentang
pengaruh teknik relaksasi progresif terhadap perubahan pemenuhan kebutuhan tidur pada
lansia di Desa Sijambe Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan, mengembangkan
bahwa relaksasi otot progresif adalah cara yang efektif untuk relaksasi dan mnegurangi
kecemasan. Jika kita mengistirahatkan otot-otot kita melalui suatu cara yang tepat, maka
hal ini akan diikuti dengan relaksasi mental atau pikiran. Dari hasil penelitiannya bahwa
relaksasi otot progresif mempunyai pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan
pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh
Maryam Saeedi et al (2012) menurut hasil penelitiannya, relaksasi otot progresif memiliki
efek yang menguntungkan pada kualitas tidur pasien hemodialysis. Relaksasi otot progresif
membantu meningkatkan dimensi kualitas tidur.
Terapi insomnia ini sangat bermanfaat bagi lansia, karena terapi ini mudah untuk
dilakukan pada setiap kegiatan dan terapi relaksasi otot progresif dapat mengurangi
insomnia pada lansia. Terapi relaksasi otot progresif juga dapat merilekskan otot-otot
sekaligus dapat mengurangi stress pada lansia.
Berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan terapi relaksasi otot progresif yang
ditampilkan pada tabel 4 diketahui bahwa dari 15 responden yang mengalami insomnia
sebanyak 4 orang responden (26,7%) mengalami insomnia sangat berat, 10 orang
responden (66,7%) mengalami insomnia berat dan 1 orang responden (6,7%) yang tidak
mengalami insomnia.
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan terapi relaksasi otot progresif yang
ditampilkan pada tabel 5 diketahui bahwa dari 15 responden yang tidak mengalami
insomnia sebanyak 4 orang responden (26,7%), 9 orang responden (60%) mengalami
insomnia ringan dan 2 orang responden (6,7%) yang mengalami insomnia berat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi insomnia ini sangat
bermanfaat bagi lansia, karena terapi ini sangat mudah untuk dilakukan, terapi relaksasi
otot progresif juga dapat merilekskan otot-otot sekaligus dapat mengurangi stress pada
lansia sehingga dapat mengurangi insomnia pada lansia.
KESIMPULAN
Hasil penelitian didapatkan dari 15 orang lansia sebelum dilakukan tindakan terapi
relaksasi otot progresif responden lansia yang mengalami insomnia berat 10 responden
(66,7%). Hasil penelitian didapatkan dari 15 orang lansia setelah dilakukan tindakan terapi
relaksasi otot progresif responden lansia yang mengalami insomnia ringan 9 responden
(60%). Hasil penelitian menunjukkan hasil uji statistic paired t-test diperoleh nilai p
value=0,046< α 0,05 yang berarti Ha diterima sedangkan H0 ditolak, hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat insomnia pada
lansia di wilayah kerja Puskesmas Batu Aji Kota Batam tahun 2019.
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 412 -
BIBLIOGRAPHY
Badan Pusat Statistik. (2018a). Kecamatan Simanindo Dalam Angka. In Badan Pusat
Statistik. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2018b). Statistik Penduduk Lanjut Usia Provinsi Kepulauan Riau
2017. Kepulauan Riau.
Dewi, P. A., & Ardani, I. G. A. I. (2013). Angka Kejadian serta Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Gangguan tidur (Insomnia) Pada Lansia di Panti Sosial Tresna
Werda Wana Seraya 1 Denpasar Bali Tahun 2013. E-Jurnal Medika Udayana.
Elble, R. J., Thomas, S. S., Higgins, C., & Colliver, J. (1991). Stride-dependent changes in
gait of older people. Journal of Neurology, 238(1), 15.
Fatimah, I., & Setyawati, A. N. (2014). Gambaran Kadar Malondialdehid (Mda) Serum
Pada Lansia: Studi Kasus Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang.
Jurnal Kedokteran Diponegoro, 3(1), 106693.
Gunarsa, S. D. (2008). Psikologi olahraga prestasi. Jakarta: Gunung Mulia.
Hasiholan, B. P., Susilowati, I. H., & Satrya, C. (2019). The conformity of anthropometric
measurements of bathroom and bedroom designs for independent elderly at Panti
Sosial Tresna Werdha (PSTW)* Budi Mulia I Jakarta in 2018. Journal of
Accessibility and Design for All, 9(1), 2540.
Hermawati, I., & Sos, M. (2015). Kajian tentang kota ramah lanjut usia. Yogyakarta: Badan
Pendidikan Dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Balai Besar Penelitian Dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS).
Herode, P., Bhamare, D. S., Biswas, B. K., & Deokar, B. (2013). Compartment syndrome
like picture in metaphyseal comminuted fracture of tibia treated by locking plate
due to tight closure. Medical Journal of Dr. DY Patil University, 6(3), 294.
Kahle, N., & Tevald, M. A. (2014). Core muscle strengthening’s improvement of balance
performance in community-dwelling older adults: A pilot study. Journal of Aging
and Physical Activity, 22(1), 6573.
Kusumowardani, A., & Puspitosari, A. (2014). Hubungan antara tingkat depresi lansia
dengan interaksi sosial lansia di desa sobokerto kecamatan ngemplak boyolali.
Interest: Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(2).
Marks, R., Allegrante, J. P., MacKenzie, C. R., & Lane, J. M. (2003). Hip fractures among
the elderly: causes, consequences and control. Ageing Research Reviews, 2(1), 57
93.
Nofiyanto, M., & Prabowo, T. (2015). Pengaruh Aromaterapi Mawar Terhadap Kualitas
Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul.
Media Ilmu Kesehatan, 5(1), 1422.
Nahrul Hayat, Afif D Alba dan Asfri Sri Rahmadeni/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4),
403-413
- 413 -
Novianti, R., & Yunita, P. (2020). Hubungan Pengetahuan Ibu Usia Premenopause Tentang
Menopause Dengan Kesiapan Menghadapi Masa Menopause Di Puskesmas Sei
Pancur Kota Batam Tahun 2017. Zona Kebidanan: Program Studi Kebidanan
Universitas Batam, 9(2).
Organization, W. H. (2000). Foodborne disease: a focus for health education. World
Health Organization.
Resti, I. B. (2014). Teknik relaksasi otot progresif untuk mengurangi stres pada penderita
asma. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2(1), 120.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan and Sadock’s pocket handbook of clinical
psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins.
Safithry, E. A. (2014). Latihan Relaksasi Untuk Mengurangi Gejala Insomnia. Pedagogik:
Jurnal Pendidikan, 9(1), 7079.
Silber, M. H. (2005). Chronic insomnia. New England Journal of Medicine, 353(8), 803
810.
Ulimudiin, B. A. (2011). Hubungan Tingkat Stress Dengan Kejadian Insomnia Pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Jurnal:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Waidmann, T. A., & Liu, K. (2000). Disability trends among elderly persons and
implications for the future. The Journals of Gerontology Series B: Psychological
Sciences and Social Sciences, 55(5), S298S307.
Zulfiana, U. (2014). Meningkatkan kebahagiaan lansia di panti wreda melalui psikoterapi
positif dalam kelompok. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi, 2(3), 256267.