Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, April 2021, 1 (4), 384-391

p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534


Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index



POTENSI NCRNA DAN LNCRNA DALAM DIAGNOSIS KANKER KANDUNG KEMIH NON INVASIF



Lathifah Dzakiyyah Zulfa1, Dessyani Salim2 dan Abigail Tirza Melia Silalahi3

Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur, Indonesia.

[email protected], [email protected] dan [email protected]




Received : 09-03-2021

Revised : 09-04-2021

Accepted : 12-04-2021


Abstract

Biomarker on cancer has a huge potential to become a non-invasive diagnostic test because of its high spesificity and sensitivity and also gives comfort to patients. RNA, DNA, and proteins can be useful for cancer biomarker however extracellular RNA gives a clear understanding in process that are happening within the abnormal cells. Consider on strenghts and weaknesses of previous diagnostic tests and searching literatures explaining the role of biomarker in oncogenesis processes helps authors in presents the best potentials of RNA in its role in bladder cancer diagnostic as the aim of this article. RNA is divided into many types and each type has a spesific role in each oncogenesis. Two types of different RNA for instance miR-212, which can evades 8-caspase line, and H19, which can inhibits Rb gene. Both of these RNA can evade apoptosis. With a different target miR-145, miR133a, miR-200b, and H19 can induced epithelium-mesenchyme transition. Proliferation, metabolism, metastasis cells can be influenced by some RNA hence bladder cancer types, degree, and stadium can be determined. Many lines in cells growth are held tightly by RNA so it is imperative that RNA becomes biomarker in bladder cancer diagnosis and its availability in body fluid is abundant.

Keywords: bladder cancer; lncRNA; non invasive diagnosis; RNA; sncRNA.


Abstrak

Biomarker pada kanker memiliki daya tarik besar sebagai alat tes diagnostik non invasif dengan alasan kenyamanan pasien dan spesifisitas maupun sensitivitas yang tinggi. RNA, DNA, maupun protein dapat dimanfaatkan sebagai kanker namun penggunaan RNA ekstraseluler memberikan gambaran yang lebih jelas dalam proses yang terjadi pada suatu sel abnormal. Menimbang seluruh kelemahan dan kelebihan pada macam- macam alat tes diagnostik terdahulu serta mencari literatur yang mejelaskan keterlibatan sebuah biomarker dalam proses onkogenesis membantu penulis menyajikan potensi–potensi terbaik dari RNA dalam diagnosis kanker kandung kemih yang menjadi tujuan penelitian ini. RNA terbagi menjadi berbagai macam jenis yang keterlibatannya pun berbeda dalam setiap onkogenesis. Dua jenis RNA berbeda seperti miR-211 yang mampu menghindari jarak kaspase 8 dan H19 yang menginhibisi gen Rb sama–sama membantu mencegah apoptosis. Dengan target yang berbeda miR-145, miR133a, miR-200b dan H19 mampu menginduksi transisi epithelium-mesenkim. Proliferasi, metabolisme dan metastasis sel juga dapat dipengaruhi oleh beberapa RNA sehingga penentuan derajat, jenis dan stadium dari kanker kandung kemih mampu ditentukan pula. Berbagai jaras dalam pertumbuhan sel dipegang erat oleh RNA maka tepat bila RNA dijadikan biomarker dalam diagnosis kanker kandung kemih serta ketersediaannya dalam cairan tubuh yang juga melimpah.

Kata kunci: diagnosis non invasif; kanker kandung kemih; lncRNA; RNA; sncRNA.

CC BY



PENDAHULUAN


Kanker kandung kemih menempati posisi 10 besar keganasan yang paling umum terjadi di dunia (Saginala et al., 2020). Pada tahun 2018, insidensi kanker kandung kemih mencapai 549.393 kasus, 3.4x lebih banyak pada pria dibandingkan wanita, dengan angka mortalitas 199.922 (Cancer, 2018). Di Indonesia, kanker kandung kemih menempati posisi ke-14 dengan insidensi kanker tertinggi di Indonesia sebanyak 6.716 kasus baru degan angka kematian 3.375, sedangkan untuk prevalensi 5 tahun terakhir, kanker kandung kemih di Indonesia menempati posisi ke-13 dengan jumlah kasus sebanyak 17.151 (Cancer, 2018).

Kejadian kanker kandung kemih berkaitan erat dengan asap rokok dan risiko okupasi berupa paparan bahan kimia seperti aluminium, beberapa senyawa aldehid, benzidin dan turunannya dan senyawa lainnya. Infeksi kandung kemih oleh Schistosoma haematobium dan mutasi dari gen HRAS, Rb1, PTEN/MMAC1, NAT2, dan GSTM1 juga meningkatkan risiko terjadinya kanker karena terganggunya fungsi regulasi dari masing-masing gen yang bermutasi tersebut (“Database resources of the national center for biotechnology information” 2018) (Board, 2010); (Chen & Guo, 2017).

Klasifikasi tumor kandung kemih dapat dibedakan menurut stadium dan morfologi selnya. Penilaian stadium keganasan pada kanker kandung kemih, ditentukan dengan melihat ukuran, posisi dan apakah keganasan tersebut telah bermetastasis ke organ lainnya. Klasifikasi stadium pada keganasan dapat menggunakan metode TNM, dengan melihat seberapa luas keganasan tersebut telah menginvasi jaringan pada kandung kemih dan seluas apa persebarannya, kemudian dengan melihat apakah keganasan telah menyebar ke kelenjar limfe terdekat atau bahkan sudah menyebar ke organ lainnya (Kaseb & Aeddula, 2019) dan (Chou et al., 2015).

Tabel 1. Klasifikasi TNM

(Kaseb & Aeddula, 2019) dan (Chou et al., 2015)

T (Tumor Primer)

Ta

Karsinoma papiler noninvasif

Tis

Karsinoma In situ

T1

Tumor menginvasi jaringan penyambung subepitelial

T2

Tumor menginvasi jaringan otot

T3

Tumor menginvasi jaringan lemak perivesical. Pada Stadium T3A hanya dapat dilihat di bawah mikroskop, sedangkan T3B tumor dapat dirasakan oleh klinisi saat pemeriksaan eksplorasi

T4

Dibagi menjadi 2, yaitu T4A di mana tumor telah menyebar ke prostat, vagina, uterus, atau usus. T4B tumor menyebar ke dinding abdomen, dinding pelvis, atau organ lainnya

N (Nodus Limfe)

Nx

Kelenjar limfe tidak dapat dinilai

N0

Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe

N1

Tumor menyebar ke 1 kelenjar limfe di pelvis

N2

Tumor menyebar lebih dari satu kelenjar limfe di pelvis

N3

Tumor menyebar ke satu atau lebih kelenjar limfe di luar pelvis (nodus limfe iliaca)

M (Metastasis)

M0

Tidak ditemukan metastasis jauh

M1

M1A metastasis terbatas pada nodus limfatikus setelah arteri iliaca. M1B mengindikasikan metastasis jauh non-nodus limfatikus


Klasifikasi TNM kemudian dapat digolongkan lagi menjadi stadium klinisnya, yaitu stadium I, stadium II, stadium IIIA, stadium IIIB, stadium IVA, dan stadium IVB. Pada penilaian morfologi sel pada keganasan, dinilai menggunakan derajat 1, derajat 2 dan derajat 3. Penilaian derajat ini dinilai secara mikroskopis melihat bentuk sel pada lesi yang dicurigai keganasan dan membandingkannya dengan sel yang normal. Derajat 1 menilai bahwa sel yang dicurigai keganasan morfologinya sangat mirip dengan sel yang normal, bertumbuh lambat dan jarang sekali menyebar. Pada derajat 2, sel yang dicurigai keganasan bentuknya sedikit mirip dengan sel normal dan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan pada derajat 1. Sel yang ditemukan pada derajat 3 memiliki morfologi yang terlihat jelas berbeda dengan sel yang normal dan lebih berisiko tinggi untuk menyebar (Kaseb & Aeddula, 2019); (Chou et al., 2015).


Tabel 2. Klasifikasi Stadium Klinis

(Kaseb & Aeddula, 2019) dan (Chou et al., 2015)

Stadium

Keterangan

Stadium I

T1, N0, M0

Stadium II

T2, N0, M0

Stadium IIIA

T3A, T3B, atau T4a, dengan N0 dan M0.

Atau

T1 sampai T4A dengan N1 dan M0

Stadium IIIB

T1 sampai T4A, dengan N2 atau N3, dan M0

Stadium IVA

T4, dengan stadium N manapun dengan M0

Atau

T dan N stadium manapun, dengan M1A

Stadium IVB

T dan N stadium manapun, dengan M1B


Saat ini teknik diagnosis masih menggunakan sistoskopi yang memerlukan anestesi dan pasien pun dapat merasa kurang nyaman. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk mengembangkan metode diagnosis yang tidak invasif seperti biomarker dari cairan tubuh salah satunya RNA (Cumberbatch & Noon, 2019).

METODE PENELITIAN


Penentuan jenis penyakit menjadi pencarian pertama penulis. Macam-macam penyakit saluran genitourinari menjadi kata kunci awal pencarian ini. Setelah mempertimbangkan epidemiologi dan kelemahan pada alat tes diagnosis yang banyak digunakan saat ini, penulis mencari jurnal primer maupun ulasan tentang tes diagnostik non invasif serta tidak membatasi metode penelitian pada jurnal yang dicari. Berbagai jenis biomarker seperti DNA, RNA dan protein memberikan pilihan luas namun menimbang kelebihan dan kelemahan yang tercantum pada sumber membantu penulis menentukan pusat bahasan. Setelah mendapatkan fokus pencarian pun tidak menghentikan penulis untuk membuat skema hubungan antar biomarker satu dengan yang lainnya hingga digunakanlah 22 literatur sebagai sumber penulisan ulasan ini dari Pubmed, Google scholar, repositori, serta mesin pencari lainnya.



HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil


Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat FDA (Food and Drug Administration), pengertian biomarker adalah karakteristik khas yang dapat diukur dan merupakan indikator terhadap terjadinya proses normal biologis, proses patogenesis dan respon terhadap pengobatan atau tindakan medis (Happel, Ganguly, & Tagle, 2020). Dalam bidang onkologi, biomarker dapat digunakan tidak hanya sebagai alat diagnostik, beberapa kepentingan klinis seperti, prognostik dan prediktif juga bisa dilakukan. Biomarker yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kanker adalah dengan RNA, DNA, dan protein. Biomarker RNA memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan biomarker protein dan biomarker DNA. Biomarker RNA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dengan protein serta lebih terjangkau karena tidak membutuhkan antibodi seperti biomarker protein. Biomarker RNA juga menunjukkan gambaran keadaan seluler dan proses regulasi yang lebih jelas dibandingkan biomarker DNA. Selain itu, salinan RNA lebih banyak sahingga memberikan informasi yang lebih banyak pula dibandingkan DNA (Xi et al., 2017).

Tipe RNA yang digunakan untuk biomarker pada kanker adalah RNA ekstraseluler yang dibagi menjadi messenger RNA (mRNA), long non-coding RNA (lncRNA) yang dicurigai berperan dalam pembentukan tumor serta metastasisnya dan small non-coding RNA (ncRNA) seperti miRNA (Xi et al., 2017); (Rasool et al., 2016).

RNA ekstraseluler dapat ditemukan pada plasma, serum, ASI, saliva, cairan serebrospinal, semen dan urin. Supaya tidak didegradasi, RNA ekstraseluler mempunyai karier atau pembawa yaitu Vesikel Ekstraseluler (VE), kompleks ribonucleoprotein dan kompleks lipoprotein. Vesikel ekstraseluler merupakan pembawa DNA, RNA atau protein ke sel resipien untuk keberlangsungan komunikasi intraseluler. Cara penghatarannya dapat dengan aktivasi reseptor pada sel resipien dengan protein membran eksosomal dan fusi membran vesikel dengan sel resipien agar terjadi endositosis DNA, RNA atau protein. Kompleks ribonukleoprotein dan lipoprotein merupakan karier non-vesikel untuk RNA ekstraseluler yang banyak terdapat di plasma dan serum. Kompleks lipoprotein yaitu HDL dan LDL dapat juga menjadi karier untuk miRNA ke sel resipien (Happel et al., 2020); (Xi et al., 2017).

RNA ekstraseluler dan vesikel ekstraseluler memberikan potensi yang menjanjikan sebagai biomarker diagnosis dan prognosis karena ketersediaannya di hampir seluruh cairan tubuh dan dapat diambil dengan cara non-invasif yaitu dengan pemeriksaan cairan. Ekstraseluler RNA dapat menghambat degradasi dengan bantuan ribonuklease dan juga ditemukan stabil di berbagai kondisi seperti suhu tinggi, suhu rendah, kondisi pH yang ekstrem (Happel et al., 2020). Tahap yang dapat dilakukan untuk deteksi biomarker RNA pertama kali adalah isolasi RNA. Setelah itu, dilakukan pengukuran ekspresi RNA yang diambil dengan cara RT-qPCR. Prosedur ini meliputi sintesis cDNA melalui transkripsi balik dari RNA total dan reaksi qPCR dengan template cDNA yang dihasilkan. Selain dengan RT-qPCR, RNA yang terpurifikasi akan melalui tahap library preparation untuk diurutkan melalui proses RNA-seq. Setelah itu dilakukan pemrosesan data melalui teknik bioinformatika dan analisis statistik (Xi et al., 2017).


Pembahasan


Ekstraseluler RNA yang banyak diteliti adalah miRNA karena pola ekpresi yang unik pada setiap jaringan sehingga dapat membedakan kanker atau tidak, miRNA terdapat pada lokasi regio genom yang terasosiasi dengan kanker sehingga onset, stadium dan derajat dari kanker dipegang erat perannya oleh miRNA seperti 13 miRNA yang ditemukan overekspresi pada karsinoma urothelial akan meningkatkan metastasis dan angiogenesis dibanding dengan mukosa kandung kemih normal yang dibuktikan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan (Li et al., 2020). Beberapa contoh miRNA lainnya yang telah diketahui hubungannya adalah miR-221 berimplikasi anti apoptosis pada kanker kandung kemih dengan menghindari kematian sel melalui penghindaran kaspase 8, miR-129 yang mengatur diferensiasi bladder cancer, miR-145, miR-133a, dan miR-200b yang meregulasi transisi epithelial-mesenkim dengan menargetkan Zinc Finger E-Box Binding Homeobox 1 (ZEB1), ZEB2, dan Epidermal growth factor receptor (EGFR) (Santoni et al, 2018; Jin et al, 2018). Derajat, jenis dan stadium berkaitan erat dengan ekspresi miRNA yang dapat diperiksa dengan skrining miRNA qPCR. Tumor yang sudah menginvasi otot misalnya, pada pemeriksaan miR-21 akan ditemukan peningkatan kadarnya karena pada patogenesisnya, miR-21 ini berkorelasi dengan p53 tumor supresor namun bukan berarti hal tersebut adalah satu-satunya indikator pembeda dari tumor derajat tinggi dan rendah, terdapat pula miR-99a dan miR-100 yang menargetkan jaras FGFR3 (Li et al., 2020). Beberapa biomarker merupakan tanda terjadinya hemolisis pada kanker kandung kemih seperti miR-451a, miR-16, miR-486-5p dan miR-92a (Santoni, Morelli, Amantini, & Battelli, 2018). Penemuan tersebut tidak hanya membantu diagnosis namun juga memberikan pilihan pengobatan yang tepat dengan menargetkan langsung pada miRNA-nya (Gulìa et al., 2017).

Long non coding RNA yang pengaplikasiannya dalam diagnosis kanker kandung kemih berkembang pesat walaupun untuk penelitian terapi masih kurang berkembang menjadi pilihan selanjutnya selain miRNA. Urothelial cancer associated 1 atau UCA1 termasuk dalam lncRNA yang ekspresi berlebihannya dapat meningkatkan proliferasi tak terkontrol pada sel, mempengaruhi kemampuan invasinya, bahkan turut andil dalam Warburg effect sehingga tepat bila RNA yang terdapat pada kromosom 19p13.12 ini digunakan sebagai biomarker diagnosis dan prognosis kanker kandung kemih (Li et al., 2020).

Gambar 1. Warburg effect


Kromosom 11p15.5 mengandung long non-coding RNA (H19) yang meningkatkan proliferasi sel kanker dengan meregulasi ID2 sehingga gen Rb terinhibisi (Li et al., 2020). Transisi fase G1 dan S akan terstimulasi sebagai akibat dari inhibisi dari gen Rb, karena terganggunya program apoptosis tersebut maka kecenderungan metastasis juga meningkat, seperti pada penelitian in vitro yang mengilustrasikan ekspresi H19 berlebihan meningkatkan migrasi sel melalui interaksi dengan EZH2. Aktivator transkripsional seperti EZH2 bila aktif akan memicu transisi epitelial-mesenkimal (Collette, Le Bourhis, & Adriaenssens, 2017).















Gambar 2. Peran gen RB pada siklus sel

(Kumar, Abbas, Aster, Cornain, & Nasar, 2015)



KESIMPULAN


Kenyamanan pasien yang terganggu akibat alat tes diagnostik kanker kandung kemih invasif menjadi alasan tepat bagi pengembangan RNA sebagai biomarker kanker tersebut. Jenis RNA yang beragam, ketersediannya yang banyak, stabilitas, dan spesimen yang mudah didapat menjadi keunggulan biomarker ini. Keterkaitan RNA ekstraseluler dalam patogenesis kanker kandung kemih menjadi bukti bahwa biomarker ini spesifik terhadap sel kanker. Pengobatan juga dapat ditargetkan pada RNA ekstraseluler sehingga tes diagnostik dan penentuan penatalaksanaan dapat ditentukan secara bersamaan.




BIBLIOGRAPHY


Board, P. D. Q. A. T. E. (2010). Pheochromocytoma and paraganglioma treatment (PDQ®). In PDQ Cancer Information Summaries [Internet]. National Cancer Institute (US).


Cancer, I. A. for R. on. (2018). Global Cancer Observatory (GLOBOCAN). 2018. CRC [Fact Sheet].[Accessed on 2019 October 23]. Pdf Available at Http://Gco. Iarc. Fr/Today/Data/Factsheets/Cancers/10_8_9-Colorectum-Fact-Sheet. Pdf.


Chen, L., & Guo, D. (2017). The functions of tumor suppressor PTEN in innate and adaptive immunity. Cellular & Molecular Immunology, 14(7), 581–589.


Chou, R., Selph, S., Buckley, D., Gustafson, K., Griffin, J., Grusing, S., & Gore, J. (2015). Treatment of nonmetastatic muscle-invasive bladder cancer.


Collette, J., Le Bourhis, X., & Adriaenssens, E. (2017). Regulation of human breast cancer by the long non-coding RNA H19. International Journal of Molecular Sciences, 18(11), 2319.


Cumberbatch, M. G. K., & Noon, A. P. (2019). Epidemiology, aetiology and screening of bladder cancer. Translational Andrology and Urology, 8(1), 5.


Database resources of the national center for biotechnology information. (2018). Nucleic Acids Research, 46(D1), D8–D13.


Gulìa, C., Baldassarra, S., Signore, F., Rigon, G., Pizzuti, V., Gaffi, M., … Piergentili, R. (2017). Role of non-coding RNAs in the etiology of bladder cancer. Genes, 8(11), 339.


Happel, C., Ganguly, A., & Tagle, D. A. (2020). Extracellular RNAs as potential biomarkers for cancer. Journal of Cancer Metastasis and Treatment, 6.


Kaseb, H., & Aeddula, N. R. (2019). Cancer, bladder. StatPearls [Internet].


Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C., Cornain, S., & Nasar, I. M. (2015). Buku ajar patologi Robbins. Elsevier (Singapore).


Li, Y., Li, G., Guo, X., Yao, H., Wang, G., & Li, C. (2020). Non-coding RNA in bladder cancer. Cancer Letters, 485, 38–44.


Rasool, M., Malik, A., Zahid, S., Ashraf, M. A. B., Qazi, M. H., Asif, M., … Jamal, M. S. (2016). Non-coding RNAs in cancer diagnosis and therapy. Non-Coding RNA Research, 1(1), 69–76.


Saginala, K., Barsouk, A., Aluru, J. S., Rawla, P., Padala, S. A., & Barsouk, A. (2020). Epidemiology of bladder cancer. Medical Sciences, 8(1), 15.


Santoni, G., Morelli, M. B., Amantini, C., & Battelli, N. (2018). Urinary markers in bladder cancer: an update. Frontiers in Oncology, 8, 362.


Xi, X., Li, T., Huang, Y., Sun, J., Zhu, Y., Yang, Y., & Lu, Z. J. (2017). RNA biomarkers: frontier of precision medicine for cancer. Non-Coding RNA, 3(1), 9.



- 2 -