Hubungan Pekerjaan dan Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Kota Kupang

 

 

Maria Agnes Etty Dedy1, Sidarta Sagita2, I Made Artawan3

Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas1,2

Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT3

[email protected]

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised:

Accepted:

03-05-2022

05-05-2022

25-05-2022

 

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian kedua dari penyakit menular di dunia dan Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan beban tertinggi TB.Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan adalah peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam membantu pasien TB paru untuk sembuh.Pengobatan TB paru memerlukan waktu yang sangat panjang,untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO yang akan membantu penderita selama tahap pengobatan.Rekomendasi World Health Organization (WHO) dalam strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) untuk pengendalian TB sejak 1995 adalah dengan adanya keterlibatan PMO. Peran PMO sangat penting terhadap kepatuhan dan keteraturan minum obat untuk mencapai kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistensi obat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara peran PMOterhadap keberhasilan pengobatan pasien TB paru di Kota Kupang. Metode penelitian ini merupakan penelitian dengan metode observasional analitik dan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian meliputi semua penderita TB Paru yang telah menyelesaikan pengobatannya di Kota Kupang. Sampel berjumlah 79 sampel, diambil menggunakan teknik probability sampling. Hasil dari hasil uji Chi Square didapatkan nilai p-value: 0,000 (p ≤ 0,05). Kesimpulan penelitian ini terdapat hubungan antara peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB paru di Kota Kupang.

 

Kata kunci: tuberkulosis; pengawas menelan obat; keberhasilan

�������������������� pengobatan.

 

 

 

 

Abstract

 

Tuberculosis is the second leading cause of death from infectious diseases in the world and Indonesia ranks third in the country with the highest burden of TB that can affect the success of treatment is the role of the Drug Swallowing Supervisor (PMO) in helping pulmonary TB patients to recover. Pulmonary TB treatment takes time which is very long, to ensure regularity of treatment required a PMO who will help sufferers during the treatment phase. World Health Recommendations Organization (WHO) in the Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) strategy for TB control since 1995 is the involvement of PMO. PMO's Role It is very important for adherence and regularity to take medication to achieve healing, prevent transmission and avoid cases of drug resistance. The purpose of this research is to determine the relationship between the role of PMO on the success of treatment of pulmonary TB patients in Indonesia Kupang City. This research method is a research with observational method analytic and cross sectional approach. The population in the study includes all patients Pulmonary TB who has completed treatment in Kupang City. The sample is 79 sample, taken using probability sampling technique. The results of the Chi Square test results obtained p-value: 0.000 (p 0.05). The conclusion of this study is that there is a�� relationship between the role of PMO on the success of treatment of pulmonary TB patients in Kupang City.

 

Keywords: tuberculosis; drug swallowing supervisor; treatment success.

*Correspondence Author: Maria Agnes Etty Dedy

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Tuberkolosis (TB) menjadi penyebab kematian nomor dua dari penyakit infeksi di seluruh dunia dan masih menjadi fokus dunia sampai saat ini. Dalam Global Tuberculosis Report, 2018 menyebutkan bahwa setelah India dan Cina, prevalensi penyakit ini di Indonesia menjadi urutan ketiga beban tertinggi Tuberkolosis dengan angka kematian kurang lebih 116.000 kasus di tahun 2017 (Organization, 2018). Data World Health Organization (WHO menyebutkan bahwa ada sepertiga dari penduduk dunia telah menderita penyakit yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis dan dalam setiap satu detik ada satu orang yang terinfeksi (Suharyo, 2013).

Selama 2017 WHO mencatat bahwa Asia Tenggara dan area Pasifik Barat merupakan daerah yang berkontribusi memberikan angka kasus terbsesar yaitu sebanayk 62% dan dilanjutkan oleh Afrika dengan total kasus baru sebesar 25%.Terdapat delapan negara yang menyumbang dua pertiga dari kasus TB baru di seluruh dunia adalah India, Cina, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh dan Afrika Selatan (WHO, 2018). Pada tahun yang sama, terjadi di 30 negara dengan jumlah kasus TB tertinggi di dunia dengan 87% kasus TB paru baru. Indonesia, data per 2018 menyebutkan bahwa ada sebanyak 1.017.290 jumlah kasus baru TB di Indonesia dengan proporsi berdasarkan jenis kelamin dimana 1,4 kali lebih besar dibandingkan kasus baru pada Wanita. Provinsi NTT terdapat 118 orang dengan TB paru setiap 100.000 penduduk dan jumlah kasus terbanyak ada di Kota Kupang (OKI, 2022).

TB paru dapat diobati dan disembuhkan asalkan mengikuti pengobatan secara rutin pada 2 tahap yaitu intensi dan lanjutan. Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh pasien dimana komitmen pasien untuk tidak putus obat dan patuh terhadap pengobatan sangat dibutuhkan karena hanya itulah satu-satunya cara untuk dapat sembuh secara total dalam perjalanan pengobatan TB Paru (Ulfah, 2013). Angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia sudah melampaui standar WHO yaitu 87.79% namun sayangnya ditahun 2017, angka keberhasilan Kota Kupang hanya sebesar 78.72% yang mana masih dibawah target pencapaian nasional (Kemenkes, 2018).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan salah satunya adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, jenis kelamin, status ekonomi, peran Pengawas Menelan Obat (PMO), tingkat pengetahuan, adanya multidrug resistance (MDR TB), kepatuhan pengobatan, peran kader, peran fasilitas kesehatan, jarak dan dukungan keluarga dalam membantu pasien TB paru berjuang melawan kuman tuberkulosis. Pengobatan TB paru memerlukan waktu yang sangat panjang, untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan dukungan berbagai pihak yang akan membantu penderita selama tahap pengobatan. Rekomendasi WHO dalam strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) untuk pengendalian TB sejak 1995 adalah dengan adanya keterlibatan PMO (Kanabus, 2018). Status pekerjaan, bekerja atau tidak menentukan peluang pasien TB paru memperoleh biaya atas dampak tidak langsung akibat sakit yang diderita. Peran PMO sangat penting terhadap kepatuhan dan keteraturan minum obat untuk mencapai kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistensi obat (Ariani, Rattu, & Ratag, 2015).

Tujuan penelitian iniuntuk mengetahui gambaran pekerjaan dan peran PMO pada pasien TB paru di Kota Kupang dan menganalisis hubungan pekerjaan serta peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB paru di Kota Kupang (de Fretes, Mangma, & Dese, 2021).

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis variabel bebas yaitu pekerjeaan dan peran pengawas menelan obat dengan variabel terikat keberhasilan pengobatan tuberkulosis di Kota Kupang (Samosir, 2021).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan menggunakan metode observasional analitik dan pendekatan cross sectional yaitu suatu subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan sekaligus pada suatu saat yang sama. Subjek penelitian yang diobservasi satu kali pada penelitian ini adalah pekerjaan dan peran PMO pada pasien TB Paru.

Penelitian ini berlokasi di 11 Puskesmas di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur pada bulan April sampai Mei tahun 2020. Puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebagai berikut (1) Puskesmas Sikumana, (2) Puskesmas Oepoi, (3) Puskesmas Bakunase, (4) Puskesmas Oesapa, (5) Puskesmas Alak, (6) Puskesmas Pasir Panjang, (7) Puskesmas Oebobo, (8) Puskesmas Manutapen, (9) Puskesmas Naioni, (10) Puskesmas Kota Kupang, dan (11) Puskesmas Penfui.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB Paru yang telah menyelesaikan pengobatannya di Kota Kupang. Jumlah kasus TB Paru di Kota Kupang pada 2018 adalah 378 kasus (Rohayu, Yusran, & Ibrahim, 2016). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang terdaftar di puskesmas area kerja Kota Kupang dan memenuhi kriteria inklusi (Toulasik, 2019). Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik probability sampling yaitu stratified sampling. Populasi dan sampel dalam penelitian ini sebanyak 79 orang penderita tuberkulosis paru yang sesuai dengan kriteria inklusi. Pengolahan data menggunakan 2 analisis yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru di 11 puskesmas di Kota Kupang. Hal ini didasarkan pada uji uji Chi-Square tidak memenuhi syarat karena ada sel dengan frekuensi harapan < 5 dan > 20% keseluruhan sel, maka dilanjutkan dengan uji Fisher�s exast didapat nilai Asymp.Sig (2-Sided) atau p-value sebesar 1,000, karena p-value (0,000) ≥ Alpha (0,05) dan dari nilai Contingency Coeficient didapat nilai 0.034 yang berarti keeratan hubungan searah dan keeratan hubungan lemah..

Hasil penelitan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kesembuhan pederita TB paru (Murni, n.d.). Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan TB paru, didasarkan pada hasil analisis p value 0,056�, yang mana berarti > 0,05 (Maulidya, Redjeki, & Fanani, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, sebagian besar responden yaitu sebanyak 49 orang (62%) berpendidikan rendah (<SMP). Tingkat pendidikan diharapkan memiliki kecenderungan untuk searah dengan keberhasilan pengobatan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang termasuk dalam kaitannya dengan keberhasilan pengobatan TB paru di seluruh puskesmas di Kota Kupang. Walaupun hasil penelitian diperoleh data bahwa sebagian besar responden berpendidikan rendah tetapi dari data itu pula kami dapatkan bahwa keberhasilan pengobatan sebagian besar yaitu sejumlah 43 orang(54.4%) sembuh atau berhasil dalam pengobatan TB paru di Kota Kupang adalah dari responden yang berpendidikan rendah.

Dalam kaitannya dengan keberhasilan pengobatan TB, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB seperti jenis kelamin, status ekonomi, peran PMO, tingkat pengetahuan, adanya multidrug resistance (MDR TB), kepatuhan pengobatan, peran kader, peran fasilitas kesehatan, jarak dan dukungan keluarga (Ulfah, 2013). Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan data bahwa pekerjaan juga tidak mempengaruhi keberhasilan pengobatan dari pasien TB. Hal ini kemungkinan disebabkan karena baik penderita TB yang tidak bekerja maupun yang bekerja sama-sama menyadari akan bahaya sakit TB Paru dan ingin segera pulih agar dapat beraktifitas dan menjalani kehidupannya secara mandiri sesegera mungkin.

Petugas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang diberi tugas untuk mengawasi, memberi dorongan dan mengingatkan penderita TB agar minum obat secara teratur sampai selesai pengobatan serta memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala yang mencurigakan untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan. PMO selama masa pengobatan, berperan dalam menyiapkan dan mengingatkan pasien saat minum obat, memotivasi pasien saat merasa bosan mengkonsumsi obat setiap hari, mengingatkan saat jadwal pengambilan obat dan periksa sputum dan memberitahu pasien hal yang harus dan tidak boleh dilakukan; seperti menggunakan masker saat di rumah maupun keluar dan harus menutup mulut saat batuk. PMO diperlukan untuk menjamin keteraturan pengobatan yang akan menentukan pengobatan itu berhasil ataupun sebaliknya (Erlinda & Ikhtiarini Dewi, 2013).

Hasil analisis bivariat menyatakan bahwa ada hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan pasien TB Paru di Kota Kupang (nilai p-value: 0,000 ≤ 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amira (2018) tentang hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan TB paru di Puskesmas Tarogong Garut dengan sampel sebanyak 50 orang yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru dengan p-value 0,008 ≤ Alpha 0,05 (DA, 2018) dari nilai Contingency Coeficient didapat nilai 0.595 yang berarti keeratan hubungan searah dan keeratan hubungan baik.

Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa responden dengan peran PMO mendukung, lebih banyak yang pengobatannya berhasil yaitu sebanyak 81% dibandingkan dengan yang tidak berhasil pengobatannya yaitu sebanyak 1,3%. Responden dengan peran PMO tidak mendukung, lebih banyak yang pengobatannya tidak berhasil yaitu sebanyak 10,1% dibandingkan dengan yang berhasil pengobatannya yaitu sebanyak 7,6%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik peran PMO maka keberhasilan pengobatan semakin meningkat dan sebaliknya jika semakin buruk peran seorang PMO maka keberhasilan pengobatan semakin kecil peluangnya.

Hasil wawancara tambahan dengan responden didapatkan peran seorang PMO yang sangat membantu menunjang keberhasilan pengobatan pasien, karena dari seorang PMO yang dapat memberikan dukungan moral dan semangat sehingga pasien tidak bosan untuk terus minum obat dan juga memberi dukungan dengan membantu mengambilkan obat di puskesmas atau pun membantu mengantarkan pasien ke puskesmas. PMO juga memberikan dukungan dalam bentuk lain yaitu pada responden yang hidupnya bergantung dengan PMO misalnya responden yang sudah pensiun, responden yang berhenti kerja karena sakit TB maupun yang belum bekerja mendapatkan dukungan dalam bentuk materi sehingga tidak hanya dukungan mental dan kebutuhan sehari-hari yang terpenuhi tetapi juga kebutuhan tambahan seperti keperluan membeli vitamin yang dapat membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh pasien juga ikut ditopang oleh PMO.

Salah satu upaya pemerintah dalam penanganan penyakit TB paru adalah melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yaitu suatu pengawasan langsung pengobatan jangka pendek melalui PMO (Inayah & Wahyono, 2019). Salah satu syarat seorang PMO adalah orang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati pasien. Hal ini diperlukan karena orang yang dikenal dan dipercaya seperti keluarga atau kerabat merupakan pendorong terjadinya perilaku, dalam hal ini perilaku pasien itu sendiri. Dengan adanya perhatian serta motivasi dari keluarga diharapkan akan mengontrol pasien agar tetap minum obat secara rutin.

Penellitian tidak dilakukan pada variabel lain yang juga relevan seperti jenis kelamin, status ekonomi, peran PMO, tingkat pengetahuan, adanya multidrug resistance (MDR TB), kepatuhan pengobatan, peran kader, peran fasilitas kesehatan, jarak dan dukungan keluarga yang bisa jadi mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien TB di seluruh puskesmas Kota Kupang (Nurjanah, 2021).

 

 

KESIMPULAN

 

Sebagian besar responden yang bekerja berhasil sembuh dalam pengobatan TB paru di Kota Kupang. Kemudian PMO juga mempunyai banyak peran dalam mendukung pengobatan TB paru di Kota Kupang. Dari ketiga variabel yang diteliti diperoleh hasil bahwa hanya variabel PMO saja yang dinyatakan ada hubungannya dengan variaberl keberhasilan pengobatan TB paru di Kota Kupang atau dengan kata lain peran PMO mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB di Kota Kupang dengan keeratan hubungan searah dan baik.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ariani, N. W., Rattu, A. J. M., & Ratag, B. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan minum obat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas Modayag, kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Jikmu, 5(2).

DA, 1. DA IA. Hubungan Antara Peran Pengawas Menelan Obat dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Torogong Garut. 2018;18(2). Iceu Amira. (2018). Hubungan Antara Peran Pengawas Menelan Obat dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Torogong Garut. 18(2).

de Fretes, F., Mangma, Y. E., & Dese, D. C. (2021). Analisa Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Dalam Mendampingi Pasien Tuberkulosis di Kota Kupang. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 6(3).

Erlinda, R., & Ikhtiarini Dewi, E. (2013). Hubungan Peran Pengawas Minum Obat (PMO) dalam Program Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Hasil Apusan BTA Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Tanggul Kabupaten Jember (The Correlation between The Role of Drug Taking Supervisor in Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS) Program with The Result of Acid-Fast Bacilli (AFB) Smear of Pulmonary Tuberculosis Patients in Community Health Center Tanggul, Jember).

Inayah, S., & Wahyono, B. (2019). Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 3(2), 223�233.

Kanabus, A. (2018). DOTS & DOTS-Plus - failed Global Plans.

Kemenkes, R. I. (2018). Pusat Data dan Informasi Tuberkulosis. InfoDATIN [Internet].

Maulidya, Y. N., Redjeki, E. S., & Fanani, E. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis (TB) Paru pada Pasien Pasca Pengobatan di Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Preventia: The Indonesian Journal of Public Health, 2(1), 44�57.

Murni, D. C. (n.d.). Gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB Paru BTA (+) di wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015. FKIK UIN Jakarta.

Nurjanah, S. (2021). Studi Kasus Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru. Repository STIKES Muhammadiyah Kendal.

Oki, D. (2022). Asuhan Kebidanan Pada Ny. M Umur 40 Tahun PIV AII Nifas Mulai Hari ke-4 sampai hari ke-28 dengan riwayat sectio caesarea di puskesmas maubesi tahun 2021. Higinia, 1(1), 1�8.

Organization, W. H. (2018). WHO housing and health guidelines.

Rohayu, N., Yusran, S., & Ibrahim, K. (2016). Analisis faktor risiko kejadian TB paru BTA positif pada masyarakat pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016. Haluoleo University.

Samosir, V. (2021). Literature Review: Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru.

Suharyo, S. (2013). Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(1), 85�91.

Toulasik, Y. A. (2019). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Hipertensi di RSUD Prof Dr. Wz. Johannes Kupang-NTT Penelitian Deskriptif Korelasional Pendekatan Cross Sectional. Universitas Airlangga.

Ulfah, M. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis (TBC) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011.

WHO. (2018). Tuberculosis.

 

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).