�Hukum Acara dalam Pengujian Undang-Undang di Indonesia

 

 

Retno Ambarsari

Unika Soegija Pranata Semarang

[email protected]

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised� :

Accepted:

03-05-2022

05-05-2022

25-05-2022

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pemerintahan harus selalu berlandaskan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengujian Undang-Undang negara Indonesia dengan dilakukan hukum acara. Metode penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif (kepustakaan) dan penelitian hukum sosiologis (empiris). Pada jurnal ini dibahas secara proses beracara dalam pengajuan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, termasuk juga tahapan-tahapan penting yang harus menjadi perhatian dalam pengajuan permohonan. Bila dilihat dari sudut pandang ajaran trias politica adalah agar dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam konteks proses demokrasi dan penegakkan negara hukum yang demokratis atau negara demokratis yang memiliki basis konstitusi.

 

Kata kunci: Legislatif; Judicial Review; Mahkamah Konstitusi.

 

 

 

 

Abstract

 

Indonesia is a state of law. As a state of law, all aspects of social, national and state life, including government, must always be based on law. This study aims to determine the process of testing the Indonesian state law by carrying out procedural law. This research method is normative legal research (library) and sociological legal research (empirical). This journal discusses the procedural process in filing a Judicial Review at the Constitutional Court, including the important stages that must be considered in submitting an application. When viewed from the point of view of the teachings of trias politica, it is in order to provide protection and enforcement of human rights in the context of democracy and democratic law enforcement or a democratic state that has a constitutional basis.

 

Keywords: Legislature; Judicial Review; Constitutional Court.

*Correspondence Author: Retno Ambarsari

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Pengujian peraturan perundang-undangan menurut Machmud Aziz adalah suatu kewenangan untuk mengukur apakah isi suatu peraturan perundang-undangan telah sesuai atau bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi di atas derajatnya, dan juga untuk menilai apakah otoritas yang membuat peraturan berhak atau memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan tersebut (Aziz, 2016). Pengujian peraturan perundang-undangan atau biasa disebut sebagai judicial review memiliki tujuan untuk menjaga konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang dapat dilakukan badan pembuat undang-undang (badan legislatif) atau tindakan-tindakan yang dibuat oleh badan eksekutif. Hak untuk melakukan pengujian tersebut diperlukan untuk mempertahankan supremasi konstitusi (supremacy constitution) (Azhari, 2019).

Saat ini, yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan adalah dua kekuasaan kehakiman: 1) Mahkamah Konstitusi, berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di level undang-undang. 2) Mahkamah Agung, berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Dasar hukum pengujian peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 diatur oleh Pasal 24 A ayat (1), yang berbunyi :

�Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang�.

Dan Pasal 24 C ayat (1),

�Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum�.

Black Law Dictionary mendefinisikan Judicial review sebagai:

�Judicial review: A court�s power to review the actions or others branches or levels of government esp., 1. the court�s power to invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional. 2. The constitutional doctrine providing for this power. 3. A courts review of lower courts or an administrativebodys factual or legal findings� (Black et al., 1999).

Dari definisi yang disampaikan oleh Black Law Dictionary tersebut dapat disimpulkan bahwa judicial review merupakan kewenangan hakim (peradilan) untuk menguji UU terhadap UUD. Pengujian dilakukan oleh peradilan untuk mengukur tindakan lembaga eksekutif (pemerintah) dan legislatif (pembuat UU), apabila hasil penilaian tersebut bertentangan dengan konstitusi maka akan dinyatakan tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pengujian dilakukan oleh lembaga peradilan atau yudikatif (hakim) dan tidak dilakukan oleh lembaga eksekutif atau legislatif, oleh sebab itu disebut sebagai judicial review.

Dilihat dari proses pengujian peraturan perundang-undangan, untuk pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung hanya terdapat proses pendaftaran pengujian saja. Sementara, dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi terdapat hukum acara yang harus dilewati.

Pengujian konstitusional Undang-undang merupakan pengujian yang dilakukan terhadap nilai konstitusionalitas undang-undang, dilihat dari segi formil maupun materiil. Hal ini pula yang membedakan kewenangan Mahkaman Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sementara Mahkamah Agung hanya melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas (Asshiddiqie & Safa�at, 2006).

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian hukum dilihat dari sudut tujuan dibagi menjadi dua yaitu penelitian hukum normatif (kepustakaan) dan penelitian hukum sosiologis (empiris). Penelitian hukum normatif menitikberatkan penelitian pada bahan pustaka atau data sekunder. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris maka yang diteliti adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soekanto, 2006).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat (Muhammad, 2004).

Metode penelitian yang digunakan pada karya tulis ini adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut keduanya, pendekatan dengan metode kualitatif diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh (holistik) (Moleong, 2012).

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sebagai berikut:

a.       Bahan hukum adalah bahan-bahan yang bersifat autoratif atau mempunyai otoritas yaitu mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang meliputi: Undang-Undang Dasar 1945.

b.      Bahan hukum sekunder bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam menganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian dan diperoleh dengan cara studi pada buku-buku, literatur-literatur, internet dan hasil penelitian yang berhubungan dengan pokok masalah.

c.       Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan internet.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Kata pengujian dalam konteks �Pengujian Undang-Undang (UU)� mengandung arti luas yaitu arti formal dan materiil. Pengertian Undang-Undang dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu UU dalam arti formal dan UU dalam arti material. P.J.P Tak memberi penjelasan mengenai UU dalam arti formal dan UU dalam arti materiil sebagai berikut (Kunneman, 1989):

1.      UU dalam arti formal adalah ketika pemerintah pusat bersama dengan parlemen mengambil keputusan untuk membuat UU. UU ini kemudian dikenal sebagai UU Parlementer dan pembentuknya disebut sebagai pembentuk UU Parlementer.

2.      Sementara UU dalam arti materiil adalah pada saat lembaga yang memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan mengeluarkan keputusan yang bersifat mengikat untuk umum.

Teori mengenai pengujian (toetsing) dibagi menjadi dua yaitu materiile toetsing dan� formeele toetsing. Letak perbedaannya berkaitan dengan pengertian dari wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wer in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Pasal 51 UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi membedakan bentuk pengujian menjadi 2 (dua) yaitu pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sementara pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (Asshiddiqie, 2005).

Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa dalam permohonan pengujian materiil, pemohon harus memaparkan dengan jelas bahwa:

1.      Pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, dan/atau

2.      Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Dapat disimpulkan bahwa, pengujian materiil adalah pengujian undang-undang sebagai produk (by product), dilain pihak pengujian formil adalah pengujian atas proses pembentukan undang-undang (by process). Dimana hal tersebut berarti yang menjadi obyek untuk dilakukan pengujian atas suatu undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait dengan materi undang-undang, tetapi dapat juga berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang itu sendiri.

����������� Apabila obyek pengujian undang-undang adalah materinya, maka pengujian tersebut disebut juga sebagai pengujian materiil yang berakibat dibatalkannya sebagian materi undang-undang tersebut.

����������� Jenis pengujian undang-undang secara materiil yang bisa diajukan permohonannya di Mahkamah konstitusi adalah:

1.      Pengujian pasal, ayat, bagian secara sebagian atau keseluruhan.

2.      Pengujian konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu pasal yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka menjadi inkonstitusional (Boediningsih & Wijaya, 2019).

3.      Pengujian inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional), yaitu pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Dimana pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak terpenuhi. Dengan demikian, pasal yang dimohonkan diuji pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK (Asy�ari et al., 2016).

����������� Pada hakikatnya pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian pada suatu produk hukum, bukan berdasarkan materinya. Pengujian formil tidak terbatas menguji proses pembentukan undang-undang, tetapi juga mencakup pengujian yang lebih luas yaitu aspek bentuk undang-undang dan pemberlakuan undang-undang. Secara umum, kriteria yang digunakan untuk menilai konstitusionalitas undang-undang dari segi formil adalah sejauhmana undang-undang ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menggunakan prosedur yang tepat (appropriate procedure). Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, pengujian formil mencakup (Simanjuntak, 2018):

1.      Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang.

2.      Pengujian atas bentuk, format atau struktur undang-undang.

3.      Pengujian yang berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang.

4.      Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

Keempat kriteria diatas dapat disederhanakan menjadi 2 kelompok, yaitu pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil (Alisya, 2020).

UUD 1945 mengatur mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-undang. Untuk rincian pengaturan mengenai pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.�

Perkara di Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai perkara permohonan dan bukan gugatan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya perkara konstitusi di Mahkamah Konstitusi tidak bersifat adversarial atau contentious antara satu sama lain, dimana tidak terdapat pihak-pihak yang saling berseberangan kepentingan seperti dalam perkara perdata atau tata usaha negara. Kepentingan yang digugat dalam pengujian undang-undang ini merupakan kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bernegara. Undang-undang yang di gugat adalah undang-undang yang mengikat umum untuk seluruh warga negara. Karena itu, perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, tapi dalam bentuk permohonan dan subjek hukum yang mengajukan pengujian disebut sebagai Pemohon, bukan Penggugat (Asshiddiqie, 2006).

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membagi hukum acara di Mahkamah Konstitusi menjadi 2 bagian:

1.      Bagian umum, diatur dalam pasal 28 sampai dengan pasal 49, yang terdiri dari bagian umum, pengajuan permohonan, pendaftaran permohonan dan pengajuan sidang, alat bukti, pemeriksaan pendahuluan, dan pemeriksaan persidangan.

2.      Bagian khusus, diatur dalam pasal 50 sampai dengan pasal 85, yang terdiri dari pengujian undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum/kepala daerah, pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses pengujian Undang-Undang dibagi menjadi 3 tahapan, tahapan penyusunan permohonan, tahapan pendaftaran, dan tahapan persidangan.

Ada beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian pada tahapan penyusunan permohonan, yaitu:

1. Format permohonan harus benar. Pada format ini harus mencantumkan:

a.       identitas pemohon secara jelas dan benar,

b.      kewenangan MK dalam pengujian perundang-undangan ini,

c.       kedudukan hukum (legal standing) yang sah dalam pengujian undang-undang harus berisikan hak konstitusional dan kerugian konstitusinal yang di derita. Syarat agar legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang diajukan pengujian. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 3 Peraturan MK No� No. 06/PMK/2005 yang berbunyi (Halilah & Arif, 2021a) :

�Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum public atau privat, atau (d) lembaga negara�.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�, dan �yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama� (Halilah & Arif, 2021b).

d.      Pokok/alasan permohonan (Posita)

e.       Petitum (yang diminta pemohon)

2. Alat bukti harus lengkap

3. Daftar alat bukti

����������� Pada tahap pendaftaran, beberapa hal yang harus menjadi perhatian adalah:

1.    Kelengkapan berkas permohonan

2.    Permohonan

3.    Alat bukti yang dilengkapi dengan materai di setiap alat bukti

4.    Daftar alat bukti yang terdiri dari kode alat bukti, nama alat bukti, dan keterangan atas alat bukti.

Untuk proses persidangan, terbagi menjadi beberapa tahap:

1.    Sidang pendahuluan, yang berisi pembacaan permohonan dan kemudian Hakim memberikan nasihat atas formil permohonan

2.    Sidang perbaikan permohonan, dilakukan apabila permohonan yang diajukan masih terdapat kekurangan pada formil permohonan. Di sidang ini dilakukan pembacaan perbaikan permohonan dan selanjutnya pengesahan alat bukti oleh Hakim Panel Mahkamah Konstitusi.

3.    Sidang pemeriksaan pokok perkara, yang terdiri dari mendengarkan keterangan Presiden/pemerintah dan DPR, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi/ahli/pihak terkait,

Kesimpulan Hakim, tanpa adanya sidang.

 

 

KESIMPULAN

 

Pengujian peraturan perundang-undangan memiliki arti luas, yaitu untuk mengoreksi produk hukum legislatef agar sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD) sehingga produk hukum tersebut dapat memberikan kepastian hukum (rechszekerheid), perlindungan hukum (rechtsbescherming), keadilan hukum (rechtsvaardigheid) dan kemanfaatan (nuttigheid) bagi setiap orang dan masyarakat secara keseluruhan. Bila dilihat dari sudut pandang ajaran trias politica adalah agar dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam konteks proses demokrasi dan penegakkan negara hukum yang demokratis atau negara demokratis yang memiliki basis konstitusi.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alisya, A. P. (2020). Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Oleh Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dari Pasal 24c Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. LEX ADMINISTRATUM, 7(3).

Asshiddiqie, J. (2005). Model-model pengujian konstitusional di berbagai negara.

Asshiddiqie, J. (2006). Hukum acara pengujian undang-undang.

Asshiddiqie, J., & Safa�at, M. A. (2006). teori Hans Kelsen tentang hukum. Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kenpaniteraan.

Asy�ari, S., Hilipito, M. R., & Ali, M. M. (2016). Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012). Jurnal Konstitusi, 10(4), 675�708. https://doi.org/10.31078/jk%25x

Azhari, N. D. (2019). Kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam penyelesaian Disharmoni peraturan perundang-undangan melalui Mediasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Universitas Tarumanagara.

Aziz, M. (2016). Pengujian peraturan perundang-undangan dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 113�150.

Black, H. C., Garner, B. A., McDaniel, B. R., Schultz, D. W., & Company, W. P. (1999). Black�s law dictionary (Vol. 196). West Group St. Paul, MN.

Boediningsih, W., & Wijaya, E. (2019). Penerapan Pembatasan Yudisial (Judicial Restraint) Bagi Pelaku Lgbt (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Xiv/2016). Jurnal HUKUM BISNIS, 3(2), 245�253. https://doi.org/10.31090/hukumbisnis.v3i2.973

Halilah, S., & Arif, M. F. (2021a). Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli. Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara, 4(II).

Halilah, S., & Arif, M. F. (2021b). Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahlia. Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara, 4(II).

Kunneman, F. (1989). Rechtsvorming in Nederland, Een Inleiding. R & R, 18, 50.

Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung. Pariwisata Pedesaan Sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan (Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi) Yogyakarta.

Muhammad, A. (2004). Hukum dan penelitian hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Simanjuntak, E. (2018). Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(3), 337�356. https://doi.org/10.25216/jhp.2.3.2013.337-356

Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 2006. Jakarta: UI Press.

 

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).