Nur Hayati1, Rida Emelia2
RS. Kartika Husada Tambun1, Politeknik Piksi Ganesha Bandung1,2
[email protected]1, [email protected]2
|
Abstrak |
|
Received: Revised : Accepted: |
13-09-2021 08-02-2022 10-02-2022 |
Latar Belakang: Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi. Hingga saat ini demam
tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang
termasuk di Indonesia. Antibiotik merupakan obat pertama untuk mengobati
penyakit ini, Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan obat tidak
efektif dan memberikan dampak buruk bagi pasien. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di
instalasi rawat inap RSU Kartika Husada Tambun Bekasi tahun 2021. Metode: Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan desain penelitian Observasional dengan pengambilan sampel Total sampling yang didasarkan pada pertimbangan dan sesuai
dengan kriteria inklusi. Data diambil pada periode November 2020 � Maret
2021, dan didapatkan data sebanyak 30 pasien. Hasil: Hasil penelitian berdasarkan
umur menunjukkan bahwa pasien demam tifoid paling banyak berusia 17-25 tahun
sebanyak 16 pasien (53,3%), berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki yaitu sebanyak 18 pasien (60%). Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini
adalah tepat indikasi (100%), tepat pemilihan obat (100%), tepat dosis
(100%), tepat aturan pakai (100%) dan tepat lama pemberian (100%). Kata kunci: demam tifoid; antibiotik; instalasi
rawat ���� ����������������inap. |
|
|
|
|
Abstract |
|
|
Background: Typhoid fever is an infectious
disease caused by the bacterium Salmonella Typhi.
Until now, typhoid fever is included in the top 10 health problems in
developing countries, including Indonesia. Antibiotics are the first drugs to
treat this disease. Inappropriate use of antibiotics causes drugs to be
ineffective and has a negative impact on patients. Objective: This study aims to determine the
evaluation of the use of antibiotics in typhoid fever patients in the
inpatient installation of Kartika Husada Tambun Hospital in 2021. Methods: This study is a descriptive study
with an observational research design with total sampling based on
considerations and according to inclusion criteria. Data was taken in the
period November 2020 - March 2021, data obtained for 30 patients. Results: The results of the study based on
age showed that the most typhoid fever patients aged 17-25 years were 16
patients (53.3%), based on gender, there were more women than men, as many as
18 patients (60%). Conclusion: The conclusions of this study are the right indication (100%), the
right drug selection (100%), the right dose (100%), the right rule of use
(100%) and the right duration of administration (100%). Keywords: typhoid fever; antibiotics; inpatient � ���������������� installation. |
*Correspondence Author : Nur Hayati
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan
penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi (Alba et al., 2016). Demam tifoid merupakan
salah satu penyakit menular yang dipengaruhi oleh tingkat kebersihan seseorang
yang kurang baik, sanitasi lingkungan, dan dapat menular melalui konsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urin orang yang
terinfeksi (WHO, 2019).
Demam tifoid diharuskan
mendapat perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak, karena penyakit ini
bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat (Elisabeth Purba, Wandra, Nugrahini,
Nawawi, & Kandun, 2016). Sampai
saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan di beberapa negara yang
timbul secara endemik dan ditemukan sepanjang tahun. Manifestasi klinis demam
tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit
kepala) hingga berat (perut tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa (Pratama
& Lestari, 2015).
Berdasarkan data (Depkes, 2013) memperkirakan
angka insidensi di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan
600.000 orang meninggal karena demam tifoid dan 70% kematiannya terjadi di Asia. Demam tifoid termasuk dalam
10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada
pasien anak (Pudjiadi et al, 2009).
Di Indonesia sendiri, penyakit ini bersifat endemik. Penderita dengan demam
tifoid di Indonesia tercatat 81,7 per 100.000 (Depkes RI, 2013).
Secara umum
terjadi di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah (Organization, 2014).
Demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/100.000 populasi pertahun. Berdasarkan
profil kesehatan Indonesia tahun 2010, dari 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit di Indonesia demam tifoid menempati urutan ke-3
dengan jumlah kasus mencapai 41.081 pasien dan 274 diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2013).
Menurut data Hasil (Riskesdas, 2018) Demam
tifoid menurut karakteristik responden tersebar merata menurut umur, akan
tetapi prevalensi demam tifoid banyak ditemukan pada umur 5-14 tahun yaitu
sebesar 1,9% dan paling rendah pada bayi sebesar 0,8%.
Penggunaan antibiotik yang
tidak benar dapat menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang
digunakan. Selain itu, penggunaan yang tidak bijak dapat meningkatkan interaksi
dan efek samping. Efek samping penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan
standar terapi dapat terjadi, ditambah lagi keterbatasan informasi yang
obyektif mengenai ketidaktepatan pemakaian antibiotik. Di rumah sakit, dimana
penggunaan antibiotik biasanya dalam jumlah besar, resistensi bakteri terhadap
beberapa antibiotik sering terjadi dan menjadi masalah utama dalam upaya
perawatan pasien (Athaya et al., 2015).
Penggunaan antibiotika secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya adalah harus sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga sesuai dengan World Health Organization (WHO) diharapkan masyarakat menjadi rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika (WHO, 2019).
Berdasarkan penelitian pada tahun 2015, evaluasi
penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid masih cukup tinggi, dalam
penelitian (Athaya et al.,
2015) tentang evaluasi
penggunaan antibiotik pada kasus demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda di peroleh hasil penelitian dari penggunaan
antibiotik didapatkan penggunaan terbanyak adalah antibiotik seftriakson sebanyak 24 pasien (42%). Dari hasil evaluasi
diketahui bahwa 100% tepat indikasi, 100% tepat pasien, 91% tepat obat, dan 80%
tepat dosis.
Berdasarkan hasil jurnal penelitian tentang penyakit
demam tifoid menyebutkan bahwa masih tingginya angka ketidaktepatan antibiotik
di Indonesia, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian tentang evaluasi
penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di RS. Kartika Husada Tambun �
Bekasi.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan desain penelitian observasional, penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek
dengan tujuan mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena (termasuk
kesehatan) yang terjadi dalam suatu populasi tertentu. Metode pengumpulan data
dilakukan secara retrospektif, yaitu penelitian yang bersifat melihat
kebelakang (Notoatmodjo, 2016). Pengambilan data penelitian ini menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari catatan rekam medik di RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi
Periode November 2020 � Maret 2021.
Populasi dan sampel dari
penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita demam tifoid di Instalasi
Rawat Inap RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi Periode November 2020 � Maret
2021. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah
teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi. Alasan
mengambil total sampling karena menurut (Yani, Mangkunegara, Revisi, & Aditama,
2011) jumlah populasi yang
kurang dari 100, seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.
Variabel Penelitian ini
terdiri dari sosiodemografi (Usia, Jenis Kelamin, Berat badan), profil
pengobatan (Lama rawat, Jumlah obat) dan kategori rasionalitas (Tepat Indikasi,
Tepat Pemilihan Obat, Tepat Dosis, Tepat Aturan Pakai Obat, Tepat Lama
Pemberian Obat). Analisis data menggunakan analisis Univariat, yaitu analisis
yang dilakukan pada setiap variabel dan hasil penelitian di sajikan dalam
bentuk distribusi presentase dari data yang di dapatkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan desain obsevasional
yang dilakukan secara retrospektif pada bulan April-Juni 2021. Penelitian
dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di
instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi periode
April-Juni 2021.
Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 30
pasien. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Gambaran Sosiodemografi
(Karakteristik Pasien)
Tabel
1. Karakteristik Pasien di RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi
Karakteristik responden� |
Frekuensi |
Presentase(%) |
Usia
(tahun) |
|
|
5-11 |
9 |
30,0 |
12-16 |
5 |
16,7 |
17-25 |
16 |
53,3 |
Jenis Kelamin |
|
|
Laki-laki |
12 |
40,0 |
Perempuan |
18 |
60,0 |
Berat Badan |
|
|
12-15 |
2 |
6,7 |
16-30 |
4 |
13,3 |
31-40 |
6 |
20,0 |
41-50 |
16 |
53,3 |
>50 |
2 |
6,7 |
Sumber refrensi data tabel:
Data pasien yang menderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi Periode
November 2020 � Maret 2021
Berdasarkan tabel 1 di atas, usia pada pasien
terkait karakteristik demam tifoid di instalasi rawat inap RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi didapatkan jumlah
pasien paling banyak berumur 17-25 tahun sebanyak 16 pasien
(53,3%), dan yang paling
sedikit adalah berumur 12-16 tahun sebanyak 5 pasien (16,7%). Hasil yang ditujukan
bahwa yang rentang terbanyak pada usia 17-25 tahun dengan persentase (53,3%). Menurut penelitian
(Saraswati, Junaidi, & Ulfa,
2012) didapatkan (50,67%)
paling banyak menderita demam tifoid pada rentang usia 12-30 tahun. Hasil
penelitian ini, agak berbeda dengan hasil peneliti lain yang menyebutkan usia
pasien demam tifoid kebanyakan terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun
(Ismoedijanto, 2004).
Tetapi
apabila dicermati maka hasil beberapa penelitian tersebut memperlihatkan
usia-usia sekolah, usia remaja dan dewasa dimana pada kelompok usia tersebut
mempunyai ruang lingkup yang besar, sehingga sering melakukan aktivitas di luar
rumah sehingga berisiko untuk terinfeksi salmonella typhi, seperti
mengenai jajanan diluar rumah, sedangkan tempat jajan tersebut belum tentu
terjamin kebersihannya. Bila dilihat dari penelitian yang ada, demam tifoid
lebih rentan pada usia remaja hingga dewasa. Hal ini disebabkan karena pada
usia ini aktivitas yang dilakukan individu lebih banyak dan pada masa ini
individu dalam masa pertumbuhan dimana rentan terhadap berbagai penyakit
sehingga risiko terinfeksi bakteri salmonella
typhi lebih besar (Elliott, Worthington, Osman, & Gill,
2013).
Berdasarkan jenis kelamin pada 30 pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi dapat dilihat tabel 1 didapatkan jumlah pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 12 pasien (40,0%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 18 pasien (60,0%). Menunjukkan bahwa jumlah pasien yang terbanyak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 18 pasien (60,0%). Berdasarkan hasil dari penelitian yang paling banyak jenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 35 pasien atau sebesar 54,68% tidak sesuai dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya.
Kebiasaan
ini yang menyebabkan pria lebih rentan terkena penyakit yang ditularkan oleh Salmonella
typhi. Jadi pada laki � laki lebih banyak terkena dikarenakan pola makan
dari laki � laki lebih rentan terkena penyakit dari pada perempuan karena
laki-laki jarang menjaga kebersihan seperti jarang mencuci tangan dan seringnya
jajan di pinggir jalan. Berdasarkan daya tahan tubuh perempuan lebih berpeluang
untuk terkena dampak yang lebih berat atau mendapat komplikasi dari demam
tifoid. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang nyata insiden tifoid pada pria
dengan wanita (Kepmenkes, 2006).
Berdasarkan
berat badan pada 30 pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi dapat dilihat tabel 1 didapatkan
jumlah berat badan pasien paling banyak 41-50 kg sebanyak 16 pasien (53,3%) dan yang paling
sedikit adalah 12-15 kg dan >50
kg masing-masing sebanyak 2 pasien (6,7%) sedangkan untuk berat
badan 16-30 kg menunjukkan jumlah sebanyak 4 pasien (13,3%) tidak beda jauh dengan
berat badan 31-40 kg yang berjumlah 6 pasien (20.0%). Berdasarkan hasil
penelitian bahwa pasien yang memiliki kelompok berat badan 11-20 kg adalah yang
paling banyak menderita demam tifoid. Anak-anak mengalami pertumbuhan badan yang
pesat sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya dan sering menderita penyakit infeksi akibat kekurangan gizi sehingga
kekebalan tubuh melemah.
Hasil penelitian lain mengatakan 15-<40 kg merupakan rentang berat badan ideal pada usia >6-12 tahun yang merupakan anak sudah masuk pendidikan sekolah dasar (Fitriani, 2012).
2.
Profil Pengobatan Pasien
Tabel
2. Profil Pengobatan di RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi
Karakteristik
responden |
Karakteristik
responden |
Presentase(%) |
Lama rawat (hari) |
|
|
1-5 |
29 |
96,7 |
6-10 |
1 |
3,3 |
Jumlah Obat |
|
|
1-4 |
25 |
83,3 |
5-8 |
5 |
16,7 |
Sumber refrensi data tabel:
Data pasien yang menderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi Periode
November 2020 � Maret 2021
Berdasarkan tabel 2 di atas,
lama rawat pada 30 pasien dengan kategori profil pengobatan pasien demam
tifoid di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi
dapat dilihat tabel 2 didapatkan
waktu lama rawat 1-5 hari sebanyak 29
pasien (96,7%), dan
lama rawat 6-10 hari sebanyak 1 pasien (3,3%) menunjukkan bahwa jumlah pasien yang paling banyak
di rawat inap 1-5 hari dengan 29 pasien sebanyak 96,7%. Menurut penelitian (Nurjannah, 2012) menunjukkan bahwa sebagian besar pasien demam tifoid
memiliki waktu rawat inap kurang dari 1 minggu. Menurut teori pasien demam
tifoid harus tirah baring minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Namun hubungan rawat inap yang cepat ini disebabkan karena pasien
telah memenuhi anjuran untuk istirahat, pengobatan, dan dapat nutrisi yang baik
sehingga akan mempercepat lama rawat inap.
Hasil rawat inap terbanyak ini
tidak jauh beda dengan penelitian (Andani, Oktianti, & Minarsih,
2021) di Rumah Sakit
Wijayakusuma Purwokerto yang mana lama rawat inap penderita demam tifoid
terbanyak dengan kata lain kurang dari 1 minggu. Berdasarkan jumlah obat pada 30 pasien dengan kategori
profil pengobatan pasien Demam Tifoid di instalasi rawat inap RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi dapat di lihat tabel 2 didapatkan pasien
yang menerima 1-4 obat sebanyak 25 pasien (83,3%) dan pada pasien yang menerima 5-8 obat sebanyak 5 pasien
(16,7%). Menunjukkan bahwa
jumlah obat yang diterima pasien terbanyak adalah 1-4 jumlah obat sebanyak 25 pasien (83,3%).
Berdasarkan hasil penelitian
lain mengatakan pasien demam tifoid anak selama dirawat tidak hanya menerima
obat untuk mengobati demam tifoid tetapi juga obat lain untuk mengatasi masalah
gejala dan penyakit penyerta yang dialami pasien sehingga pasien membutuhkan
terapi kombinasi dengan jumlah obat yang digunakan bervariasi. Pada pemberian
obat analgesik-antipiretik, penggunaan parasetamol lebih banyak digunakan
(92,86%) untuk meredakan demam yang terjadi pada pasien demam tifoid, kemudian
diikuti dengan penggunaan ketorolak (2,38%.) Pemberian antiemetik bertujuan
untuk mencegah dan mengatasi mual dan muntah pada pasien penderita demam
tifoid. Obat selanjutnya yang banyak digunakan pada pasien demam tifoid yaitu
obat anti tukak lambung seperti ranitidin dan omeprazole yang digunakan untuk
mengatasi gejala nyeri abdomen (Hapsari & Mutmainah, 2019). Berdasarkan hasil penelitian, jumlah obat yang paling
banyak digunakan pasien adalah 3 jenis obat, kemudian diikuti 2 jenis obat, 4
jenis obat dan >5 jenis obat (Utami, 2016).
3.
Gambaran
Ketepatan Obat Antibiotik Demam Tifoid
Tabel 3. Gambaran Ketepatan Obat
Antibiotik Demam Tifoid
Rasionalitas |
Frekuensi |
Presentase(%) |
Tepat
Indikasi |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Tepat
Indikasi |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Tepat
Pemilihan Obat |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Tepat
Dosis |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Tepat
Aturan Pakai Obat |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Tepat
Lama Pemberian Obat |
|
|
Tepat |
30 |
100,0 |
Tidak Tepat |
0 |
0,0 |
Sumber refrensi data tabel:
Data pasien yang menderita
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RS. Kartika Husada Tambun - Bekasi Periode
November 2020 � Maret 2021
Berdasarkan tabel 3 hasil penelitian dari data rekam medik
yang di kaji, pemberian antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat
inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi didapat hasil 100% tepat
indikasi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ketepatan
pemilihan obat antibiotik pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi didapat hasil sebanyak 30 responden (100%). Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ketepatan dosis
penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi didapat hasil tepat dosis sebanyak 30 responden (100%).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ketepatan aturan
pakai penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap
RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi didapat hasil (100%). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan diketahui bahwa ketepatan lama pemberian obat antibiotik
pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada
Tambun-Bekasi didapat hasil (100%).
a. Gambaran
Ketepatan Indikasi pada Pasien Pengguna Antibiotik Demam� �Tifoid
Tepat indikasi adalah tepat
pemberian obat sesuai dengan gejala dan diagnosis pasien. Peresepan obat
didasarkan dari pertimbangan medis yang baik. Apabila diagnosis tidak
ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat tidak sesuai dengan diagnosis
sehinngga mengacu kekeliruan.
Ketepatan indikasi penggunaan
antibiotik pada 56 pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda hasilnya tepat indikasi karena seluruh pasien demam tifoid
mendapat terapi dengan antibiotik. Hasil penelitian sesuai dengan standar
Depkes RI tahun 2006 (Athaya et al., 2015). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan sebanyak 30 pasien demam tifoid yang dirawat inap di RS. Kartika
Husada Tambun-Bekasi Tahun 2021 tepat indikasi 100% berdasarkan literatur DIH dan WHO di RS.
Kartika Husada Tambun-Bekasi. Penelitian ini
memberikan hasil 100% tepat indikasi dengan 64 pasien. Karena seluruh pasien
demam tifoid mendapatkan terapi dengan antibiotik yang memang indikasinya untuk
penyakit demam tifoid. Antibiotik yang digunakan tersebut sefotaksim,
kloramfenikol, levofloxacin, azitromicyn, seftriakson.
b.
Gambaran Ketepatan Obat
pada Pasien Pengguna Antibiotik Demam �Tifoid
Tepat pemilihan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu obat diantaranya beberapa jenis obat yang mempunyai indikasi untuk penyakit demam tifoid yang telah ditetapkan pada literatur dan disesuaikan dengan riwayat pengobatan pasien yang telah digunakan sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini yang dilakukan di RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi dengan pasien 30 tepat pemilihan obat adalah 100% berdasarkan literatur DIH dan WHO. Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari (Athaya et al., 2015) tepat obat sebanyak 51 pasien (91%). Evaluasi tepat obat disesuaikan dengan guidlene WHO 2003. Menurut guidlene (Organization & Group, 2003), antibiotik yang digunakan adalah kloramfenikol, amoksisilin, kotrimoksasol, sefriakson, sefiksim, siprofloksasin, dan levofloksasin.
Antibiotik yang digunakan di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda adalah golongan sefalosforin generas ketiga, floroquinolon, penisilin, dan kloramfenikol. Menurut penelitian (Oktaviana & Noviana, 2021) didapatkan ketepatan obat sebanyak 44 kasus (93,6%) meliputi 29 kasus dengan sefotaksim, 4 kasus dengan kloramfenikol, 3 kasus dengan seftriakson, dan 9 kasus sefotaksim yang diganti dengan kloramfenikol. Berdasarkan penelitian, rumah sakit mengacu pada literatur Clinical Pathways yang sudah disesuaikan dengan pengalaman, kondisi-kondisi pasien demam tifoid yang dirawat dan mengacu beberapa literatur. Antibiotik yang paling banyak digunakan di Instalasi Rawat Inap RSUD Ir.soekarno Sukoharjo 2017 dari golongan sefalosporin generasi ketiga adalah sefotaksim. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sefotaksim pada pasien demam tifoid dapat menurunkan suhu badan penderita dalam waktu singkat dibanding antibiotik kloramfenikol sehingga efektif bila dipakai. Selain itu tidak ada laporan mengenai resistensi seftotaksim dalam mengobati demam tifoid (Kool et al., 2011).
Sefotaksim dianggap sebagai antibiotik yang efektif dan poten untuk mengobati penyakit demam tifoid dalam jangka waktu pendek. Obat ini mempunyai sifat menguntungkan yaitu dapat merusak struktur bakteri tanpa mengganggu sel tubuh manusia, spektrumnya luas, dan resistensinya terhadap bakteri masih terbatas (Musnelina & NK, 2017). Sefotaksim efektif untuk pengobatan bakteri gram negatif seperti Salmonella typhi (IrmaJati, 2018). Alasan ini yang memungkinkan Sefotaksim digunakan di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo. Menurut standar Kepmenkes, antimikroba line pertama yang diberikan untuk pasien adalah klorampenikol, ampisilin atau amoksilin, dan kontrimoksasol. Hasil penelitian terlihat hanya ada 4 kasus penggunaan kloramfenikol hal ini karena jangka waktu pemberian yang lama serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Bila pemberian antimikroba line pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antimikroba line kedua (sefotaksim dan seftriakson).
Menurut (Rismarini et al., 2016) banyaknya multi drug resisten terhadap kloramfenikol telah banyak, sehingga banyak mencari altenatif dalam pengobatan demam tifoid. Sehinnga penggunaan sefalosporin generasi ke-3 sebagai terapi empiris pada pasien demam tifoid. Menurut (Rampengan, 2016) Sefalosporin generasi ketiga mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan demam tifoid. Sefalosporin generasi ketiga yang digunakan dalam pengobatan disini meliputi sefotaksim dan seftriakson. Sefotaksim merupakan antibiotik yang mempunyai aktifitas yang sama dengan seftriakson. Sefotaksim merupakan antibiotik yang banyak dipakai di Instalasi Rawat Inap RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo Tahun 2017 hal ini karena sefotaksim merupakan antibiotik yang dapat digunakan untuk terapi demam tifoid yang resisten terhadap fluroquinolon. Sefotaksim bekerja dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, membunuh bakteri. Seftriakson merupakan antibiotik untuk demam tifoid dan juga infeksi pada intra abdomen.
c.
Gambaran Ketepatan Dosis
pada Pasien Pengguna Antibiotik Demam Tifoid
Tepat dosis adalah ketepatan pemilihan obat sesuai dengan standar DIH dan WHO. Dosis obat harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, berat badan dan jenis kelamin, keparahan penyakit dan kondisi pasien. Berdasarkan penelitian ini yang dilakukan di RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi dengan pasien 30 tepat dosis adalah (100%) tidak sesuai dengan hasil penelitian (Athaya et al., 2015) hasil evaluasi penggunaan antibiotik demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD. Abdul Wahab Sjaharanie Tahun 2015, diperoleh bahwa dari 56 pasien tepat dosis sebanyak 45 pasien (80%) dan 11 pasien (20%) tidak tepat dosis. Tidak tepat dosis disebabkan karena dosis yang diberikan kurang dan durasi yang diberikan kurang dari dosis standar. Berdasarkan (RI, 2006), seftriakson diberikan dengan dosis 2-4mg/hari namun pada pemberian dosis antibiotik untuk pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Abdul Wahab Sjaharanie Samarinda pasien diberikan dosis 1gr/hari dan 2gr/hari dengan lama pemberian 3-4 hari. Pemberian antibiotik dalam dosis kurang atau lebih dapat membahayakan pasien karena dapat menyebabkan keracunan dan pemborosan. Semakin besar dosis yang diberikan untuk pasien dalam jangka waktu lama atau sering menggunakan antibiotik tertentu, maka pasien tersebut akan kebal bila dosis antibiotik yang diberikan kecil untuk penyakit ringan (Tjay & Rahardja, 2007).
d.
Gambaran Ketapatan
Aturan Pakai pada Pasien Pengguna Antibiotik Demam Tifoid
Cara pemberian merupakan aturan
pemakaian obat yang harus di perhatikan oleh pasien demam tifoid. Setiap obat
memiliki aturan pakai yang berbeda-beda. Aturan pakai pemakaian obat ini
meliputi waktu penggunaan obat (sebelum/sesudah makan), frekuensi pemberian dan
rute pemberian obat.
Pada penelitian aturan pakai antibiotik demam tifoid di
instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi
tepat aturan pakai antibiotik demam tifoid yaitu sebanyak 30 pasien dengan
persentase (100%) aturan pakai obat sesuai dengan literatur DIH dan WHO.
Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian evaluasi rasionalitas
penggunaan antibiotik pasien demam tifoid di instlasi rawat inap RS Pantini
Rini Yogyakarta, pada penelitian ini terdapat 5 kasus (16,13%) pemberian
antibiotik dengan interval yang tidak tepat dan 26 kasus (83,87%) pemberian
antibiotik dengan interval yang tepat. Pemberian antibiotik yang tidak tepat
pada kelima pasien tersebut adalah pemberian interval yang lebih panjang pada
pemberian antibiotik dari pada seharusnya. Pemberian cefuroxime 750 mg
berdasarkan Drug Information Handbook
(DIH) (Prasetya,
2017).
Seharusnya setiap 8 jam namun pada pasien di RS Panti Rini Yogyakarta diberikan setiap 12 jam. Pemberian antibiotik dengan interval yang tidak tepat dapat menyebabkan bakteri beregenerasi lebih kuat sehingga meningkatkan resiko terjadinya resistensi antibiotik dan aktivitas antibiotik dalam tubuh tidak menjadi maksimal (Kemenkes, 2011).
e.
Gambaran Ketepatan Lama
Pemberian pada Pasien Pengguna Antibiotik Demam Tifoid
Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakit
masing-masing. Pemberian obat yanhg terlalu singkat atau terlalu lama dari
seharusnya akan berpengaruh pada hasil pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi
dengan pasien 30 tepat lamanya pemberian adalah (100%) sesuai
dengan literatur DIH dan WHO. Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian (Oktaviana & Noviana, 2021) menunjukan bahwa kasus yang menyatakan tepat
lamanya pemberian sebanyak 31 kasus (66,0%) dan 16 kasus (34,0%) menunjukan
ketidaktepatan lamanya pemberian obat berdasarkan Clinical Pathways RSUD
Ir. Soekarno Sukoharjo. Ketidak tepatan lamanya pemberian obat yang terlalu
singkat sehingga terapi yang dijalani pasien tidak maksimal. Berdasarkan Clinical
Pathways Kepmenkes 2014 penggunaan sefalosforin generasi 3 (sefotaksim dan
seftriakson) digunakan selama 3-5 hari, tetapi dalam penelitian ini penggunaan
antibiotik hanya diberikan selama 2 hari sehingga terapi pengobatan pasien
belum sepenuhnya selesai.
Lama pemberian antibiotik disesuaikan dengan penyakit.
Pemberian antibiotik yang terlalu lama atau terlau singkat dari seharusnya
dapat berpengaruh terhadap hasil pengobatan (Kemenkes RI, 2011). Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai bisa
menyebabkan terjadinya resistensi atau kekebalan dari dari bakteri tersebut
terhadap antibiotik (Tjay & Rahardja, 2002).
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil
penelitian evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi
rawat inap di RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi sebagai berikut: 1) Gambaran sosiodemografi
pasien di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi meliputi usia
sebanyak 30
pasien terbanyak remaja akhir 16 pasien (53,3%), jenis kelamin sebanyak 30 pasien terbanyak perempuan 18 pasien (60,0%), berat badan sebanyak
30
pasien terbanyak jumlah berat badan 41-50 kg 16 pasien (53,3%). 2) Gambaran profil
pengobatan pasien di instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi
meliputi lama rawat sebanyak 30 pasien terbanyak 1-4 hari 29 pasien (96,7%), jumlah obat sebanyak
30
pasien terbanyak 1-4 obat 25 pasien (83,3%). 2) Gambaran rasionalitas penggunaan obat antibiotik di
instalasi rawat inap RS. Kartika Husada Tambun-Bekasi meliputi tepat indikasi
(100%), tepat obat (100%), tepat dosis (100%), tepat aturan pakai (100%), tepat
lama pemberian sebanyak 30 pasien (100%).
Alba, Sandra, Bakker,
Mirjam I., Hatta, Mochammad, Scheelbeek, Pauline F. D., Dwiyanti, Ressy, Usman,
Romi, Sultan, Andi R., Sabir, Muhammad, Tandirogang, Nataniel, & Amir,
Masyhudi. (2016). Risk factors
of typhoid infection in the Indonesian archipelago. PloS
One, 11(6), e0155286.
Andani, Rina, Oktianti, Dian, & Minarsih, Tri. (2021). Pola
Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Usia 1-5 Tahun dengan Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Praya. Universitas Ngudi Waluyo.
Athaya, Fitiri, Ramadhan, Adam, Masruhim, & Muhammad, Amir.
(2015). Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda Fitri. In Journal of Chemical Information
and Modeling (Vol. 53). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Depkes, RI. (2013). Sistematika
pedoman pengendalian penyakit demam tifoid.
Elisabeth Purba, Ivan, Wandra, Toni, Nugrahini, Naning, Nawawi,
Stephen, & Kandun, Nyoman. (2016). Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan Peluang.
Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 26(2). https://doi.org/10.22435/mpk.v26i2.5447.99-108
Elliott, T., Worthington, T., Osman, H., & Gill, M. (2013). Mikrobiologi
Kedokteran & Infeksi, Edisi 4 diterjemahkan oleh Brahm, U.
Pendit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 23�33.
Hapsari, Tiara Nefrida, & Mutmainah, Nurul. (2019). Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr.
R. Soetijono Blora Periode Januari 2017-Agustus 2018. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ismoedijanto, Dkk. (2004). Metode
Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
Divisi Tropik And Penyakit Infeksi/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr �.
Kemenkes RI. (2011). Modul Penggunaan
Obat Rasional Dalam Praktek. Modul Penggunaan Obat
Rasional, 3�4. https://doi.org/10.1016/j.apergo.2015.07.007
Kepmenkes, RI. (2006). pengendalian demam tifoid.
Notoatmodjo. (2016). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta, Jakarta.
Nurjannah. (2012). Faktor-faktor
Yang Berhubungan Dengan Lama Hari Rawat Pasien Demam Tifoid di Ruang Rawat Inap
RSUD Pangkep. Ilmiah Kesehatan Diagnosis.
Organization, World Health. (2014). Revised
guidance on meningitis outbreak response in sub-Saharan Africa.
Weekly Epidemiological Record= Relev� �pid�miologique Hebdomadaire, 89(51�52),
580�586.
Pudjiadi et al. (2009). Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Archives of Disease in Childhood.
https://doi.org/10.1136/adc.25.122.190
Riskesdas, Kemenkes. (2018). Hasil Utama
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1�200.
Saraswati, Nia Ayu, Junaidi, Junaidi, & Ulfa, Maria. (2012). Karakteristik
tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit Muhammadiyah Palembang
periode tahun 2010. Syifa�MEDIKA: Jurnal Kedokteran
Dan Kesehatan, 3(1), 1�11. https://doi.org/10.32502/sm.v3i1.2861
Tan. HT., Rahardja K. (2002). obat-obatan
penting, Khasiat penggunaan dan efek samping. edisi kelima. PT Elex Medica
Computindo Gramedia. Jakarta.
Tjay, Tan Hoan, & Rahardja, Kirana. (2007). Obat-obat
penting: khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya.
Elex Media Komputindo.
Utami, Rouli Meparia. (2016). Identifikasi
Drug Related Problems pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit �X� Tangerang Selatan. FKIK UIN
Jakarta.
WHO. (2019). Antibiotic
resistance threats in the United States. Centers
for Disease Control and Prevention. https://doi.org/CS239559-B
Yani, Achmad, Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Revisi, Perilaku
Konsumen Edisi, & Aditama, Refika. (2011). Sugiyono.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Yoga Pratama, Krisna, & Lestari, Wiradewi. (2015). Efektifitas
Tubex Sebagai Metode Diagnosis Cepat Demam Tifoid. Intisari
Sains Medis, 2(1), 70. https://doi.org/10.15562/ism.v2i1.87
|
� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |