Muhammad Khafidin Al
Alim1, Marijam Purwanta2, Yuani Setiawati3
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga,
Surabaya1, 2, 3
[email protected]1, marijam@fk.unair.ac.id 2, yuani-s@fk.unair.ac.id3
|
Abstrak |
|
Received: Revised� : Accepted: |
09-09-2021 08-02-2022 10-02-2022 |
Latar
Belakang: Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan tumbuhan
yang umum di indonesia. Tanaman ini selain bisa dimanfaatkan sebagai bahan
pangan, daunnya juga sering dipakai masyarakat indonesia sebagai obat luka
atau memar. Salah satu bakteri yang umumnya terdapat dalam luka adalah Staphylococcus
aureus. Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa ekstrak daun lamtoro
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. Tujuan:
Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas
antibakteri daun lamtoro terhadap Staphylococcus aureus dengan metode
dilusi. Metode:
Ekstrak kental lamtoro dibuatkan seri pengenceran pada medium cair. Bakteri uji
kemudian ditambahkan dengan proporsi yang sama pada setiap tabung. Tabung
dengan konsentrasi ekstrak terendah yang masih terlihat jernih ditetapkan
sebagai KHM. Selanjutnya dilakukan streaking pada media biakan.
Setelah inkubasi, media dengan konsentrasi terendah yang tidak didapati
pertumbuhan koloni ditetapkan sebagai KBM. Hasil:
Kekeruhan yang disebabkan ekstrak
tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang disebabkan bakteri, sehingga KHM
tidak dapat ditentukan. Dari hasil kultur, didapatkan pertumbuhan koloni pada
seluruh media biakan, sehingga KBM juga tidak dapat ditentukan. Hasil hitung
koloni menghasilkan bahwa ekstrak tidak membunuh bakteri namun masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut paling
optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan 62,5 mg/mL. Kesimpulan:
KHM dan KBM ekstrak daun lamtoro
terhadap Staphylococcus aureus pada penelitian ini tidak dapat ditentukan. Ekstrak lamtoro
tidak membunuh Staphylococcus aureus, namun masih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut, paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan
62,5 mg/mL Kata kunci: daun lamtoro;
antibakteri; staphylococcus �������������������� aureus; dilusi. |
|
|
|
|
Abstract |
|
|
Background: Lamtoro (Leucaena leucocephala) is a common plant in
Indonesia. Besides being able to be used as food, the leaves of this plant
are also often used by Indonesian people as a medicine for wounds or bruises.
One of the bacteria commonly found in wounds is Staphylococcus aureus.
Therefore, researchers suspected that lamtoro leaf extract has antibacterial
activity against Staphylococcus aureus. Objective: This study conducted to test the antibacterial activity
of lamtoro leaves against Staphylococcus aureus using dilution method. Methods: The viscous extract of lamtoro leaves was made in a
series of dilutions in the liquid medium. The tested bacteria were then added
to the medium with the same proportion in each tube. The tube with the lowest
extract concentration that was still visible was defined as MIC. Furthermore,
streaking was performed on the culture media. The medium with the lowest
concentration that remained clear after incubation was defined as MBC. Results: Turbidity caused by the
extract could not be distinguished from turbidity caused by bacteria, so the
MIC could not be determined. The culture results showed that colony growth
occurred in all culture media, so that the MBC also could not be determined.
The results of the colony count showed that the extract did not kill
Staphylococcus aureus, but could still inhibit the growth of these bacteria,
optimally at concentrations of 125 mg/mL and 62.5 mg/mL. Conclusion: The
MIC and MBC of lamtoro leaf extract against Staphylococcus aureus in this
study could not be determined. Lamtoro extract does not kill Staphylococcus
aureus, but it can still inhibit the growth of these bacteria, optimally at
concentrations of 125 mg/mL and 62.5 mg/mL. Keywords: lamtoro leaves; antibacterial; staphylococcus �����������������
aureus; dilution |
*Correspondence Author : Muhammad Khafidin Al Alim
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang
melimpah, wilayah hutan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
terbesar ke dua di dunia setelah Brazilia. Diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan
ditemukan di dalam hutan hujan tropis, sekitar 1.260 spesies di antaranya
berkhasiat sebagai obat dan sekitar 180 spesies telah digunakan untuk berbagai
keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja telah
dibudidayakan secara intensif (Widowati,
2016).
Tanaman obat mampu mengobati berbagai penyakit, mulai dari
penyakit ringan seperti batuk ringan hingga penyakit berat seperti kanker.
Penggunaan tanaman sebagai obat memiliki kelebihan dibandingkan dengan obat
kimia. Obat kimia mempunyai harga yang mahal dan penggunaannya yang terlalu
sering akan menyebabkan munculnya efek samping. Sementara penggunaan obat alami
dapat dilakukan dengan harga yang lebih murah juga dengan efek samping yang
lebih sedikit (Katno,
2010).
Salah satu tanaman obat yang saat ini berpotensi untuk
dikembangkan adalah tanaman petai cina atau lamtoro (Leucaena leucocephala).
Daun lamtoro dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat luka baru dan
bengkak. Penggunaan daun lamtoro di masyarakat biasanya dilakukan dengan cara
dikunyah atau ditumbuk halus kemudian ditempelkan di bagian tubuh yang luka
atau bengkak. Ekstrak daunnya diketahui mengandung flavonoid, saponin, dan
tanin (Widyantoro
& Sugihartini, 2015).
Staphylococcus aureus merupakan patogen utama bagi manusia. Hampir semua orang
pernah mengalami infeksi Staphylococcus aureus sepanjang hidupnya,
dengan berbagai tingkatan mulai dari keracunan makanan, infeksi kulit ringan
atau luka, sampai infeksi berat yang mengancam jiwa (Jawetz et al.,
2005). Seiring dengan peningkatan infeksi bakteri maka akan meningkat
pula penggunaan antibiotik untuk menanganinya (Refdanita et
al., 2004). Sementara itu, penggunaan antibiotik secara terus menerus
dapat meningkatkan risiko munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik
tersebut (Utami, 2011). Kondisi ini memaksa ilmuwan untuk mencari sumber senyawa
lain sebagai agen antibakteri alternatif.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti berniat
melakukan uji aktivitas antibakteri daun lamtoro (Leucaena leucocephala)
terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan metode dilusi. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri daun lamtoro terhadap Staphylococcus
aureus dengan metode dilusi.
METODE
PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran,
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga pada bulan Juli-Desember 2020. Penelitian ini merupakan penelitian true experimental
dengan rancangan studi post test control design yang dilakukan untuk
menguji aktivitas antibakteri ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala)
terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode dilusi.
Persiapan Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Proses ekstrasi dilakukan di ULP Farmasi Kampus B Universitas
Airlangga. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menggunakan etanol 70%
selama 3 hari. Daun lamtoro tanpa ranting yang sudah dikeringkan diambil 100 g
untuk kemudian dimaserasi sehingga menghasilkan ekstrak kental seberat 13,3 g.
Persiapan Sampel Bakteri
Sampel bakteri S. aureus yang digunakan dalam
penelitian ini didapatkan dari isolat klinis Laboratorium Mikrobiologi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Biakan bakteri Staphylococcus
aureus diambil dengan ose yang telah disterilkan kemudian diinokulasikan ke
medium Mueller Hinton Broth. Selanjutnya campuran di vortex dan disetarakan
dengan larutan standar McFarland 0,5. Setelah setara, maka konsentrasi suspensi
bakteri di dalam medium adalah 1,5 x 108 CFU/ml (Dalynn,
2014). Isolat tersebut selanjutnya diinkubasi menggunakan
inkubator pada suhu 37�C selama semalam.
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena
leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dengan Metode Dilusi
Peneliti mencampurkan masing-masing 1 mL larutan bakteri Staphylococcus
aureus ke dalam beberapa tabung yang telah berisi ekstrak daun lamtoro
dengan berbagai konsentrasi (1000 mg/mL, 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62,5
mg/mL, 31,25 mg/mL, 15,63 mg/mL, dan 7,81 mg/mL). Tabung perlakuan dibuat
sebanyak 8 tabung (P1 sampai P8), dan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali
replikasi. Tabung kontrol terdiri atas kontrol positif yang berisi larutan
bakteri Staphylococcus aureus dan kontrol negatif yang berisi ekstrak
daun lamtoro (Leucaena leucocephala).
Peneliti kemudian menginkubasi seluruh tabung pada suhu 37�C
selama 24 jam. KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dapat ditentukan setelah tabung
perlakuan (P1 sampai P8) dilakukan inkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam,
tabung yang jernih menandakan tidak adanya pertumbuhan jumlah bakteri sementara
tabung yang keruh menandakan adanya pertumbuhan jumlah bakteri. Tabung dengan
konsentrasi terkecil yang masih terlihat jernih ditentukan sebagai nilai KHM (Azrifitria,
2010).
Tabung-tabung tersebut kemudian dilakukan streaking
pada media Nutrient Agar Plate untuk menentukan KBM. Nilai KBM dapat
ditentukan setelah seluruh media diinkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam. Media
dengan konsentrasi terkecil yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi (tidak
didapatkan adanya pertumbuhan bakteri) ditetapkan sebagai KBM (Efendi &
Hertiani, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pada tabung-tabung perlakuan setelah
dilakukannya inkubasi didapatkan bahwa tabung perlakuan pertama (P1) hingga
tabung perlakuan terakhir (P8) pada keempat replikasi berwarna coklat kehitaman
hingga kuning keruh (Gambar 1).
Gambar 1. Hasil pengamatan
pada tabung-tabung perlakuan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum)
Seluruh tabung kemudian dilakukan streaking pada media
Nutrient Agar Plate untuk menentukan KBM. Nilai KBM dapat ditentukan
setelah media biakan diinkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam, yakni konsentrasi
terendah yang tidak didapatkan pertumbuhan koloni bakteri. Dari hasil uji,
didapatkan bahwa pertumbuhan koloni bakteri terjadi pada seluruh media biakan
yang bisa dilihat di tabel 1.
Dari hasil uji
KHM pada gambar 1, didapatkan bahwa tabung P1 hingga P8 pada keempat
replikasi berwarna coklat kehitaman hingga kuning keruh. Sifat keruh dari
ekstrak tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan
jumlah bakteri, sehingga KHM (Kadar Hambat Minimum) dalam penelitian ini tidak
dapat ditentukan.
Tabel 1. Hasil Pengamatan pada
Media Biakan untuk Menentukan KBM
Replikasi |
Konsentrasi Tabung Perlakuan |
Kontrol |
||||||||
P1 (1000 mg/ml) |
P2 (500 mg/ml) |
P3 (250 mg/ml) |
P4 (125 mg/ml) |
P5 (62,5 mg/ml) |
P6 (31,25 mg/ml) |
P7 (15,63 mg/ml) |
P8 (7,81 mg/ml) |
K+ |
K- |
|
1 |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
- |
2 |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
- |
3 |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
- |
4 |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
+ |
- |
Keterangan
tabel:
+ :
didapatkan pertumbuhan koloni bakteri
- : tidak didapatkan pertumbuhan koloni
bakteri
Hasil tersebut menandakan bahwa ekstrak daun lamtoro tidak membunuh
bakteri Staphylococcus aureus. Sehingga langkah selanjutnya, dilakukan
penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada masing-masing media pada tabel 2. Penghitungan
ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya efek ekstrak terhadap Staphylococcus
aureus. Rata-rata dari hasil hitung koloni tersebut kemudian disajikan
dalam bentuk grafik pada gambar 2.
Tabel 2. Hasil Hitung Koloni
Replikasi |
P1 |
P2 |
P3 |
P4 |
P5 |
P6 |
P7 |
P8 |
K+ |
K- |
1 |
265 |
246 |
270 |
98 |
91 |
240 |
>300 |
>300 |
>300 |
0 |
2 |
261 |
281 |
214 |
96 |
66 |
261 |
>300 |
>300 |
>300 |
0 |
3 |
269 |
224 |
194 |
104 |
90 |
228 |
>300 |
>300 |
>300 |
0 |
4 |
255 |
262 |
207 |
78 |
101 |
269 |
>300 |
>300 |
>300 |
0 |
Rata-rata |
262,50 |
253,25 |
221,25 |
94 |
87 |
259,5 |
>300 |
>300 |
>300 |
0 |
Dari hasil uji
KBM pada tabel 1, didapatkan bahwa pertumbuhan koloni
bakteri terjadi pada semua media biakan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun
lamtoro pada penelitian ini tidak dapat membunuh bakteri Staphylococcus
aureus, sehingga KBM (Kadar Bunuh Minimum) pada penelitian ini juga tidak
dapat dapat ditentukan.
Gambar 2. Grafik Hasil Hitung
Koloni
Untuk
memastikan ada tidaknya efek ekstrak lamtoro pada bakteri Staphylococcus
aureus, maka dilakukan hitung koloni. Hasil hitung koloni disajikan dalam
tabel 2 dan dikonversikan ke dalam grafik pada gambar 2. Dari hasil tersebut
dapat dilihat bahwa efek ekstrak lamtoro terhadap Staphylococcus aureus
memang tidak bersifat membunuh (bakterolitik), namun masih memiliki efek
menghambat (bakteriostatik). Efek penghambatan terlihat dari adanya jumlah
koloni yang lebih kecil dari jumlah koloni pada kontrol positif (K+), yang
memiliki nilai hitung koloni lebih dari 300. Penghambatan terjadi pada tabung
P1 hingga P6 dengan daya hambat paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL (P4)
dan 62,5 mg/mL (P5).
Hasil tersebut
tidak sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Pada umumnya, jumlah koloni
berbanding terbalik dengan konsentrasi ekstrak, semakin tinggi konsentrasi
ekstrak maka jumlah koloni akan semakin menurun. Namun penelitian ini
memberikan hasil yang berbeda, dimulai dari ekstrak dengan konsentrasi 125
mg/mL (P4) hingga konsentrasi tertinggi (P1), yang terjadi justru sebaliknya,
yakni terjadi peningkatan jumlah koloni seiring dengan bertambahnya konsentrasi
ekstrak. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa yang bersifat
menginduksi pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus, selain senyawa
penghambat pertumbuhan koloni bakteri tersebut, di dalam ekstrak daun lamtoro.
Pada konsentrasi rendah-sedang, efek penghambatan lebih dominan sehingga
terjadi penurunan jumlah koloni, namun pada konsentrasi sedang-tinggi, efek
penginduksi lebih dominan sehingga jumlah koloni Staphylococcus aureus
kembali meningkat.
Kandungan
fitokimia ekstrak daun lamtoro telah diidentifikasi melalui penelitian yang
dilakukan oleh (Zayed & Samling, 2016), menggunakan
daun tumbuhan lamtoro (Leucaena leucocephala) dari Malaysia. Dalam
penelitian tersebut, diketahui ekstrak daun lamtoro mengandung beberapa
fitokimia penting, antara lain: fitol, skualena, asam palmitat, methyl
14-methylpentadecanoate, methyl 15-methylhexadecanoate, methyl linolenate,
methyl linoleate, dan oxalic acid, allyl hexadecyl ester. Dari beberapa senyawa
tersebut, yang diketahui memiliki efek antibakteri adalah fitol dan skualena (Zayed & Samling, 2016). Sementara
senyawa lain yang mungkin memiliki efek penginduksi pertumbuhan koloni bakteri
masih belum diketahui, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait hal
tersebut.
Dari beberapa
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KHM dan KBM ekstrak daun lamtoro (Leucaena
leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini
tidak dapat ditentukan, sehingga ekstrak daun lamtoro dalam penelitian ini
tidak memiliki atau hanya sedikit memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus. Hal tersebut tidak selaras dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan (Retnaningsih, 2016), yang
menyatakan bahwa ekstrak daun lamtoro memiliki aktivitas antibakteri
sedang-kuat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan ketidakselarasan ini antara lain karena perbedaan lokasi dan
waktu pengambilan daun lamtoro.
Lamtoro (Leucaena
leucocephala) yang berasal dari tempat berbeda dapat memiliki senyawa
fitokimia yang berbeda pula. Fitokimia tumbuhan lamtoro yang berasal dari
Malaysia didominasi oleh senyawa fitol (Umaru & Samling, 2018), lamtoro dari
Meksiko didominasi 2(4H)-benzofuranone, 5,6,7,7a-tetrahydro-4,4,7a-trimethyl-,
(r)- (Salem et al., 2011), lamtoro dari
cina didominasi lupeol (Chen & Wang, 2010), sementara
lamtoro dari Mesir didominasi 1,2-benzenedicarboxylic acid, mono (2-ethylhexyl) ester (Zayed & Samling, 2016). Pada
penelitian ini, daun lamtoro dipetik pada bulan Agustus 2020 di dusun Turi,
desa Leminggir, Kec. Mojosari, Kab. Mojokerto, Prov. Jawa Timur, Indonesia.
Tidak efektifnya lamtoro pada penelitian ini bisa disebabkan oleh minimnya
senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak lamtoro tersebut.
Faktor lain
yang juga dapat mempengaruhi kinerja ekstrak adalah karena perbedaan metode
maserasi. Menurut (Usman, 2016), maserasi
lamtoro dengan pelarut etanol akan menghasilkan senyawa bioaktif paling tinggi
bila menggunakan etanol dengan konsentrasi 50%. Selain itu, maserasi lamtoro
yang dilakukan pada suhu 60�C dan dilakukan agitasi akan menghasilkan senyawa
bioaktif yang lebih tinggi daripada maserasi yang dilakukan pada suhu ruang
atau tanpa agitasi.
KESIMPULAN
Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala)
terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini tidak dapat
ditentukan karena kekeruhan ekstrak tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang
disebabkan oleh bakteri. Konsentrasi
Bunuh Minimum (KHM) ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala)
terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini juga tidak dapat
ditentukan karena terdapat pertumbuhan koloni pada seluruh media biakan. Ekstrak etanol daun lamtoro tidak membunuh Staphylococcus
aureus, namun masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut, paling
optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan 62,5 mg/mL.
Azrifitria, S. A. (2010). Aktivitas
antibakteri ekstrak etanolik daun dan umbi Crinum asiaticum L. terhadap bakteri
penyebab jerawat Antibacterial activity of ethanolic extract of leaves and
bulbs of Crinum asiaticum L. against acne-inducing bact.
Majalah Farmasi Indonesia, 21(2010).
Chen, C.-Y., & Wang, Y.-D. (2010). Polyprenol
from The Whole Plants of Leucaena leucocephala. Journal
of Environmental Protection, 1(1), 70.
Dalynn, B. (2014). McFarland
Standard. Canada: Dalynn Biological.
Efendi, Y. N., & Hertiani, T. (2013). Antimicrobial potency of
ant-plant extract (Myrmecodia tuberosa jack.) against Candida albicans,
Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. Majalah Obat Tradisional, 18(1),
53�58. https://doi.org/10.22146/tradmedj.7944
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., Brooks, G. F., Butel,
J. S., & Ornston, L. N. (2005). Mikrobiologi
kedokteran. Jakarta: EGC.
Katno, P. S. (2010). Tingkat
Manfaat dan Keamanan Tanaman obat dan Obat Tradisional. Balai Penelitian
Tanaman Obat Tawangmangu. Fakultas Farmasi, UGM.
Refdanita, M. R., Nurgani, A., & Endang, P. (2004). Pola kepekaan
kuman terhadap antibiotika di ruang rawat intensif Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta tahun 2001-2002. Makara, Kesehatan, 8(2),
41�48.
Retnaningsih, A. (2016). Uji Daya Hambat Daun Petai Cina (Leucaena
leucocephala folium) terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia
Coli Menggunakan Metode Difusi Agar. Jurnal Dunia Kesmas, 5(2). https://doi.org/10.33024/jdk.v5i2.465
Salem, A.-F. Z., Salem, M. Z., Gonzalez-Ronquillo, M., Camacho, L.
M., & Cipriano, M. (2011). Major
chemical constituents of Leucaena leucocephala and Salix babylonica leaf
extracts. Journal of Tropical Agriculture, 49,
95�98.
Umaru, I. J., & Samling, B. (2018). Characterisation
of the humification degree of peat soil under sago cultivation by using FTIR
and C. N Ratio, GJBAHS, 7(6).
Usman, S. K. (2016). Aktivitas
antioksidan dan antibakteri ekstrak biji lamtoro (Leucaena leucocephala).
Utami, E. R. (2011). Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas
terapi. Sainstis. https://doi.org/10.18860/sains.v0i0.1861
Widowati, A. (2016). Mengemas Pesona Herbal dalam Pembelajaran IPA
Sebagai Upaya Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan. SOSIOHUMANIORA: Jurnal
Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(1). https://doi.org/10.30738/sosio.v2i1.486
Widyantoro, O. B., & Sugihartini, N. (2015). Uji Sifat
Fisik Dan Aktivitas Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena glauca, Benth) Dalam
Berbagai Tipe Basis Salep Sebagai Obat Luka Bakar. Media
Farmasi: Jurnal Ilmu Farmasi, 12(2), 186�198.
Zayed, M. Z., & Samling, B. (2016). Phytochemical
constituents of the leaves of Leucaena leucocephala from Malaysia.
Int J Pharm Pharm Sci, 8(12), 174�179.
�
|
� 2021 by the authors. Submitted for possible
open access publication under the terms and conditions of the Creative
Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |