AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN LAMTORO (LEUCAENA LEUCOCEPHALA) TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS DENGAN METODE DILUSI

 

 

Muhammad Khafidin Al Alim1, Marijam Purwanta2, Yuani Setiawati3

Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya1, 2, 3

[email protected]1, marijam@fk.unair.ac.id 2, yuani-s@fk.unair.ac.id3

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised:

Accepted:

09-09-2021

08-02-2022

10-02-2022

Latar Belakang: Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan tumbuhan yang umum di indonesia. Tanaman ini selain bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, daunnya juga sering dipakai masyarakat indonesia sebagai obat luka atau memar. Salah satu bakteri yang umumnya terdapat dalam luka adalah Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa ekstrak daun lamtoro memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.

Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri daun lamtoro terhadap Staphylococcus aureus dengan metode dilusi.

Metode: Ekstrak kental lamtoro dibuatkan seri pengenceran pada medium cair. Bakteri uji kemudian ditambahkan dengan proporsi yang sama pada setiap tabung. Tabung dengan konsentrasi ekstrak terendah yang masih terlihat jernih ditetapkan sebagai KHM. Selanjutnya dilakukan streaking pada media biakan. Setelah inkubasi, media dengan konsentrasi terendah yang tidak didapati pertumbuhan koloni ditetapkan sebagai KBM.

Hasil: Kekeruhan yang disebabkan ekstrak tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang disebabkan bakteri, sehingga KHM tidak dapat ditentukan. Dari hasil kultur, didapatkan pertumbuhan koloni pada seluruh media biakan, sehingga KBM juga tidak dapat ditentukan. Hasil hitung koloni menghasilkan bahwa ekstrak tidak membunuh bakteri namun masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan 62,5 mg/mL.

Kesimpulan: KHM dan KBM ekstrak daun lamtoro terhadap Staphylococcus aureus pada penelitian ini tidak dapat ditentukan. Ekstrak lamtoro tidak membunuh Staphylococcus aureus, namun masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut, paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan 62,5 mg/mL

Kata kunci: daun lamtoro; antibakteri; staphylococcus

�������������������� aureus; dilusi.

 

 

 

 

Abstract

 

Background: Lamtoro (Leucaena leucocephala) is a common plant in Indonesia. Besides being able to be used as food, the leaves of this plant are also often used by Indonesian people as a medicine for wounds or bruises. One of the bacteria commonly found in wounds is Staphylococcus aureus. Therefore, researchers suspected that lamtoro leaf extract has antibacterial activity against Staphylococcus aureus.

Objective: This study conducted to test the antibacterial activity of lamtoro leaves against Staphylococcus aureus using dilution method.

Methods: The viscous extract of lamtoro leaves was made in a series of dilutions in the liquid medium. The tested bacteria were then added to the medium with the same proportion in each tube. The tube with the lowest extract concentration that was still visible was defined as MIC. Furthermore, streaking was performed on the culture media. The medium with the lowest concentration that remained clear after incubation was defined as MBC.

Results: Turbidity caused by the extract could not be distinguished from turbidity caused by bacteria, so the MIC could not be determined. The culture results showed that colony growth occurred in all culture media, so that the MBC also could not be determined. The results of the colony count showed that the extract did not kill Staphylococcus aureus, but could still inhibit the growth of these bacteria, optimally at concentrations of 125 mg/mL and 62.5 mg/mL.

Conclusion: The MIC and MBC of lamtoro leaf extract against Staphylococcus aureus in this study could not be determined. Lamtoro extract does not kill Staphylococcus aureus, but it can still inhibit the growth of these bacteria, optimally at concentrations of 125 mg/mL and 62.5 mg/mL.

Keywords: lamtoro leaves; antibacterial; staphylococcus

����������������� aureus; dilution

*Correspondence Author : Muhammad Khafidin Al Alim

Email : [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah, wilayah hutan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar ke dua di dunia setelah Brazilia. Diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropis, sekitar 1.260 spesies di antaranya berkhasiat sebagai obat dan sekitar 180 spesies telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja telah dibudidayakan secara intensif (Widowati, 2016).

Tanaman obat mampu mengobati berbagai penyakit, mulai dari penyakit ringan seperti batuk ringan hingga penyakit berat seperti kanker. Penggunaan tanaman sebagai obat memiliki kelebihan dibandingkan dengan obat kimia. Obat kimia mempunyai harga yang mahal dan penggunaannya yang terlalu sering akan menyebabkan munculnya efek samping. Sementara penggunaan obat alami dapat dilakukan dengan harga yang lebih murah juga dengan efek samping yang lebih sedikit (Katno, 2010).

Salah satu tanaman obat yang saat ini berpotensi untuk dikembangkan adalah tanaman petai cina atau lamtoro (Leucaena leucocephala). Daun lamtoro dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat luka baru dan bengkak. Penggunaan daun lamtoro di masyarakat biasanya dilakukan dengan cara dikunyah atau ditumbuk halus kemudian ditempelkan di bagian tubuh yang luka atau bengkak. Ekstrak daunnya diketahui mengandung flavonoid, saponin, dan tanin (Widyantoro & Sugihartini, 2015).

Staphylococcus aureus merupakan patogen utama bagi manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi Staphylococcus aureus sepanjang hidupnya, dengan berbagai tingkatan mulai dari keracunan makanan, infeksi kulit ringan atau luka, sampai infeksi berat yang mengancam jiwa (Jawetz et al., 2005). Seiring dengan peningkatan infeksi bakteri maka akan meningkat pula penggunaan antibiotik untuk menanganinya (Refdanita et al., 2004). Sementara itu, penggunaan antibiotik secara terus menerus dapat meningkatkan risiko munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut (Utami, 2011). Kondisi ini memaksa ilmuwan untuk mencari sumber senyawa lain sebagai agen antibakteri alternatif.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti berniat melakukan uji aktivitas antibakteri daun lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan metode dilusi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri daun lamtoro terhadap Staphylococcus aureus dengan metode dilusi.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga pada bulan Juli-Desember 2020. Penelitian ini merupakan penelitian true experimental dengan rancangan studi post test control design yang dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro dengan metode dilusi.

Persiapan Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)

Proses ekstrasi dilakukan di ULP Farmasi Kampus B Universitas Airlangga. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menggunakan etanol 70% selama 3 hari. Daun lamtoro tanpa ranting yang sudah dikeringkan diambil 100 g untuk kemudian dimaserasi sehingga menghasilkan ekstrak kental seberat 13,3 g.

Persiapan Sampel Bakteri

Sampel bakteri S. aureus yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari isolat klinis Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Biakan bakteri Staphylococcus aureus diambil dengan ose yang telah disterilkan kemudian diinokulasikan ke medium Mueller Hinton Broth. Selanjutnya campuran di vortex dan disetarakan dengan larutan standar McFarland 0,5. Setelah setara, maka konsentrasi suspensi bakteri di dalam medium adalah 1,5 x 108 CFU/ml (Dalynn, 2014). Isolat tersebut selanjutnya diinkubasi menggunakan inkubator pada suhu 37�C selama semalam.

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dengan Metode Dilusi

Peneliti mencampurkan masing-masing 1 mL larutan bakteri Staphylococcus aureus ke dalam beberapa tabung yang telah berisi ekstrak daun lamtoro dengan berbagai konsentrasi (1000 mg/mL, 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62,5 mg/mL, 31,25 mg/mL, 15,63 mg/mL, dan 7,81 mg/mL). Tabung perlakuan dibuat sebanyak 8 tabung (P1 sampai P8), dan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali replikasi. Tabung kontrol terdiri atas kontrol positif yang berisi larutan bakteri Staphylococcus aureus dan kontrol negatif yang berisi ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala).

Peneliti kemudian menginkubasi seluruh tabung pada suhu 37�C selama 24 jam. KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dapat ditentukan setelah tabung perlakuan (P1 sampai P8) dilakukan inkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam, tabung yang jernih menandakan tidak adanya pertumbuhan jumlah bakteri sementara tabung yang keruh menandakan adanya pertumbuhan jumlah bakteri. Tabung dengan konsentrasi terkecil yang masih terlihat jernih ditentukan sebagai nilai KHM (Azrifitria, 2010).

Tabung-tabung tersebut kemudian dilakukan streaking pada media Nutrient Agar Plate untuk menentukan KBM. Nilai KBM dapat ditentukan setelah seluruh media diinkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam. Media dengan konsentrasi terkecil yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi (tidak didapatkan adanya pertumbuhan bakteri) ditetapkan sebagai KBM (Efendi & Hertiani, 2013).

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil pengamatan pada tabung-tabung perlakuan setelah dilakukannya inkubasi didapatkan bahwa tabung perlakuan pertama (P1) hingga tabung perlakuan terakhir (P8) pada keempat replikasi berwarna coklat kehitaman hingga kuning keruh (Gambar 1).

 

Gambar 1. Hasil pengamatan pada tabung-tabung perlakuan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum)

 

Seluruh tabung kemudian dilakukan streaking pada media Nutrient Agar Plate untuk menentukan KBM. Nilai KBM dapat ditentukan setelah media biakan diinkubasi pada suhu 37�C selama 24 jam, yakni konsentrasi terendah yang tidak didapatkan pertumbuhan koloni bakteri. Dari hasil uji, didapatkan bahwa pertumbuhan koloni bakteri terjadi pada seluruh media biakan yang bisa dilihat di tabel 1.

Dari hasil uji KHM pada gambar 1, didapatkan bahwa tabung P1 hingga P8 pada keempat replikasi berwarna coklat kehitaman hingga kuning keruh. Sifat keruh dari ekstrak tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan jumlah bakteri, sehingga KHM (Kadar Hambat Minimum) dalam penelitian ini tidak dapat ditentukan.

 

Tabel 1. Hasil Pengamatan pada Media Biakan untuk Menentukan KBM

Replikasi

Konsentrasi Tabung Perlakuan

Kontrol

P1 (1000 mg/ml)

P2 (500 mg/ml)

P3 (250 mg/ml)

P4 (125 mg/ml)

P5 (62,5 mg/ml)

P6 (31,25 mg/ml)

P7 (15,63 mg/ml)

P8 (7,81 mg/ml)

K+

K-

1

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

2

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

3

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

4

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

Keterangan tabel:

+ : didapatkan pertumbuhan koloni bakteri

-    : tidak didapatkan pertumbuhan koloni bakteri

 

Hasil tersebut menandakan bahwa ekstrak daun lamtoro tidak membunuh bakteri Staphylococcus aureus. Sehingga langkah selanjutnya, dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada masing-masing media pada tabel 2. Penghitungan ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya efek ekstrak terhadap Staphylococcus aureus. Rata-rata dari hasil hitung koloni tersebut kemudian disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 2.

 

Tabel 2. Hasil Hitung Koloni

Replikasi

P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

P8

K+

K-

1

265

246

270

98

91

240

>300

>300

>300

0

2

261

281

214

96

66

261

>300

>300

>300

0

3

269

224

194

104

90

228

>300

>300

>300

0

4

255

262

207

78

101

269

>300

>300

>300

0

Rata-rata

262,50

253,25

221,25

94

87

259,5

>300

>300

>300

0

 

Dari hasil uji KBM pada tabel 1, didapatkan bahwa pertumbuhan koloni bakteri terjadi pada semua media biakan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun lamtoro pada penelitian ini tidak dapat membunuh bakteri Staphylococcus aureus, sehingga KBM (Kadar Bunuh Minimum) pada penelitian ini juga tidak dapat dapat ditentukan.

 

Gambar 2. Grafik Hasil Hitung Koloni

 

Untuk memastikan ada tidaknya efek ekstrak lamtoro pada bakteri Staphylococcus aureus, maka dilakukan hitung koloni. Hasil hitung koloni disajikan dalam tabel 2 dan dikonversikan ke dalam grafik pada gambar 2. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa efek ekstrak lamtoro terhadap Staphylococcus aureus memang tidak bersifat membunuh (bakterolitik), namun masih memiliki efek menghambat (bakteriostatik). Efek penghambatan terlihat dari adanya jumlah koloni yang lebih kecil dari jumlah koloni pada kontrol positif (K+), yang memiliki nilai hitung koloni lebih dari 300. Penghambatan terjadi pada tabung P1 hingga P6 dengan daya hambat paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL (P4) dan 62,5 mg/mL (P5).

Hasil tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Pada umumnya, jumlah koloni berbanding terbalik dengan konsentrasi ekstrak, semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka jumlah koloni akan semakin menurun. Namun penelitian ini memberikan hasil yang berbeda, dimulai dari ekstrak dengan konsentrasi 125 mg/mL (P4) hingga konsentrasi tertinggi (P1), yang terjadi justru sebaliknya, yakni terjadi peningkatan jumlah koloni seiring dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa yang bersifat menginduksi pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus, selain senyawa penghambat pertumbuhan koloni bakteri tersebut, di dalam ekstrak daun lamtoro. Pada konsentrasi rendah-sedang, efek penghambatan lebih dominan sehingga terjadi penurunan jumlah koloni, namun pada konsentrasi sedang-tinggi, efek penginduksi lebih dominan sehingga jumlah koloni Staphylococcus aureus kembali meningkat.

Kandungan fitokimia ekstrak daun lamtoro telah diidentifikasi melalui penelitian yang dilakukan oleh (Zayed & Samling, 2016), menggunakan daun tumbuhan lamtoro (Leucaena leucocephala) dari Malaysia. Dalam penelitian tersebut, diketahui ekstrak daun lamtoro mengandung beberapa fitokimia penting, antara lain: fitol, skualena, asam palmitat, methyl 14-methylpentadecanoate, methyl 15-methylhexadecanoate, methyl linolenate, methyl linoleate, dan oxalic acid, allyl hexadecyl ester. Dari beberapa senyawa tersebut, yang diketahui memiliki efek antibakteri adalah fitol dan skualena (Zayed & Samling, 2016). Sementara senyawa lain yang mungkin memiliki efek penginduksi pertumbuhan koloni bakteri masih belum diketahui, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KHM dan KBM ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini tidak dapat ditentukan, sehingga ekstrak daun lamtoro dalam penelitian ini tidak memiliki atau hanya sedikit memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. Hal tersebut tidak selaras dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan (Retnaningsih, 2016), yang menyatakan bahwa ekstrak daun lamtoro memiliki aktivitas antibakteri sedang-kuat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakselarasan ini antara lain karena perbedaan lokasi dan waktu pengambilan daun lamtoro.

Lamtoro (Leucaena leucocephala) yang berasal dari tempat berbeda dapat memiliki senyawa fitokimia yang berbeda pula. Fitokimia tumbuhan lamtoro yang berasal dari Malaysia didominasi oleh senyawa fitol (Umaru & Samling, 2018), lamtoro dari Meksiko didominasi 2(4H)-benzofuranone, 5,6,7,7a-tetrahydro-4,4,7a-trimethyl-, (r)- (Salem et al., 2011), lamtoro dari cina didominasi lupeol (Chen & Wang, 2010), sementara lamtoro dari Mesir didominasi 1,2-benzenedicarboxylic acid, mono (2-ethylhexyl) ester (Zayed & Samling, 2016). Pada penelitian ini, daun lamtoro dipetik pada bulan Agustus 2020 di dusun Turi, desa Leminggir, Kec. Mojosari, Kab. Mojokerto, Prov. Jawa Timur, Indonesia. Tidak efektifnya lamtoro pada penelitian ini bisa disebabkan oleh minimnya senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak lamtoro tersebut.

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi kinerja ekstrak adalah karena perbedaan metode maserasi. Menurut (Usman, 2016), maserasi lamtoro dengan pelarut etanol akan menghasilkan senyawa bioaktif paling tinggi bila menggunakan etanol dengan konsentrasi 50%. Selain itu, maserasi lamtoro yang dilakukan pada suhu 60�C dan dilakukan agitasi akan menghasilkan senyawa bioaktif yang lebih tinggi daripada maserasi yang dilakukan pada suhu ruang atau tanpa agitasi.

 

 

KESIMPULAN

 

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini tidak dapat ditentukan karena kekeruhan ekstrak tidak dapat dibedakan dengan kekeruhan yang disebabkan oleh bakteri. Konsentrasi Bunuh Minimum (KHM) ekstrak daun lamtoro (Leucaena leucocephala) terhadap Staphylococcus aureus dalam penelitian ini juga tidak dapat ditentukan karena terdapat pertumbuhan koloni pada seluruh media biakan. Ekstrak etanol daun lamtoro tidak membunuh Staphylococcus aureus, namun masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut, paling optimal pada konsentrasi 125 mg/mL dan 62,5 mg/mL.

 

 

BIBLIOGRAFI

Azrifitria, S. A. (2010). Aktivitas antibakteri ekstrak etanolik daun dan umbi Crinum asiaticum L. terhadap bakteri penyebab jerawat Antibacterial activity of ethanolic extract of leaves and bulbs of Crinum asiaticum L. against acne-inducing bact. Majalah Farmasi Indonesia, 21(2010).

Chen, C.-Y., & Wang, Y.-D. (2010). Polyprenol from The Whole Plants of Leucaena leucocephala. Journal of Environmental Protection, 1(1), 70.

Dalynn, B. (2014). McFarland Standard. Canada: Dalynn Biological.

Efendi, Y. N., & Hertiani, T. (2013). Antimicrobial potency of ant-plant extract (Myrmecodia tuberosa jack.) against Candida albicans, Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. Majalah Obat Tradisional, 18(1), 53�58. https://doi.org/10.22146/tradmedj.7944

Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., Brooks, G. F., Butel, J. S., & Ornston, L. N. (2005). Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC.

Katno, P. S. (2010). Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman obat dan Obat Tradisional. Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Fakultas Farmasi, UGM.

Refdanita, M. R., Nurgani, A., & Endang, P. (2004). Pola kepekaan kuman terhadap antibiotika di ruang rawat intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara, Kesehatan, 8(2), 41�48.

Retnaningsih, A. (2016). Uji Daya Hambat Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala folium) terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia Coli Menggunakan Metode Difusi Agar. Jurnal Dunia Kesmas, 5(2). https://doi.org/10.33024/jdk.v5i2.465

Salem, A.-F. Z., Salem, M. Z., Gonzalez-Ronquillo, M., Camacho, L. M., & Cipriano, M. (2011). Major chemical constituents of Leucaena leucocephala and Salix babylonica leaf extracts. Journal of Tropical Agriculture, 49, 95�98.

Umaru, I. J., & Samling, B. (2018). Characterisation of the humification degree of peat soil under sago cultivation by using FTIR and C. N Ratio, GJBAHS, 7(6).

Usman, S. K. (2016). Aktivitas antioksidan dan antibakteri ekstrak biji lamtoro (Leucaena leucocephala).

Utami, E. R. (2011). Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi. Sainstis. https://doi.org/10.18860/sains.v0i0.1861

Widowati, A. (2016). Mengemas Pesona Herbal dalam Pembelajaran IPA Sebagai Upaya Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan. SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(1). https://doi.org/10.30738/sosio.v2i1.486

Widyantoro, O. B., & Sugihartini, N. (2015). Uji Sifat Fisik Dan Aktivitas Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena glauca, Benth) Dalam Berbagai Tipe Basis Salep Sebagai Obat Luka Bakar. Media Farmasi: Jurnal Ilmu Farmasi, 12(2), 186�198.

Zayed, M. Z., & Samling, B. (2016). Phytochemical constituents of the leaves of Leucaena leucocephala from Malaysia. Int J Pharm Pharm Sci, 8(12), 174�179.

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).