Eko Digdoprihasto Tjahjo1, Kienan Agni
dewanty2, Talita Nandia Primarintan3
Puskesmas Blimbing Gudo Jombang 1, 2, 3
[email protected]1,
[email protected]2, [email protected]3
|
Abstrak |
|
Received: Revised� : Accepted: |
01-09-2021 08-02-2022 10-02-2022 |
Latar Belakang: Stunting adalah penyakit kronis
yang menggambarkan pengerdilan karena kekurangan gizi kronis, yang
ditunjukkan dengan z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2
SD. Masalah keterlambatan perkembangan semakin parah karena terutama terjadi
pada bayi dan anak kecil. Prevalensi stunting cukup tinggi di Indonesia yaitu
37,2%, Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang 16,43%, dan Bantur 18,03%. Tujuan: �Riset
ini bertujuan Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor-faktor yang
menyebabkan stunting pada balita di Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang. Metode: Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Teknik sampel dengan non
porbability sampling dengan jenis porposive
sampling sebanyak 61 balita. Populasi dan sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh keluarga yang memiliki balita usia 0 bulan � 24 bulan di Desa
Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang. Dengan analisis data bivariat dan
univariat. Hasil: �Hasil dari
penelitian ini ibu yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan lebih banyak
dibanding ibu yang bekerja dan berpenghasilan. Balita yang mengalami stunting
dan memiliki usia 24 bulan sebanyak 21 orang dan yang berusia > 24 bulan
hanya 1 orang. Mayoritas balita yang mengalami stunting memiliki berat badan
lahir normal sebanyak 20 orang dan yang memiliki berat badan lahir hanya 2
orang. Kesimpulan: Mayoritas balita yang mengalami
stunting memiliki berat badan lahir normal sebanyak 20 orang dan yang
memiliki berat badan lahir hanya 2 orang. Dengan uji chi-square diperoleh
nilai p value = 0.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan MPASI
lengkap. Kata
kunci: stunting; balita; faktor penyebab. |
|
|
|
|
Abstract
|
|
|
Background:
Stunting is a chronic disease that describes stunting due to chronic
malnutrition, which is indicated by a z-score for height for age (TB/U) less
than -2 SD. The problem of developmental delays is getting worse because it
mainly occurs in infants and young children. The prevalence of stunting is
quite high in Indonesia, namely 37.2%, in the villages of Sepanyul, Blimbing
Gudo, Jombang 16.43%, and Bantur 18.03%. Objective: This
research aims to determine the frequency distribution of factors that cause
stunting in children under five in the village of Sepanyul, Blimbing Gudo,
Jombang. Methods: This
study used a descriptive method with a retrospective approach. The sampling
technique used was non-porbability sampling with the type of porposive
sampling as many as 61 toddlers. The population and sample in this study were
all families with toddlers aged 0 months � 24 months in the village of
Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang. By analyzing bivariate and univariate data. Results: The
results of this study are mothers who do not work and do not earn more than
mothers who work and earn. There were 21 toddlers who were stunted and had
the age of 24 months and only 1 person aged > 24 months. The majority of
toddlers who experience stunting have a normal birth weight of 20 people and
only 2 people who have a birth weight. Conclusion: The
majority of toddlers who experience stunting have a normal birth weight of 20
people and only 2 people who have a birth weight have a birth weight. With
the chi-square test, the p value = 0.000, so it can be concluded that there
is a statistically significant relationship between stunting and complete
complementary feeding. Keywords: stunting; toddler; causative factor. |
*Correspondence Author: Eko Digdoprihasto Tjahjo
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Keadaan anak dengan gizi baik
merupakan fondasi penting bagi kesehatan di masa depan, khususnya pada masa
1000 hari pertama kehidupan. Ketika seorang anak mengalami gangguan kesehatan,
pertumbuhan dapat terganggu secara akut atau kronis, ringan, sedang, atau berat
(Silfia,
2021). Indikator utama
kesejahteraan anak yaitu pertumbuhan linier dimana jika tidak sesuai umur maka
dapat merefleksikan keadaan gizi kurang dalam jangka waktu yang lama dan akan
mengakibatkan stunting pada anak di kemudian hari �(Tridjaja & Pateda, 2018).
Stunting
merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal kehidupan setelah bayi lahir
(1000 hari pertama kehidupan) (Djauhari,
2017). Akan tetapi, kondisi
stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun karena efek kumulatif dari
kemiskinan yang berkepanjangan, status gizi buruk baik ibu dan balita, serta
infeksi berulang terutama usia bayi-balita. Dampaknya bisa untuk perseorangan
maupun masyarakat, oleh karena itu dalam Sustainable Development Goals stunting
ditargetkan berkurang sebanyak 40% pada tahun 2010-2025 hari �(Tridjaja
& Pateda, 2018).
Ketepatan
dalam pengukuran merupakan kunci untuk menghitung indikator antropometrik
seperti stunting, wasting dan kekurangan berat badan pada anak-anak. Hal ini
menjadi sangat penting untuk pemantauan kemajuan dalam pemberantasan kelaparan,
mengurangi ketidaksetaraaan kesehatan dan menilai intervensi kesehatan.
Pemeriksaan laboratorium tidak digunakan untuk menentukan adanya gagal tumbuh
pada anak, melainkan sebagai evaluasi kemungkinan gagal tumbuh (Unicef
& Organization, 2017).
Balita pendek (stunted) dan
sangat pendek (severly stunted) adalah balita dengan Panjang badan (PB/U) atau
tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya
kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely
stunted) (TNP2K, 2017).
Ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan stunting yaitu kondisi dari asupan kalori inadekuat, gangguan
absorbsi dan peningkatan kebutuhan kalori. Faktor-faktor tersebut meningkat
selama 2 tahun pertama kehidupan karena kebutuhan kalori yang maximal. Di
seluruh dunia kemiskinan menjadi faktor risiko tunggal terbesar penyebab
stunting (Tridjaja & Pateda, 2018). Bayi dengan BBLR juga menjadi faktor penyebab stunting
akibat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang
dilahirkan normal, dan intake ASI yang sering gagal (Soetjiningsih, 2013). Faktor lain seperti genetic diduga sebagai penyebab karena
dianggap memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga
memperbesar peluang anak untuk mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi
stunting (Husna,
Santoso, & Tyastuti,
2017).
Pemberian ASI merupakan salah
satu langkah terbaik untuk mencukupi gizi pada anak, karena ASI dapat memenuhi
gizi anak selama 6 bulan awal setelah kelahiran tanpa pemberian makanan lain
dalam bentuk apapun. ASI memiliki keunggulan yang tidak dapat dibandingkan
dengan susu formula apapun. Namun saat anak memulai usia 6 bulan keatas maka di
butuhkan makanan pendamping ASI, karena ASI hanya memenuhi kebutuhan sekitar
60-70% (Kemenkes, 2010).
Makanan pendamping ASI (MPASI)
merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga yang diberikan pada
anak usia mulai dari 6-24 bulan yang bertujuan untuk memenuhi gizi yang
diperlukan bayi demi mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. MPASI
yang baik adalah makanan yang mengandung sejumlah kalori atau energi
(karbohidrat, protein, dan lemak), vitamin, mineral dan serat. Makanan harus
bersih dan aman, terhindar dari pencemaran mikroorganisme dan logam, serta
tidak kadaluarsa (Kemenkes, 2011).
Indonesia masih menjadi negara
dengan angka stunting yang masih tinggi dan hal ini diperkirakan sebagai
penyebab kematian 14%-17% balita di dunia tahun 2011. Menurut data riset
Kesehatan dasar pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi pendek pada balita sebesar
37,2%, sedangkan pada tahun 2018 turun menjadi 30,8%. Pada wilayah Kabupaten
Jombang prevalensi stunting masih sebanyak 29,4% pada tahun 2018 dimana hal ini
masih lebih rendah di banding dengan angka nasional (Jombang, 2014).�
Stunting adalah suatu kondisi
kekurangan gizi kronis yang terjadi pada saat periode kritis dari proses tumbuh
dan kembang mulai janin. Untuk Indonesia, saat ini diperkirakan ada 37,2% dari
anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak dengan kondisi stunting, yang
berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun. Stunting didefinisikan sebagai kondisi
anak usia 0-59 bulan, dimana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2
Standar Deviasi (<-2SD) dari standar median WHO. Lebih lanjut dikatakan
bahwa stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang
terganggu, dimana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif.
Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan
hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan lebih baik (Pusdatin
Kemenkes, 2018).
Kejadian balita pendek atau
biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami
oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita
stunting yang dikumpulkan (Organization, 2017), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (RI, 2019).
Proses pertumbuhan dan perkembangan
manusia, yang memakan waktu hampir 20 tahun adalah fenomena yang kompleks.
Proses pertumbuhan di bawah kendali genetik dan pengaruh lingkungan, yang
beroperasi sedemikian rupa sehingga, pada waktu tertentu selama periode
pertumbuhan, satu atau yang lain mungkin merupakan pengaruh dominan. Pada masa
konsepsi, terdapat blueprint (cetak biru) genetik yang mencakup potensi untuk
mencapai ukuran dan bentuk dewasa tertentu. Lingkungan mengubah potensi ini.
Ketika lingkungan netral, tidak memberikan pengaruh negatif pada proses
pertumbuhan, potensi genetik dapat sepenuhnya diwujudkan. Namun demikian
kemampuan pengaruh lingkungan untuk mengubah potensi genetik tergantung pada
banyak faktor, termasuk waktu di mana mereka terjadi; kekuatan, durasi, frekuensi
kemunculannya; dan usia serta jenis kelamin anak (Millenia,
2021).
Adanya pengaruh genetik terhadap
kejadian stunting sudah dibuktikan oleh banyak penelitian. Salah satunya
penelitian tahun 2011 menyimpulkan bahwa tinggi badan anak perempuan
dipengaruhi oleh tinggi badan ayah.7 Selain itu sebuah metaanalisis juga menyimpulkan
bahwa tinggi badan orangtua berhubungan dengan tinggi badan ayahnya (Candra, 2020).
Perawakan pendek yang disebabkan
karena genetik dikenal sebagai familial short stature (perawakan pendek
familial). Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan
kunci untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat
lahir namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi
anak dan midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia
remaja. Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada
di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi
badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil
3 (Candra, 2020).
Perawakan pendek patologis
dibedakan menjadi proporsional dan tidak proporsional. Perawakan pendek
proporsional meliputi malnutrisi, penyakit infeksi/kronik dan kelainan endokrin
seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi
hormon pertumbuhan dan defisiensi IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional
disebabkan oleh kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang,
Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan
sindrom Klinefelter (Candra, 2020).
Kabupaten Jombang merupakan
salah satu wilayah dengan angka kejadian kasus stunting yang masih tinggi. Pada
tahun 2018 dari data sebaran kasus balita dengan gizi buruk masih terdapat
puskesmas dengan pasien balita gizi buruk, salah satunya pada Puskesmas Blimbing
Gudo. Kasus balita stunting yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Blimbing
Gudo tahun 2020 tertinggi yaitu pada Desa Sepanyul . Oleh karena angka
terjadinya kasus stunting (Jombang, 2014) pada balita yang masih tinggi maka kami melakukan
penelitian dengan judul Faktor-faktor yang menyebabkan stunting pada balita di
Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang.
Penelitian
ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada balita di Desa
Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan
merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional (Levin, 2006). Penelitian ini
menggunakan data primer dari kuesioner pasien�
dan data sekunder yaitu keluarga yang memiliki balita usia 0 bulan � 24
bulan di Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang. Tujuan dari desain penelitian
cross sectional adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting di Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang.
Penelitian
ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2021 di Desa Sepanyul, Blimbing
Gudo, Jombang. Populasi dan sampel ���� dalam penelitian ini adalah seluruh
keluarga yang memiliki balita usia 0 bulan � 24 bulan di Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang sebanyak 61 balita.
Besar sampel
minimal dihitung dengan rumus deskriptif observasional:
n��������� :��� Jumlah sampel minimal yang diperlukan
d��������� :���
Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan
N�������� :���
Populasi dalam penelitian (Jumlah balita usia 0� 24 bulan di����
���� Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang)
Berdasarkan
perhitungan rumus di atas diperoleh jumlah unit sampel minimal sebanyak 61
balita. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode simple random sampling. Data primer didapatkan melalui kuesioner tentang faktor
risiko stunting dan kejadian stunting. Kuesioner faktor risiko stunting terdiri
dari faktor ibu, faktor ayah, faktor anak, dan faktor lingkungan, sedangkan
untuk kejadian stunting berdasarkan kuesioner Riskesdas 2013 blok X kolom K.02. Cara
pengambilan data menggunawan wawancara dan pengolahan
dan analisis data dilakukan dengan cara analisis univariat.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Distribusi Frekuensi Kejadian Stunting pada balita
Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Kejadian Stunting pada balita (n = 63)
Kejadian
Stunting |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Stunting |
41 |
34.9 |
Normal |
22 |
65.1 |
Total |
63 |
100.0 |
Berdasarkan tabel 1 data tentang distribusi kejadian
stunting pada balita di Desa
Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang disajikan dalam Tabel 1 Subjek dibagi menjadi
dua kelompok yaitu stunting dan normal. Dari 63 subjek, 41 subjek (65.1%)
berada dalam kelompok stunting dan 21 subjek (34.9%) termasuk dalam kelompok
normal.
Faktor � Faktor pada Balita yang Mempengaruhi Kejadian
Stunting
Tabel 2. Distribusi Frekuensi
Usia Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n=63)
Usia |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
≤ 24 bulan |
60 |
95.2 |
> 24 bulan |
3 |
4.8 |
Total |
63 |
100.0 |
Berdasarkan tabel 2 data tentang distribusi frekuensi usia balita yang mengalami
kejadian stunting di Desa Sepanyul,
Blimbing Gudo, Jombang disajikan dalam Tabel 2 subjek dibagi menjadi dua
kelompok yaitu ≤ 24 bulan dan > 24 bulan. Dari 63 subjek, 60 subjek
(95.2%) berada dalam kelompok usia ≤ 24 bulan dan 3 subjek (4.8%)
termasuk dalam kelompok usia > 24 bulan.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi
Jenis Kelamin Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n = 63)
Jenis
Kelamin |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Laki - laki |
25 |
39.7 |
Perempuan |
38 |
60.3 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 3 disajikan data tentang jenis kelamin balita yang mengalami kejadian
stunting di Desa Sepanyul, Blimbing
Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak bahwa 38 subjek (60.3%) tergolong jenis kelamin
perempuan dan 25 subjek (39.7%) tergolong laki � laki.
Tabel 4.
Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Balita yang Mengalami Kejadian Stunting
(n = 63)
Berat
Badan Lahir |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Rendah |
4 |
6.3 |
Normal |
59 |
93.7 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 4. disajikan data tentang berat badan lahir balita yang mengalami
kejadian stunting di Desa Sepanyul,
Blimbing Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak bahwa 59 subjek (59%) tergolong
berat badan lahir normal dan 4 subjek (6.3%) tergolong berat badan lahir
rendah.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Panjang Badan Lahir Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n = 63)
Panjang
Badan Lahir |
Jumlah
(n) |
Presentase (%) |
Pendek |
5 |
7.9 |
Normal |
58 |
92.1 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 5 disajikan data tentang panjang badan lahir balita yang mengalami
kejadian stunting di Desa Sepanyul,
Blimbing Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak bahwa 58 subjek (92.1%)
tergolong panjang badan lahir normal dan 5 subjek (7.9%) tergolong panjang
badan lahir pendek.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi
ASI Eksklusif Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n = 63)
ASI
Eksklusif |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Tidak |
15 |
23.8 |
Ya |
48 |
76.2 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 6 disajikan data tentang ASI eksklusif�
balita yang mengalami kejadian stunting di Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak
bahwa 48 subjek (76.2%) tergolong menjalani ASI eksklusif dan 15 subjek (23.8%)
tergolong tidak menjalani ASI eksklusif.
Tabel 7. Distribusi Frekuensi
Riwayat Penyakit pada Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n = 63)
Riwayat
Penyakit |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Tidak Ada |
56 |
88.9 |
Ada |
7 |
11.1 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 7 disajikan data tentang riwayat penyakit pada balita yang mengalami
kejadian stunting di Desa Sepanyul,
Blimbing Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak bahwa 56 subjek (88.9%) tidak
memiliki riwayat penyakit dan 7 subjek (11.1%) tergolong memiliki riwayat
penyakit.
Tabel 8. Distribusi Frekuensi
MPASI Lengkap pada Balita yang Mengalami Kejadian Stunting (n = 63)
MPASI
Lengkap |
Jumlah
(n) |
Presentase
(%) |
Ya |
24 |
38.1 |
Tidak |
39 |
61.9 |
Total |
63 |
100.0 |
Pada
tabel 8 disajikan data tentang MPASI lengkap pada balita yang mengalami
kejadian stunting di Desa Sepanyul,
Blimbing Gudo, Jombang. Dari 63 subjek, tampak bahwa 39 subjek (61.9%) mengakui
MPASI tidak lengkap dan 24 subjek (38.1%) tergolong mengakui MPASI lengkap.
Faktor � Faktor Ibu yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Tabel 9. Distribusi Tinggi Badan
Ibu yang Mempengaruhi Kejadian Stunting (n=63)
Tinggi Badan |
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
Pendek |
0 |
0 |
Normal |
63 |
100 |
Total |
63 |
100 |
Tabel 9 menunjukkan distribusi frekuensi tinggi badan ibu.
Semua ibu (100%) memiliki tinggi badan normal.
Tabel 10. Distribusi Usia Ibu
yang Mempengaruhi Kejadian Stunting (n = 63)
Usia
Ibu |
Jumlah
(n) |
Persentase
(%) |
< 25 dan > 35 tahun |
27 |
42,9 |
25-35 tahun |
36 |
57,1 |
Total |
63 |
100 |
Tabel
10.
menunjukkan distribusi frekuensi usia ibu. Ibu yang berusia 25-35 tahun lebih
banyak (57,1%) dibanding ibu yang berusia < 25 tahun dan > 35 tahun
(42,9%).
Tabel 11. Distribusi Pekerjaan Ibu yang Mempengaruhi Kejadian
Stunting (n=63)
Pekerjaan
Ibu |
Jumlah
(n) |
Persentase
(%) |
Tidak bekerja |
56 |
88,9 |
Bekerja |
7 |
11,1 |
Total |
63 |
100 |
Tabel 11 menunjukkan distribusi pekerjaan ibu. Ibu yang
tidak bekerja dan tidak berpenghasilan lebih banyak (88,9%) dibanding ibu yang
bekerja dan berpenghasilan (11,1%).
Tabel 12. Distribusi Pendidikan Ibu yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting (n = 63)
Pendidikan
Ibu |
Jumlah
(n) |
Persentase
(%) |
SMP ke bawah |
33 |
52,4 |
SMA ke atas |
30 |
47,6 |
Total |
63 |
100 |
Tabel 12 menunjukkan distribusi pendidikan ibu. Ibu yang
memiliki pendidikan sampai tingkat SMP lebih banyak (52,4%) dibanding ibu yang
memiliki pendidikan tingkat SMA dan seterusnya (47,6%).
Faktor � Faktor Ayah yang Mempengaruhi Kejadian Stunting di
Desa Sepanyul, Blimbing Gudo, Jombang
Tabel 13. Distribusi Tinggi Badan
Ayah yang Mempengaruhi
Kejadian
Stunting (n=63)
Tinggi
Badan Ayah |
Jumlah
(n) |
Persentase
(%) |
Pendek |
0 |
0 |
Normal |
63 |
100 |
Total |
63 |
100 |
Tabel 13 menunjukkan distribusi frekuensi tinggi badan ayah.
Semua ayah (100%) memiliki tinggi badan normal.
Tabel 14. Distribusi Pekerjaan Ayah yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting (n=63)
Pekerjaan
Ayah |
Jumlah
(n) |
Persentase
(%) |
Tidak bekerja |
0 |
0 |
Bekerja |
63 |
100 |
Total |
63 |
100 |
Tabel
14 menunjukkan distribusi pekerjaan ayah. Semua ayah (100%) memiliki pekerjaan
atau berpenghasilan.
Tabel 15. Distribusi Pendidikan
Ayah yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting (n =
63)
Pendidikan Ayah |
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
SMP ke
bawah |
33 |
52,4 |
SMA ke
atas |
30 |
47,6 |
Total |
63 |
100 |
Tabel 15 menunjukkan
distribusi pendidikan ayah. Ayah yang memiliki pendidikan sampai SMA dan
seterusnya (66,7%) dibanding ibu yang memiliki pendidikan sampai tingkat SMP
(33,3%).
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Tabel 16 Distribusi Jumlah Anggota Keluarga yang
Mempengaruhi
Kejadian Stunting (n = 63)
Anggota Keluarga |
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
> 4
orang |
0 |
0 |
≤
4 orang |
63 |
100 |
Total |
63 |
100 |
Tabel
16 menunjukkan distribusi frekuensi jumlah anggota keluarga. Semua bayi (100%)
memiliki jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 4 orang.
Analisis Bivariat
Hubungan Kejadian Stunting dengan Usia Balita
Tabel 17. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Usia Balita (n = 63)
Usia |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
≤ 24 bulan |
21 |
39 |
0.953 |
> 24 bulan |
1 |
2 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 17 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan usia
balita. Balita yang mengalami stunting dan memiliki usia ≤ 24 bulan
sebanyak 21 orang (95.5%) dan yang berusia > 24 bulan hanya 1 orang (4.5%).
Sama halnya, Balita yang tidak mengalami stunting juga mayoritas berusia
≤ 24 bulan yaitu sebanyak 39 orang (95.1%) dan hanya 2 orang (4.9%) yang
berusia > 24 bulan. Dengan uji chi-square
diperoleh nilai p value = 0.953 sehingga dapat disimpulkan
bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05)
antara kejadian stunting dengan usia balita.
Hubungan Kejadian Stunting dengan Jenis Kelamin
Tabel 18. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Jenis Kelamin (n = 63)
Jenis Kelamin |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Laki-laki |
9 |
16 |
0.884 |
Perempuan |
13 |
25 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
18 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan jenis kelamin. Mayoritas
balita yang mengalami stunting adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 13
orang (59.1%), sedangkan balita yang berjenis kelamin laki-laki hanya 9 orang
(40.9%). Sama halnya, balita yang tidak mengalami stunting mayoritas berjenis
kelamin perempuan sebanyak 25 orang (61.0%), sedangkan balita yang berjenis
kelamin laki-laki hanya 16 orang (39.0%). Dengan uji chi-square diperoleh nilai p
value = 0.884 sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan (p
> 0.05) antara kejadian stunting dengan jenis kelamin.
Hubungan Kejadian Stunting dengan Berat Badan Lahir
Tabel 19. Hubungan Kejadian Stunting
dengan Berat Badan Lahir
(n = 63)
Berat Badan Lahir |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Rendah |
2 |
2 |
0.513 |
Normal |
20 |
39 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 19 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan berat
badan lahir. Mayoritas balita yang mengalami stunting memiliki berat badan
lahir normal sebanyak 20 orang (90.9%) dan yang memiliki berat badan lahir
hanya 2 orang (9.1%). Sama halnya, balita yang tidak mengalami stunting juga
mayoritas yang memiliki berat badan lahir normal yaitu sebanyak 39 orang
(95.1%) dan sedikit memiliki berat badan lahir rendah yaitu 2 orang (4.9%).
Dengan uji chi-square diperoleh nilai p value
= 0.513 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara kejadian stunting dengan jenis
kelamin.
Hubungan Kejadian Stunting dengan Panjang Badan Lahir
Tabel 20. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Panjang Badan Lahir (n = 63)
Panjang
Badan Lahir |
Stunting |
Tidak
Stunting |
p
value |
Pendek |
3 |
2 |
0.220 |
Normal |
19 |
39 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 20 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan panjang badan
lahir. Tabel tersebut menunjukan bahwa hanya sedikit yang mengalami stunting
dengan panjang badan lahir kategori pendek yaitu 3 balita (13.6%) dan mayoritas
mengalami stunting memiliki panjang badan lahir normal sebanyak 19 balita
(86.4%). Sama halnya, balita yang tidak mengalami stunting juga hanya sedikit
yang memiliki panjang badan lahir kategori pendek yaitu sebanyak 2 balita
(4.9%) dan mayoritas memiliki panjang badan lahir normal yaitu 39 balita
(95.1%). Dengan uji chi-square diperoleh
nilai p value = 0.220 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara kejadian stunting
dengan jenis kelamin.
Hubungan Kejadian Stunting dengan ASI Eksklusif
Tabel 21. Hubungan Kejadian
Stunting dengan ASI Eksklusif (n = 63)������ ��������
ASI
Eksklusif |
Stunting |
Tidak
Stunting |
p
value |
Tidak |
12 |
3 |
0.000 |
Ya |
10 |
38 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 21 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan ASI
eksklusif. Tabel tersebut menunjukan bahwa mayoritas balita yang mengalami
stunting adalah yang tidak diberikan ASI eksklusif yaitu 12 orang (54.5%) dan
yang mengalami stunting dengan diberikan ASI eksklusif sebanyak 10 orang
(45.5%). Pada balita yang tidak mengalami stunting lebih sedikit pada balita
yang tidak diberikan asi eksklusif yaitu 3 orang (7.3%) dan lebih banyak
diberikan ASI eksklusif yaitu 38 orang (92.7%). Dengan uji chi-square diperoleh nilai p
value = 0.000 sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan (p <
0.05) antara kejadian stunting dengan ASI eksklusif.
Hubungan Kejadian Stunting dengan Riwayat Penyakit
Tabel 22. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Riwayat Penyakit (n = 63)
Riwayat
Penyakit |
Stunting |
Tidak
Stunting |
p
value |
Tidak Ada |
17 |
39 |
0.032 |
Ada |
5 |
2 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 22 menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan riwayat
penyakit. Tabel tersebut menunjukan bahwa mayoritas balita yang mengalami
stunting tidak memiliki riwayat penyakit sebanyak 17 orang (77.3%) dan yang
memiliki riwayat penyakit hanya 5 orang (22.7%). Balita yang tidak mengalami
stunting mayoritas tidak memiliki riwayat penyakit sebanyak 39 orang (95.1%)
dan yang memiliki riwayat penyakit hanya 2 orang (4.9%). Dengan uji chi-square diperoleh nilai p value
= 0.032 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik terdapat hubungan
yang signifikan (p < 0.05) antara kejadian stunting dengan riwayat penyakit.
Hubungan Kejadian Stunting dengan MPASI Lengkap
Tabel 23.
Hubungan Kejadian Stunting dengan MPASI Lengkap (n = 63)
MPASI Lengkap |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Ya |
0 |
24 |
0.000 |
Tidak |
22 |
17 |
|
Total |
22 |
41 |
|
�����������
Tabel
23
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan MPASI lengkap. Tabel tersebut
menunjukan bahwa tidak ada balita yang mengalami stunting yang diberikan MPASI
dan semua balita yang mengalami stunting tidak diberikan MPASI yaitu 22 orang
(100%). Pada balita yang tidak mengalami stunting, mayoritas diberikan MPASI
sebanyak 24 orang (58.5%) dan yang tidak diberikan MPASI hanya 17 orang
(41.5%). Dengan uji chi-square diperoleh
nilai p value = 0.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
terdapat hubungan yang signifikan (p < 0.05) antara kejadian stunting dengan
MPASI lengkap.
Hubungan Kejadian
Stunting dengan Usia Ibu
�����������
Tabel 24. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Usia Ibu (n = 63)
Usia Ibu |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
< 25 dan > 35 tahun |
10 |
17 |
0.760 |
25-35 tahun |
12 |
24 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
24
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan usia ibu. Mayoritas bayi yang
mengalami stunting dilahirkan oleh ibu berusia 25-35 tahun (54,5%) dan
mayoritas bayi yang tidak mengalami stunting juga dilahirkan oleh ibu berusia
25-35 tahun (58,5%). Berdasarkan hasil Chi-square
tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan usia ibu (p value = 0.760).
Hubungan Kejadian
Stunting dengan Tinggi Badan Ibu
�����������
Tabel 25. Hubungan Kejadian Stunting dengan Tinggi Badan Ibu (n = 63)
Tinggi Badan Ibu |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Pendek |
0 |
0 |
- |
Normal |
22 |
41 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
25
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan tinggi badan ibu. Dari 63 ibu
dengan tinggi badan normal didapatkan 22 bayi mengalami stunting dan 41 bayi
tidak mengalami stunting. p value tidak
bisa diperoleh karena tidak ada data komparasi dari kelompok tinggi badan
lainnya.
Hubungan Kejadian
Stunting dengan Pekerjaan Ibu
Tabel 26. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Pekerjaan Ibu (n = 63)
Pekerjaan Ibu |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Tidak
bekerja |
20 |
36 |
0.709 |
Bekerja |
2 |
5 |
|
Total |
22 |
41 |
|
����������� Tabel 26 menunjukkan hubungan
kejadian stunting dengan pekerjaan ibu. Mayoritas bayi yang mengalami stunting
dilahirkan oleh ibu yang tidak bekerja/berpenghasilan (90,9%) dan mayoritas
bayi yang tidak mengalami stunting juga dilahirkan oleh ibu yang tidak bekerja/berpenghasilan
(87,8%). Berdasarkan hasil Chi-square
tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan pekerjaan
ibu (p value = 0.709).
Hubungan Kejadian Stunting dengan Pendidikan Ibu
Tabel 27. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Pendidikan Ibu
(n = 63)
Pendidikan Ibu |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
SMP ke
bawah |
12 |
21 |
0.801 |
SMA ke
atas |
10 |
20 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
27
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan pendidikan ibu. Mayoritas bayi
yang mengalami stunting dilahirkan oleh ibu yang memiliki pendidikan sampai
tingkat SMP (54,5%) dan mayoritas bayi yang tidak mengalami stunting juga
dilahirkan oleh ibu yang memiliki pendidikan sampai tingkat SMP (51,2%).
Berdasarkan hasil Chi-square tidak
ada hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan tingkat pendidikan
ibu (p value = 0.801).
Hubungan Kejadian Stunting
dengan Tinggi Badan Ayah
Tabel 28. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Tinggi Badan Ayah (n = 63)
Tinggi Badan Ayah |
Stunting |
Tidak
Stunting |
p
value |
Pendek |
0 |
0 |
- |
Normal |
22 |
41 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel 28 menunjukkan hubungan
kejadian stunting dengan tinggi badan ayah. Dari 63 ayah dengan tinggi badan
normal didapatkan 22 bayi mengalami stunting dan 41 bayi tidak mengalami
stunting. p value tidak bisa
diperoleh karena tidak ada data komparasi dari kelompok tinggi badan lainnya.
Hubungan Kejadian Stunting dengan Pekerjaan Ayah
Tabel 29. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Pekerjaan Ayah
(n = 63)
Pekerjaan Ibu |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
Tidak
bekerja |
0 |
0 |
- |
Bekerja |
22 |
41 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
29
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan pekerjaan ayah. Dari 63 ayah
dengan status pekerjaan masih bekerja/berpenghasilan didapatkan 22 bayi
mengalami stunting dan 41 bayi tidak mengalami stunting. p value tidak bisa diperoleh karena tidak ada data komparasi dari
kelompok tinggi badan lainnya.
Hubungan Kejadian Stunting
dengan Pendidikan Ayah
Tabel 30. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Pendidikan Ayah
(n = 63)
Pendidikan Ayah |
Stunting |
Tidak Stunting |
p value |
SMP ke
bawah |
12 |
21 |
- |
SMA ke
atas |
10 |
20 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
30
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan pendidikan ayah. Mayoritas bayi
yang mengalami stunting memiliki ayah dengan tingkat pendidikan SMA dan
seterusnya (68,2%) dan mayoritas bayi yang tidak mengalami stunting juga
memiliki ayah dengan tingkat pendidikan SMA dan seterusnya (65,9%). p value tidak bisa diperoleh karena tidak
ada data komparasi dari kelompok tinggi badan lainnya.
Hubungan Kejadian
Stunting dengan Jumlah Anggota Keluarga
Tabel 31. Hubungan Kejadian
Stunting dengan Jumlah Anggota Keluarga (n = 63)
Anggota Keluarga |
Stunting |
Tidak
Stunting |
p
value |
> 4 orang |
12 |
21 |
- |
≤
4 orang |
10 |
20 |
|
Total |
22 |
41 |
|
Tabel
31
menunjukkan hubungan kejadian stunting dengan jumlah anggota keluarga. Dari 63
bayi dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang didapatkan 22 bayi
mengalami stunting dan 41 bayi tidak mengalami stunting. p value tidak bisa diperoleh karena tidak ada data komparasi dari
kelompok tinggi badan lainnya.
KESIMPULAN
Candra, Aryu. (2020). Patofisiologi Stunting. JNH (Journal
of Nutrition and Health), 8(2), 74�78.
Djauhari, Thontowi. (2017). Gizi dan 1000 HPK. Saintika
Medika, 13(2), 125�133.
Husna, Mufida, Santoso, Sabar, & Tyastuti, Siti. (2017). Hubungan
Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24�59 Bulan di Wilayah
Puskesmas Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta Tahun 2016. Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta.
Jombang, DINKES. (2014). Profil Dinas Kesehatan Jombang.
Jombang.
Kemenkes, R. I. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan RI No
1087 Tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja diRumah Sakit. Standar
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja DiRumah Sakit.
Kemenkes, R. I. (2011). Modul penggunaan obat rasional. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Levin, Kate Ann. (2006). Study design III: Cross-sectional
studies. Evidence-Based Dentistry, 7(1), 24�25.
Millenia, Syalshabilla Dyta Pramesty. (2021). Gambaran
Tinggi Badan Ibu Yang Memiliki Balita Stunting Usia 25�59 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Patuk I Kabupaten Gunungkidul Tahun 2021. Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta.
Organization, World Health. (2017). Cardiovascular
Disease, World Heart Day 2017. Who.
Pusdatin Kemenkes, R. I. (2018). Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan. Pusat
Data Dan Informasi, Kementerian, Kesehatan RI.
RI, Pusdatin Kemenkes. (2019). Laporan Provinsi Jawa Barat,
Riskesdas 2018. Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan. Jakarta: Pusdatin Kemenkes RI.
Silfia, Silfia. (2021). Gambaran Pola Makan Ibu Saat Hamil
dan Menyusui Serta Pola Asuh Makan Balita Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Tomia Kabupaten Wakatobi. Poltekkes Kemenkes Kendari.
Soetjiningsih, Christina Hari. (2013). Karakter Enterpreuner
dan Pola Asuh Orangtua.
TNP2K, Panduan Umum. (2017). Program Keluarga Harapan
meraih Keluarga Sejahtera. Jakarta: Kementrian Sosial RI.
Tridjaja, B., & Pateda, V. (2018). Failure to thrive dan
Stunting. Dalam: Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB, Penyunting. Buku Ajar
Endokrinologi Anak. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 50�65.
Unicef, & Organization, World Health. (2017). The
state of food security and nutrition in the world 2017: Building resilience for
peace and food security.
�
|
� 2021 by the authors. Submitted for
possible open access publication under the terms and conditions of the
Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |