Syari Mislina1,
Aries Purwaningsih2, Ela Melani MS3
Politeknik Piksi Ganesha Bandung, Indonesia1,
2, 3
[email protected]1,
[email protected]2, [email protected]3
|
Abstrak |
|
Received: Revised� : Accepted: |
04-09-2021 08-02-2022 10-02-2022 |
Latar
Belakang: Gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Hemodialisis rutin dilakukan sebagai terapi pengganti fungsi ginjal pada
penderita gagal ginjal. Anemia sering ditemukan pada pasien GGK dan dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup. Tujuan:
Tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hemoglobin sebelum dan sesudah
hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Annisa Cikarang. Metode: Penelitian
ini menggunakan metode penelitian analitik observasional dengan menggunakan
data sekunder dan teknik Total Sampling. Sampel yang didapatkan berdasarkan
kriteria inklusi dan ekslusi pada penelitian ini berjumlah 30 pasien. Data
diambil dan dicatat dari rekam medis pasien GGK di RS Annisa Cikarang periode
Juni � Juli 2021. Hasil: Rata-rata
kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum diberikan terapi hemodialisis
mengalami penurunan yaitu sebesar 8,480mg/dL. Rata-rata kadar hemoglobin
setelah diberikan terapi hemodialisis mengalami peningkatan dari sebelum
diberikan� terapi hemodialisis yaitu
8,857 mg/dL. Terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah
diberikan terapi hemodialysis, dengan nilai P = 0,037 < 0,05. Kesimpulan: Berdasarkan
hasil penelitian bahwa menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada pasien GGK
sangat rendah dan dibawah batas normal kadar hemoglobin, meskipun terdapat
peningkatan kadar hemoglobin setelah diberi terapi hemodialisis namun nilai
tersebut masih dibawah batas normal kadar hemoglobin, nilai
p lebih rendah dari nilai alpha (batas kemaknaan) dengan demikian H0
gagal diterima yang berarti terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada pasien
GGK sebelum dan sesudah diberikan terapi hemodialisis. Kata kunci: gagal ginjal kronis, hemodialisis, hemoglobin. |
|
|
|
|
Abstract |
|
|
Background: Chronic renal failure (CKD) is defined as
kidney damage that occurs for more than 3 months, in the form of structural
or functional abnormalities with or without a decrease in the glomerular
filtration rate (GFR). Hemodialysis is routinely performed as a replacement
therapy for kidney function in patients with kidney failure. Anemia is often
found in CKD patients and can cause a decrease in quality of life. Objective: The purpose of this study was to determine
hemoglobin levels before and after hemodialysis in patients with chronic
kidney failure at Annisa Cikarang Hospital. Methods: This study used an observational analytic
research method using secondary data and Total Sampling technique. The sample
obtained based on the inclusion and exclusion criteria in this study amounted
to 30 patients. Data were taken and recorded from the medical records of CKD
patients at Annisa Cikarang Hospital for the period June � July 2021. Results: The average hemoglobin level in CKD patients
before hemodialysis therapy decreased by 8,480mg/dL. The average hemoglobin
level after being given hemodialysis therapy increased from before being
given hemodialysis therapy, which was 8.857 mg/dL. There was a change in
hemoglobin levels in CKD patients after hemodialysis therapy, with P value =
0.037 <0.05. Conclusion: Based on the results of the study that
showed that the hemoglobin level in CKD patients was very low and below the
normal limit of hemoglobin levels, although there was an increase in
hemoglobin levels after being given hemodialysis therapy, the value was still
below the normal limit for hemoglobin levels, the p value was lower than the
alpha value (limit significance) thus H0 failed to be accepted, which means
that there are differences in hemoglobin levels in CKD patients before and
after hemodialysis therapy. Keywords: chronic kidney failure, hemodialysis, ����������������� hemoglobin. |
*Correspondence Author: Syari
Mislina
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Gagal
ginjal kronis (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan
fungsi ginjal progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu
mempertahankan keseimbangan metabolic, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
uremia dan azotemia (S. Smeltzer et al., 2008). CKD
disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis akut; gagal ginjal
akut; penyakit ginjal polikistik; obstruksi saluran kemih; pielonefitris;
nefrotoksin; dan penyakit sistemik , seperti diabetes militus, hipertensi,
lupus eritematosus, poliartitris, penyakit sel sabit, serta amyloidosis (Black & Hawks, 2009).
Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang penting
saat ini. Menurut United State Renal Data System prevalensi penyakit ginjal
kronik di dunia meningkat 20-25% setiap tahun, sehingga diperkirakan 1 dari 10
orang di dunia memiliki PGK (Renal Data System, 2015).
Menurut laporan (USRDS & USRDS, 2012) pada
tahun 2009, tercatat sebanyak 5.450 pasien gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis, meningkat pada tahun 2010 sebanyak 8.034 penderita dan meningkat
lagi pada tahun 2011 sebanyak 12.804 penderita. World Health Organization
memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan pasien PGK pada tahun 1995-2025
sebesar 41,4% dan menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
diperkirakan terdapat 70.000 pasien penyakit ginjal di Indonesia, angka ini
akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya (Guntur et al., 2014).
Prevalensi
gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%.
Prevalensi paling tinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh,
Gorontalo dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur masing-masing provinsi menunjukkan angka 0,3%. Prevalensi gangguan ginjal
kronis berdasarkan diagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
meningkat drastic pada umur 35-44 tahun 0,3%, diikuti rentang umur 45-54 tahun
0,4% dan umur 55-74 tahun 0,5%, paling tinggi pada kelompok umur > 75 tahun
0,6%. Prevalensi pada laki-laki menunjukkan angka 0,3% lebih tinggi dari
perempuan yaitu 0,2%, prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan 0,3%,
tidak bersekolah 0,4%, pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh 0,3%, dan
indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3% (Dasar,
2013).
Gagal
ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3
bulan, berupa kelainan structural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG). Definisi lainnya yaitu penurunan LFG < 60
ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Etiologi
GGK sangat bervariasi antara satu negara dengan Negara lain. Tahapan GGK dapat
dibagi menurut beberapa cara antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang
masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga
pengobatan-pengobatan yang konservatif berupa diet, pembatasan minum,
obat-obatan dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi,
keadaan tersebut diberi nama gangguan ginjal kronis . pada stadium ini terdapat
akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan
hiduppasien, pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang idukur dengan
klirens keratinin (JKr) tidak lebih dari 2 15 ml/menit/1,73 m2. Pasien� GGK stadium V, apapun etiologinya, memerlukan
pengobatan khusus pengobatan atau terapi pengganti ginjal (TPG) (Guntur et al., 2014).
Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada gagal ginjal kronis stadium V, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit/1,73m2. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa
hemodialysis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2009).
Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan
mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang bertujuan
untuk mengeliminasisi sisa-sisa metabolism protein dan koreksi gangguan
keseimbangan eletrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisa melalui
membrane semipermiabel (Wong & Sarjana, 2017).
Kejadian
anemia sering dijumpai pada pasien dengan gangguan ginjal kronis terutama pada
pasien gangguan ginjal kronis dengan stadium lanjut yang menjalani terapi
hemodialysis. Anemia berkembang pada awal perjalanan gangguan ginjal kronis dan
prevalensinya meningkat pada ganguan ginjal kronis dengan stadium lankut yaitu
gangguan ginjal kronis stadium 4 dan 5. Anemia terkadang lebih berat dan muncul
lebih awal pada pasien GGK dengan sebab diabetes daripada GGK dengan sebab yang
lain (rkGroup KDIGO, 2013).
Anemia
merupakan salah satu komplikasi GGK yang penting karena memberikan kontribusi
bermakna terhadap gejala dan komplikasi kardiovaskular pada GGK. Komplikasi ini
dapat terhadap gejala dan komplikasi kardiovaskular pada GGK. Komplikasi ini
dapat mulai terjadi pada penurunan fungsi ginjal yang masih awal, namun umumnya
menjadi nyata bila LFG semakin menurun hingga < 30 ml/menit. Menurut (Organization, 2011),
seorang pasien dinyatakan anemia bila kadar Hb < 13 g/dl pada laki-laki dan
Hb < 12 g/dl pada perempuan. Anemia terjadi 80-90% pasien GGK. Anemia pada
GGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoietin sebagai akibat kerusakan
sel-sel penghasil eritropoetin (EPO) (sel peritubuler) pada ginjal (Setiadi,
2016).
Penderita
GGK yang sedang melakukan hemodialysis akan menderita anemia. Anemia merupakan
komplikasi GGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal
dibandingkan komplikasi GGK lainnya dan pada hamper semua pasien gangguan
ginjal terminal (GGT). Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko dan
mortalitas secara bermakna dari GGL (Astari & Asthiningsih, 2015). Pasien
GGK mengalami kehilangan darah terutama pada pasien hemodialis. Retensi darah
pada dialiser dan blood rubing, perdarahan saluran cerna, pemberian obat
tertentu dapat mengganggu absorpso besi seperti obat pengikat fosfat dan
golongan proton pump inhibitors (PPIs). Disamping itu, pasien GGK yang
menjalani hemodialis sering mengalami inflamasi dan infeksi sehubungan dengan
tindakan hemodialisis tersebut. Penilaian status besi pada GGK meliputi
cadangan besi tubuh (ferritin serum) dan besi yang tersdia disifulasi untuk
keperluan eritropoiesis (saturasi transferrin) (Guntur et al., 2014).
Penelitian
yang dilakukan (Ulya & Suryanto, 2009) menyatakan bahwa terdapat peningkatan nilai Hb
sesudah hemodialisis dibandingkan sebelum hemodialisis pada pasien gagal ginjal
kronis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang
di atas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Analisa Perubahan
Hemoglobin Pada Pasien Gagal� Ginjal
Kronis (GGK) Yang Menjalani Hemodialisis Di Rumah Sakit Annisa Cikarang.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kadar hemoglobin sebelum dan sesudah hemodialisa pada
pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Annisa Cikarang.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional untuk
mengetahui nilai Hb pada pasien gagal ginjal kronis sebelum dan sesudah
hemodialisis di Rumah Sakit Annisa Cikarang dengan menggunakan analisis
kuantitatif dan dengan pendekatan deskriptif (Sugiyono,
2013). Populasi
dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronis (GGK)
yang menjalani terapi hemodialisis� pada
bulan Juni � Juli 2021 di Rumah Sakit Annisa Cikarang sebanyak 30 pasien. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total sampling,
yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi. Pengumpulan
data dilakukan setelah disetujui oleh Direktur Utama Politeknik Piksi Ganesha
dan Direktur Rumah Sakit Annisa Cikarang.
�
Kemudian sampel penelitian berupa rekam medik dalam periode yang telah
ditentukan, dikumpulkan di bagian rekam medik di ruang hemodialisis,
laboratorium patologi klinik, Rumah Sakit Annisa Cikarang. Setelah itu
dilakukan pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam tabel yang telah
disediakan. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
bantuan komputer memakai program software,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. lobin Sebelum dan Sesudah Terapi
Hemodialisis
Pada Pasien GGK Di RS.Annisa Cikarang
Perubahan Kadar
Hemoglobin |
Frekuensi |
Persen (%) |
Turun |
10 |
33,3 |
Tetap |
1 |
3,3 |
Naik |
19 |
63,4 |
Total |
30 |
100 |
Berdasarkan tabel 1 analisa tersebut di atas
dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang diteliti sebagian besar pasien
yaitu 19 Orang (63,4%) mengalami peningkatan kadar hemoglobin, dan pada
sebagian kecil responden yaitu 10 orang (33,3%) mengalami penurunan kadar
hemoglobin pada sedangkan sisanya 1 orang (3,3%) tidak mengalami perubahan
kadar hemoglobin.
Tabel 2. Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum
dan Sesudah
Terapi Hemodialisis Pada Pasien GGK di Di RS.
Annisa Cikarang
Kadar
Hemoglobin |
Mean |
Std.
Deviasi |
Std. Error Mean |
P
Value |
N |
Pre
|
8,480 |
1,4495 |
0,2646 |
0,037 |
30 |
Post
|
8,857 |
1,3449 |
0,2455 |
30 |
Sumber : Diolah oleh
penulis 2018
Berdasarkan
tabel 2
hasil Analisi uji t dependendiketahuirata-rata kadar hemoglobin sebelum
diberikan terapi hemodialysis adalah 8,480 dengan standar deviasi 1,4495 dan
standard error mean 0,2646, sedangkan rata-rata kadar hemoglobin setelah
diberikan terapi hemodialisis adalah 8,857, standar deviasi 1,4495 dan standard
error mean 0,2455.
Hasil
Uji Statistik menggunakan Uji T Dependen Berpasangan dengan uji parametric
diperoleh nilai P sebesar 0,037. Nilai P (0,037) < α (0.05), maka Ho
ditolak, dengan demikian disimpulkan terdapat perubahan kadar hemoglobin pada
pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialisis.
a.
Gambaran Kadar Hemoglobin Sebelum dan Setelah
Terapi Hemodialisis
Hasil penelitian ini menunjukkan pada
sebagian besar pasien GGK yaitu 19 orang bahwa pemberian� hemodialisa efektif untuk
memperpanjang harapan hidup seseorang penderita gagal ginjal kronis. Sedangkan
pada 10 pasien (33,3%) dan 1 orang (3,3%) yang kadar Hbnya turun dan tetap
dapat dinyatakan bahwasannya alat hemodialisa dapat di gunakan untuk memelihara
ginjal, sampai pasien mendapatkan ginjal baru.
Pada
pasien yang mengalami peningkatan kadar hemoglobin hal ini dapat dikarenakan
pasien sudah beberapa kali menjalani hemodialisa dalam waktu 6 bulan sedangkan
pada pasien yang belum mengalami peningkatan kadar hemoglobin hal ini dapat
dikarenakan pasien baru 1 atau 2 kali menjalani terapi hemodialysis. Hal ini
sejalan dengan Penelitian (Richardson, 2007)
juga menunjukkan terjadinya peningkatan hemoglobin yang signifikan dalam 6
bulan pertama setelah memulai hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal,
resistensi eritropoietin dikaitkan dengan terjadinya inflamasi. Inflamasi
berperan penting terjadinya hiporesponsif dari rythropoiesis-stimulating agents
(ESA). Sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1, interleukin-6,
interleukin10, interferon-c, dan tumor necrosis factor-a akan menghambat
pertumbuhan sel prekursor eritroid dan menurunkan regulasi pengeluaran EPO
reseptor mRNA
Berdasarkan
analisa tersebut maka� dapat dijelaskan
bahwa hemodialisa merupakan salah satu tindakan yang dapat memperpanjang
harapan hidup. Namun demikian, hemodialisa tidak dapat menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas
metabolik penyakit ginjal atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan
dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas hidup pasien. Oleh
karena itu, pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal harus menjalani hemodialisa
sepanjang hidupnya (S. C. Smeltzer et al., 2008).
b.
Perubahan Kadar Hemoglobin Sebelum dan
Setelah Terapi Hemodialisis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
Hasil analisis penelitian tentang
rata-rata kadar hemoglobin sebelum diberikan terapi hemodialysis adalah 8,480
dengan standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2646, sedangkan
rata-rata kadar hemoglobin setelah diberikan terapi hemodialisis adalah 8,857,
standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2455.
Hasil Uji Statistik menggunakan Uji T
Dependen Berpasangan dengan uji parametric diperoleh nilai P sebesar 0,037.
Nilai P (0,037) < α (0.05), maka Ho ditolak, dengan demikian
disimpulkan terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah
diberikan terapi hemodialisis.
Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan
yang signifikan secara statistik pada pasien gagal ginjal pasca hemodialisis
jika dibandingkan dengan kadar sebelum hemodialisis. Peningkatan jumlah kadar
hemoglobin sesudah hemodialisis dijelaskan bahwa sebelum hemodialisis, pasien
biasanya mengalami hipervolemia, dimana pada pasien gagal ginjal mengalami
penurunan fungsi ekskresi cairan dan sodium. Peningkatan jumlah cairan ini akan
menyebabkan dilusi sehingga jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan kadar hematokrit
menjadi lebih rendah (Alghythan & Alsaeed, 2013).
Hasil penelitian ini juga selaras
dengan hasil penelitian yang dilakukan ������ �yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna kadar hemoglobin sebelum dan sesudah hemodialisis pada pasien PGK,
dimana kadar hemoglobin sesudah hemodialisis lebih tinggi daripada kadar
hemoglobin sebelum hemodialysis (Dwitarini
et al., 2017).
Sebagaimana
dalam penelitian (Hamlett & Haragsim, 2007)
menjelaskan bahwa Frekuensi dialisis yang rutin akan berefek pada proses
inflamasi pada pasien gagal ginjal. Semakin sering dialisis akan menurunkan
kadar IL-6 plasma dan kebutuhan eritropoietin eksogen. Mekanisme penurunan
kebutuhan eritropoietin eksogen ini dikarenakan oleh kontrol inflamasi yang
lebih baik, yang bermanifestasi dengan penurunan kadar IL-6 plasma.
KESIMPULAN
Rata-rata kadar hemoglobin pada pasien
GGK sebelum diberikan terapi hemodialisis mengalami penurunan yaitu sebesar
8,480mg/dL, hal ini menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada pasien GGK sangat
rendah dan dibawah batas normal kadar hemoglobin. Rata-rata kadar hemoglobin setelah
diberikan terapi hemodialisis mengalami peningkatan dari sebelum diberikan� terapi hemodialisis yaitu 8,857 mg/dL, hal
ini menunjukkan meskipun terdapat peningkatan kadar hemoglobin setelah diberi
terapi hemodialisis namun nilai tersebut masih dibawah batas normal kadar
hemoglobin. Terdapat perubahan kadar
hemoglobin pada pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialysis, dengan nilai
P = 0,037 < 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai p lebih rendah dari
nilai alpha (batas kemaknaan) dengan demikian H0 gagal diterima yang
berarti terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum dan sesudah
diberikan terapi hemodialisis.
Alghythan, A. K., & Alsaeed, A. H. (2013). Hematological
changes before and after hemodialysis. Scientific Research and
Essays, 7(4), 490�497.
Astari, N., & Asthiningsih, N. W. W. (2015). Analisa
Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
Terapi Pijat Refleksi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Intradialitik di Ruang
Hemodialisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical
nursing: Clinical management for positive outcomes, 8e (2 Vol Set) without CD.
Mumbai: Elsevier India.
Dasar, R. K. (2013). Riskesdas
2013. Jakarta Kementeri Kesehat RI, 6.
Dwitarini, N. M. E., Herawati, S., & Subawa, A. N.
(2017). Perbedaan
Kadar Hemoglobin Sebelum Dan Sesudah Hemodialisis Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronis Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali. E-Jurnal
Medika, 6(4), 56�62.
Guntur, A. H., Setiadi, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W.,
Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014). Sepsis. Dalam
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III, Edisi VI. Interna
Publishing, Jakarta. FK UI, 3(6), 692�699.
Hamlett, L., & Haragsim, L. (2007). Quotidian
hemodialysis and inflammation associated with chronic kidney disease.
Advances in Chronic Kidney Disease, 14(3), e35�e42.
Organization, W. H. (2011). WHO report on
the global tobacco epidemic, 2011: warning about the dangers of tobacco. Geneva: World Health Organization.
Renal Data System, U. S. (2015). USRDS.
Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal
Disease in the United States, Bethesda.
Richardson, L. (2007). What
terrorists want: Understanding the enemy, containing the threat. Random House trade paperbacks.
rkGroup KDIGO, W. (2013). Clinical
practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease.
Kidney Int Suppl, 3, 4.
Setiadi, B. R. (2016). Perbedaan
Kadar Hemoglobin Antara Hemodialisa 2 Kali Dengan 3 Kali Per Minggu pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2015. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., Cheever, K. B., Townsend,
M. C., & Gould, B. B. (2008). Suddarth�s
textbook of medical-surgical nursing. 10 Th Ed.) Philadelphia:
USA: Lippincott Williams & Wilkins (2004); 1285, 1298.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H.,
Townsend, M. C., & Gould, B. (2008). Brunner and
Suddarth�s textbook of medicalsurgical nursing 10th edition. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
Sugiyono, D. (2013). Metode
penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D.
Suwitra, K. (2009). Buku ajar
ilmu penyakit dalam: penyakit ginjal kronis. 1035-1040. Jakarta.
Ulya, C., & Suryanto, E. (2009). Meningkatkan
kemampuan menulis puisi melalui pendekatan sinektik. Paedagogia,
12(1), 41�51.
USRDS, & USRDS. (2012). United States
Renal Data System Anual Data Report-Morbidity & Mortality in patients with
CKD.
Wong, O. A., & Sarjana, D. (2017). Analisis
Perubahan Hemoglobin Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik (GGK) yang Menjalani
Hemodialisis Selama 3 Bulan di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN)
Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Makasar: Skripsi FK
Universitas Hasanuddin Makasar, 1�83.
|
� 2021 by the authors. Submitted for
possible open access publication under the terms and conditions of the
Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |