�ANALISA PERUBAHAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN� GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT ANNISA CIKARANG

 

 

Syari Mislina1, Aries Purwaningsih2, Ela Melani MS3

Politeknik Piksi Ganesha Bandung, Indonesia1, 2, 3

[email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised� :

Accepted:

04-09-2021

08-02-2022

10-02-2022

Latar Belakang: Gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Hemodialisis rutin dilakukan sebagai terapi pengganti fungsi ginjal pada penderita gagal ginjal. Anemia sering ditemukan pada pasien GGK dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup.

Tujuan: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hemoglobin sebelum dan sesudah hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Annisa Cikarang.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik observasional dengan menggunakan data sekunder dan teknik Total Sampling. Sampel yang didapatkan berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi pada penelitian ini berjumlah 30 pasien. Data diambil dan dicatat dari rekam medis pasien GGK di RS Annisa Cikarang periode Juni � Juli 2021.

Hasil: Rata-rata kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum diberikan terapi hemodialisis mengalami penurunan yaitu sebesar 8,480mg/dL. Rata-rata kadar hemoglobin setelah diberikan terapi hemodialisis mengalami peningkatan dari sebelum diberikan� terapi hemodialisis yaitu 8,857 mg/dL. Terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialysis, dengan nilai P = 0,037 < 0,05.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian bahwa menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada pasien GGK sangat rendah dan dibawah batas normal kadar hemoglobin, meskipun terdapat peningkatan kadar hemoglobin setelah diberi terapi hemodialisis namun nilai tersebut masih dibawah batas normal kadar hemoglobin, nilai p lebih rendah dari nilai alpha (batas kemaknaan) dengan demikian H0 gagal diterima yang berarti terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum dan sesudah diberikan terapi hemodialisis.

Kata kunci: gagal ginjal kronis, hemodialisis, hemoglobin.

 

 

 

 

Abstract

 

Background: Chronic renal failure (CKD) is defined as kidney damage that occurs for more than 3 months, in the form of structural or functional abnormalities with or without a decrease in the glomerular filtration rate (GFR). Hemodialysis is routinely performed as a replacement therapy for kidney function in patients with kidney failure. Anemia is often found in CKD patients and can cause a decrease in quality of life.

Objective: The purpose of this study was to determine hemoglobin levels before and after hemodialysis in patients with chronic kidney failure at Annisa Cikarang Hospital.

Methods: This study used an observational analytic research method using secondary data and Total Sampling technique. The sample obtained based on the inclusion and exclusion criteria in this study amounted to 30 patients. Data were taken and recorded from the medical records of CKD patients at Annisa Cikarang Hospital for the period June � July 2021.

Results: The average hemoglobin level in CKD patients before hemodialysis therapy decreased by 8,480mg/dL. The average hemoglobin level after being given hemodialysis therapy increased from before being given hemodialysis therapy, which was 8.857 mg/dL. There was a change in hemoglobin levels in CKD patients after hemodialysis therapy, with P value = 0.037 <0.05.

Conclusion: Based on the results of the study that showed that the hemoglobin level in CKD patients was very low and below the normal limit of hemoglobin levels, although there was an increase in hemoglobin levels after being given hemodialysis therapy, the value was still below the normal limit for hemoglobin levels, the p value was lower than the alpha value (limit significance) thus H0 failed to be accepted, which means that there are differences in hemoglobin levels in CKD patients before and after hemodialysis therapy.

Keywords: chronic kidney failure, hemodialysis,

����������������� hemoglobin.

*Correspondence Author: Syari Mislina

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Gagal ginjal kronis (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan metabolic, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia (S. Smeltzer et al., 2008). CKD disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis akut; gagal ginjal akut; penyakit ginjal polikistik; obstruksi saluran kemih; pielonefitris; nefrotoksin; dan penyakit sistemik , seperti diabetes militus, hipertensi, lupus eritematosus, poliartitris, penyakit sel sabit, serta amyloidosis (Black & Hawks, 2009).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang penting saat ini. Menurut United State Renal Data System prevalensi penyakit ginjal kronik di dunia meningkat 20-25% setiap tahun, sehingga diperkirakan 1 dari 10 orang di dunia memiliki PGK (Renal Data System, 2015). Menurut laporan (USRDS & USRDS, 2012) pada tahun 2009, tercatat sebanyak 5.450 pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, meningkat pada tahun 2010 sebanyak 8.034 penderita dan meningkat lagi pada tahun 2011 sebanyak 12.804 penderita. World Health Organization memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan pasien PGK pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4% dan menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan terdapat 70.000 pasien penyakit ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya (Guntur et al., 2014).

Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi paling tinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur masing-masing provinsi menunjukkan angka 0,3%. Prevalensi gangguan ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat drastic pada umur 35-44 tahun 0,3%, diikuti rentang umur 45-54 tahun 0,4% dan umur 55-74 tahun 0,5%, paling tinggi pada kelompok umur > 75 tahun 0,6%. Prevalensi pada laki-laki menunjukkan angka 0,3% lebih tinggi dari perempuan yaitu 0,2%, prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan 0,3%, tidak bersekolah 0,4%, pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh 0,3%, dan indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3% (Dasar, 2013).

Gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Definisi lainnya yaitu penurunan LFG < 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Etiologi GGK sangat bervariasi antara satu negara dengan Negara lain. Tahapan GGK dapat dibagi menurut beberapa cara antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga pengobatan-pengobatan yang konservatif berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama gangguan ginjal kronis . pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hiduppasien, pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang idukur dengan klirens keratinin (JKr) tidak lebih dari 2 15 ml/menit/1,73 m2. Pasien� GGK stadium V, apapun etiologinya, memerlukan pengobatan khusus pengobatan atau terapi pengganti ginjal (TPG) (Guntur et al., 2014).

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada gagal ginjal kronis stadium V, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit/1,73m2. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa hemodialysis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang bertujuan untuk mengeliminasisi sisa-sisa metabolism protein dan koreksi gangguan keseimbangan eletrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisa melalui membrane semipermiabel (Wong & Sarjana, 2017).

Kejadian anemia sering dijumpai pada pasien dengan gangguan ginjal kronis terutama pada pasien gangguan ginjal kronis dengan stadium lanjut yang menjalani terapi hemodialysis. Anemia berkembang pada awal perjalanan gangguan ginjal kronis dan prevalensinya meningkat pada ganguan ginjal kronis dengan stadium lankut yaitu gangguan ginjal kronis stadium 4 dan 5. Anemia terkadang lebih berat dan muncul lebih awal pada pasien GGK dengan sebab diabetes daripada GGK dengan sebab yang lain (rkGroup KDIGO, 2013).

Anemia merupakan salah satu komplikasi GGK yang penting karena memberikan kontribusi bermakna terhadap gejala dan komplikasi kardiovaskular pada GGK. Komplikasi ini dapat terhadap gejala dan komplikasi kardiovaskular pada GGK. Komplikasi ini dapat mulai terjadi pada penurunan fungsi ginjal yang masih awal, namun umumnya menjadi nyata bila LFG semakin menurun hingga < 30 ml/menit. Menurut (Organization, 2011), seorang pasien dinyatakan anemia bila kadar Hb < 13 g/dl pada laki-laki dan Hb < 12 g/dl pada perempuan. Anemia terjadi 80-90% pasien GGK. Anemia pada GGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoietin sebagai akibat kerusakan sel-sel penghasil eritropoetin (EPO) (sel peritubuler) pada ginjal (Setiadi, 2016).

Penderita GGK yang sedang melakukan hemodialysis akan menderita anemia. Anemia merupakan komplikasi GGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi GGK lainnya dan pada hamper semua pasien gangguan ginjal terminal (GGT). Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko dan mortalitas secara bermakna dari GGL (Astari & Asthiningsih, 2015). Pasien GGK mengalami kehilangan darah terutama pada pasien hemodialis. Retensi darah pada dialiser dan blood rubing, perdarahan saluran cerna, pemberian obat tertentu dapat mengganggu absorpso besi seperti obat pengikat fosfat dan golongan proton pump inhibitors (PPIs). Disamping itu, pasien GGK yang menjalani hemodialis sering mengalami inflamasi dan infeksi sehubungan dengan tindakan hemodialisis tersebut. Penilaian status besi pada GGK meliputi cadangan besi tubuh (ferritin serum) dan besi yang tersdia disifulasi untuk keperluan eritropoiesis (saturasi transferrin) (Guntur et al., 2014).

Penelitian yang dilakukan (Ulya & Suryanto, 2009) menyatakan bahwa terdapat peningkatan nilai Hb sesudah hemodialisis dibandingkan sebelum hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Analisa Perubahan Hemoglobin Pada Pasien Gagal� Ginjal Kronis (GGK) Yang Menjalani Hemodialisis Di Rumah Sakit Annisa Cikarang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar hemoglobin sebelum dan sesudah hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit Annisa Cikarang.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional untuk mengetahui nilai Hb pada pasien gagal ginjal kronis sebelum dan sesudah hemodialisis di Rumah Sakit Annisa Cikarang dengan menggunakan analisis kuantitatif dan dengan pendekatan deskriptif (Sugiyono, 2013). Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronis (GGK) yang menjalani terapi hemodialisis� pada bulan Juni � Juli 2021 di Rumah Sakit Annisa Cikarang sebanyak 30 pasien. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi. Pengumpulan data dilakukan setelah disetujui oleh Direktur Utama Politeknik Piksi Ganesha dan Direktur Rumah Sakit Annisa Cikarang.

� Kemudian sampel penelitian berupa rekam medik dalam periode yang telah ditentukan, dikumpulkan di bagian rekam medik di ruang hemodialisis, laboratorium patologi klinik, Rumah Sakit Annisa Cikarang. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam tabel yang telah disediakan. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer memakai program software,

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Tabel 1. lobin Sebelum dan Sesudah Terapi Hemodialisis

Pada Pasien GGK Di RS.Annisa Cikarang

Perubahan Kadar Hemoglobin

Frekuensi

Persen (%)

Turun

10

33,3

Tetap

1

3,3

Naik

19

63,4

Total

30

100

 

Berdasarkan tabel 1 analisa tersebut di atas dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang diteliti sebagian besar pasien yaitu 19 Orang (63,4%) mengalami peningkatan kadar hemoglobin, dan pada sebagian kecil responden yaitu 10 orang (33,3%) mengalami penurunan kadar hemoglobin pada sedangkan sisanya 1 orang (3,3%) tidak mengalami perubahan kadar hemoglobin.

 

Tabel 2. Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum dan Sesudah

Terapi Hemodialisis Pada Pasien GGK di Di RS. Annisa Cikarang

Kadar Hemoglobin

Mean

Std. Deviasi

Std. Error Mean

P Value

N

Pre

8,480

1,4495

0,2646

0,037

30

Post

8,857

1,3449

0,2455

30

Sumber : Diolah oleh penulis 2018

 

Berdasarkan tabel 2 hasil Analisi uji t dependendiketahuirata-rata kadar hemoglobin sebelum diberikan terapi hemodialysis adalah 8,480 dengan standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2646, sedangkan rata-rata kadar hemoglobin setelah diberikan terapi hemodialisis adalah 8,857, standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2455.

Hasil Uji Statistik menggunakan Uji T Dependen Berpasangan dengan uji parametric diperoleh nilai P sebesar 0,037. Nilai P (0,037) < α (0.05), maka Ho ditolak, dengan demikian disimpulkan terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialisis.

a.    Gambaran Kadar Hemoglobin Sebelum dan Setelah Terapi Hemodialisis

Hasil penelitian ini menunjukkan pada sebagian besar pasien GGK yaitu 19 orang bahwa pemberian� hemodialisa efektif untuk memperpanjang harapan hidup seseorang penderita gagal ginjal kronis. Sedangkan pada 10 pasien (33,3%) dan 1 orang (3,3%) yang kadar Hbnya turun dan tetap dapat dinyatakan bahwasannya alat hemodialisa dapat di gunakan untuk memelihara ginjal, sampai pasien mendapatkan ginjal baru.

Pada pasien yang mengalami peningkatan kadar hemoglobin hal ini dapat dikarenakan pasien sudah beberapa kali menjalani hemodialisa dalam waktu 6 bulan sedangkan pada pasien yang belum mengalami peningkatan kadar hemoglobin hal ini dapat dikarenakan pasien baru 1 atau 2 kali menjalani terapi hemodialysis. Hal ini sejalan dengan Penelitian (Richardson, 2007) juga menunjukkan terjadinya peningkatan hemoglobin yang signifikan dalam 6 bulan pertama setelah memulai hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal, resistensi eritropoietin dikaitkan dengan terjadinya inflamasi. Inflamasi berperan penting terjadinya hiporesponsif dari rythropoiesis-stimulating agents (ESA). Sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1, interleukin-6, interleukin10, interferon-c, dan tumor necrosis factor-a akan menghambat pertumbuhan sel prekursor eritroid dan menurunkan regulasi pengeluaran EPO reseptor mRNA

Berdasarkan analisa tersebut maka� dapat dijelaskan bahwa hemodialisa merupakan salah satu tindakan yang dapat memperpanjang harapan hidup. Namun demikian, hemodialisa tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik penyakit ginjal atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal harus menjalani hemodialisa sepanjang hidupnya (S. C. Smeltzer et al., 2008).

b.    Perubahan Kadar Hemoglobin Sebelum dan Setelah Terapi Hemodialisis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis

Hasil analisis penelitian tentang rata-rata kadar hemoglobin sebelum diberikan terapi hemodialysis adalah 8,480 dengan standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2646, sedangkan rata-rata kadar hemoglobin setelah diberikan terapi hemodialisis adalah 8,857, standar deviasi 1,4495 dan standard error mean 0,2455.

Hasil Uji Statistik menggunakan Uji T Dependen Berpasangan dengan uji parametric diperoleh nilai P sebesar 0,037. Nilai P (0,037) < α (0.05), maka Ho ditolak, dengan demikian disimpulkan terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialisis.

Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan yang signifikan secara statistik pada pasien gagal ginjal pasca hemodialisis jika dibandingkan dengan kadar sebelum hemodialisis. Peningkatan jumlah kadar hemoglobin sesudah hemodialisis dijelaskan bahwa sebelum hemodialisis, pasien biasanya mengalami hipervolemia, dimana pada pasien gagal ginjal mengalami penurunan fungsi ekskresi cairan dan sodium. Peningkatan jumlah cairan ini akan menyebabkan dilusi sehingga jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan kadar hematokrit menjadi lebih rendah (Alghythan & Alsaeed, 2013).

Hasil penelitian ini juga selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan ������ �yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar hemoglobin sebelum dan sesudah hemodialisis pada pasien PGK, dimana kadar hemoglobin sesudah hemodialisis lebih tinggi daripada kadar hemoglobin sebelum hemodialysis (Dwitarini et al., 2017).

Sebagaimana dalam penelitian (Hamlett & Haragsim, 2007) menjelaskan bahwa Frekuensi dialisis yang rutin akan berefek pada proses inflamasi pada pasien gagal ginjal. Semakin sering dialisis akan menurunkan kadar IL-6 plasma dan kebutuhan eritropoietin eksogen. Mekanisme penurunan kebutuhan eritropoietin eksogen ini dikarenakan oleh kontrol inflamasi yang lebih baik, yang bermanifestasi dengan penurunan kadar IL-6 plasma.

 

 

KESIMPULAN

 

Rata-rata kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum diberikan terapi hemodialisis mengalami penurunan yaitu sebesar 8,480mg/dL, hal ini menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada pasien GGK sangat rendah dan dibawah batas normal kadar hemoglobin. Rata-rata kadar hemoglobin setelah diberikan terapi hemodialisis mengalami peningkatan dari sebelum diberikan� terapi hemodialisis yaitu 8,857 mg/dL, hal ini menunjukkan meskipun terdapat peningkatan kadar hemoglobin setelah diberi terapi hemodialisis namun nilai tersebut masih dibawah batas normal kadar hemoglobin. Terdapat perubahan kadar hemoglobin pada pasien GGK setelah diberikan terapi hemodialysis, dengan nilai P = 0,037 < 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai p lebih rendah dari nilai alpha (batas kemaknaan) dengan demikian H0 gagal diterima yang berarti terdapat perbedaan kadar hemoglobin pada pasien GGK sebelum dan sesudah diberikan terapi hemodialisis.

 

BIBLIOGRAFI

Alghythan, A. K., & Alsaeed, A. H. (2013). Hematological changes before and after hemodialysis. Scientific Research and Essays, 7(4), 490�497.

Astari, N., & Asthiningsih, N. W. W. (2015). Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Terapi Pijat Refleksi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Intradialitik di Ruang Hemodialisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes, 8e (2 Vol Set) without CD. Mumbai: Elsevier India.

Dasar, R. K. (2013). Riskesdas 2013. Jakarta Kementeri Kesehat RI, 6.

Dwitarini, N. M. E., Herawati, S., & Subawa, A. N. (2017). Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum Dan Sesudah Hemodialisis Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali. E-Jurnal Medika, 6(4), 56�62.

Guntur, A. H., Setiadi, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014). Sepsis. Dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III, Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta. FK UI, 3(6), 692�699.

Hamlett, L., & Haragsim, L. (2007). Quotidian hemodialysis and inflammation associated with chronic kidney disease. Advances in Chronic Kidney Disease, 14(3), e35�e42.

Organization, W. H. (2011). WHO report on the global tobacco epidemic, 2011: warning about the dangers of tobacco. Geneva: World Health Organization.

Renal Data System, U. S. (2015). USRDS. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States, Bethesda.

Richardson, L. (2007). What terrorists want: Understanding the enemy, containing the threat. Random House trade paperbacks.

rkGroup KDIGO, W. (2013). Clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl, 3, 4.

Setiadi, B. R. (2016). Perbedaan Kadar Hemoglobin Antara Hemodialisa 2 Kali Dengan 3 Kali Per Minggu pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2015. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., Cheever, K. B., Townsend, M. C., & Gould, B. B. (2008). Suddarth�s textbook of medical-surgical nursing. 10 Th Ed.) Philadelphia: USA: Lippincott Williams & Wilkins (2004); 1285, 1298.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H., Townsend, M. C., & Gould, B. (2008). Brunner and Suddarth�s textbook of medicalsurgical nursing 10th edition. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.

Sugiyono, D. (2013). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D.

Suwitra, K. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam: penyakit ginjal kronis. 1035-1040. Jakarta.

Ulya, C., & Suryanto, E. (2009). Meningkatkan kemampuan menulis puisi melalui pendekatan sinektik. Paedagogia, 12(1), 41�51.

USRDS, & USRDS. (2012). United States Renal Data System Anual Data Report-Morbidity & Mortality in patients with CKD.

Wong, O. A., & Sarjana, D. (2017). Analisis Perubahan Hemoglobin Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik (GGK) yang Menjalani Hemodialisis Selama 3 Bulan di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN) Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Makasar: Skripsi FK Universitas Hasanuddin Makasar, 1�83.

 

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).