�Analisis Polifarmasi dan Interaksi Obat PPOK pada Pasien BPJS Rawat Jalan di Rumah Sakit Karya Medika I Periode Juli - September 2020

 

 

Muriyanto�, Meiti Rosmiati�, Zulfa Ika Setyaningsih�

Politeknik Piksi Ganesha Bandung1, 2 , RS Karya Medika I�

[email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised� :

Accepted:

30-08-2021

08-02-2022

10-02-2022

 

Latar Belakang: Tingginya angka kejadian polifarmasi dapat menyebabkan interaksi obat yang satu dengan obat yang lain sering disebut dengan istilah Polifarmasi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik, gambaran pengobatan, polifarmasi dan interaksi obat pada pasien BPJS rawat jalan penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Karya Medika I berdasarkan resep periode Juli - September 2020.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan waktu retrospektif.

Hasil: Hasil penelitian dari 125 kasus menggambarkan bahwa penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis tertinggi yaitu pada usia 60 tahun keatas dan penderita berjenis kelamin laki-laki. Obat Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang digunakan adalah golongan Bronkodilator sebanyak 222 kasus (55,36%), golongan anti inflamasi sebanyak 75 kasus (18,70%), golongan mukolitik sebanyak 50 kasus (12,47%), golongan antitusif sebanyak 46 kasus (11,47%), golongan antibiotik sebanyak 5 kasus (1,25%) dan golongan antioksidan sebanyak 3 kasus (0,75%).

Kesimpulan: Gambaran polifarmasi pada pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I yaitu 59 kasus (47,2%) tergolong kedalam polifarmasi minor dan 66 kasus (52,8%) tergolong kedalam polifarmasi mayor. Gambaran interaksi yang dapat menurunkan efektivitas dari obat PPOK ditemukan dalam pemberian obat Methylprednisolon, Omeprazole dan Dexamethasone secara bersamaan dengan Retaphyl SR dapat menurunkan efek kerja Rethapyl SR. Disarankan pemberian obat Methylprednisolon, Omeprazole dan Dexamethasone diberikan sebaiknya selang 30 menit-1 jam setelah pemberian Retaphyl SR.

Kata kunci: polifarmasi; interaksi obat; penyakit paru

������������������� obstruktif kronis (PPOK).

 

 

 

 

Abstract.

 

Background: The high incidence of polypharmacy can cause drug interactions with other drugs which are often referred to as polypharmacy.

Objective: This study aims to describe the characteristics, description of treatment, polypharmacy and drug interactions in outpatient BPJS patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) at Karya Medika I Hospital based on prescriptions for the period July - September 2020.

Methods: This study used a descriptive method with a retrospective time approach.

Results: The results of the study from 125 cases illustrate that the highest chronic obstructive pulmonary disease sufferers are at the age of 60 years and over and the patient is male. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) drugs used were bronchodilator group in 222 cases (55.36%), anti-inflammatory group in 75 cases (18.70%), mucolytic group in 50 cases (12.47%), antitussive group as many as 46 cases (11.47%), antibiotics group as many as 5 cases (1.25%) and antioxidant group as many as 3 cases (0.75%).

Conclusion: The description of polypharmacy in Social Security Administering Body (BPJS) patients with COPD at Karya Medika I Hospital was 59 cases (47.2%) belonging to minor polypharmacy and 66 cases (52.8%) belonging to major polypharmacy. The description of interactions that can reduce the effectiveness of COPD drugs was found in the administration of Methylprednisolone, Omeprazole and Dexamethasone drugs simultaneously with Retaphyl SR which can reduce the effect of Rethapyl SR. It is recommended that Methylprednisolone, Omeprazole and Dexamethasone should be given 30 minutes-1 hour after the administration of Retaphyl SR.

Keywords: polypharmacy; drug interactions; chronic

����������������� obstructive pulmonary disease (COPD).

*Correspondence Author : Muriyanto

Email : [email protected]

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

 

 

PENDAHULUAN

 

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/SK/IX/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Suprayitno, 2017). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya faktor risiko seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Ariyani, 2011).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit paru kronis yang di tandai oleh hambatan aliran udara disaluran nafas yang bersifat progresif nonversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut selain kebiasaan merokok yang masih tinggi juga polusi udara yang terjadi terutama di kota besar, lokasi industri dan daerah pertambangan. Penyakit Paru Obstruktif Kronis termasuk dalam urutan ke sepuluh sebagai penyakit yang menjadi beban dunia (Oemiati, 2013).

Angka kematian karena PPOK diperkirakan mencapai 3 juta kematian pada tahun 2015, yang berarti sekitar 5% dari seluruh kematian di dunia. Lebih dari 95% kematian karena PPOK terjadi pada negara berpenghasilan rendah dan sedang. PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dengan angka kematian mencapai 120.000 orang per tahun (Organization, 2015). Pada beberapa Negara di Asia Tenggara ditemukan prevalensi PPOK sedang sampai berat pada usia 30 tahun ke atas dengan rata-rata sebesar 6,3%. Hongkong dan Singapura memiliki angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%. Salah satu faktor risiko yang paling berperan di PPOK adalah merokok, sedangkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah perokok yang banyak sehingga dipastikan memiliki prevalensi PPOK yang tinggi sebanyak 8,8% (Organization, 2016).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, jumlah penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Aceh adalah sebanyak 4,3%, di Sumatera Barat sebesar 3%, di Papua sebesar 5,4,%, Sulawesi Utara 4%, Kalimatan Tengah 4,3%, Jawa Barat 4%, Nusa Tenggara Timur 10%, Kalimantan selatan 5%, Sulawesi Tengah 8%, Maluku Utara 5,2%, di Sumatera Utara sebesar 3,6%. Berdasarkan umur, yang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis terbesar terdapat pada rentang usia 75 tahun ke atas, yaitu sebesar 9,4% dan yang terkecil yaitu rentang usia 25-34 tahun, yaitu sebesar 1,6% (Syachroni, Syarifah, Kom, & Yulianto, 2013).

Berdasarkan penelitian (Wedho & Margaretha, 2019), dapat digambarkan bahwa dari 226 kasus PPOK yang mendapatkan polifarmasi minor sebanyak 100 kasus (44,25%). Polifarmasi yang mendapat 3 jenis obat sebanyak 16 kasus (16%), yang mendapat polifarmasi 4 jenis obat sebanyak 84 kasus (84%). Sedangkan yang mendapatkan polifarmasi mayor sebanyak 126 kasus PPOK, Polifarmasi yang mendapatkan 5 jenis obat sebanyak 75 kasus (59,50%), yang mendapat polifarmasi 6 jenis obat sebanyak 36 kasus (28,70%), yang mendapat polifarmasi 7 jenis obat sebanyak 11 kasus (8,70%), yang mendapat polifarmasi 8 jenis obat sebanyak 3 kasus (2,30%), dan yang mendapat polifarmasi 9 jenis obat sebanyak 1 kasus (0,80%).

Tingginya angka kejadian polifarmasi dapat menyebabkan interaksi obat yang satu dengan obat yang lain sering disebut dengan istilah Polifarmasi. Polifarmasi secara signifikan bisa meningkatkan resiko interaksi obat dengan obat. Berdasarkan studi global diperoleh bahwa pasien yang menggunakan 2 jenis obat mempunyai resiko 13% interaksi obat, dan 38% ketika menggunakan 4 jenis obat dan mencapai 82% ketika menggunakan 7 atau lebih obat secara bersamaan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa pengunaan 2 jenis obat disebut polifarmasi minor dan penggunaan lebih dari 4 jenis obat disebut polifarmasi mayor (Dasopang, Harahap, & Lindarto, 2015).

Mengingat tingginya risiko terjadinya interaksi obat pada pasien rawat jalan penderita PPOK, perlu dilakukan kajian untuk melihat besarnya potensi interaksi obat yang terjadi. Kajian ini akan bermanfaat bagi evaluasi pengobatan pasien, sehingga dapat mengurangi terjadinya Drug Related Problem bagi terapi yang akan datang, sehingga bisa meminimalisir adanya efek yang tidak dikehendaki pada pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik, gambaran pengobatan, polifarmasi dan interaksi obat pada pasien BPJS rawat jalan penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Karya Medika I berdasarkan resep periode Juli - September 2020.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan waktu retrospektif. Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan objek pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya, kemudian dianalisis dan diintepretasikan dengan menggunakan sumber yang sudah berlalu. Penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi, dan hanya dapat mengukur yang ada (Ningrum, 2019). Alat yang digunakan yaitu berupa lembar pengumpulan data resep rawat jalan poli paru selama 3 bulan, Drug Information Handbook 17th, Informatorium Obat Nasional Indonesia tahun 2008 untuk mengevaluasi adanya ketidaktepatan dosis, sedangkan untuk mengevaluasi adanya interaksi obat digunakan Drug Interaction Checker dengan laman website www.drugs.com/druginteractions.html

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan Bagaimana gambaran penggunaan obat PPOK dan polifarmasi pada pasien BPJS rawat jalan penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Karya Medika I berdasarkan Resep periode Juli-September 2020.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Satu upaya pemerintah peningkatan kesehatan keberadaan badan hukum untuk Menyelenggarakan program asuransi kesehatan masyarakat Kemudian disebut BPJS (Bataan penyelenggara jaminan sosial) (Arisandi, 2021). Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Jami nan Layanan Kesehatan Nasional mengatakan Asuransi kesehatan adalah salah satu bentuk jaminan perlindungan kesehatan bagi peserta dapatkan manfaat pemeliharaan Kesehatan dan Perlindungan Internal memenuhi kebutuhan dasar kesehatan untuk semua orang Keanggotaan atau iuran keanggotaan dibayar Dibayar oleh pemerintah (Permenkes, 2013).

Menurut Departemen Kesehatan (2008) tentang Bimbingan teknis tentang manajemen klaim dan verifikasi rencana asuransi kesehatan masyarakat nasional, keutuhan itu dokumen untuk mengajukan klaim adalah surat rekomendasi, inspeksi, layanan dukungan diagnostik dan medis persetujuan dokter bertanggung jawab (Permenkes RI, 2008). berdasarkan Nomor Menteri Kesehatan Republik Indonesia 903/Menkes/Per/2011 Tentang panduan Implementasi rencana asuransi kesehatan Perhimpunan Nasional. dansal ah satu Tidak ada persyaratan atau item - barang tidak Mengisi dengan lengkap akan menghasilkan Proses klaim berhasil.

 

Distribusi Proporsi pada Penderita PPOK Berdasarkan Usia

����������� Berdasarkan hasil penelitian di instalasi farmasi Rumah Sakit Karya Medika I jumlah kasus yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 125 kasus, dan semua kasus tersebut akan dijadikan menjadi sampel dalam penelitian ini. Adapun distribusi proporsi� sampel berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

 

Tabel 1. Gambaran distribusi proporsi berdasarkan usia.

No.

Usia (Tahun)

Frekuensi

Persentase (%)

1

20-29

5

4

2

30-39

6

4,8

3

40-49

28

22,4

4

50-59

39

31,2

5

60-keatas

47

37,6

Jumlah

125

100

�����������

Berdasarkan tabel 1 di atas menggambarkan bahwa yang berusia 60 ke atas lebih dominan terkena penyakit PPOK, yakni sebanyak 47 kasus (37,6%), urutan kedua yaitu usia 50-59 yaitu sebanyak 39 kasus (31,2%), urutan ketiga yaitu usia 40-49 yaitu sebanyak 28 kasus (22,4%) dan urutan keempat pada usia 30-39 yaitu sebanyak 6 kasus (4,8%) serta usia 20-29 yaitu sebanyak 5 kasus (4%).

����������� Gambaran distribusi proporsi penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I berdasarkan usia juga disajikan pada Gambar 1 berikut:

 

Gambar 1. Gambaran Distribusi Proporsi Berdasarkan Usia

 

Distribusi Proporsi Pada Penderita PPOK Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian di instalasi farmasi Rumah Sakit Karya Medika I jumlah kasus yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 125 kasus, dan semua kasus tersebut akan dijadikan menjadi sampel dalam penelitian ini. Adapun distribusi proporsi �sampel berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

 

Tabel 2. Gambaran Distribusi Proporsi Berdasarkan Jenis Kelamin.

No.

Jenis Kelamin

Frekuensi

Persentase (%)

1

Laki-laki

66

52,8

2

Perempuan

59

47,2

Jumlah

125

100

 

Berdasarkan tabel 2 di atas menggambarkan bahwa yang berjenis kelamin laki-laki dominan terkena penyakit PPOK, yakni sebanyak 66 kasus (52,8%) dan yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 59 kasus (47,2%). Gambar distribusi proporsi� penderita PPOK di RS Karya Medika I berdasarkan jenis kelamin juga disajikan pada Gambar 2 berikut:

 

Gambar 2. Gambaran Distribusi Proporsi Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambaran penggunaan obat pada penderita PPOK pasien BPJS rawat jalan di�������������������������������� �������������������Rumah Sakit Karya Medika I Berdasarkan Resep Periode Juli-September 2020

����������� Berdasarkan pengamatan yang sudah dilakukan terhadap resep selain penderita PPOK, banyak pasien juga menderita penyakit lain sehingga juga membutuhkan terapi selain obat PPOK. Adapun penggunaan obat pada penderita PPOK pasien BPJS rawat jalan di Rumah Sakit Karya Medika I Berdasarkan Resep Periode Juli-September 2020 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

 

Tabel 3. Gambaran Penggunaan Obat pada Penderita PPOK Berdasarkan Resep

No.

Golongan Obat PPOK

Frekuensi

Peresentase (%)

1

Golongan Bronkodilator

222

55,36

2

Golongan Antiinfamasi

75

18,70

3

Golongan Antibiotika

5

1,25

4

Golongan Antioksidan

3

0,75

5

Golongan Mukolitik

50

12,47

6

Golongan Antitusif

46

11,47

Jumlah

401

100

�����������

Tabel 4. Gambaran Penggunaan Obat pada Penderita PPOK

Berdasarkan Obat Lain

No.

Golongan Obat Lain

Frekuensi

Peresentase (%)

1

Golongan Vitamin

7

3,48

2

Golongan Antihistamin

77

38,31

3

Golongan Saluran Cerna

100

49,75

4

Golongan Anti Kolesterol

2

0,99

5

Golongan Analgetik

1

0,5

6

Golongan Obat Lain

14

6,97

Jumlah

201

100

�����������

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa obat PPOK yang paling banyak digunakan adalah golongan bronkodilator yaitu sebanyak 222 kasus (55,36%), di urutan kedua adalah golongan antiinflamasi yaitu sebanyak 75 kasus (18,70%), di urutan ketiga adalah golongan mukolitik yaitu sebanyak 50 kasus (12,47%), di urutan keempat adalah golongan antitusif yaitu sebanyak 46 kasus (11,47%), di urutan kelima adalah golongan antibiotika yaitu sebanyak 5 kasus (1,25%), diurutan keenam adalah golongan antioksidan yaitu sebanyak 3 kasus (0,75%).

����������� Hasil penelitian dapat dilihat di tabel 4 bahwa selain obat PPOK juga digunakan obat lain, hal ini dikarenakan adanya pasien yang memiliki penyakit lain, yang paling banyak digunakan adalah golongan saluran cerna yaitu sebanyak 100 kasus (49,75%), diurutan kedua adalah golongan antihistamin yaitu sebanyak 77 kasus (38,31%), diurutan ketiga adalah golongan Obat lain yaitu sebanyak 14 kasus (6,97%), diurutan keempat adalah golongan vitamin yaitu sebanyak 7 kasus (3,48%), diurutan kelima adalah golongan anti kolesterol yaitu sebanyak 2 kasus (0,99%), dan diurutan keenam adalah golongan analgetik sebanyak 1 kasus (0,5%). Gambaran penggunaan obat pada penderita PPOK dapat juga dilihat pada Gambar 3 berikut:

 

 

Gambar 3. Gambaran Penggunaan Obat Pada Penderita Ppok Berdasarkan Resep

 

Gambaran Penggunaan Obat PPOK Berdasarkan Golongan Pada Pasien BPJS Rawat Jalan Di Rumah Sakit Karya Medika I Berdasarkan Resep Periode Juli-September 2020

Golongan Obat PPOK

Golongan Bronkodilator

����������� Penggunaan golongan bronkodilator pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 222 kasus. Adapun distribusi penggunaan golongan bronkodilator pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis obat dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

 

Tabel 5. Distribusi penggunaan obat golongan bronkodilator berdasarkan jenis

No.

Jenis Bronkodilator

Frekuensi

Persentase (%)

1

Symbicort

90

40,5

2

Seretide Discus

28

12,6

3

Spiriva

2

0,9

4

Rethapyl

7

3,2

5

Teosal

2

0,9

6

Salbutamol

93

41,9

Jumlah

222

100

 

Berdasarkan tabel 5 menggambarkan pendistribusian obat PPOK golongan bronkodilator berdasarkan jenis, dapat dilihat bahwa jenis yang paling banyak digunakan adalah Salbutamol yaitu sebanyak 93 kasus (41,9%), diurutan kedua adalah Symbicort yaitu sebanyak 90 kasus (40,5%), diurutan ketiga adalah Seretide Discus yaitu sebanyak 28 kasus (12,6%), diurutan keempat adalah Rethapyl SR yaitu sebanyak 7 kasus (3,2%), dan diurutan kelima adalah Teosal dan Spiriva yaitu masing-masing sebanyak 2 kasus (0,9%). Penggunaan obat golongan bronkodilator pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 4 berikut:

 

Gambar 4. Gambaran penggunaan golongan bronkodilator berdasarkan jenis.

 

Golongan Antiinflamasi

����������� Penggunaan golongan antiinflamasi pada penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 75 kasus. Adapun gambaran penggunaan golongan antiinflamasi pada penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

..

Tabel 6. Gambaran Penggunaan Golongan Antiinflamasi Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Antiinflamasi

Frekuensi

Persentase (%)

1

Ibuprofen

3

4

2

Miniaspi

1

1,33

3

Meloxicam

5

6,67

4

Analsik

7

9,33

5

Methylprednisolon

49

65,33

6

Dexamethason

10

13,33

Jumlah

75

100

 

����������� Berdasarkan tabel 6 menggambarkan bahwa jenis golongan antiinflamasi yang paling banyak digunakan adalah Metilprednisolon yaitu sebanyak 49 kasus (65,33%), diurutan kedua adalah Dexamethason yaitu sebanyak 10 kasus (13,33%), diurutan ketiga adalah Analsik yaitu sebanyak 7 kasus (9,33%), diurutan keempat adalah Meloxicam yaitu sebanyak 5 kasus (6,67%), selanjutnya diurutan kelima yaitu Ibuprofen sebanyak 3 kasus (4%), dan diurutan terakhir miniaspi yaitu sebanyak 1 kasus (1,33%). Gambaran penggunaan golongan antiinflamasi pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 5 berikut:

 

Gambar 5. Gambaran penggunaan golongan antiinflamasi berdasarkan jenis.

 

Golongan Antibiotika

����������� Penggunaan golongan antibiotika pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 5 kasus. Adapun gambaran penggunaan golongan antibiotik pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:

 

Tabel 7. Gambaran penggunaan golongan antibiotik berdasarkan jenis

No.

Jenis Antibiotika

Frekuensi

Persentase (%)

1

Levofloxacin

1

20

2

Cefixime

2

40

3

Azithromicyn

2

40

Jumlah

5

100

 

Berdasarkan tabel 7 menggambarkan bahwa jenis golongan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah Azitromicin dan Cefixime yaitu masing-masing sebanyak 2 kasus (40%), sedangkan Levofloxacin hanya terdapat 1 kasus (20%). Gambaran penggunaan golongan antibiotik pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 6 berikut:

 

Gambar 6. Penggunaan golongan antibiotik berdasarkan jenis.

 

Golongan Antioksidan

����������� Penggunaan golongan antioksida pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 1 kasus. Adapun distribusi penggunaan golongan antioksida pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:

 

Tabel 8. Gambaran Penggunaan Golongan Antioksidan Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Antioksida

Frekuensi

Persentase (%)

1

Asetilsistein

3

100

Jumlah

3

100

�

����������� Berdasarkan pada tabel 8 dapat dilihat penggunaan golongan antioksida yaitu asetilstein sebanyak 1 kasus (100%). Penggunaan golongan antioksida pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 7 berikut:

 

Gambar 7. Gambaran Penggunaan Golongan Antioksida Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Mukolitik

����������� Penggunaan golongan mukolitik pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 50 kasus. Adapun penggunaan golongan mukolitik pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 8 berikut:

 

Tabel 9. Gambaran Penggunaan Golongan Mukolitik Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Mukolitik

Frekuensi

Persentase (%)

1

Ambroxol

41

82

2

OBH

9

18

Jumlah

50

100

 

Berdasarkan dari tabel 9 dapat dilihat penggunaan golongan mukolitik yaitu ambroxol sebanyak 41 kasus (82%), di urutan kedua adalah OBH yaitu sebanyak 9 kasus (18%). Penggunaan golongan mukolitik pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 8 berikut:

 

Gambar 8. Gambaran Penggunaan Golongan Mukolitik Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Antitusif

����������� Penggunaan golongan antitusif pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 46 kasus. Adapun gambaran penggunaan golongan antitusif pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

 

Tabel 10. Gambaran penggunaan golongan antitusif berdasarkan jenis

No.

Jenis Antitusif

Frekuensi

Persentase (%)

1

Codein

46

100

Jumlah

46

100

 

Berdasarkan tabel 10 menggambarkan bahwa jenis antitusif yang paling banyak digunakan adalah Codein yaitu sebanyak 46 kasus (100%). Penggunaan golongan antitusif pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 9 berikut:

 

Gambar 9. Gambaran penggunaan golongan antitusif berdasarkan jenis

 

Golongan Obat Lain

Golongan Vitamin

����������� Penggunaan golongan vitamin pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 7 kasus. Adapun gambaran penggunaan golongan vitamin pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

 

Tabel 11. Gambaran penggunaan golongan vitamin berdasarkan jenis

No.

Jenis Vitamin

Frekuensi

Presentase (%)

1

Neurosanbe

7

100

Jumlah

7

100

 

Berdasarkan dari tabel 11 menggambarkan bahwa jenis golongan vitamin yang paling banyak digunakan adalah Neurosanbe yaitu sebanyak 7 kasus (100%). Penggunaan golongan vitamin pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 10 berikut:

Gambar 10. Gambaran Penggunaan Golongan Vitamin Berdasarkan Jenis

 

Golongan Antihistamin

����������� Penggunaan golongan antihistamin pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 77 kasus. Adapun distribusi penggunaan golongan antihistamin� pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

 

Tabel 12. Gambaran Penggunaan Golongan Antihistamin Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Antihistamin

Frekuensi

Persentase (%)

1

Cetirizin

3

3,9

3

CTM

74

96,1

Jumlah

77

100

 

Berdasarkan tabel 12 menggambarkan bahwa jenis golongan antihistamin yang paling banyak digunakan adalah CTM yaitu sebanyak 74 kasus (96,1%), pada urutan kedua adalah Cetirizin yaitu sebanyak 3 kasus (3,9%). Penggunaan golongan antihistamin pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 11 berikut:

 

Gambar 11. Gambaran Penggunaan Golongan Antihistamin Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Saluran Cerna

����������� Penggunaan golongan saluran cerna pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 100 kasus. Adapun distribusi penggunaan obat golongan saluran cerna yang digunakan pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:

 

Tabel 13. Gambaran Penggunaan Golongan Saluran Cerna Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Saluran Cerna

Frekuensi

Persentase (%)

1

Antasida

53

53

2

Acitral

4

4

3

Omeprazole

37

37

4

Ranitidin

4

4

5

Lansoprazole

1

1

6

Sucralfate

1

1

Jumlah

100

100

 

Berdasarkan tabel 13 menggambarkan bahwa jenis golongan saluran cerna yang paling banyak digunakan adalah Antasida yaitu sebanyak 53 kasus (53%), di urutan kedua adalah Omeprazole yaitu sebanyak 37 kasus (37%), di urutan ketiga adalah Acitral dan Ranitidin yaitu sebanyak 4 kasus (4%), di urutan keempat adalah Lansoprazole dan sucralfate yaitu masing-masing sebanyak 1 kasus (1%). Penggunaan golongan saluran cerna pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 12 berikut:

 

Gambar 12. Gambaran Penggunaan Golongan Saluran Cerna Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Antikolesterol

����������� Penggunaan golongan hipertensi pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika Porsea pada penelitian ini adalah sebanyak 2 kasus. Adapun distribusi penggunaan obat golongan hipertensi yang digunakan pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:

 

Tabel 14. Gambaran Penggunaan Golongan Antikolesterol Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Antikolesterol

Frekuensi

Persentase (%)

1

Simvastatin

1

50

2

Fenofibrate

1

50

Jumlah

2

100

 

Berdasarkan tabel 14 menggambarkan bahwa jenis golongan Antikolesterol yang digunakan adalah Simvastatin dan Fenofibrate yaitu masing-masing sebanyak 1 kasus (50%). Penggunaan golongan Antikolesterol pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 13 berikut: 

Gambar 13. Gambaran Penggunaan Golongan Antikolesterol Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Analgetik

����������� Penggunaan golongan analgetik pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika pada penelitian ini adalah sebanyak 1 kasus. Adapun distribusi penggunaan obat golongan analgetik yang digunakan pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:

 

Tabel 15. Gambaran Penggunaan Golongan Analgetik Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Analgetik

Frekuensi

Persentase (%)

1

Paracetamol

1

100

Jumlah

1

100

 

Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat penggunaan golongan analgetik yaitu sebanyak 1 kasus (100%). Penggunaan golongan analgetik pada pasien penderita PPOK juga dapat dilihat pada Gambar 14 berikut:

 

Gambar 14. Gambaran Penggunaan Golongan Analgetik Berdasarkan Jenis.

 

Golongan Obat Lain

Penggunaan golongan obat lain pada pasien penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I pada penelitian ini adalah sebanyak 14 kasus. Adapun distribusi penggunaan obat golongan obat lain yang digunakan pada pasien penderita PPOK berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 15 berikut:

 

Tabel 16. Gambaran Penggunaan Golongan Obat Lain Berdasarkan Jenis

No.

Jenis Obat Lain

Frekuensi

Persentase (%)

1

Betahistine

3

21,43

2

Tremenza

7

50

3

Flunarizine

3

21,43

4

Valisanbe

1

7,14

Jumlah

14

100

 

Berdasarkan tabel 16 menggambarkan bahwa jenis golongan obat lain terdiri dari Tremenza yaitu sebanyak 7 kasus (50%), Betahistine dan Flunarizine yaitu masing-masing sebanyak 3 kasus (21,43%), dan Valisanbe yaitu sebanyak 1 kasus (7,14%). Penggunaan golongan obat lain pada pasien PPOK berdasarkan jenis dapat juga dilihat pada Gambar 15 berikut:

 

Gambar 15. Penggunaan Golongan Obat Lain Berdasarkan Jenis.

 

Polifarmasi

����������� Dari penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Karya Medika I ditemukan polifarmasi seperti yang tertera pada Tabel 16 berikut:

 

Tabel 17. Polifarmasi Pada Penderita PPOK Berdasarkan Kategori

No.

Kategori Polifarmasi

Pasien yang mendapat polifarmasi

Frekuensi

Persentase (%)

1

Minor

59

47,2

2

Mayor

66

52,8

 

Berdasarkan Tabel 17 dapat digambarkan bahwa dari 125 kasus PPOK yang mendapatkan polifarmasi minor sebanyak 59 kasus (47,2%), dan yang mendapat polifarmasi mayor sebanyak 66 kasus (52,8%).

 

Gambar 16. Polifarmasi

 

Uraian lebih lanjut tentang jumlah polifarmasi minor dan mayor tersebut dapat dilihat pada Tabel 17 dan 18 berikut:

 

Tabel 18. Polifarmasi Minor

No.

Jumlah Polifarmasi Minor

Frekuensi

Persentase (%)

1

3

17

28,81

2

4

42

71,19

Jumlah

59

100

�����������

Berdasarkan Tabel 18 dapat digambarkan bahwa dari 59 kasus polifarmasi minor yang mendapat polifarmasi 3 sebanyak 17 kasus (28,81%), yang mendapat polifarmasi 4 sebanyak 42 kasus (71,19%). Jumlah polifarmasi minor dapat juga dilihat pada Gambar 17 berikut:

 

Gambar 17. Polifarmasi minor

 

Tabel 19. Polifarmasi Mayor

No.

Jumlah Polifarmasi Mayor

Frekuensi

Persentase (%)

1

5

22

33,33

2

6

29

43,94

3

7

14

21,21

4

8

1

1,52

Jumlah

66

100

 

����������� Berdasarkan Tabel 19 dapat digambarkan bahwa dari 66 kasus Polifarmasi mayor yang mendapat polifarmasi 5 sebanyak 22 kasus (33,33%), yang mendapat polifarmasi 6 sebanyak 29 kasus (43,94%), yang mendapat polifarmasi 7 sebanyak 14 kasus (21,21%) dan yang mendapat polifarmasi 8 sebanyak 1 kasus (1,52%). Jumlah polifarmasi mayor dapat juga dilihat pada Gambar 18 berikut:

 

Gambar 18. Polifarmasi Mayor

 

Interaksi yang dapat menurunkan Efektivitas Obat PPOK

Gambaran interaksi yang dapat menurunkan efektivitas dari obat PPOK ditemukan dalam pemberian obat Methylprednisolon, Omeprazole dan Dexamethasone secara bersamaan dengan Retaphyl SR dapat menurunkan efek kerja Rethapyl SR. Disarankan pemberian obat Methylprednisolon, Omeprazole dan Dexamethasone diberikan sebaiknya selang 30 menit-1 jam setelah pemberian Retaphyl SR.

 

 

KESIMPULAN

 

����������� Berdasarkan hasil di atas, peneliti menyimpulkan bahwa gambaran distribusi proporsi pasien penderita PPOK di Rumah Karya Medika I berdasarkan usia yaitu yang berusia 60 ke atas lebih dominan terkena penyakit PPOK, yakni sebanyak 47 kasus (37,6%), urutan kedua yaitu usia 50-59 yaitu sebanyak 39 kasus (31,2%), urutan ketiga yaitu usia 40-49 yaitu sebanyak 28 kasus (22,4%) dan urutan keempat pada usia 30-39 yaitu sebanyak 6 kasus (4,8%) serta usia 20-29 yaitu sebanyak 5 kasus (4%). Gambaran distribusi proporsi pasien penderita PPOK di Rumah Karya Medika I berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dominan terkena penyakit PPOK, yakni sebanyak 66 kasus (52,8%), selanjutnya yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 59 kasus (47,2%). Gambaran penggunaan obat pada pasien BPJS rawat jalan penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I Berdasarkan Resep Periode Juli-September 2020 yakni golongan antitusif yaitu sebanyak 46 kasus (11,47%), golongan bronkodilator yaitu sebanyak 222 kasus (55,36%), golongan mukolitik yaitu sebanyak 50 kasus (12,47%), golongan antiinflamasi yaitu sebanyak 75 kasus (18,70%), golongan antibiotika yaitu sebanyak 5 kasus (1,25%), golongan antioksidan yaitu sebanyak 3 kasus (0,75%). Selain obat PPOK juga digunakan obat lain, golongan antihistamin yaitu sebanyak 77 kasus (38,31%), golongan saluran cerna yaitu sebanyak 100 kasus (49,75%), golongan vitamin yaitu sebanyak 7 kasus (3,48%), golongan antikolesterol yaitu sebanyak 2 kasus (0,99%), golongan analgetik sebanyak 1 kasus (0,5%) dan golongan obat lain yaitu sebanyak 14 kasus (6,97%). Gambaran polifarmasi pada pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) penderita PPOK di Rumah Sakit Karya Medika I yaitu 59 kasus (47,2%) tergolong kedalam polifarmasi minor dan 66 kasus (52,8%) tergolong kedalam polifarmasi mayor. Gambaran interaksi yang dapat menurunkan efektivitas dari obat PPOK ditemukan dalam pemberian obat Methylprednisolon, Omeprazole dan Dexamethasone secara bersamaan dengan Retaphyl SR dapat menurunkan efek kerja Rethapyl SR.

 

 

�BIBLIOGRAFI

 

Arisandi, Muhammad Zulfi. (2021). Mekanisme Pengawasan Terhadap Peserta BPJS Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 7(1), 127�139.

 

Ariyani, Retno Desi. (2011). Hubungan antara status gizi dan pola makan dengan fungsi paru pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) di Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Dasopang, Eva S., Harahap, Urip, & Lindarto, Dharma. (2015). Polifarmasi dan interaksi obat pasien usia lanjut rawat jalan dengan penyakit metabolik. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 4(4), 235�241.

 

Ningrum, Setia. (2019). Strategi Branding Kampung Arab Caf� And Resto Melalui Media Sosial Instagram Dalam Membangun Brand Image (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Akun Instagram@ Kampungarab). Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

 

Oemiati, Ratih. (2013). Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 23(2), 20807.

 

Organization, World Health. (2015). World health statistics 2015. World Health Organization.

 

Organization, World Health. (2016). World health statistics 2016: monitoring health for the SDGs sustainable development goals. World Health Organization.

 

Permenkes, R. I. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes RI.

 

Permenkes RI. (2008). permenkes ri 269/MENKES/PER/III/2008. Permenkes Ri No 269/Menkes/Per/Iii/2008, Vol. 2008, p. 7.

 

Suprayitno, Emdat. (2017). Pengaruh Pursed Lips Breathing Terhadap Peak Expiratory Flow Rate Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Wiraraja Medika: Jurnal Kesehatan, 7(2), 56�60.

 

Syachroni, S. Si, Syarifah, Umi, Kom, S., & Yulianto, Aris. (2013). Riset Kesehatan Dasar.

 

Wedho, Ulemadja, & Margaretha, Maria. (2019). Buku Pedoman Praktikum: Menerapkan Berbagai Tindakan Keperawatan Dengan Menempatkan Caring Sebagai Pusat Praktek Keperawatan. Lima Bintang Kupang.

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).