�EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ISPA DI KLINIK LEGOK MEDIKA SUMEDANG

 

 

Nenih Nurjanah1, Rida Emelia2

Klinik Legok Medika Sumedang1, Politeknik Piksi Ganesha Bandung2

[email protected]1, em[email protected]2

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised� :

Accepted:

03-09-2021

08-02-2022

10-02-2022

Latar Belakang: Ditinjau dari prevalensinya, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga kesehatan (NAKES) dan gejala menurut provinsi pada tahun 2013 sebanyak 25,0% dan menurun pada tahun 2018 sebanyak 9,3%.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien ISPA di Klinik Legok Medika Tahun 2021.

Metode: Penelitian yang dilakukan yaitu penelitian observasial penelitian terhadap sekumpulan objek atau penomena dimana penelitian ini bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk melihat implementasi penggunaan antibiotik pada pasien ISPA.

Hasil: Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa pasien ISPA di Klinik Legok didominasi oleh pasien perempuan adalah 33 orang dengan persentase 66% dan pasien laki-laki adalah 17 orang dengan persentase 34%. Menunjukan pasien terbanyak adalah pasien dewasa 26-40 tahun adalah sebanyak 17 orang (34%) disebabkan oleh perokok aktif dan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian yang saya dapatkan secara observasial atau penelitian yang bersifat deskriptif. Penggunaan obat antibiotik pada pasien ISPA di Klinik Legok Medika Sumedang didominasi oleh perempuan dengan persentase 66% dan pasien laki-laki dengan presentase 34%.

Kata kunci: penggunaan antibiotik; ISPA; pasien.

 

 

 

 

Abstract

 

Background: Judging from its prevalence, the prevalence of Acute Respiratory Tract Infections (ISPA) according to the diagnosis of health workers (NAKES) and symptoms by province in 2013 was 25.0% and decreased in 2018 by 9.3%.

Objective: The goal of the study was to evaluate antibiotic use in ISPA patients at Legok Medika Clinic in 2021.

Methods: The study was an observational study of a set of objects or objects where the study was descriptive, which aimed to see the implementation of antibiotic use in ISPA patients.

Results: Based on the results of the study, showing that ISPA patients in Legok Clinic dominated by female patients are 33 people with a percentage of 66% and male patients are 17 people with a percentage of 34%. Showing the most patients are adult patients 26-40 years is as many as 17 people (34%) due to active smokers and a weakened immune system.

Conclusion: From the results of research that I get observationally or research that is descriptive. The use of antibiotic drugs in ISPA patients at Legok Medika Sumedang Clinic is dominated by women with a percentage of 66% and male patients with a percentage of 34%.

Keywords: use of antibiotics; ISPA; patient.

*Correspondence Author: Nenih Nurjanah

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis. Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi menjadi daerah endemik dari berbagai penyakit infeksi yang dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat setiap saat. Salah satu penyakit infeksi itu adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Daroham, 2009). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan usia lanjut terutama di negara-negara dengan per kapital rendah dan menengah (Kemenkes, 2011).

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi ini terbagi berdasarkan wilayahnya yaitu infeksi saluran pernapasan akut atas dan infeksi saluran pernapasan akut bawah (Depkes, 2005). Infeksi saluran pernapasan bagian atas meliputi influenza, rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsillitis dan otitis. Infeksi saluran pernapasan bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Penyakit ISPA sebagian besar disebabkan oleh virus akan tetapi antibiotik banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini. Sedangkan pengobatan yang menggunakan 2 antibiotik ditujukan untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Depkes, 2005).

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat menyerang semua umur, baik orang dewasa, remaja atau balita. ISPA pun tidak mengenal tempat baik di negara maju maupun negara yang kurang berkembang. Oleh karena itu, penderita ISPA didunia sangat tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA yakni faktor intrinsik (perumahan, sosial ekonomi dan pendidik.)

Ditinjau dari prevalensinya, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga kesehatan (NAKES) dan gejala menurut provinsi pada tahun 2013 sebanyak 25,0% dan menurun pada tahun 2018 sebanyak 9,3%. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) prevalensi ISPA pada tahun 2013 sebanyak 15,0% dan menurun pada tahun 2018 sebanyak 2,5% (Riskesdas, 2018).

Pengobatan ISPA menggunakan antibiotik sering diberikan tanpa didahului dengan pemerikasaan mikroorganisme penginfeksi. Pada dasarnya atas penggunaan antibiotik secara rasional adalah pemilihan antibiotik yang selektif terhadap mikroorganisme penginfeksi dan efektif memusnahkan mikroorganisme penginfeksi. Akibat dari pemberian antibiotik yang tidak tepat, dapat menimbulkan bakteri yang resistensi terhadap antibiotik. ini diakibatkan karena bakteri dapat beradaptasi dengan lingkungannya dengan 3 cara mengubah sistem enzim atau dinding selnya menjadi resistensi terhadap antibiotik (Karch et al., 2015).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien ISPA di Klinik Legok Medika Tahun 2021.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian yang dilakukan yaitu penelitian observasial penelitian terhadap sekumpulan objek atau penomena dimana penelitian ini bersifat deskriptif (Putri, Mutiawati, & Mahdani, 2017), yang bertujuan untuk melihat implementasi penggunaan antibiotik pada pasien ISPA di Klinik Legok Medika Sumedang. Populasi dan sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 orang.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut

ISPA adalah infeksi saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung patogen penyebabnya dan faktor lingkungan (Marlina, Saputra, Mulyadi, Hayati, & Jaroji, 2017). Penyakit ISPA meliputi infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan, trakea, bronkhioli dan paru. Tanda dan gejala ISPA berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam, dan sakit telinga (Rahayu, 2016).

Batasan istilah ISPA menurut Depkes RI, mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian masing-masing batasan adalah :

1.      Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkambang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2.      Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ sekitarnya seperti sinus-sinus, rongga telingan tengah dan pleura.

3.      Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit ISPA dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Silviana, 2014).

Jenis Penyakit Ispa

1.      Infeksi Saluran Pernapasan Bagian Atas

a.       Otitis Media

Inflamasi pada telinga bagian tengah. Infeksi ini banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak 6 bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak (Abidatul, 2019). Otitis media terbagi menjadi Otitis media akut Otitis media efusi, dan Otitis media kronik. Amoksisilin merupakan antibiotik pilihan pertama pada terapi otitis media. Pilihan kedua dapat digunakan amoksisilin-klavulanat, kotrimoksazol, cefuroksim, ceftriaxone, cefprozil dan cefixime (Herminayu, 2020).

b.      Sinusitis

Peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa (Herminayu, 2020). Sinusitis dibedakan menjadi Sinusitis akut, Sinusitis subakut dan Sinusitis kronik. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan sinusitis akut. Keuntungan penggunaan amoksisilin adalah efikasi dan keamanan terjamin, merupakan antibiotik spektrum luas, biaya yang murah (Dipiro et al., 2014). Resistensi bisa terjadi pada sinusitis yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae yang menghasilkan enzim beta laktamase, sehingga resisten terhadap penisilin, amoksisilin maupun kotrimoksazol.

Hal ini dapat diatasi dengan memilih preparat amoksisilin-klavulanat atau fluoroquinolon (Nia, 2021).

c.       Faringitis

Peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis banyak dijumpai pada anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak (Fahira, 2020). Tanda dan gejala faringitis adalah demam, pusing, mual dan muntah, nyeri pada perut (khususnya anak-anak), nyeri pada tenggorokan, inflamasi pada tonsil dan faring (Dipiro et al., 2014).

Faringitis paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria gonorrhoeae. Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus faringitis pada anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak dijumpai adalah 8 nonbakteri, yaitu virus-virus adenovirus, influenza, parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus (Herminayu, 2020). Penisilin merupakan pilihan utama pada pengobatan faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus Grup A. Penisilin merupakan antibiotik spektrum sempit sehingga memiliki efektifitas dan keamanan yang sudah terbukti, serta biaya yang murah (Dipiro et al., 2014)

2.      Infeksi Saluran Pernapasan Bagian Bawah

a.          Bronkhitis

Kondisi dimana peradangan pada daerah trakheobronkial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis sering diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis (Anonim, 2005).

Tanda dan gejala pada akut bronkhitis seperti batuk, pusing, malaise, demam jarang melebihi 39�C, sakit tenggorokan. Pada bronkhitis kronis ditandai dengan sianosis dan obesitas (Dipiro et al., 2014).

Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus. Ada pula bakteri yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia pneumoniae atau Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Haemophilius influenzae.

Penyebab bronkitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif, merokok, paparan terhadap debu, polusi udara dan infeksi bakteri (Renida, 2020). Antibiotik pilihan pertama untuk bronkhitis akut adalah amoksisilin, sedangkan untuk bronkhitis kronik digunakan amoksisilin dan quinolon.

Resistensi dijumpai pada bakteri-bakteri yang terlibat infeksi nosokomial yaitu dengan dimilikinya enzim bete-laktamase. Hal ini dijumpai pada H. influenzae, M. catarrhalis, serta S. penumoniae. Untuk mengatasinya, dapat digunakan antibiotik amoksisilin-klavulanat, golongan makrolida atau fluoroquinolon. Pengobatan bronkhitis diberikan selama 5 � 10 hari (Herminayu, 2020).

b.         Pneumonia

Infeksi di ujung bronkhial dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia (Nugroho, Utami, & Astuti, 2011).

Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam, tachypnea, takikardia, batuk yang produktif serta perubahan sputum baik dari jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu, pasien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk pisau (Prameswary, Annisa, Wijayanti, & Putra, 2020). Pneumonia dapat dibedakan menjadi Community acquired pneumoniae (CAP) dan Nosokomial pneumoniae.

 

Konsep Antibiotik

Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat semisintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007)

Sebelum memulai terapi dengan antibiotik sangat penting untuk dipastikan apakah infeksi benar-benar ada. Hal ini disebabkan ada beberapa kondisi penyakit maupun obat yang dapat memberikan gejala/ tanda yang mirip dengan infeksi. Selain itu pemakaian antibiotik tanpa didasari bukti infeksi dapat menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi Reaksi Obat Berlawanan (ROB) yang dialami pasien. Bukti infeksi dapat berupa adanya tanda infeksi seperti demam, leukositosis, inflamasi di tempat infeksi, produksi infiltrat dari tempat infeksi, maupun hasil kultur. Kultur perlu dilaksanakan pada infeksi berat, infeksi kronik yang tidak memberikan respon terhadap terapi sebelumnya, pasien immunocompromised, infeksi yang menghasilkan komplikasi yang mengancam nyawa.

1.      Golongan antibiotik yang digunakan pada pasien ISPA

a.       Penisillin

Antibiotik pertama yang ditemukan dari Alexander Fleming tahun 1928 di London yang satu decade kemudian dikembangkan oleh Florey untuk penggunaan sistemik dengan menggunakan biakan Penisilium notatum. Akibat kebutuhan penisilin dalam jumlah besar pada saat perang dunia II, kemudian digunakan Penisilium chrysogenum yang dapat menghasilkan Penisilin termasuk antibiotic golongan betalaktam karena mempunyai rumus bangun dengan struktur seperti cincin β lactam yang merupakan syarat mutlak untuk menunjukkan khasiatnya.
����������� Jika cincin menjadi terbuka oleh enzyme β lactamase (penisilinase dan cefalosforinase) maka khasiatnya anti bakteri (aktivitas) antibiotic penisilin menjadi lenyap.
Mekanisme kerja penisilin merintangi/menghambat pembentukan sintesa dinding sel bakteri sehingga bila sel bakteri tumbuh dengan dinding sel yang tidak sempurna maka bertambahnya plasma atau air yang terserap dengan jalan osmosis akan menyebabkan dinding sel pecah sehingga bakteri menjadi musnah.

Resistensi pemakaian yang tidak tepat dapat menyebabkan bakteri terutama golongan Stafilococcus dan Bakteri Coli menjadi resisten (kebal) terhadap penisilin.

Resistensi bakteri ini terbantuk dengan cara :

1)      Bakteri membentuk enzyme β lactamase yang memecah cincin β lactam.

2)      Bakteri mengubah bentuknya menjadi bakteri huruf L yaitu bentuk bakteri tanpa dinding sel. Bakteri berbentuk L dapat menimbulkan infeksi kronis (misalnya infeksi paru-paru dan saluran kemih) karena lama berkembanganya. Bakteri semacam ini dengan mudah dimatikan dengan kotrimoksazol atau tetrasiklin (obat antibiotik).

 

Derivate (turunan) penisilin berdasarkan perkembangannya, seperti dibawah ini :

a)      Penisilin spectrum sempit :

(1)   Benzil penisilin = penisilin G

Tidak tahan asam lambung, sehingga pemberian secara oral akan diuraikan oleh asam lambung, karena itu penggunaannya secara injeksi atau infuse intra vena.

(2)   Penisilin V = Fenoksimetil penisilin

Penisilin ini tahan asam lambung, pemberian sebaiknya dalam keadaan sebelum makan.

(3)   Penisilin tahan Penisilinase

Derivat ini hampir tidak terurai oleh penisilinase, tetapi aktivitasnya lebih ringan dari penisilin G dan penisilin V. umumnya digunakan untuk kuman-kuman yang resisten terhadap obat-obat tersebut. Contohnya kloksasin, dikloksasin, flukloksasilin.

Kombinasi amoksisilin dengan asam klavulanat menghasilkan efek sinergisme dengan khasiat 50 kali lebih kuat, efektif terhadap E.coli, H.influenza dan staphylococcus aureus. Contohnya Augmentin (Beecham). Asam klavulanat adalah senyawa β lactam dari hasil fermentasi streptomyces clavuligerus.

b)      Penisilin spectrum luas :

(1)   Ampisilin

Spectrum kerjanya meliputi banyak kuman gram positif dan gram negative yang tidak peka terhadap penisilin G. khasiatnya terhadap kuman-kuman gram positif lebih ringan daripada penisilin-penisilin spectrum sempit. Banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi atau peradangan pada saluran pernafasan (bronkitis), saluran pencernaan (desentri), dan infeksi saluran kemih.

(2)   Amoksisilin

Spectrum kerjanya sama dengan ampisilin, tetapi absorbsinya lebih cepat dan lengkap. Banyak digunakan terutama pada bronkitis menahun dan infeksi saluran kemih.

(3)   Co-amoxiclav

b.      Sefalosforin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme. Efek samping pada obat oral dapat menimbulkan gangguan lambung usus (diare, mual, muntah), jarang sekali reaksi alergi. Berdasarkan khasiat antimikroba dan resistensinya terhadap beta-laktamase, sefalosporin digolongkan menjadi :

1)      Generasi ke-1

zat ini aktif terhadap cocci gram positif, tidak berdaya terhadap gonococci, H. Influenzae, Bacteroides dan Pseudomonas. Termasuk didalamnya adalah sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin dan sefadroksil.

2)      Generasi ke-2

Sefaklor, sefamandol sefmetazol dan sefuroksim lebih efektif terhadap kuman gram negatif, termasuk H. influenzae, Proteus, Klebsiella, gonococci dan kuman yang resisten untuk amoksisilin.

3)      Generasi ke-3

Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides. Termasuk didalamnya adalah sefoperazon, sefotaksim, seftizoksim, seftriakson, sefotiam, sefiksim, sefpodoksim, dan sefprozil.

4)      Generasi ke-4

Obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap Pseudomonas. Termasuk didalamnya adalah sefepim dan sefpirom

c.       Quinolon

Quinolone berindikasi sebagai antiseptik saluran kemih saja, tetapi pada awal tahun 1980-an telah diperkenalkan quinolon baru dengan atom flour yang disebut dengan Fluroquinolon yang mempunyai atom flour pada cincin quinolon, Fluroquinolon ini mempunyai indikasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan quinolon, indikasinya antara lain : Infeksi Saluran Kemih (ISK), Infeksi Saluran Cerna, Infeksi Saluran Nafas (ISN), Penyakit yang ditulakan melalui hubungan seksual, Infeksi tulang dan Sendi, serta Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak.

Daya antibakteri Fluroquinolon jauh lebih kuat dibandingkan dengan kelompok quinolon, selain itu kelompok obat ini juga diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk perenteral sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi berat, khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram-Negatif. Daya antibakterinya terhadap kuman Gram-Positif relatif Lemah. Yang termasuk golongan ini adalah Siprofloksasin, Ofloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Enoksasin, Levofloksasin, dan Flerofloksasin.

Flurokuinolon Baru mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-Positif, serta kuman antiseptik penyebab infeksi saluran nafas bagian bawah. Yang termasuk golongan ini adalah Moksifloksasin, Gatifloksasin, dan Gemifloksasin.

Penggunaan antibiotik untuk terapi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di klinik Legok Medika Sumedang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

 

Table 1. Data Penggunaan antibiotik pada Pasien ISPA

Golongan Antibiotik

Antibiotik

Jumlah Pasien

Sefalosforin generasi I

Cefadroxil 500 mg

120

Cefadroxil Syrup

16

Cefadroxil Forte Syrup

5

Sefalosforin generasi III

Cefixime 100 mg

131

Cefixime 200 mg

42

Cefixime Syrup

30

Penisillin

Amoxicillin 500 mg

60

Amoxicillin syrup

15

Quinolon

Ciprofloxacin

31

 

Dari data tabel 1 tersebut dapat kita ketahui bahwa jumlah data penggunaan antibiotik pada pasien Inpeksi Saluran Pernapasan Akut di Klinik Legok Medika Sumedang adalah 9 (n = 9). Untuk mencari jumlah rata-rata sampel dengan menggunakan rumus .

 

ϰ = 1/n . Ʃ

ϰ = rata-rata jumlah sampel

n = banyaknya data

Ʃ = jumlah keseluruhan data

 

ϰ = 1/n . Ʃ

= 1/9 . ( 120 + 16 + 5 + 131 + 42 + 30 + 60 + 15 + 31 )

= 1/9 . ( 450 )

≈ 50 orang

Jadi sampel yang di ambil sebanyak 50 orang.

 

Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien terdiagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Klinik Legok Medika Sumedang tahun 2021 yang didapat meliputi umur dan jenis kelamin pasien dapat dilihat pada tabel berikut :

 

Tablel 2. Karakteristik pasien ISPA di Klinik Legok Medika Sumedang.

Karakteristik

Kategori

Jumlah

Persentase %

N ( 50)

Umur

< 5

7

14

6-15

8

16

16-25

4

8

26-40

17

34

40-70

14

28

Jenis Kelamin

Laki-laki

17

34

 

Perempuan

33

66

 

Berdasarkan tabel 2 hasil penelitian, data penelitian diatas menunjukan bahwa pasien ISPA di Klinik Legok Medika Sumedang, tahun 2021 didominasi oleh pasien perempuan adalah 33 orang dengan persentase 66% dan pasien laki-laki adalah 17 orang dengan persentase 34%.

Menunjukan pasien terbanyak adalah pasien dewasa 26-40 tahun adalah sebanyak 17 orang (34%) disebabkan oleh perokok aktif dan sistem kekebalan tubuh yang lemah, pasien lansia 40-70 tahun adalah sebanyak 14 orang (28%) disebabkan karena sudah memiliki penyakit jantung atau gangguan paru-paru sebelumnya, pasien anak-anak 6-15 tahun adalah sebanyak 8 orang (16%) disebabkan karena mudah terinfeksi virus atau bakteri, pasien balita adalah sebanyak 7 orang (14%) disebabkan karena memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga sangat rentan terhadap berbagai infeksi dan pasien remaja 16-25 tahun adalah sebanyak 4 orang (8%) disebabkan karena perubahan cuaca dan kekebalan tubuh yang lemah.

 

Evaluasi Penggunaan Antibiotik

1.      Tepat Indikasi

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian pemberian obat ini hanya untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

2.      Tepat Pasien

Mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau kondisi � kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual. Apakah ada faktor yang dapat menyebabkan terjadinya efek samping obat terhadap penderita. Pemilihan obat disesuaikan dengan kondisi patologis dan fisiologis pasien.

3.      Tepat Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

4.      Tepat Dosis

Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi sempit misalnya teofilin, digitalis dan aminoglikosida akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

Waspada Terhadap Efek Samping Obat

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Misalnya, pemberian tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 12 tahun karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh (Prasetyaningrum, 2010).

Pemilihan antibiotik yang sesuai berdasarkan:

1.     Spektrum antikuman.

2.     Pola sensitifitas.

3.     Sifat farmakokinetika.

4.     Ada tidaknya kontraindikasi.

5.     Ada tidaknya interaksi yang merugikan.

6.     Bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing antibiotik untuk infeksi yang bersangkutan (Utami, 2011).

Besar dosis dan frekuensi pemberian untuk masing-masing obat dan untuk pemakaian indikasi-indikasi tertentu sudah banyak dicantumkan dalam berbagai referensi utama. Namun demikian, dalam menghadapi pasien secara individual yang perlu dipertimbangkan adalah adakah kondisi pasien yang mengharuskan untuk melakukan individualisasi atau penyesuaian dosis. Yang perlu diperhatikan pada frekuensi pemberian, selain faktor farmakokinetik obat untuk mencapai kadar yang optimal dalam darah, frekuensi pemberian harus dipilih yang paling mudah diikuti oleh pasien. Semakin sederhana frekuensi pemberian, semakin taat pasien mengikuti aturan pengobatan (Hasanudin & Maliya, 2017).

 

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan penelitian, hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis. Sebagai daerah tropis , salah satu penyakit infeksi itu adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Infeksi ini terbagi berdasarkan wilayahnya yaitu infeksi saluran pernapasan akut atas dan infeksi saluran pernapasan akut bawah (Depkes, 2005). Ditinjau dari prevalensinya, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga kesehatan (NAKES) dan gejala menurut provinsi pada tahun 2013 sebanyak 25,0% dan menurun pada tahun 2018 sebanyak 9,3%. Pada dasarnya atas penggunaan antibiotik secara rasional adalah pemilihan antibiotik yang selektif terhadap mikroorganisme penginfeksi dan efektif memusnahkan mikroorganisme penginfeksi. �Karakteristik pasien terdiagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Klinik Legok Medika Sumedang tahun 2021 didominasi oleh pasien perempuan adalah 33 orang dengan persentase 66% dan pasien laki-laki adalah 17 orang dengan persentase 34%.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abidatul, Mu�niah. (2019). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Instalasi Rawat Jalan RSUD dr. R. Soedjono Selong. Universitas Muhammadiyah Mataram.

Daroham, Noer Endah P. (2009). Mutiatikum, 2009. Penyakit ISPA Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) Di Indonesia, Puslitbang Biomedis Dan Farmasi Jakarta, 50�55.

Depkes, R. I. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., & Posey, L. Michael. (2014). Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, ed. McGraw-Hill Medical, New York.

Fahira, Yerima Tiara. (2020). Gambaran Pemberian Obat Golongan Kortikosteroid Pada Pasien Dengan Diagnosa Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Atas di Puskesmas Rawat Inap Mampu Poned Sukajaya. Poltekkes Tanjungkarang.

Hasanudin, Muh, & Maliya, Arina. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi TUR (Trans Uretra Resection) dengan Spinal Anestesi di Ruang Inap Mawar II dan Mawar III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, 2(1), 31�36.

Herminayu, Puji. (2020). Profil Terapi Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pasien Rawat Jalan di Klinik Mitra Husada. Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang.

Karch, Andr�, Schmitz, Roland P., Ri�ner, Florian, Castell, Stefanie, T�pel, Sandra, Jakob, Matthias, Brunkhorst, Frank M., & Mikolajczyk, Rafael T. (2015). Bloodstream infections, antibiotic resistance and the practice of blood culture sampling in Germany: study design of a Thuringia-wide prospective population-based study (AlertsNet). BMJ Open, 5(12), e009095.

Kemenkes, R. I. (2011). Modul penggunaan obat rasional. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Marlina, Mariam, Saputra, Wiwin, Mulyadi, Bohati, Hayati, Bismi, & Jaroji, Jaroji. (2017). Aplikasi sistem pakar diagnosis penyakit ispa berbasis speech recognition menggunakan metode naive bayes classifier. Digital Zone: Jurnal Teknologi Informasi Dan Komunikasi, 8(1), 58�70.

Nia, Kurniati. (2021). Evaluasi Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Anak Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Instalasi Rawat Inap RSUD Provinsi Ntb Periode Januari�Desember 2017-2020. Universitas_Muhammadiyah_Mataram.

Nugroho, Fendi, Utami, Pri Iswati, & Astuti, Ika Yuni. (2011). Evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga. PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of Indonesia), 8(01).

Prameswary, Febriany Carla, Annisa, Faida, Wijayanti, Dini Prastyo, & Putra, Kusuma Wijaya Ridi. (2020). Asuhan Keperawatan Pada tn. S dengan Diagnosa Medis Post Operasi (trans urethral Resection Prostat) di Ruang Mawar Kuning RSUD Sidoarjo. Akademi Keperawatan Kerta Cendekia Sidoarjo.

Prasetyaningrum, Anita. (2010). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun 2009. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Putri, Nanda Mafruzah, Mutiawati, Endang, & Mahdani, Wilda. (2017). Hubungan Derajat Stroke Terhadap Status Kognitif Pada Pasien Stroke Iskemik Di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr . Zainoel Abidin Banda Aceh Relationship Degree Stroke on The Cognitive Status Patients Ischemic Stroke. 2(1), 61�67.

Rahayu, Dea Guntur. (2016). Hubungan Status Gizi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Puskesmas Plered Bulan Maret Tahun 2015. Fakultas Kedokteran (UNISBA).

Renida, Servita. (2020). Asuhan Keperawatan Gangguan Kebutuhan Oksigenasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Ruang Melati RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2020. Poltekkes Tanjungkarang.

Riskesdas, Laporan Nasional. (2018). Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Silviana, Intan. (2014). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa dengan Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita Di PHPT Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2014. Forum Ilmiah, 11(3), 402�411.

Tjay, Tan Hoan, & Rahardja, Kirana. (2007). Obat-obat penting: khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo.

Utami, Eka Rahayu. (2011). Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi. Sainstis.

 

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).