�EVALUASI PELAYANAN KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI SWAMEDIKASI OBAT TERHADAP PASIEN DI APOTEK CICAHEUM FARMA KOTA BANDUNG

 

 

Novi Mirawati1, Wempi Eka Rusmana2

Politeknik Piksi Ganesha Bandung, Indonesia1, 2

[email protected]1, [email protected]om2

 

 

 

Abstrak

Received:

Revised� :

Accepted:

07-09-2021

08-02-2022

10-02-2022

Latar Belakang: Sebelum masyarakat memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan, banyak dari mereka yang melakukan cara mengobati diri sendiri atau yang disebut swamedikasi (self medication). Sesuai yang dijelaskan dalam Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 1993, swamedikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana palayanan komunikasi, informasi dan edukasi obat swamedikasi yang diberikan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek Cicaheum Farma Kota Bandung.

Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif evaluatif dengan menggunakan teknik observasi dan cheklist untuk mengumpulkan data penelitian.

Hasil: Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 pasien ditemukan sebagian besar belum mendapatkan pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif. Pelayanan yang diberikan hanya berfokus pada pelayanan komunikasi yang ramahtamah kepada pasien.

Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada 40 pasien yang membeli obat swamedikasi sebagian besar belum mendapatkan pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif. Pelayanan yang diberikan hanya berfokus pada pelayanan komunikasi yang ramahtamah kepada pasien.

Kata kunci: pelayanan KIE; swamedikasi; obat.

 

 

 

 

Abstract

 

Background: Before people decide to seek help from health care facilities, many of them use self-medication or what is called self-medication. As explained in the Ministry of Health of the Republic of Indonesia in 1993, self-medication is one of the efforts made by a person in treating symptoms of illness or disease that he is suffering from without first consulting a doctor.

Objective: This study aims to assess the extent to which communication, information and education services for self medication are provided by Pharmaceutical Technical Personnel at Cicaheum Farma Pharmacy, Bandung City.

Methods: The research method used is descriptive evaluative method using observation and checklist techniques to collect research data.

Results: From the result of research conducted on 40 patients, it was found tha most of them had not received effective communication, information and education services. The services provided only focus on friendly communication services to patients.

Conclusion: Based on research conducted on 40 patients who bought self-medication, most of them did not receive effective communication, information and education services. The services provided only focus on friendly communication services to patients.

Keywords: KIE services; self �medicine; medicine.

*Correspondence Author: Novi Mirawati

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Kesehatan merupakan salah satu hal yang sangat berharga didalam hidup ini. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1, menjelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Pemerintah Republik Indonesia, 2009).

Salah satu upaya masyarakat untuk meningkatkan kesehatan adalah penerapan berbagai pengobatan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Salah satunya adalah penggunaan obat-obatan modern yang terbuat dari bahan kimia. Upaya kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain pemeliharaan, peningkatan kesehatan (1 rehabilitasi), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (pengobatan), dan pemulihan kesehatan (1 rehabilitasi), secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan (Glantaria & Arief P, 2018). Keseluruhan konsep kesatuan kerja kesehatan ini dijadikan pedoman dan pedoman bagi seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk apotek (Sibarani, 2019).

Sebelum masyarakat memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan, banyak dari mereka yang melakukan cara mengobati diri sendiri atau yang disebut swamedikasi (self medication) (Tan & Rahardja, 1993). Sesuai yang dijelaskan dalam Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 1993, swamedikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter (Mardliyah, 2016).

Salah satu pelayanan kesehatan yang melayani swamedikasi adalah apotek. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2007 Tentang Apotek, menjelaskan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Permenkes, 2007). Apoteker adalah sarjana farmasi yang sudah lulus sebagai apoteker serta sudah mengucap sumpah jabatan apoteker. Sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian ialah seorang tenaga yang menolong apoteker dalam menempuh pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (KeMenKes, 2004).

Semakin majunya bidang kefarmasian telah merubahan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.� Yang dimana tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam hal yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi tentang penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat, serta menangani kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (KemenKes, 2014).

Maka dibuatlah standar pelayanan kefarmasian oleh Dirjen Yanfar dan Alkes, serta Departemen Kesehatan yang bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) sebagai upaya agar apoteker dan tenaga teknis kefarmasian dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik serta melaksanakan pelayanan dengan penuh tanggung jawab. Pro aktif melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) obat yang jelas kepada pasien� termasuk ke dalam standar pelayanan kefarmasian di apotek (Yanmed, 2006). Ini bertujuan untuk meminimalisisr terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

Penelitian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana palayanan komunikasi, informasi dan edukasi obat swamedikasi yang diberikan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek Cicaheum Farma Kota Bandung.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian. Sedangkan desain penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian survey deskriptif (Soendari, 2012).

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari Apotek Cicaheum Farma yang dikumpulkan dari tanggal 22 April 2021 hingga 22 Mei 2021 untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, maka penulis menggunakan beberapa teknik yang pertama adalah �observasi tersamar guna merahasiakan data yang sedang dicari penulis. Selanjutnya menggunakan daftar cocok (checklist) yang dilakukan secara langsung dengan mengamati sendiri pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi obat swamedikasi yang diberikan tenaga kefarmasian kepada pasien di Apotek Cicaheum Farma.

Selanjutnya data yang telah terkumpul kemudian dihitung presentasenya dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

 

X��� =

Jumlah cheklist ada/tidak ada

x�� 100%

Jumlah keseluruhan data (40)

 

 

 

Data yang telah dihitung lalu dibuat dalam pembahasan dan kesimpulannya sehingga pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi yang telah diberikan oleh tenaga kefarmasian obat swamedikasi di Apotek Cicaheum Farma dapat dibandingkan dengan parameter yang telah ditetapkan oleh Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di (KemenKes, 2016).

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pada penelitian ini form cheklist pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi obat swamedikasi dinilai sendiri dengan melakukan observasi tersamar. �Hasil penilaian tersebut menghasilkan data sebagai berikut :

 

Tabel 1. Hasil Penilaian Cheklist Pelayanan KIE Swamedikasi Obat Terhadap Pasien di Apotek Cicaheum Farma

No.

Cheklist Evaluasi KIE Swamedikasi Obat Terhadap Pasien

Ada

Tidak Ada

 

F

%

F

%

 

1.

Keramahtamahan dalam berkomunikasi

40

100%

0

0%

 

2.

Memberikan pertanyaan mengenai keluhan pasien

30

75%

10

25%

 

3.

Memberikan pertanyaan mengenai riwayat pengobatan sebelumnya

6

15%

34

85%

 

4.

Menyampaikan nama obat

38

95%

2

5%

 

5.

Memberikan informasi indikasi obat

20

50%

20

50%

 

6.

Memberikan informasi aturan pakai

18

45%

22

55%

 

7.

Memberikan informasi cara pakai obat

16

40%

24

60%

 

8.

Memberikan informasi tentang efek samping obat

2

5%

38

95%

 

9.

Memberikan informasi cara penyimpanan obat

0

0%

40

100%

 

 

Berdasarkan hasil tabel 1 di atas yang berisi 9 item penilaian dapat dipaparkan lebih jelas sebagai berikut :

1.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 100% tenaga farmasi di Apotek Cicaheum Farma bersikap ramah tamah dalam berkomunikasi dan sebanyak 0% tenaga farmasi yang tidak ramah tamah dalam berkomunikasi.

2.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 75% pasien diberikan pertanyaan mengenai keluhannya sedangkan 25% pasien tidak diberi pertanyaan tersebut.

3.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 15% pasien diberikan pertanyaan mengenai riwayat pengobatan sebelumnya sedangkan� dan 85% pasien tidak diberikan pertanyaan tersebut.

4.    Dari data ini dapat diketahui tenaga farmasi telah menyampaikan nama obat yang akan dibeli pasien sebanyak 95%. Sedangkan sebanyak 5% tidak disebutkan nama obatnya.

5.    Dari data ini dapat diketahui 50% pasien diberikan informasi mengenai indikasi obat yang akan dibelinya dan 50% lainnya tidak diberikan informasi tersebut.

6.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 45% pasien diberikan informasi aturan pakai obat yang dibelinya dan sebanyak 55% tidak diberikan informasi tersebut.

7.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 40% pasien diberikan informasi mengenai cara pakai obat sedangkan 60% pasien tidak diberikan informasi tersebut.

8.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 5% paien diberikan informasi mengenai efek samping obat yang dibelinya sedangkan 95% lainnya tidak diberikan informasi tersebut.

9.    Dari data ini dapat diketahui sebanyak 0% pasien diberikan informasi penyimpanan obat yang dibelinya dan 100% pasien tidak diberikan informasi tersebut.

 

Tabel 2.� Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No.

Jenis Kelamin

F

%

1.

Pria

18

45%

2.

Wanita

22

55%

 

Sesuai tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa dari 40 orang responden sebagian besar adalah wanita sebanyak 22 orang (55%) dan sisanya berjenis kelamin pria sebanyak 18 orang (45%). Sesuai penelitian ini penulis memaparkan hasil berupa tabel yang dapat diketahui jumlah responden sebanyak 40 orang dimana pasien wanita sebanyak 22 orang (55%) dan pasien pria sebanyak 18 orang (45%).

Hasil pegumpulan data dari penilaian cheklist mengenai keramah-tamahan dalam berkomunikasi yang dilakukan tenaga kefarmasian menunjukan persentase yang sangat baik yaitu sebesar 100% disebabkan tenaga kefarmasian di Apotek Cicaheum Farma selalu melayani dengan senyuman dan komunikasi yang baik. Penilaian mengenai pertanyaan tentang keluhan yang dirasakan pasien mendapatkan persentase yang baik yaitu sebesar 75% disebabkan tenaga kefarmasian di Apotek Cicaheum Farma memastikan terlebih dahulu sakit yang dialami pasien agar tidak salah dalam memberi obat untuk pertanyaan mengenai riwayat pengobatan sebelumnya menunjukan persentase yang sangat kurang yaitu sebesar 15% disebabkan� kurangnya perhatian tenaga kefarmasian kepada pasiennya.

Dalam hal menyampaikan nama obat, Apotek Cicaheum Farma telah sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian dan menunjukan persentase nilai yang sangat baik yaitu sebesar 95% untuk penilaian mengenai pemberian informasi indikasi obat mendapatkan persentase yang cukup yaitu 50% disebabkan tenaga kefarmasian menganggap beberapa pasien telah mengetahui kegunaan obat yang dibelinya. Penilaian dalam memberikan informasi aturan pakai menunjukan nilai persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 45% sama halnya dengan penilaian sebelumnya, tenaga kefarmasian menganggap beberapa pasien pernah menggunakan obat yang dibelinya sehingga tidak menjelaskan aturan pakainya apalagi untuk obat yang pada kemasannya telah tertulis aturan pakai.

Penilaian dalam penyampaian informasi cara pakai obat menunjukan nilai persentase yang kurang yaitu sebesar 40% disebabkan tenaga kefarmasian hanya menjelaskan cara pakai obat� kepada pasien yang membeli obat topikal. Selanjutnya penilaian tentang informasi efek samping obat menunjukan persentase yang sangat kurang yaitu 5%. Persentase rendah ini disebabkan kurangnya pengetahuan tenaga kefarmasian tentang efek samping obat sehingga banyak pasien tidak diberikan penjelasan tentang efek samping obat yang dibelinya (Sugianto, 2018).

Penilaian terakhir tentang memberikan informasi cara penyimpanan obat menunjukan persentase yang sangat buruk yaitu sebesar 0% dimana yang artinya dari 40 pasien tidak ada yang diberikan informasi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga kefarmasian menganggap pemberian informasi tersebut tidak penting. Padahal tujuan penyampaian ini baik untuk menjaga mutu obat.

Berdasarkan data bahwa 6 dari 9 penilaian menunjukan nilai dibawah 50% yang berarti pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi obat swamedikasi belum sesuai standar pelayanan kefarmasian di apotek (Laia, 2019). Pelayanan KIE obat swamedikasi yang dilakukan di Apotek Cicaheum Farma sudah berjalan cukup baik namun belum semua disampaikan dengan lengkap hanya sebatas keramahtamahan dalam berkomunikasi, menanyakan keluhan pasien dan penyampaian nama obat. Padahal pelayanan KIE yang lengkap dan jelas dapat menambahkan pengetahuan pasien sehingga meminimalisir kesalahan dalam pengobatannya (Pratama, 2020).

����������������

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada 40 pasien yang membeli obat swamedikasi sebagian besar belum mendapatkan pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif. Pelayanan yang diberikan hanya berfokus pada pelayanan komunikasi yang ramahtamah kepada pasien.

Dari hasil penilaian cheklist yang berisi 9 item diurutkan sesuai kategori dari nilai tertinggi, bahwa sangat baik (SB) yaitu item ke 1 dengan persentase 100% dan item ke 4 dengan persentase 95%. Baik (B) yaitu item ke 2 dengan persentase 75%. Cukup (C) yaitu item ke 5 dengan persentase 50%. Kurang (K) yaitu item ke 6 dengan persentase� 45% dan item ke 7 dengan persentase 40%. Sangat kurang (SK) yaitu item ke 3 dengan persentase 15%, item ke 8 dengan persentase 5% dan item ke 9 dengan persentase 0%.

 

 

BIBLIOGRAFI

Glantaria, Yuli, & Arief P, Bambang. (2018). Evaluasi Pelayanan Kie (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Obat di Apotek Shen Jaya Donomulyo. Akademi Farmasi Putera Indonesia Malang.

KemenKes, R. I. (2014). PerMenKes RI Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. Jakarta: MenKes RI.

KemenKes, R. I. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan.

KeMenKes, R. I. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197. MENKES/SK/X/2004, tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta ï¿½.

Laia, Berdikari. (2019). Evaluasi Pelayanan Kefarmasian di Apotek Rumah Sakit Putri Hijau Medan 2019. Institut Kesehatan Helvetia.

Mardliyah, Ikhda Khullatil. (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pasien Swamedikasi Obat Antinyeri di Apotek Kabupaten Rembang Tahun 2016.

Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Permenkes. (2007). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MenKes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007.

Pratama, Rizky Ditya. (2020). Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan Pasien Pada Klinik Pratama Albar (Cv Arthavest Medico Akbar). Universitas Komputer Indonesia.

Sibarani, Halim. (2019). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Layanan Kefarmasian Pada Pasien Rawat Jalan di Apotek Puskesmas Teladan Kota Medan.

Soendari, Tjutju. (2012). Metode Penelitian Deskriptif. Bandung, UPI. Stuss, Magdalena & Herdan, Agnieszka, 17.

Sugianto, Putri Wahyuandini. (2018). Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Oleh Tenaga Farmasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Aisyiyah Muntilan. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Magelang.

Tan, H. T., & Rahardja, Kirana. (1993). Swamedikasi. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. dan.

Yanmed, Dirjen. (2006). Pedoman pengelolaan rekam medis di rumah sakit di indonesia. Jakarta: Depkes R.

 

� 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).