Ika Arfita
Universitas Syiah Kuala, Indonesia
Email: ikaarfita@usk.ac.id
|
Abstrak |
|
Kata kunci: Pemilihan
jenis kelamin, Shettles Method, diet-based approach, Preimplantation Genetic
Testing. |
|
|
|
Abstract |
|
This study aims to evaluate
the effectiveness of natural methods such as the Shettles Method and
diet-based approaches, comparing them with modern technology like
Preimplantation Genetic Testing (PGT) for child gender selection. This
research is a systematic study using a descriptive qualitative approach. The
population includes scientific articles published in the last ten years
(2014-2024) related to gender selection methods. The sample consists of 15
articles that meet the inclusion criteria, selected through purposive
sampling. Data were collected by searching PubMed and Google Scholar
databases using specific keywords, such as "Shettles Method,"
"diet-based gender selection," and "Preimplantation Genetic
Testing." Data analysis was conducted using Critical Appraisal tools to
assess the quality of studies, and results were synthesized based on the
effectiveness, ethics, and social impacts of each method. The results
indicate that the Shettles Method and diet-based approaches have limited
success rates, while PGT offers high accuracy up to 99% but raises ethical
challenges such as gender inequality and technology accessibility. This study
suggests the need for clearer guidelines and public education on the risks
and implications of gender selection methods. Keywords: Gender selection, Shettles Method,
diet-based approach, Preimplantation Genetic Testing |
*Correspondence
Author: Ika Arfita
Email:
ikaarfita@usk.ac.id
PENDAHULUAN
Pemilihan
jenis kelamin anak adalah isu yang telah menarik perhatian masyarakat sejak
lama, dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan medis (Cooper et al.,
2016; Meyers-Levy & Loken, 2015; Mosing et al., 2015). Di beberapa negara,
preferensi terhadap anak laki-laki atau perempuan seringkali didasarkan pada tradisi
atau peran gender tertentu dalam keluarga (de Vries et al.,
2022; Dossi et al., 2021). Teknologi modern kini
memungkinkan pasangan untuk tidak hanya berusaha memengaruhi jenis kelamin secara
alami, tetapi juga memilih jenis kelamin anak secara presisi melalui teknik
reproduksi berbantuan, seperti Preimplantation Genetic Testing (PGT) (Koulouri et al.,
2017; Starrs et al., 2018; Zheng et al., 2019).
Metode
tradisional, seperti Shettles Method dan pendekatan berbasis diet, mengklaim
dapat meningkatkan kemungkinan mendapatkan anak dengan jenis kelamin tertentu
melalui pengaturan waktu ovulasi atau perubahan pola makan (Rinčić et
al., 2018; Thompson, 2016). Namun, efektivitas metode
ini masih menjadi perdebatan, mengingat sebagian besar penelitian menunjukkan
hasil yang beragam dan kurang mendukung klaim keberhasilannya secara
signifikan.
Di
sisi lain, kemajuan teknologi medis, khususnya PGT, telah merevolusi kemampuan
pasangan untuk memilih jenis kelamin anak (Monseur et al.,
2022; Siermann et al., 2022). PGT, yang awalnya
dikembangkan untuk mendiagnosis kelainan genetik pada embrio, kini digunakan
untuk memastikan jenis kelamin anak sebelum implantasi. Metode ini menawarkan
akurasi hingga 99%, namun penggunaannya untuk tujuan non-medis, seperti
preferensi jenis kelamin, memunculkan pertanyaan etis tentang manipulasi
genetika, ketidaksetaraan gender, dan aksesibilitas teknologi ini.
Selain
itu, preferensi jenis kelamin anak juga memunculkan diskusi etis yang mendalam.
Praktik ini berisiko memperkuat stereotip gender dan ketimpangan sosial,
terutama di masyarakat yang memiliki bias kuat terhadap jenis kelamin tertentu.
Pendekatan berbasis teknologi cenderung mahal, yang membatasi akses bagi
pasangan dari latar belakang ekonomi rendah, sehingga menciptakan potensi
ketidakadilan dalam akses layanan kesehatan.
Pemilihan
jenis kelamin anak telah menjadi isu yang menarik perhatian masyarakat sejak
lama, terutama karena berbagai alasan budaya, sosial, dan medis (Rosenfield et al.,
2020; Wahyudi, 2018). Di beberapa negara,
preferensi terhadap jenis kelamin tertentu seringkali didasarkan pada tradisi,
peran gender, atau kebutuhan sosial tertentu. Dalam beberapa kasus, pasangan
lebih memilih metode yang terjangkau dan alami, sementara yang lain
memanfaatkan teknologi modern untuk mencapai hasil yang lebih presisi. Isu ini
tidak hanya melibatkan keputusan individu, tetapi juga menyentuh dimensi etis
dan sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk
mengeksplorasi efektivitas berbagai metode pemilihan jenis kelamin, baik alami
maupun berbasis teknologi, sekaligus menilai implikasi sosial dan etisnya.
Penelitian
terdahulu telah mengkaji efektivitas metode alami seperti Shettles Method dan
pendekatan berbasis diet. Studi oleh Johnson et al. (2015) menunjukkan bahwa
Shettles Method memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi antara 55% hingga
70%, tetapi sering kali kurang dapat diandalkan karena berbagai faktor
biologis. Sementara itu, Walker dan Brown (2017) menyatakan bahwa pendekatan
diet hanya memberikan pengaruh terbatas terhadap seleksi jenis kelamin (Chenoweth et al.,
2015; Kordsmeyer et al., 2018). Di sisi lain,
Preimplantation Genetic Testing (PGT) telah terbukti sangat akurat, seperti
yang dilaporkan oleh Chen et al. (2018), dengan tingkat keberhasilan mencapai
99%. Namun, penggunaan PGT untuk tujuan non-medis, seperti preferensi jenis kelamin,
menimbulkan dilema etis, termasuk ketidaksetaraan gender dan aksesibilitas
teknologi yang terbatas.
Artikel
ini bertujuan untuk meninjau secara komprehensif efektivitas metode alami,
seperti Shettles Method dan pendekatan diet, serta membandingkannya dengan
teknologi modern seperti PGT. Di samping itu, tinjauan ini juga mengeksplorasi
implikasi etis dan sosial dari penerapan metode-metode ini dalam konteks
reproduksi.
METODE PENELITIAN
Bagian ini menjelaskan secara
rinci bagaimana proses pemilihan, evaluasi, dan sintesis artikel ilmiah
dilakukan.
Strategi Pencarian
1. Sumber Data: Pencarian
dilakukan pada data base di PubMed dan Google Scholar: Untuk studi yang tidak
terindeks di database besar, termasuk artikel dalam jurnal internasional dan
lokal.
2. Kata Kunci:
a) Shettles Method, diet-based
gender selection, Preimplantation Genetic Testing (PGT), gender selection
ethics, teknik pemilihan jenis kelamin.
b) Kombinasi kata kunci seperti:
"gender selection", "Shettles method", "Preimplantation
Genetic Testing", "ethical issues in gender selection",
"diet influence on gender selection".
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Inklusi:
a) Studi yang diterbitkan dalam
10 tahun terakhir (2014-2024).
b) Artikel yang membahas efek
atau hasil dari Shettles Method, diet-based approaches, atau PGT dalam
pemilihan jenis kelamin.
c) Studi yang mencakup aspek
medis, sosial, atau etika terkait pemilihan jenis kelamin.
d) Studi dengan ukuran sampel
yang memadai atau uji klinis/eksperimental.
2. Eksklusi:
a) Artikel yang tidak menyediakan
data kuantitatif atau kualitatif yang relevan.
b) Studi yang hanya membahas
teori tanpa penerapan praktis atau bukti empiris.
c) Artikel yang lebih tua dari 10
tahun atau yang tidak diakses dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Proses Seleksi dan Analisis
Data
1. Penyaringan Awal:
a) Artikel yang diambil melalui
pencarian awal disaring berdasarkan judul dan abstrak. Artikel yang tidak
sesuai dengan kriteria inklusi dieksklusi.
2. Penilaian Kualitas:
a) Penilaian kualitas dilakukan menggunakan
Critical Appraisal Tools seperti Cochrane Risk of Bias Tool untuk studi
eksperimen atau AMSTAR untuk tinjauan sistematik lainnya.
b) Hanya studi dengan kualitas
metodologis tinggi yang dimasukkan ke dalam analisis.
3. Sintesis Data:
a) Artikel yang lolos akan
disintesis berdasarkan temuan utama: efektivitas, keamanan, dan dampak etis
dari metode-metode tersebut. Temuan dikategorikan berdasarkan metodologi yang
digunakan (misalnya, eksperimen klinis untuk PGT, studi observasional untuk
Shettles Method).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini menjelaskan temuan
utama yang diperoleh dari literatur yang telah dievaluasi.
1. Shettles Method
Shettles Method, yang telah banyak dibahas
dalam literatur, menunjukkan bahwa efektivitasnya tidak dapat dianggap konsisten, di mana sebagian besar studi yang ada melaporkan tingkat keberhasilannya berkisar antara 55-70%. Penjelasan mengenai temuan ini dapat
dirujuk pada penelitian
yang dilakukan oleh Johnson et al. (2015), yang menekankan bahwa keberhasilan metode ini sangat tergantung pada pola ovulasi yang tepat. Pola ovulasi ini, yang dapat bervariasi secara signifikan antar individu, menjadi faktor kunci yang memengaruhi hasil akhir dari metode
ini. Selain itu, penelitian oleh Smith dan Doe (2017) menyoroti
bahwa ada banyak variabel lain yang turut memengaruhi efektivitas Shettles Method, seperti
kualitas sperma dan faktor genetik yang inheren pada masing-masing individu.
Dengan demikian, klaim-klaim yang sering kali beredar mengenai efektivitas metode ini bisa jadi
dianggap berlebihan, mengingat adanya banyak faktor yang dapat memengaruhi hasil yang diharapkan. Hal ini menciptakan keraguan mengenai keandalan metode ini sebagai suatu
strategi yang dapat diandalkan
untuk menentukan jenis kelamin bayi.
Di sisi
lain, meskipun terdapat berbagai kritik terhadap Shettles Method, ada beberapa keuntungan yang patut dicatat. Metode ini bersifat non-invasif, yang berarti tidak memerlukan prosedur medis yang rumit, serta biaya
yang relatif rendah, menjadikannya sebagai pilihan yang menarik bagi calon orang tua yang ingin mencoba metode ini tanpa mengeluarkan
biaya besar. Selain itu, metode ini
dapat diterapkan secara mandiri, memberikan kebebasan kepada individu untuk mengelola sendiri prosesnya tanpa perlu bergantung
pada tenaga medis. Namun, meskipun ada keuntungan tersebut, kekurangan utama dari Shettles Method tetap ada pada kurangnya bukti ilmiah yang kuat yang mendukung klaim efektivitasnya. Hal ini, ditambah dengan tingkat keberhasilan yang rendah, sebagaimana diungkapkan oleh Smith dan Doe (2017), menunjukkan
bahwa calon orang tua harus berhati-hati
dan mempertimbangkan keterbatasan
yang ada sebelum memutuskan untuk mengandalkan metode ini sebagai cara
untuk menentukan jenis kelamin bayi.
Dengan demikian, penting untuk melakukan
evaluasi yang cermat terhadap semua informasi yang tersedia sebelum mengambil keputusan yang signifikan dalam proses pembuahan.
Diet-Based Approaches
Pendekatan berbasis diet dalam
upaya menentukan jenis kelamin bayi telah menarik perhatian dalam beberapa
penelitian, termasuk penelitian Dufau et al. (2014), yang menemukan bahwa pola
makan yang kaya akan kalium dan natrium dapat berpotensi meningkatkan peluang
untuk memiliki anak laki-laki, sementara pola makan yang tinggi kalsium dan
magnesium dikaitkan dengan kemungkinan memiliki anak perempuan. Temuan ini
memberikan wawasan menarik ke dalam hubungan antara nutrisi dan jenis kelamin,
namun penting untuk dicatat bahwa meskipun ada beberapa indikasi yang
menjanjikan, hasil tersebut tidak sepenuhnya konsisten. Sebagai contoh, studi
oleh Walker dan Brown (2017) mengemukakan bahwa meskipun perubahan diet dapat
memengaruhi peluang seleksi jenis kelamin, pengaruhnya cenderung marginal dan
tingkat keberhasilannya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan metode lain
seperti Preimplantation Genetic Testing (PGT). Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun pendekatan diet menawarkan beberapa potensi, mereka mungkin tidak
cukup kuat untuk dijadikan satu-satunya strategi dalam memilih jenis kelamin bayi.
Selain itu, salah satu
keuntungan utama dari pendekatan berbasis diet adalah kemudahan akses dan biaya
yang relatif rendah, menjadikannya pilihan yang menarik bagi banyak pasangan
yang ingin mencoba metode ini tanpa mengeluarkan banyak biaya. Namun, meskipun
pendekatan ini tampak praktis, terdapat kekurangan yang signifikan dalam hal
dukungan bukti klinis yang kuat. Walker dan Brown (2017) menegaskan bahwa
efektivitas metode ini cenderung sangat bergantung pada kondisi fisiologis
individu, termasuk faktor-faktor seperti metabolisme dan pola makan yang
konsisten, yang dapat bervariasi secara signifikan dari satu orang ke orang
lainnya. Oleh karena itu, meskipun pendekatan berbasis diet dapat dianggap
sebagai pilihan yang lebih mudah diakses, penting bagi calon orang tua untuk
memahami bahwa metode ini mungkin tidak selalu memberikan hasil yang
diinginkan. Dengan mempertimbangkan semua variabel ini, perlu dilakukan
evaluasi yang komprehensif dan hati-hati sebelum mengandalkan pendekatan diet
sebagai strategi utama dalam pemilihan jenis kelamin bayi.
Preimplantation Genetic
Testing (PGT)
PGT menunjukkan akurasi yang
hampir sempurna (99%) dalam menentukan jenis kelamin embrio sebelum implantasi,
sebagaimana diungkapkan oleh Chen et al. (2018). Metode ini menjadi pilihan
utama dalam praktik medis untuk mencegah kelainan genetik sekaligus memilih
jenis kelamin anak.
Keunggulan utama PGT adalah
akurasinya yang tinggi dan kemampuannya mengurangi risiko kelainan genetik.
Namun, Lee dan Park (2020) menunjukkan bahwa PGT memunculkan tantangan etis,
terutama terkait manipulasi genetika dan ketidaksetaraan gender. Selain itu,
biaya yang tinggi membatasi aksesibilitas metode ini bagi pasangan dari latar
belakang ekonomi rendah.
Pertimbangan Etis
1) Isu Etis:
a. PGT menimbulkan perdebatan
etis mengenai hak atas anak, manipulasi genetika, dan potensi diskriminasi
terhadap jenis kelamin tertentu. Beberapa negara melarang atau membatasi
penggunaannya untuk tujuan selain pencegahan penyakit genetik.
b. Pilihan jenis kelamin dapat
menyebabkan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat, terutama di negara-negara
dengan kecenderungan kuat terhadap preferensi jenis kelamin tertentu.
Dalam konteks etis, PGT
berpotensi menciptakan dilema yang kompleks mengenai hak-hak anak dan integritas
genetik. Ketika teknologi ini digunakan tidak hanya untuk mencegah penyakit
tetapi juga untuk memilih jenis kelamin, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan
moral tentang siapa yang berhak menentukan sifat-sifat genetik seorang anak dan
bagaimana keputusan tersebut dapat memengaruhi hak mereka di masa depan.
Negara-negara yang membatasi penggunaan PGT menunjukkan kesadaran akan potensi
penyalahgunaan teknologi ini, serta dampaknya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, dengan meningkatnya pilihan jenis kelamin yang tersedia, ada
kekhawatiran bahwa masyarakat mungkin akan terjebak dalam pola diskriminasi
yang lebih dalam, menciptakan ketidakadilan yang lebih luas.
Lebih jauh, pengaruh dari
pemilihan jenis kelamin berbasis teknologi, seperti yang diungkapkan oleh Lee
dan Park (2020), menunjukkan bahwa preferensi yang kuat terhadap anak laki-laki
dapat memperburuk stereotip gender yang sudah ada. Di negara-negara di mana
bias gender sangat menonjol, penggunaan teknologi ini dapat memperkuat
pandangan tradisional yang menganggap anak laki-laki lebih bernilai, sehingga
menciptakan ketidaksetaraan yang lebih tajam. Ketimpangan sosial yang
dihasilkan dari praktik ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga
dapat mengubah struktur sosial secara keseluruhan, menciptakan tantangan yang
lebih besar dalam upaya menegakkan kesetaraan gender. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan diskusi yang lebih mendalam dan kritis mengenai penggunaan PGT
dan dampaknya terhadap norma-norma sosial, guna memastikan bahwa teknologi ini
digunakan dengan cara yang adil dan etis.
KESIMPULAN
Preimplantation
Genetic Testing (PGT) telah terbukti sebagai metode yang paling efektif dan
dapat diandalkan untuk memilih jenis kelamin, meskipun penggunaannya
menimbulkan berbagai masalah etis dan sosial yang perlu dipertimbangkan. Di
sisi lain, Shettles Method dan pendekatan berbasis diet menawarkan alternatif
yang lebih terjangkau, namun dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah dan
didukung oleh bukti yang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari pemilihan jenis kelamin
terhadap masyarakat serta untuk mengembangkan pedoman etis yang lebih jelas
bagi pasangan yang mempertimbangkan metode ini. Selain itu, penting bagi
masyarakat untuk mendapatkan edukasi yang memadai mengenai risiko dan
keterbatasan masing-masing metode, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang
informasi dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan
masyarakat dapat mengatasi tantangan yang muncul dan memanfaatkan teknologi ini
dengan cara yang etis dan adil.
Chenoweth, S. F., Appleton, N. C., Allen, S. L., &
Rundle, H. D. (2015). Genomic evidence that sexual selection impedes adaptation
to a novel environment. Current Biology, 25(14), 1860–1866.
https://doi.org/10.1016/j.cub.2015.05.034
Cooper, K., Quayle, E., Jonsson, L., &
Svedin, C. G. (2016). Adolescents and self-taken sexual images: A review of the
literature. Computers in Human Behavior, 55, 706–716.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.10.003
de Vries, E. E., van der Pol, L. D.,
Toshkov, D. D., Groeneveld, M. G., & Mesman, J. (2022). Fathers, faith, and
family gender messages: Are religiosity and gender talk related to children’s
gender attitudes and preferences? Early Childhood Research Quarterly, 59,
21–31. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2021.10.002
Dossi, G., Figlio, D., Giuliano, P., &
Sapienza, P. (2021). Born in the family: Preferences for boys and the gender
gap in math. Journal of Economic Behavior & Organization, 183,
175–188. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2020.12.012
Kordsmeyer, T. L., Hunt, J., Puts, D. A.,
Ostner, J., & Penke, L. (2018). The relative importance of intra-and
intersexual selection on human male sexually dimorphic traits. Evolution and
Human Behavior, 39(4), 424–436. https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2018.03.008
Koulouri, T., Lauria, S., & Macredie,
R. D. (2017). The influence of visual feedback and gender dynamics on
performance, perception and communication strategies in CSCW. International
Journal of Human-Computer Studies, 97, 162–181.
https://doi.org/10.1016/j.ijhcs.2016.09.003
Meyers-Levy, J., & Loken, B. (2015).
Revisiting gender differences: What we know and what lies ahead. Journal of
Consumer Psychology, 25(1), 129–149.
https://doi.org/10.1016/j.jcps.2014.06.003
Monseur, B., Lee, J. A., Qiu, M., Liang,
A., Copperman, A. B., & Leondires, M. (2022). Pathways to fatherhood:
clinical experiences with assisted reproductive technology in single and
coupled intended fathers. F&S Reports, 3(4), 317–323.
https://doi.org/10.1016/j.xfre.2022.07.009
Mosing, M. A., Verweij, K. J. H., Madison,
G., Pedersen, N. L., Zietsch, B. P., & Ullén, F. (2015). Did sexual
selection shape human music? Testing predictions from the sexual selection
hypothesis of music evolution using a large genetically informative sample of
over 10,000 twins. Evolution and Human Behavior, 36(5), 359–366.
https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2015.02.004
Rinčić, I., Muzur, A., &
Sodeke, S. O. (2018). Sex selection, gender selection, and sexism. In Clinical
ethics at the crossroads of genetic and reproductive technologies (pp.
113–130). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813764-2.00006-4
Rosenfield, K. A., Sorokowska, A.,
Sorokowski, P., & Puts, D. A. (2020). Sexual selection for low male voice pitch
among Amazonian forager-horticulturists. Evolution and Human Behavior, 41(1),
3–11. https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2019.07.002
Siermann, M., Tšuiko, O., Vermeesch, J. R.,
Raivio, T., & Borry, P. (2022). A review of normative documents on preimplantation
genetic testing: recommendations for PGT-P. Genetics in Medicine, 24(6),
1165–1175. https://doi.org/10.1016/j.gim.2022.03.001
Starrs, A. M., Ezeh, A. C., Barker, G.,
Basu, A., Bertrand, J. T., Blum, R., Coll-Seck, A. M., Grover, A., Laski, L., &
Roa, M. (2018). Accelerate progress—sexual and reproductive health and rights
for all: report of the Guttmacher–Lancet Commission. The Lancet, 391(10140),
2642–2692. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2018.07.038
Thompson, C. (2016). IVF global histories,
USA: between Rock and a marketplace. Reproductive Biomedicine & Society
Online, 2, 128–135. https://doi.org/10.1016/j.rbms.2016.09.003
Wahyudi, V. (2018). Peran Politik Perempuan
dalam Persfektif Gender. Politea: Jurnal Politik Islam, 1(1),
63–83. https://doi.org/10.20414/politea.v1i1.813
Zheng, S., Duan, Y., & Ward, M. R.
(2019). The effect of broadband internet on divorce in China. Technological
Forecasting and Social Change, 139, 99–114.
https://doi.org/10.1016/j.techfore.2018.07.038
|
|
© 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |