KITAB KHARIDAH AL-BAHIYAH
Moh.
Sayidulqisthon Nururrohman
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Email: sayidulqisthon@gmail.com
|
Abstrak |
|
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji integrasi antara tasawuf dan kalam dalam nadzam Kharidah Bahiyah karya Abu Barakat Al-Dardiri, serta mengeksplorasi corak tasawuf teologis yang disampaikan dalam karya tersebut.
Tasawuf dan kalam, meskipun
sering dipersepsikan sebagai disiplin ilmu terpisah, memiliki potensi untuk saling melengkapi, terutama dalam konteks memperkuat kepercayaan teologis dengan spiritualitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganalisis bait-bait sufistik
dalam nadzam Kharidah Bahiyah, yang datanya dikumpulkan melalui studi dokumentasi dan dianalisis menggunakan kerangka teori integrasi interkoneksi ilmu dari Amin Abdullah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Al-Dardiri menyisipkan unsur-unsur tasawuf dalam nadzam ilmu kalam sebagai bentuk integrasi antara kedua disiplin, mirip dengan pemikiran Al-Ghazali, meskipun terdapat perbedaan dalam pandangan mengenai hakikat taubat serta khauf dan raja’. Eksplorasi corak pemikiran tasawuf Al-Dardiri memberikan wawasan baru dalam memahami
hubungan antara tasawuf dan kalam, dengan saran
untuk kajian lebih lanjut terhadap karya-karya lain Al-Dardiri, seperti mandzumah Asmaul Husna, guna memperdalam pemahaman tentang integrasi ilmu Ushuluddin. Kata kunci: Tasawuf
teologis; Al-Dardiri; Kharidah Bahiyah |
|
|
|
Abstract |
|
This study aims to
examine the integration between Sufism and kalam in the Nadzam Kharidah Bahiyah by Abu Barakat Al-Dardiri,
as well as explore the theological Sufism style conveyed in the work. Sufism
and kalam, although often perceived as separate disciplines, have the
potential to complement each other, especially in the context of reinforcing
theological beliefs with spirituality. This study uses a qualitative approach
by analyzing the sufistic verses in the Nadzam Kharidah Bahiyah, whose data is collected through
documentation studies and analyzed using the framework of the theory of
integration of science interconnection from Amin Abdullah. The results of the
study show that Al-Dardiri inserted elements of
Sufism in the nadzam of kalam science as a form of
integration between the two disciplines, similar to Al-Ghazali's thought,
although there are differences in views on the nature of repentance and khauf and raja'. The exploration of Al-Dardiri's Sufism thought patterns provides new insights
into understanding the relationship between Sufism and kalam, with
suggestions for further study of Al-Dardiri's other
works, such as Mandzumah Asmaul
Husna, in order to deepen the understanding of the integration of Ushuluddin's science. Keywords: Theological Sufism; Al-Dardiri; Kharidah Bahiyah |
*Correspondence
Author: Moh. Sayidulqisthon Nururrohman
Email:
sayidulqisthon@gmail.com
PENDAHULUAN
Sering kali tasawuf disampaikan secara terpisah
dengan ilmu kalam, padaha keduanya memiliki kelindan yang erat dan untuk menuju
kesempurnaan keduanya dibutuhkan (Dhuhri, 2021; Umam & Suryadi, 2019). Bahkan
tidak jarang dijumpai narasi-narasi akademis yang mempertentangkan antara
keduanya. Menurut A. J. Arberry,
kritik terhadap tasawuf
atau sufisme disebabkan oleh
adanya praktik-praktik yang melanggar syari’ah, immoralitas yang terbuka, dan
oportunisme yang curang (Jafari & Sandıkcı, 2015; Sifat & Mohamad, 2018).
Ditambah-kan Arberry bahwa ilmu gaib (witchcraft) telah menggeser kedudukan
rasio (Gershman, 2016; Peacey et al., 2024). Kalangan pengikut tarekat tentu akrab dengan
wali, pemujaan wali ini
menjadi ritual sehingga menziarahi
makam-makam mereka dan berwasilah kepada mereka dianggap sebagai bagian dari
‘ibadah’ itu sendiri.
Beribcara tentang pertemuan spiritualitas
(tasawuf) dan kalam, banyak penelitian yang sudah mencoba menggali dan
mendamaikan antara keduanya, Salah satunya adalah yang dilakukan Sirait S,
dalam tulisannya ia memotret dialektika yang terjadi antara teologi dan spiritualitas dalam konteks
pemikiran Ibnu Taymiyah (Jubran, 2015; LoGIC, 2016).
Studinya mengatakan bahwa teologi akan mengantarkan pada kepercayaan yang
didasarkan pada logis, kepercayaan logis ini kemudian, dengan bantuan
spiritualitas, akan mengantarkan manusia pada ma’rifatullah. Hubungan tasawuf dengan ilmu kalam terletak
pada pembahasan tentang kebenaran (Atay, 2015; Bolandhematan, 2019).
Penulis belum menemukan literatur yang secara khusus membahas pemikiran Imam
al-Dardiri dalam kitabnya Kharidah Bahiyah. Padahal kitab ini sendiri memiliki
popularitas yang cukup tinggi di kalangan pesantren.
Dari pemaparan di atas, ditentukan tujuan
tulisan ini dalam beberapa poin utama. Pertama, apa pandangan spiritualitas
Imam al-Dardiri? Kedua, bagaimana bentuk integrasi antara kalam dan tasawuf
dalam pemikiran al-Dardiri dalam kitab Kharidah Bahiyah? Dan terakhir,
bagaimana implementasi nilai-nilai spiritualitas yang diusung al-Dardiri dalam
kitabnya Kharidah Bahiyah?. Manfaat
dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
hubungan antara tasawuf dan ilmu kalam, serta kontribusi pemikiran Imam
al-Dardiri dalam konteks tersebut. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini
dapat menjadi referensi bagi studi lebih lanjut tentang integrasi spiritualitas
dan teologi dalam tradisi Islam.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini mengangkat integrasi tasawuf dan teologi sebagai objek studi (Rizza et al., 2024; Shamsuddin et al., 2024). Integrasi tersebut digali dari teks
nadzam Kharidah al-Bahiyah
yang ditulis oleh Abu Barakat Al-Dardiri,
khususnya 11 bait tentang tasawuf yang terdapat di akhir nadzam. Dengan
demikian, penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian kualitatif yang menggali data dokumentasi atau literatur yang ditulis oleh tokoh.
Populasi dan Sampel
Sumber data untuk penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua: sumber
primer, yaitu nadzam Kharidah Bahiyah sendiri dan Syarh Kharidah Bahiyah yang ditulis oleh Al-Dardiri; dan sumber sekunder, yaitu semua literatur
dan penelitian yang membahas
integrasi dan interelasi antara tasawuf dan kalam, baik kontemporer maupun dari buku-buku
turats. Tokoh lain yang relevan adalah Al-Ghazali, yang dalam berbagai karyanya, seperti Ihya Ulumuddin dan Misykatul Anwar, juga membahas tasawuf dan kalam.
Kriteria Penelitian
Penelitian ini berfokus pada Bait-bait sufistik yang disampaikan Al-Dardiri, karena nadzam Kharidah Bahiyah merupakan nadzam ilmu kalam dasar yang diperkuat dengan ajaran tasawuf yang mendalam. Oleh karena itu, pokok bahasan
tulisan ini adalah unsur tasawuf dalam
nadzam ilmu kalam tersebut, tanpa menyentuh unsur kalam dan pendapat teologi Al-Dardiri.
Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini dihimpun melalui studi dokumentasi atau telaah kepustakaan,
mengingat tokoh yang dikaji merupakan tokoh dari masa lalu, sehingga wawancara tidak memungkinkan. Menurut G.J.
Reiner, dokumentasi memiliki
tiga makna: makna luas, makna
sempit, dan makna spesifik. Penelitian ini mengambil makna sempit yang berarti sumber data tertulis, khususnya karya tulis Al-Dardiri tentang tasawuf dalam nadzam dan syarh Kharidah Bahiyah.
Teknik Analisis Data
Data penelitian selanjutnya dianalisis mengikuti tiga tahapan analisis
menurut Hubermas (2000): reduksi data, display data, dan verifikasi
data (Houston et al., 2018; Tian et al., 2019). Reduksi
adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan,
dan transformasi data. Data yang sudah
melalui proses reduksi dan verifikasi kemudian dianalisis menggunakan kerangka teori integrasi dan interkoneksi ilmu yang digagas oleh Amin
Abdullah. Menurut Amin, ilmu-ilmu
Ushuluddin yang masih satu rumpun terpetakan
dalam tiga cluster epistemologi: bayani, burhani, dan irfani. Meskipun berada di bawah payung yang sama, ketiganya sering berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menyapa satu sama lain. Tasawuf yang berlandaskan epistemologi irfani dan teologi yang lahir dari epistemologi bayani harus dipertemukan
untuk membentuk paradigma integratif interkonektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kharidah Bahiyah merupakan nadzam dalam ilmu kalam tingkat Asy’ariyah
dasar yang ditulis oleh Imam al-Dardir, selain nadzam ini ia juga menulis
syarah untuk nadzam tersebut. Penulis belum menemukan studi terdahulu yang
mengkaji baik nadzam maupun syarah Kharidah Bahiyah. Nadzam ini ditulis untuk
menjelaskan pilar-pilar akidah Asyariyah dengan bahasa yang ringkas dan padat,
tidak panjang dan bertele-tele atau pendek dan melewatkan banyak maklumat.
Penulis tidak banyak menemukan literatur yang mengangkat tokoh ini
sebagai objek material maupun formal, dalam proses melakukan studi pustakanya
penulis hanya menemukan satu studi yang mengangkat Imam al-Dardiri sebagai
tokoh, yaitu Tesis yang ditulis Nur Kholifah pada tahun 2011. Nama lengkap dari
ahmad Al-Dardiri adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Hamid
al-Adawi al-Maliki al-Azhari al-Khalwati, yang terkenal dengan sebutan Ahmad
al-Dardiri. Data
tentang Imam Dardiri paling banyak penulis temukan di pendahuluan buku-buku
karyanya dalam bahasa Arab, banyak syarih, mu’alliq dan muhassyi karyanya yang
juga menulis biografi dan nasab keilmuan Imam al-Dardiri. Dikatakan bahwa ia
lahir di desa Bani Ady pda ahun 1127 H atau pada tahun 1715 M. Imam al-Dardir banyak
menulis karya di berbagai disiplin ilmu, setidaknya ada tiga karyanya yang
termasuk dalam kategori buku tasawuf, yaitu: at-Tawajjuh al-Asna; Mandzumatu
Asmaul Husna, dan Tuhfatul Ikhwan.
Data penelitian ini diambil dari teks Bahasa Arab yang ditulis oleh
Ahmad bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Dardiri. Teks
yang dimaksud adalah nadzam Kharidah Bahiyah yang terdiri dari 71 bait, yang
terdiri dari pembukaan, isi dan penutup. Bagian pembuka terdiri dari 8 bait
muqaddimah penulis yang berisi informasi nama penulis, pujian terhadap Allah,
sholawat pada Nabi, nama karya, tujuan penulisan dan harapan penulis, dan 8
bait tentang hukum aqli. Bagian isi terdiri dari 32 bait tentang ilahiyat, 4
bait tentang nubuwat & 7 bait tentang sam’iyyat. Adapun bagian penutup
terdiri dari 11 bait tentang tasawuf dan 2 bait penutup. Penelitian ini
terfokus pada bagian 11 bait tasawuf tersebut.
Berikut ini adalah teks yang menjadi objek penelitian ini:
|
تَرقى
بِهذا
الذِّكرِ
أَعلى
الرُّتُبِ وسِرْ
لِمولاكَ
بلا تَناءِ لا
تَيْأَسَنْ
مِنْ رَحمةِ
الغَفَّارِ وكُنْ
على
بَلائِهِ
صَبُورا وكُلُّ
مَقدورٍ
فَما عَنْهُ
مَفَرْ واتْبَعْ
سَبيلَ
النَّاسِكينَ
العُلَما بالجِدِّ
والقِيامِ
بالأسْحَارِ مُجتَنِباً
لِسائِرِ
الآثامِ لِتَرْتَقي
مَعَالِمَ
الكَمالِ عَنْكَ
بِقاطِعٍ
ولا
تَحْرِمْني واخْتِمْ
بخَيرٍ يا
رَحيمَ
الرُّحَما |
* * * * * * * * * * |
فأكْثِرَنْ
مِن
ذِكْرِهَا
بالأدَبِ وغَلِّبِ
الخَوْفَ
على
الرَّجاءِ وجَدِّدِ
التَّوْبَةَ
للأوزارِ وكُنْ
على آلائِهِ
شَكُورا وكُلُّ
شَىءٍ
بالقَضاءِ
والقدَرْ فكُنْ
لَهُ
مُسَلِّماً
كَي
تَسْلَما وخَلِّصِ
القَلْبَ
مِنَ
الأغْيارِ والفِكْرِ
والذِّكْرِ
على
الدَّوامِ مُراقِباً
للهِ في
الأَحْوالِ وقُل
بِذُلٍّ
رَبِّ لا
تَقْطَعْني مِنْ
مَنِّكَ
الأبْهَى
المُزيلِ
للعَمى |
Penulis tidak terikat
dengan saja’ atau keselarasan setiap akhir bait, namun penulis menyelaraskan
bunyi setiap potongan bait. Keselarasan yang konsisten dipegang penulis adalah
keselarasan bunyi bukan keselarasan huruf, tampak pada bait ke 11 kata
عمى disandingkan dengan علما. Dari
segi muatan ada 6 pokok bahasan dalam 11 bait ini, yaitu: dzikr, khauf &
raja’, taubat, syukur & sabar, qadha & qodar, jalan penyucian hati dan
munajat. Pembahasan tentang jalan penyucian hati mendapatkan porsi paling
banyak, yaitu 3 bait. Kemudian qadha & qodar dan munajat yang masing-masing
mendapatkan 2 bait, sedangkan pokok pembahasan lain masing-masing hanya 1 bait.
Unsur tasawuf yang
diangkat Dardiri dalam nazam Kharidah Bahiyah berkisar pada pembahasan mengenai
dzikir, khauf-raja’, taubat, syukur-sabar, qodho-qodar dan penyucian hati.
Dzikir adalah ibadah yang ditujukan untuk mengingat Tuhan, baik yang dilakukan
secara formal dalam sebuah majelis maupun personal mandiri. Adapun khauf-raja’
adalah kondisi jiwa manusia yang sedang menuju Tuhan, yaitu antara takut pada
kebesaran-Nya dan berharap pada kemurahan hati-Nya. Sedangkan taubat adalah
maqam awal bagi salik, tanpa pembersihan terlebih dahulu tidak akan bisa
mencapai maqam berikutnya. Salah satu maqam setelah taubat adalah sabar &
syukur, sikap seorang hamba atas bagian yang iberikan Tuhan baginya dari dunia.
Qodho dan qodar merupakan rukun iman yang terakhir, kepercayaan bahwa dunia
berjalan atas kehendak Tuhan. Adapun tazkiyatu nafs adalah proses menjernihkan
hati agar mendapatkan cahaya ilahi.
Dardiri menyebutkan bahwa
dzikir mampu mengantarkan hamba naik sampai ke derajat tertinggi (Mutmainnah
& Afiyanti, 2019; Syamila & Mansoer, 2023). Perjalanan naik tersebut
diwarnai dengan khauf dan raja’, antara keduanya Dardir lebih menekankan untuk
mendahulukan khauf daripada raja’. Kemudian ia menegaskan untuk memperbarui
taubat, bersyukur atas nikmat dan bersabar atas cobaan, karena semua berjalan
atas qodho-qodar-Nya. Dan untuk mensucikan jiwa jalan yang ditempuh adalah
ibadah.
Bait pertama menjelaskan
pentingnya kuantitas dan kualitas dzikir, memperbanyak frekuensinya dan
meningkatkan kuaitasnya dengan adab, sehingga hamba akan mendapatkan kemuliaan
untuk naik ke tingkatan tertinggi. Bait kedua adalah perbandingan antara khauf
dan raja’, keduanya adalah kesatuan yang tidak terpisah, ibarat sepasang sayap
yang digunakan hamba untuk menempuh perjalanan menuju Tuannya, meski demikian
prioritas khauf harus tetap berada di atas raja’. Bait ketiga membahas tentang
taubat dari kesalahan yang harus selalu diperbarui dan tidak berputus asa dari
ampunan Tuhan. Bait keempat tentang syukur ketika mendapatkan nikmat dan sabar
ketika mendapat cobaan. Bait kelima menjelaskan bahwa semua hal berjalan atas
takdir Tuhan dan takdir-Nya tidak akan bisa dirubah. Sehingga pada bait keenam
dijelaskan bahwa sikap yang harus diambil adalah kepasrahan atas takdirnya.
Bait ketujuh sampaui sembilan berisi jalan untuk membersihkan hati dari segala
hal selain Tuhan, yaitu dengan qiyamul lail, kontemplasi/refleksi & zikir
yang berkelanjutan untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Dua bait terakhir
adalah munajat atau doa bagi seorang hamba pada Tuhannya agar tidak diputus
hubungannya dari Tuhan, agar tidak dijauhkan pemberian-Nya dan agar ditutup
usianya denangan khusnul khatimah.
Al-Dardiri mengungkapkan
bahwa nazam Kharidah Bahiyah ia tulis sebagai bekal bagi pelajar pemula dan
masyarakat awam yang tidak menekuni dirasat Islamiyah secara khusus dalam hal
akidah. Bagian pertama dan kedua nazam ini sudah cukup representatif untuk
materi-materi pembahasan ilmu kalam bagi pemula. Adapun bagian penutup nazam
yang mengambil disiplin tasawuf adalah isyarat bahwa jalan menuju Tuhan tidak
bisa ditempuh hanya menggunakan pendekatan kalam saja, selain aspek teologis
diperlukan juga aspek spiritualisme. Dalam aspek kajian spiritualisme 11 bait
tasawuf dalam nazam ini sama sekali tidak merepresentasi pembahasan tasaawuf secara
keseluruhan, namun demikian sasaran utama Al-Dardiri dalam nazam Kharidah
Bahiyah adalah kajian ilmu kalam.
11 bait tasawuf tersebut
dimaksudkan untuk menggiring pembaca yang niat utamanya mempelajari akidah atau
ilmu kalam untuk kemudian masuk ke dalam aspek esoterik dalam Islam. Penjelasan
deskriptif tentang tasawuf dan tarekat tidak menjadi fokus utama yang dituju 11
bait tersebut, karena dalam menjelaskan tasawuf Al-Dardiri lebih menitik
beratkan pembahasannya pada unsur-unsur praksis alplikatif dari tasawuf yang
langsung bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara sederhana.
Perpindahan yang dilakukan
Al-Dardiri dari episteme bayani-burhani menuju irfani atau dari pendekatan
logis-rasional menuju alam spiritual juga dimaksudkan untuk menjelaskan
keselarasan, kesinambungan dan keseimbangan antara logika dan spiritualitas.
Sebab goal sebenarnya dari ilmu kalam bukanlah peningkatan iman pada Tuhan,
melainkan penegasan iman dengan mendedah celah-celah yang ada dalam kerancuan
berfikir mengenai Tuhan. Untuk dapat benar-benar mengenal Tuhan diperlukan ilmu
hakikat yang tidak lain adalah tasawuf.
Tasawuf Ahmad Dardiri
Penulis tidak menjumpai
penelitian yang membahas aspek pemikiran spiritual atau tasawuf Imam al-Dardir
secara holistik. Dalam beberapa penulisan biografi hanya dijumpai cerita-cerita
tentang kesalihan Imam al-Dardiri semasa hidup dan karamat-karamat yang ia
dapatkan. Semasa hidup Imam al-Dardiri tinggal di sebuah rumah sederhana dekat
tempat pembuangan sampah, namun oleh gurunya dikatakan bahwa tempat itu akna
menjadi masjidnya suatu saat nanti, dan hal tersebut benar-benar terjadi. Adapun aspek pemikiran al-Dardiri yang sudah pernah
dikaji antara lain aspek pemikirannya tentang nubuwat dan pendapat fikihnya
tentang status pemberian dalam masa pertunangan.
Al-Dardiri bukan
satu-satunya orang yang membahas enam topik dalam tasawuf seperti yang tersebut
di atas, sebelumnya sudah ada banyak pakar tasawuf dan sufi yang memberikan
pembahasan lengkap dan terperinci, salah satunya adalah Al-Ghazali. Dzikir
menurut Al-Ghazali bisa berangkat dari dua arah, dzikir dari lisan menuju ke
hati dan dzikir dari hati menuju ke lisan, jenis pertama merupakan bentuk
paling umum, yaitu gerakan ringan pada lisan untuk menggiring istihdhar hati,
sedangkan yang kedua dilakukan para salik yang sudah memiliki kecintaan dalam
kalbunya sehingga lisannya tergerak untuk mengucapkan zikir, zikir yang
dimaksud Al-Dardiri adalah jenis zikir pertama. Ia memberikan syarat bahwa
zikir harus dibarengi dengan adab agar memberikan dampak yang signifikan dalam
taraqqi menuju Tuhan. Al-Ghazali dalam banyak karya tasawufnya juga membahas
khauf & raja’, berbeda dengan Al-Dardiri yang lebih memprioritaskan khauf,
menurut Al-Ghazali justru pengharapan lebih baik daripada kekhawatiran, sebab
yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang dicintai dan kecintaan adalah buah
dari pengharapan. Adapun taubat dalam pandangan Al-Ghazli adalah pintu menuju
maqamat sufiyah, sehingga ia adalah gerbang yang harus dilewati salik dalam
perjalanannya menuju Tuhan. Sedangkan Al-Dardiri lebih memandang taubat sebagai
ahwal daripada maqam, hal ini tampak dari ungkapannya tentang pembaruan taubat
yang terus menerus. Al-Ghazali mengungkapkan dalam Ihya Ulumuddin bahwa sabar
tidak hanya berkenaan dengan musibah, menahan diri dari berbuat maksiat dan
konsisten dalam ibadah juga termasuk sabar. Sedangkan kontruksi Al-Dardiri
tentang sabar cenderung lebih sempit dan terbatas pada bala’ atau musibah saja.
Dari komparasi di atas
tampak bahwa penjelasan tasawuf Al-Daridiri dalam nazam Kharidah Bahiyah sangat
sederhana, bahkan jika diperuntukkan kalangan awam sekalipun. Dardiri sama
sekali tidak menyentuh aspek deskriptif yang mendetail tentang setiap istilah
dalam tasawuf, melainkan ia hanya mencukupkan dengan enam poin pembahasan saja.
Selain itu dari pembahasan khauf & raja’ tampak bahwa tendensi fikih
seorang Dardiri lebih kuat daripada tasawufnya, sebab baginya khauf lebih utama
daripada raja. Tidak seperti pandangan Al-Ghazali yang didominasi
spiritualismenya, ia mengembalikan permasalahan khauf-raja pada cinta, unsur
utama dalam tasawuf.
Kekurangan Al-Dardiri
dalam mendeskripsikan topik-topik spiritual agaknya kembali pada maksud utama
nazam Kharidah Bhiyah bukanlah sebagai pengantar tasawuf, melainkan menjadi
pengantar ilmu kalam atau akidah. Sehingga tentu porsi yang diberikannya untuk
tasawuf tidak sebanyak akidah. Selain itu, dari diksi yang digunakan Al-Dardiri
dalam 11 bait tasawufnya tersirat makna bahwa tasawuf tidak bisa ditempuh
serang diri, melainkan harus dengan bimbingan dari guru atau mursyid, karena di
setiap topic Al-Dardiri selalu menggunakan uslub insya’i jenis amr. Yang mana
amr mensyaratkan adanya paling tidak dua pihak, pihak yang lebih tinggi sebagai
pemangku otoritas dan pihak yang lebih rendah sebagai objek. Dari sini juga
tampak bahwa Al-Dardiri mengisyaratkan bahwa untuk mecapai hakikat seorang
salik tidak bisa menggunakan akal kritis, namun harus dengan hati yang berserah
diri.
Keberadaan bait-bait
tasawuf di akhir rangkaian nazam ilmu kalam adalah sebuah bentuk revolusi yang
ditawarkan Al-Dardiri, di mana tidak ada disiplin satu disiplin ilmu pun dalam
jaring-jaring dirasat islamiyah yang benar-benar mandiri dari disiplin ilmu
lainnya. Kemudian Dardiri juga secara tidak langsung mengkritisi asumsi bahwa
ilmu akidah atau kalam bertujuan untuk mencapai hakikat Tuhan, sebab tujuan
sebenarnya dalam kalam adalah untuk ifkhamul khasm, menjawab keraguan dan
kerancuan teologis yang muncul. Untuk benar-benar mencapai hakikat Tuhan diperlukan
pendekatan spiritual dengan menggunakan tazkiyatun nafs dalam tasawuf. Tasawuf
yang digambarkan Al-Dardiri sangat terikat dengan keberadaan mursyid atau para
salik terdahulu yang lebih dahulu sampai, dengan mengikuti tradisi dan jejak
mereka maka jalan menuju Tuhan akan lebih mudah. Namun demikian hal tersebut
akan berdampak pada perkembangan salik yang terbiasamenjadi objek dan pasif,
meskipun menyandingkan aspek spiritual dengan rasional dalam satu nazam, hemat
saya Al-Dardiri masih ada satu pekerjaan yang belum dituntaskan Al-Dardiri,
yaitu menemukan celah penghubung antara rasional dan spiritual sehingga tidak
saling berdiri sendiri, apalagi saling menafikan satu dengan lainnya.
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari kajian ini menunjukkan bahwa Al-Dardiri menulis nadzam Kharidah Bahiyah
sebagai bahan ajar teologis mazhab Asy’ari, namun di dalamnya terdapat makna
sufistik yang terungkap dalam sebelas bait tentang tasawuf, menjadikannya
serupa dengan tasawuf Al-Ghazali, yang dikenal sebagai tasawuf teologis.
Meskipun keduanya memiliki kesamaan tersebut, perbedaan muncul dalam detail
seperti hakikat taubat, khauf, dan raja’. Bagi Ghazali, taubat adalah awal
maqamat shufiyah, sedangkan menurut Dardiri, taubat termasuk dalam ahwal,
dengan Ghazali lebih menekankan raja’ dan Dardiri mengutamakan khauf. Tulisan
ini tidak hanya melengkapi studi-studi sebelumnya tentang hubungan antara
tasawuf dan kalam, tetapi juga memperkaya kajian Kharidah Bahiyah Al-Dardiri,
yang sebelumnya lebih fokus pada analisis linguistik. Rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya adalah mengeksplorasi pandangan tasawuf Al-Dardiri
melalui kitab manzumah Asmaul Husna, selain dari nadzam dan syarh Kharidah
Bahiyah. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan perlunya pendekatan multidisipliner
dalam memahami tasawuf dan teologi, yang dapat memberikan wawasan lebih
mendalam tentang praktik spiritual dalam konteks intelektual, serta memperkuat
dialog antara tradisi sufistik dan teologis di kalangan pemikir Muslim
kontemporer.
Atay, R. (2015). The importance of aesthetics in theological
education: A philosophical reading of the recent discussions in the Turkish
case. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 174, 1255–1261.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.745
Bolandhematan, K. (2019). Spiritual Education in Islamic
Tradition: Revisiting Ghazali’s “Deliverance.” Religious Education, 114(2),
110–129. https://doi.org/10.1080/00344087.2018.1560585
Dhuhri, S. (2021). Kontribusi Hasan Hanafi dalam
Rekonstruksi Ushul Fiqh: Sebuah Studi dengan Pendekatan Filsafat Ilmu. UIN
Ar-Raniry.
Gershman, B. (2016). Witchcraft beliefs and the erosion of
social capital: Evidence from Sub-Saharan Africa and beyond. Journal of
Development Economics, 120, 182–208.
https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2015.11.005
Houston, L., Probst, Y., & Martin, A. (2018). Assessing
data quality and the variability of source data verification auditing methods
in clinical research settings. Journal of Biomedical Informatics, 83,
25–32. https://doi.org/10.1016/j.jbi.2018.05.010
Jafari, A., & Sandıkcı, Ö. (2015).
Islamic’consumers, markets, and marketing: A critique of El-Bassiouny’s
(2014)“The one-billion-plus marginalization. Journal of Business Research,
68(12), 2676–2682. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2015.04.003
Jubran, A. M. (2015). Educational leadership: A new trend
that society needs. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 210,
28–34. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.325
LoGIC, I. E. O. T. G. (2016). THEOLOGY AND LOGIC KHALED
EL-ROUAYHEB I EARLY OPPOSITION To Greek LoGIC AMONG THEOLOGIANS (Ninth-Tenth
CENTURIES). The Oxford Handbook of Islamic Theology, 408.
Mutmainnah, M., & Afiyanti, Y. (2019). The experiences of
spirituality during pregnancy and child birth in Indonesian muslim women. Enfermeria
Clinica, 29, 495–499. https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.04.074
Peacey, S., Wu, B., Grollemund, R., & Mace, R. (2024).
The cultural evolution of witchcraft beliefs. Evolution and Human Behavior,
45(5), 106610. https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2024.106610
Rizza, M., Sumarni, L., & Maryam, S. (2024). Fostering
Mutual Respect at Universiti Utara Malaysia: A Synergistic Approach Integrating
Yusuf Al-Qardhawi’s Moderation and Hamzah Fansuri’s Sufi Thought. Al-Ahnaf:
Journal of Islamic Education, Learning and Religious Studies, 1(2),
80–99. https://doi.org/10.61166/ahnaf.v1i2.13
Shamsuddin, A. H. S., Saari, C. Z., Abidin, M. S. Z. A. Z.,
Sallam, A. S. M., Nurulfitri, N. A., & Wahab, M. K. W. (2024). E-Learning
Integration of Tasawuf in Islamic Education: A Bibliometric Study. Journal
of Advanced Research in Applied Sciences and Engineering Technology, 33–50.
https://doi.org/10.37934/araset.56.2.3350
Sifat, I. M., & Mohamad, A. (2018). Revisiting fiat
regime’s attainability of shari’ah objectives and possible futuristic
alternatives. Journal of Muslim Minority Affairs, 38(1), 1–23.
https://doi.org/10.1080/13602004.2018.1435057
Syamila, M., & Mansoer, W. W. D. (2023). Mindfulness and
Mind-Wandering in Prayer: a Mixed Methods Study of the Role of Spirituality and
Religiosity in Islamic Preachers. Psikis: Jurnal Psikologi Islami, 9(1),
122–136. https://doi.org/10.19109/psikis.v9i1.11314
Tian, Q., Liu, M., Min, L., An, J., Lu, X., & Duan, H.
(2019). An automated data verification approach for improving data quality in a
clinical registry. Computer Methods and Programs in Biomedicine, 181,
104840. https://doi.org/10.1016/j.cmpb.2019.01.012
Umam, H., & Suryadi, I. (2019). Sufism as a Therapy in
the Modern Life. International Journal of Nusantara Islam, 7(1),
34–39. https://doi.org/10.15575/ijni.v7i1.4883
|
|
© 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |