KONTRADIKSI REGULASI PERIJINAN OPTIKAL : STUDI KOMPARATIF KEPASTIAN HUKUM TENAGA KESEHATAN OPTOMETRIS DALAM PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 01 TAHUN 2016 DAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 14 TAHUN 2021

 

R. Sri Wahyu Budoyo Kusumo1, Ardhitya Furqon Wicaksono2

Akademi Optometri Yogyakarta, Indonesia12

Email: wahyukusumo27@yahoo.com1, ardhityafw@gmail.com2

 

Abstrak

Penelitian ini mengangkat masalah proses perijinan usaha yang menjadi aspek hukum krusial bagi setiap pelaku usaha, termasuk dalam penyelenggaraan optikal, di mana dualisme perundangan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 menciptakan ketidakjelasan dalam pemahaman masyarakat, khususnya mengenai kepastian hukum tenaga kesehatan optometris sebagai salah satu syarat ketenagaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kepastian hukum dalam perijinan usaha optikal dan memahami implikasi dari dualisme peraturan terhadap pelaku usaha. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif-empiris, mencakup kajian produk perundangan terkait penyelenggaraan optikal dan kesesuaian data langsung ke objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakjelasan dalam pemahaman peraturan mengakibatkan kesulitan bagi pelaku usaha dalam memenuhi persyaratan perijinan, terutama terkait keberadaan tenaga kesehatan optometris di fasilitas optikal. Dengan demikian, keberadaan tenaga kesehatan optometris di optikal sebagai fasilitas pelayanan kesehatan adalah mutlak, dan perlu adanya harmonisasi antara peraturan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perijinan usaha optikal.

 

Kata kunci: Kepastian, Kesehatan, Optometris, Perijinan, Optikal, Yuridis, Empiris Normatif, Kualitatif, Risiko

 

Abstract

This study raises the issue of the business licensing process which is a crucial legal aspect for every business actor, including in the implementation of opticals, where the dualism of the laws regulated in the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 14 of 2021 and the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 01 of 2016 creates ambiguity in public understanding, especially regarding the legal certainty of optometrist health workers as one of the requirements for employment. The purpose of this study is to analyze legal certainty in optical business licensing and understand the implications of regulatory dualism on business actors. The method used is a qualitative analysis with a normative-empirical juridical approach, including the study of legal products related to the implementation of optics and the suitability of data directly to the object of research. The results of the study show that the lack of clarity in understanding the regulations results in difficulties for business actors in meeting licensing requirements, especially related to the presence of optometrical health workers in optical facilities. Thus, the existence of optometrical health workers in opticals as health service facilities is absolute, and there is a need for harmonization between regulations to provide legal certainty for business actors and increase public understanding of optical business licensing.

 

Keywords: Certainty, Health, Optometric, Licensing, Optical, Juridical, Normative Empirical, Qualitative, Risk.

*Correspondence Author: R. Sri Wahyu Budoyo Kusumo

Email: wahyukusumo27@yahoo.com

 


 

PENDAHULUAN

 

Kepastian hukum adalah aspek yang tak terpisahkan dari hukum, especially dalam konteks norma hukum yang tertulis (FAJRYANI, 2023; Hamidi et al., 2022). Hukum yang tidak memiliki nilai kepastian akan kehilangan arti, karena tidak lagi dapat berfungsi sebagai panduan perilaku bagi semua orang (Wu et al., 2015; Zhu et al., 2019). Radburch mengemukakan pandangan yang mendalam tentang kepastian hukum, yang terdiri dari empat aspek utama (Hildebrandt, 2021; Six et al., 2020). Pertama, hukum positif merujuk pada perundang-undangan. Kedua, hukum tersebut didasarkan pada fakta, yang berarti bahwa hukum yang ditetapkan harus pasti dan tidak boleh melibatkan penilaian subjektif hakim, seperti melalui klausula umum seperti "kesopanan" dan "niat baik”. Ketiga, kenyataan fakta harus dirumuskan dengan jelas untuk menghindari kesalahpahaman dan agar mudah diterapkan. Keempat, hukum positif bersifat stabil dan tidak mudah berubah.

Dari pengertian dan pemahaman tentang kepastian hukum di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum harus memberikan kepastian bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum. Kepastian ini penting agar individu dapat memahami hak dan kewajiban mereka, serta menjalankan tindakan yang sesuai dengan norma yang berlaku tanpa merasa ragu atau bingung. Dengan demikian, hukum berfungsi sebagai pedoman yang jelas dan dapat diandalkan dalam kehidupan bermasyarakat (Druml et al., 2016; Mentzelopoulos et al., 2021; Poletti & Rucci, 2016). Aturan-aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan yang lebih tinggi. Konsistensi ini sangat penting untuk menjaga integritas sistem hukum dan memastikan bahwa semua norma hukum saling mendukung. Jika terdapat pertentangan, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian, yang berpotensi merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum. Oleh karena itu, harmonisasi antara berbagai aturan hukum sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian dan keadilan.

Kepastian  hukum yang dikaji dari aspek kesadaran dan ketaatan hukum merupakan hal yang sangat penting dalam segala bidang, termasuk salah satunya adalah pada bidang ekonomi terutama dalam hal penyelenggaraan sebuah badan usaha (Hasugian, 2022; A. S. S. Putri, 2022; K. R. Putri et al., 2024). Salah satu bentuk usaha perdagangan yang dimaksud adalah penyelenggaraan usaha optikal di Indonesia. Optikal selain sebagai bentuk usaha perdagangan juga berfungsi sebagai fasilitas pelayanan kesehatan ( Fasyankes ) yang memiliki kedudukan dan fungsi yang yang sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain, seperti Rumah Sakit, klinik, apotek, dan fasyankes lainnya. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal. Dalam peraturan tersebut, optikal didefinisikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan layanan refraksi, pelayanan optisi, dan/atau pelayanan lensa kontak. Regulasi ini penting untuk memastikan bahwa layanan kesehatan di bidang optikal memenuhi standar yang ditetapkan, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang berkualitas dan sesuai kebutuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kepatuhan penyelenggaraan usaha optikal terhadap peraturan yang berlaku dan dampaknya terhadap kualitas layanan kesehatan. Dengan demikian, kehadiran fasilitas optikal yang memenuhi standar hukum dan etika menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap individu dapat mengakses layanan kesehatan yang berkualitas. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal, dijelaskan bahwa untuk menyelenggarakan layanan optikal, pihak yang bersangkutan wajib memperoleh izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 2. Ayat 1 menyatakan, “Setiap penyelenggaraan optikal wajib memperoleh izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setempat,” sementara Ayat 2 menambahkan bahwa “Izin penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan setelah memenuhi persyaratan yang meliputi sarana dan prasarana, peralatan, dan ketenagaan.” Ketentuan ini menekankan pentingnya pemenuhan syarat tertentu sebelum sebuah fasilitas optikal dapat beroperasi, guna menjamin kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan, optikal harus memiliki tenaga kesehatan Optometris sebagai penanggung jawab (Budoyo, 2024). Tenaga Optometris adalah individu yang telah menyelesaikan pendidikan optometri, baik pada tingkat Diploma III maupun DIV/Sarjana Terapan, sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku (Hind et al., 2020; Rodríguez-Zarzuelo et al., 2023). Optometris memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan mata dasar, pemeriksaan refraksi, menentukan hasil pemeriksaan, serta menyiapkan dan merancang kacamata atau lensa kontak. Ketersediaan tenaga optometris ini merupakan salah satu persyaratan pendirian optikal dalam hal ketenagaan, seperti tercantum pada Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2016 yang berbunyi: “Setiap optikal harus memiliki seorang refraksionis optisien atau optometris sebagai penanggung jawab.” Tenaga optometris tersebut, dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya, harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Optometris dan Surat Ijin Praktik (SIP) Optometris.

Namun, sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan, sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Risiko, banyak terdapat perubahan dalam proses perijinan usaha optikal, di mana salah satunya adalah tidak mencantumkan persyaratan ketenagaan yaitu tenaga kesehatan optometris yang bertanggung jawab secara teknis dan memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP), pada pengurusan perijinan melalui sistem perijinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission / OSS), walaupun hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah No. 05 Tahun 2021.

 

METODE PENELITIAN

 

Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini mencakup beberapa aspek, yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta analisis data.

 

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif-empiris. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif-empiris (applied law research) adalah penelitian yang memanfaatkan studi kasus hukum normatif-empiris yang berkaitan dengan produk perilaku hukum.   Penelitian hukum normatif-empiris (terapan) dimulai dari ketentuan hukum positif tertulis yang berlaku untuk peristiwa hukum konkret dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam penelitiannya selalu terdapat perpaduan antara dua tahap kajian, yaitu:

a.      Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku;

b.      Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan pemahaman mengenai realisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang telah dikaji, apakah telah dijalankan secara patut atau tidak.

 

Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang berarti penelitian menekankan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Tujuannya adalah untuk menganalisis norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang peroptikan dan ketenagaan profesi, khususnya norma-norma hukum pada profesi optometris. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologi hukum, yang menganalisis bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja dalam masyarakat.

 

Kriteria Penelitian

Kriteria penelitian dalam studi ini meliputi:

a.      Relevansi: Hanya mencakup peraturan yang relevan dengan praktik penyelenggaraan usaha optikal.

b.      Keterkinian: Mempertimbangkan peraturan yang terbaru dan berlaku saat ini.

c.      Kualitas Sumber: Menggunakan sumber yang diakui secara hukum dan akademis.

 

Jenis dan Sumber Data

Dalam konteks penelitian hukum normatif-empiris, jenis data yang digunakan mencakup data primer dan data sekunder. Jenis data terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier (bahan non hukum), dengan penejelasan sebagai berikut:

a.      Bahan Hukum Primer

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahan hukum primer merupakan sumber hukum yang bersifat mengikat, seperti norma atau kaidah dasar (UUD 1945) serta peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yag dimaksud adalah sebagai berikut:

1)     Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ( UUD 1945 )

2)     Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

3)     Undang-Undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

4)     Peraturan Pemerintah No.05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko.

5)     Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan.

6)     Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal.

7)     Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 19 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Refraksionis Optisien dan Optometris

8)     Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 41 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Refraksionis Optisien/Optometris

9)     Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 83 Tahun 2019 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan

b.      Bahan Hukum Sekunder

Amirudin menyatakan bahwa bahan hukum sekunder adalah sumber yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, termasuk Rancangan Undang-Undang, buku teks, hasil penelitian dalam jurnal dan majalah, serta pendapat para ahli di bidang hukum.

c.      Bahan Hukum Tersier

Menurut Muhaimin, bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder meliputi kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan ensiklopedia hukum.

 

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh fasilitas optikal yang terdaftar di wilayah yang diteliti, sementara sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling, di mana pemilihan fasilitas optikal dilakukan berdasarkan kriteria tertentu, yaitu fasilitas yang telah beroperasi minimal satu tahun, fasilitas yang memiliki izin resmi dari pemerintah, serta fasilitas yang memiliki tenaga optometris yang terdaftar.

 

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif, yang dilakukan melalui interpretasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diproses. Penggunaan metode interpretasi (penafsiran) bertujuan untuk menganalisis hukum, termasuk mengidentifikasi apakah terdapat kekosongan norma hukum, antinomi norma hukum, atau norma hukum yang tidak jelas.

 

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a.      Studi Dokumentasi: Mengumpulkan dokumen-dokumen hukum dan peraturan yang relevan.

b.      Wawancara: Melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait, seperti tenaga optometris dan pengelola fasilitas optikal, untuk mendapatkan informasi langsung mengenai praktik dan kepatuhan terhadap peraturan.

c.      Observasi: Melakukan observasi langsung terhadap proses penyelenggaraan layanan optikal untuk memahami penerapan hukum secara nyata.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pemberlakuan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan di bulan Juni 2021, yang semula seluruh perijinan penyelenggaraan Optikal berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optik, tentu berdampak pada perkembangan optikal di Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.14 Tahun 2021 tidak mencabut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016, maka saat ini terdapat dualisme aturan perundangan yang keduanya memiliki sifat autoritatif yang sebagai hukum positif kedua peraturan ini adalah ius constitutum, dimana proses perijinan optikal diselenggarakan dengan kedua mekanisme tersebut, baik proses perijinan Surat Ijin Pendirian Optikal (SIPO) maupun proses perijinan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar melalui Online Single Submission (OSS), walaupun pada kenyataannya pengurusan ijin melalui OSS yang lebih banyak dilakukan, karena dianggap lebih mudah, lebih cepat dan tidak memerlukan persyaratan yang rumit terutama dalam hal penyediaan persyaratan ketenagaan yaitu harus adanya tenaga kesehatan Optometris yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP). Berdasarkan data dari Sekretariat Gabungan Pengusaha Optik Indonesia (GAPOPIN) tentang  jumlah optikal dari sebelum berlakunya dan sudah diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021, diketahui terdapat lonjakan jumlah pengurusan perijinan optikal pada kurun waktu dari bulan Agustus 2020 sampai bulan April 2023.  

 

A. Data Jumlah Optikal Berijin di Indonesia

1.  Data Jumlah Optikal Tahun 2020 di Indonesia

Keberadaan optikal dalam setiap wilayah di Indonesia sangat membantu masyarakat, terutama untuk penyediaan alat bantu penglihatan bagi masyarakat yang mengalami masalah dan gangguan penglihatan. Dalam hal ini adalah untuk mencapai Program Vision 2020 Right to Sight untuk menanggulangi Gangguan Penglihatan dan Bahaya Kebutaan ( GPBK ), sebagai proyeksi Indonesia di tahun 2020 bebas dari bahaya kebutaan. Walaupun telah bergeser 3 tahun dari proyeksi semula dan apa yang menjadi tujuan program tersebut belum sepenuhnya tercapai, namun upaya kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilatatif secara masif telah dilakukan dan membuahkan hasil yang baik.

Secara serentak, organisasi profesi dokter spesialis mata ( opthalmoligist ) yaitu Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan organisasi profesi optometris yaitu Ikatan Profesi Optometris Indonesia (IROPIN) selalu bekerjasama untuk melakukan upaya kesehatan mata kepada masyarakat.

Selain dengan bertambahnya Rumah Sakit Mata dan/atau Klinik Mata serta pusat pelayanan kesehatan mata lainnya di Indonesia yang disertai peningkatan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, salah satunya adalah dengan terus bertambahnya jumlah optikal di Indonesia.

Sebagai referensi sumber data, terutama sebagai hipotesis pada penelitian yang dilakukan, maka kami mengambil data dari Asosiasi Pengusaha Optikal di Indonesia yaitu dari Sekretariat Gabungan Pengusaha Optik Indonesia (GAPOPIN) mengenai jumlah optikal di Indonesia sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan RI No.14 Tahun 2021 yaitu pada bulan Agustus 2020.

Jumlah optikal yang ada di Indonesia per bulan Agustus 2020, berdasarkan data dari Sekretariat GAPOPIN adalah sebagai berikut :

 

NO

DAERAH (DPD)

OPTIK BERIJIN

OPTIK TIDAK BERIJIN

JUMLAH

1

Aceh

27

22

49

2

Sumatera Utara

96

47

143

3

Riau

66

19

85

4

Kepulauan Riau

97

32

129

5

Sumatera Barat

94

34

128

6

Jambi

40

27

67

7

Sumatera Selatan

104

36

140

8

Bangka Belitung

33

9

42

9

Bengkulu

25

12

37

10

Lampung

69

21

90

11

Banten

347

83

430

12

DKI Jakarta

488

242

730

13

Jawa Barat

384

113

497

14

Jawa Tengah

335

89

424

15

Jawa Timur

220

77

297

16

Bali

34

18

52

17

Yogyakarta

76

68

144

18

Kalimantan Barat

35

9

44

19

KalSel&KalTeng

64

12

76

20

KalTim

76

17

93

21

SulSel&SulTeng

37

8

45

22

Sulut&Gorontalo

30

7

37

 

JUMLAH

2.777

1.002

3.779

 

Dari data tersebut diatas dapat diketahui bahwa terdapat sebanyak 3.779  optikal yang ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat optikal yang menyelenggarakan usahanya dengan dilengkapi ijin penyelenggaraan optikal, dan terdapat sebagian lainnya yang menyelenggarakan usahanya tanpa dilengkapi dengan ijin penyelenggaraan optikal. Optikal yang memiliki ijin penyelenggaraan optikal (SIPO) sebanyak 2.777 optikal atau sebesar 73% dari jumlah total optik di Indonesia. Sedangkan jumlah optikal yang tidak berijin atau disebut sebagai toko kacamata, sebanyak 1.002 optikal atau sebesar 27% dari jumlah total optik di Indonesia.

Mengingat bahwa data tersebut merupakan data jumlah optikal di Indonesia per bulan Agustus 2020, hal ini berarti bahwa data yang ada merupakan jumlah optikal yang mengurus ijin penyelenggaraan optikal masih berdasarkan persyaratan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal.

Masih cukup banyaknya optikal yang belum atau tidak memiliki ijin penyelenggaraan optikal, atau berstatus sebagai toko kacamata tersebut, menurut Sekretariat GAPOPIN karena masih terdapat kendala yang dihadapi penyelenggara optikal dalam mempersiapkan persyaratan perijinan. Kendala utama yang dihadapi adalah tidak adanya tenaga optometris sebagai penanggung jawab teknis optikal.

Hal tersebut, menurut penulis merupakan alasan yang kurang bisa diterima. Mengingat jumlah tenaga Optometris sebagai penanggungjawab teknis optikal masih mencukupi, karena berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.01 Tahun 2016, seorang tenaga optometris dapat menjadi penanggungjawab teknis maksimal pada 2 (dua) sarana kesehatan. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 10 ayat 2 yang berbunyi :

“Refraksionis Optisien atau Optometris dapat menjadi penanggung jawab paling banyak untuk 2 (dua) optikal”

Maka berdasarkan ketentuan ini, jika seorang optometris menjadi penanggung jawab pada 2 (dua) optikal seharusnya bisa menjawab terhadap kendala penyelenggara optikal yang belum memiliki ijin penyelenggaraan optik.

Dalam hal masih banyaknya optikal yang belum memiliki ijin ini, menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah yaitu Dinas Kabupaten/Kota setempat bekerjasama dengan organisasi profesi dan asosiasi pengusaha untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sarana kesehatan. Pada BAB IV Pembinaan dan Pengawasan Pasal 12 ayat 1 dan 2 yaitu berbunyi :

1.      Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini.

2.      Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam ayat (1), dapat melibatkan organisasi profesi, asosiasi optikal, dan instansi terkait lainnya.

Walaupun secara berkala telah dilakukan Program Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian oleh Dinas Kesehatan kabupaten/Kota bersama organisasi profesi optometris dan asosiasi pengusaha optikal, namun selalu tidak ada tindak lanjut yang efektif dari pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai pihak regulator.

 

2.  Data Jumlah Optikal Tahun 2023 di Indonesia

Sebagai pembanding, berikut kami sajikan data jumlah optikal di Indonesia per April 2023 dari Sekretariat Gabungan Pengusaha Optik Indonesia (GAPOPIN).

Data ini merupakan data jumlah Optikal di Indonesia setelah dikeluarkannya peraturan terbaru terkait perijinan optikal melalui sistem Online Single Submission (OSS) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan.

Adapun data jumlah optikal di Indonesia per April 2023 adalah sebagai berikut:

 

NO

DAERAH (DPD)

OPTIK BERIJIN

(Permenkes RI No.01/2016)

OPTIK  BERIJIN

(Permenkes RI No.14/2021)

OPTIK TIDAK BERIJIN

JUMLAH

1

Aceh

33

18

6

57

2

Sumatera Utara

112

58

4

184

3

Riau

71

14

8

93

4

Kepulauan Riau

106

28

12

146

5

Sumatera Barat

111

54

8

173

6

Jambi

40

52

13

105

7

Sumatera Selatan

108

44

11

163

8

Bangka Belitung

37

22

9

68

9

Bengkulu

27

18

7

52

10

Lampung

73

48

11

132

11

Banten

378

69

29

457

12

DKI Jakarta

505

343

114

962

13

Jawa Barat

421

97

37

555

14

Jawa Tengah

351

117

44

512

15

Jawa Timur

233

91

23

347

16

Bali

41

27

14

82

17

Yogyakarta

98

77

17

192

18

Kalimantan Barat

41

16

3

60

19

KalSel&KalTeng

68

17

5

90

20

KalTim

79

22

6

107

21

SulSel&SulTeng

41

14

4

59

22

Sulut&Gorontalo

33

12

2

47

 

JUMLAH

3.007

1.258

387

4.652

 

Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa terjadi lonjakan jumlah optikal di seluruh wilayah Indonesia. Dalam waktu 32 bulan (2 tahun 8 bulan), dari bulan Agustus 2020 sampai April 2023, terdapat penambahan jumlah optikal sebanyak 913 optikal di seluruh Indonesia, dari yang semula sebanyak 3.779 optikal menjadi 4.692 optikal. Angka ini diperkirakan akan semakin bertambah secara signifikan setiap tahunnya.

Lonjakan penambahan jumlah optikal ini terjadi karena adanya kemudahan dalam proses perijinan penyelenggaraan optikal, yaitu sejak diberlakukannya pengurusan perijinan berusaha berbasis risiko melalui sistem Online Single Submission (OSS) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021. Optikal yang semula kesulitan mengurus perijinan penyelenggaraan optikal karena kendala tidak memiliki tenaga optometris, setelah melakukan proses perijinan melalui OSS dan dengan terbitnya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar maka dinyatakan legal dan berijin. Dapat dilihat dari tabel data diatas, dari sejumlah 1.002 optikal yang tidak memiliki ijin penyelenggaraan optikal di bulan Agustus 2020, dapat melakukan proses perijinan melalui OSS sehingga jumlah optikal berijin berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021 berjumlah 1.258 optikal yang sebagian besar merupakan optikal yang dulu tidak berijin akibat terkendala tidak memiliki tenaga Optometris. Sedangkan jumlah optikal berijin berdasakan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 hanya bertambah sebanyak 230 optikal saja, yaitu dari sebanyak 2.777 optikal di bulan Agustus 2020 menjadi 3.007 optikal di bulan April 2023, penambahan ini pun diperkirakan hanya efektif terjadi di antara bulan September 2020 sampai bulan Mei 2021, yaitu sebelum diberlakukannya proses perijinan berusaha berbasis risiko melalui sistem Online Single Submission (OSS) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021. Sedangkan jumlah optikal yang tidak berijin, menurun secara signifikan dari yang semula berjumlah 1.002 optikal menjadi sebanyak 387 optikal.

Penambahan jumlah optikal berijin ini, satu sisi merupakan perkembangan yang baik dari segi legalitas usaha. Namun jika jika lihat dari sisi yang lain, terutama pada sudut pandang kepastian hukum tenaga optometris pada ijin pendirian optikal, tentu ini merupakan sebuah kemunduran dari sistem hukum terkait aspek legal ketenagaan pada fasilitas pelayanan kesehatan.


 

B. Data Jumlah Optikal Yang Memiliki Tenaga Optometris

Berdasarkan data diatas, berkaitan jumlah optikal di Indonesia yang memiliki tenaga optometris secara mudah dapat diketahui dari jumlah optikal yang memiliki ijin penyelenggaraan optikal (SIPO) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal. Berdasarkan data diatas berarti jumlah optikal di Indonesia yang memiliki tenaga optometris adalah sejumlah 3.007 optikal atau sebesar 64% dari jumlah total optikal di Indonesia. Angka ini akan menurun secara drastis terus menerus setiap tahunnya, karena adanya kebijakan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bahwa optikal yang saat ini masih menyelenggarakan optikal berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 masih diakui legalitas usahanya sampai masa berlaku Surat Ijin Pendirian Optikal (SIPO) berakhir, yang untuk selanjutnya perpanjangan perijinan dilakukan menggunakan sistem OSS sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021.

 

C. Data Jumlah Optikal Yang Tidak Memiliki Tenaga Optometris

Berdasarkan data diatas, jumlah optikal di Indonesia yang tidak memiliki tenaga optometris dapat diketahui dari jumlah optikal yang memiliki ijin berusaha berbasis resiko berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021 dan jumlah optikal yang tidak berijin sesuai data diatas. Berdasarkan data diatas berarti jumlah optikal di Indonesia yang tidak memiliki tenaga optometris adalah sejumlah 1.645 optikal, yaitu terdiri dari optikal yang memiliki NIB dan Serifikat Standar sebanyak 1.258 optikal  dan optikal yang tidak berijin sebanyak 387 optikal. Maka jumlah optikal yang tidak memiliki tenaga optometris adalah sebesar 36% dari jumlah total optikal di Indonesia. Sebaliknya angka ini akan terus bertambah secara drastis terus menerus setiap tahunnya, karena optikal yang legalitas usahanya berdasarkan Surat Ijin Pendirian Optikal (SIPO) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 dan masa berlakunya berakhir, selanjutnya akan mengurus perpanjangan perijinan menggunakan sistem OSS sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021.

 

D. Kepastian Hukum Tenaga Kesehatan Optometris Pada Ijin Pendirian Optikal

Kepastian hukum mengharuskan adanya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang disusun oleh pihak yang berwenang dan berwibawa. Dengan demikian, aturan-aturan tersebut memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin bahwa hukum berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.

Pendapat Lon Fuller menekankan pentingnya kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, yang mencakup ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang memengaruhi penerapan hukum positif. Fuller berargumen bahwa kepastian hukum memiliki beberapa makna, yaitu aturan harus jelas dan mudah dipahami, tidak boleh menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda, harus konsisten dan tidak saling bertentangan, serta harus praktis dan memungkinkan untuk diterapkan.

Berdasarkan indikator tersebut maka analisis terhadap kepastian hukum tenaga optometris pada ijin pendirian optikal berdasarkan kedua produk perundangan yaitu Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 dan  Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 14 Tahun 2021 dapat di jelaskan sesuai tabel berikut :


 

 

PERATURAN

Indikator 1

Indikator 2

Indikator 3

Indikator 4

KEJELASAN

TIDAK MULTITAFSIR

TIDAK KONTRADIKTIF

DAPAT DILAKSANAKAN

Permenkes No.01/2016

Memiliki kejelasan

Tidak multitafsir

Tidak kontradiktif

Dapat dilaksanakan

Permenkes No.14/2021

Tidak memiliki kejelasan

Menimbulkan multitafsir

Terdapat kontradiktif

Dapat dilaksanakan

 

Sesuai tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal, semua indikator mengenai kepastian hukum terpenuhi seluruhnya sedangkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan, dari semua indikator hanya 1 indikator saja yang dapat terpenuhi. Dari hal tersebut dapat dijelaskan bahwa berdasarkan asas kepastian hukum maka Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal memenuhi syarat dalam menjaminkan kepastian hukum tenaga optometris pada perijinan optikal, sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan tidak memenuhi kepastian hukum tenaga optometris pada perijinan optikal.

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan pada hasil kajian melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan data empiris  yang dianalisis menggunakan teori kepastian hukum, maka secara yuridis bahwa Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Optikal, dalam penerapannya telah memberikan kepastian hukum tenaga kesehatan optometris pada ijin penyelenggaraan optikal, mengingat ketersediaan tenaga optometris sebagai penanggung jawab teknis dan mutu pelayanan pada optikal sesuai dengan perundang-undangan kesehatan dan tujuan pembangunan kesehatan Nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perijinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor Kesehatan tidak memenuhi kepastian hukum tenaga optometris pada perijinan optikal.

 

BIBLIOGRAFI

 

Budoyo, S. W. (2024). Kepastian Hukum Tenaga Kesehatan Optometris Pada Ijin Pendirian Optikal. Jurnal Optometri Indonesia, 19–31.

Druml, C., Ballmer, P. E., Druml, W., Oehmichen, F., Shenkin, A., Singer, P., Soeters, P., Weimann, A., & Bischoff, S. C. (2016). ESPEN guideline on ethical aspects of artificial nutrition and hydration. Clinical Nutrition, 35(3), 545–556. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2016.02.006

FAJRYANI, M. Y. (2023). Kepastian Hukum Eksistensi Self-executing dan Perlindungan Hukum bagi Para Pihak Pada Smart Contract dalam Jaringan Blockchain. Universitas Islam Indonesia.

Hamidi, M. P., Fadli, M. A., & Wilion, Y. W. (2022). Tinjauan Green Economy dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jurnal Persaingan Usaha, 2(1), 5–19.

Hasugian, C. R. (2022). Pentingnya Penerapan Kesadaran Hukum dalam Hidup Bermasyarakat. De Cive: Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(9), 328–336. https://doi.org/10.56393/decive.v2i9.1594

Hildebrandt, M. (2021). The adaptive nature of text-driven law. Journal of Cross-Disciplinary Research in Computational Law, 1(1).

Hind, J., Williams, O., Oladiwura, D., & Macdonald, E. (2020). The differences between patient and optometrist experiences of contact lens hygiene education from the perspective of a Scottish university teaching hospital. Contact Lens and Anterior Eye, 43(2), 185–188. https://doi.org/10.1016/j.clae.2019.07.006

Mentzelopoulos, S. D., Couper, K., Van de Voorde, P., Druwé, P., Blom, M., Perkins, G. D., Lulic, I., Djakow, J., Raffay, V., & Lilja, G. (2021). European Resuscitation Council Guidelines 2021: Ethics of resuscitation and end of life decisions. Resuscitation, 161, 408–432. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2021.02.017

Poletti, M., & Rucci, M. (2016). A compact field guide to the study of microsaccades: Challenges and functions. Vision Research, 118, 83–97. https://doi.org/10.1016/j.visres.2015.01.018

Putri, A. S. S. (2022). Pentingnya Kesadaran Hukum pada Lingkungan Masyarakat. De Cive: Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(12), 457–465. https://doi.org/10.56393/decive.v2i12.1597

Putri, K. R., Azzahra, N. P., Febriyani, S., & Yani, T. P. (2024). Reformasi Hukum Di Indonesia: Tantangan dan Progres dalam Mewujudkan Keadilan. SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2), 155–161. https://doi.org/10.62017/syariah.v1i2.410

Rodríguez-Zarzuelo, G., Gómez-Niño, Á., & Martín-Herranz, R. (2023). A Delphi study to identify and assess professional competencies in the education of optometrists. Journal of Optometry, 16(2), 151–166. https://doi.org/10.1016/j.optom.2021.12.005

Six, S., Van Overmeire, R., Bilsen, J., Laureys, S., Poelaert, J., Theuns, P., & Deschepper, R. (2020). Attitudes of professional caregivers and family members regarding the use of monitoring devices to improve assessments of pain and discomfort during continuous sedation until death. Journal of Pain and Symptom Management, 60(2), 390–399. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2020.02.015

Wu, F., Liang, W., Chen, Z., Ju, Y., & Law, C. K. (2015). Uncertainty in stretch extrapolation of laminar flame speed from expanding spherical flames. Proceedings of the Combustion Institute, 35(1), 663–670. https://doi.org/10.1016/j.proci.2014.05.065

Zhu, Y., Zabaras, N., Koutsourelakis, P.-S., & Perdikaris, P. (2019). Physics-constrained deep learning for high-dimensional surrogate modeling and uncertainty quantification without labeled data. Journal of Computational Physics, 394, 56–81. https://doi.org/10.1016/j.jcp.2019.05.024

 

© 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).