Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Desember 2024, 4 (12), 1148-1159

p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534

 

 

������������������������������������������������ Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index

 

Pelatihan Regulasi Emosi Dalam Menurunkan Agresivitas

Anak Marginal Usia 6-11 Tahun Di Pinggiran Rel Kereta Api Kecamatan X Surabaya

 

Tabitha Neema Christy Sembiring1, Dessi Christanti2

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Indonesia��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� Email: [email protected]1[email protected]2

 

Abstract

Agresivitas adalah perilaku yang muncul karena emosi negatif yang keluar. Salah satu penyebab agresivitas adalah ketidakmampuan individu mengelola emosi marah. Fenomena ini dialami oleh anak-anak marginal usia 6-11 tahun di pinggiran rel kereta api X Surabaya. Pelatihan regulasi emosi menjadi alternatif dalam menurunkan agresivitas anak marginal tersebut.� Melalui pelatihan regulasi emosi anak akan belajar keterampilan mengenal emosi, mengekspresikan emosi, mengelola emosi, mengubah emosi, dan menenangkan diri saat menghadapi emosi. Subjek penelitian ini terdiri dari 10 anak yang tinggal di pinggiran rel kereta api kecamatan X di Surabaya yang terdiri dari 5 anak perempuan dan 5 anak laki-laki yang memiliki tingkat agresivitas cukup tinggi. Penelitian ini menggunakan desain Time-series design atau desain� rangkaian waktu dengan mengukur pre-test kemudian melaksanakan treatment dan diakhiri dengan mengukur post-test. Pelaksanaan pelatihan regulasi emosi ini dilakukan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 2 minggu. Setiap sesi pelatihan berlangsung selama 1,5 jam, dengan jarak antar pertemuan yang dijadwalkan secara merata, yaitu 3-4 hari.. �Uji normalitas yang menunjukkan data pre-test dan post-test terdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji paired-test yang membuktikan bahwa dari data pre-test dan post-test terjadi penurunan skor yang signifikan.� Skor rerata Pre-test 497 > post-test 385,90.� Ini artinya, skor rerata post-test lebih kecil dari pre-test. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan tingkat agresivitas setelah mendapat pelatihan regulasi emosi. Untuk mendukung hasil uji paired-test kemudian dilakukan uji paired sample test coorelation yang menunjukkan hasil nilai koefisien korelasi sebesar 0,950 (p < 0.01

 

Keywords: Pelatihan, Regulasi Emosi, Agresivitas, Anak Marginal, intervensi psikologis

Abstrak

Aggressiveness is a behavior that arises due to negative emotions that come out. One of the causes of aggressiveness is the inability of individuals to manage angry emotions. This phenomenon is experienced by marginal children aged 6-11 years on the outskirts of the X Surabaya railway. Emotional regulation training is an alternative in reducing the aggressiveness of these marginal children. Through emotional regulation training, children will learn the skills of recognizing emotions, expressing emotions, managing emotions, changing emotions, and calming themselves down when facing emotions. The subjects of this study consisted of 10 children who lived on the outskirts of the X district railway in Surabaya, consisting of 5 girls and 5 boys who had quite high levels of aggressiveness. This study used a Time-series design or time series design by measuring the pre-test then carrying out treatment and ending with measuring the post-test. The implementation of this emotional regulation training was carried out 4 times over a period of 2 weeks. Each training session lasted for 1.5 hours, with a distance between meetings that was evenly scheduled, namely 3-4 days. The normality test showed that the pre-test and post-test data were normally distributed. Furthermore, a paired-test test was conducted which proved that from the pre-test and post-test data there was a significant decrease in scores. The average score of the pre-test was 497 > post-test 385.90. This means that the average score of the post-test was smaller than the pre-test. These results indicate that there is a tendency for a decrease in the level of aggressiveness after receiving emotional regulation training. To support the results of the paired-test test, a paired sample test correlation test was conducted which showed a correlation coefficient value of 0.950 (p <0.01.

 

Kata Kunci: Emotion Regulation Training, Aggressiveness, Marginalized Children, Age 6-11 Years.

������������������������������������������������������������������������������������������� *Correspondence Author: Tabitha Neema Christy Sembiring

Email: [email protected]


 

 

 

INTRODUCTION

 

Salah satu kota yang mendapat julukan kota ramah anak di Indonesia, ternyata di kota Surabaya masih terdapat kelompok anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh dan tergolong dalam kelompok marginal (Kurniati A & Suhardi, 2014; Rahayu, 2023). Salah satunya adalah anak-anak yang tinggal di kawasan rel kereta api kecamatan X Surabaya. Kata marginal memiliki arti pinggiran atau terpinggir. Marginal juga merupakan istilah yang umumnya disematkan pada� sekelompok masyarakat yang masuk ke dalam kelompok masyarakat pra-sejahtera (Suyanto, 2016). Mereka yang termasuk kelompok anak marginal adalah anak-anak jalanan serta kaum miskin. Anak marginal adalah mereka yang kurang terperhatikan untuk mendapatkan akses pendidikan (Freire, 1984; Nurfakhira & Lukman, 2024). Secara sosial, anak marginal berada di lingkungan� keluarga yang tidak harmonis atau tinggal di lingkungan yang kurang kondusif untuk mendukung keberhasilan mereka kelak (Sandora, 2020). Aspek sosial mengarahkan bahwa anak termasuk kategori anak marginal mana kala ia terikat oleh lingkungan keluarga yang tidak kondusif dan kurang harmonis sehingga mempengaruhi perilaku dan sikap anak dalam perkembangannya.

Anak marginal memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan atau pelaku agresi� (Freire, 1984; Suyanto, 2016). Perilaku agresi merupakan bentuk respon berupa tindakan fisik maupun verbal yang� dimaksudkan untuk menyakiti orang lain (Myers, 2012). Agresi merupakan manifestasi keadaan emosi yang����� di dalamnya terdapat gabungan perasaan frustasi, kecewa, benci, marah yang kemudian diproyeksikan secara� destruktif ke lingkungan sekitar, orang lain atau ke dalam diri individu sendiri. Perilaku agresif umumnya ditunjukkan dalam bentuk menyakiti, menyerang baik itu secara fisik maupun verbal.

Terdapat empat bentuk perilaku agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan (Buss & Perry, 1992). Agresi fisik (physical aggression) merupakan bentuk perilaku agresi berupa segala bentuk tindakan yang keluar untuk menyakiti, serta melukai seseorang secara fisik, tindakannya berbagai macam seperti menyerang, memukul, dan menendang. Agresi verbal (verbal aggression) adalah bentuk perilaku agresi berupa tindakan agresi kepada seseorang melalui cara verbal, misalnya dengan cara berteriak, memaki, mengeluarkan kata yang tidak seharusnya, membentak, mengucapkan kata kasar, memaki, berteriak, dan lainnya. Kemarahan (anger) merupakan bentuk perilaku agresi� berbentuk perasaan marah� akibat sesuatu hal negatif yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik yang dialami yang direaksikan secara langsung. Misalnya, perasaan benci, marah, kesal, serta tidak bisa mengendalikan amarah. Emosi negatif yang muncul disebabkan karena adanya ekspektasi yang terjadi namun tidak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dikeluarkan dengan munculnya ekspresi yang dapat merugikan dirinya dan orang lain. Permusuhan (hostility) merupakan bentuk perilaku agresi yang bersumber dari penilaian yang buruk atau negatif pada orang lain sehingga berpotensi menyebabkan perselisihan dengan orang lain. Bentuk agresi permusuhan ini merupakan bentuk agresi covert (tidak terlihat). Bentuk kebenciannya seperti tidak mau bergaul, perbuatan yang merugikan orang lain, terlalu overestimate terhadap orang lain, ingin mengajak mengadakan permusuhan dan berkelahi dengan orang lain yang menyebabkan keributan.

Sumber perilaku agresi seorang anak beragam. Anak bisa mendapatkan perilaku agresinya dari hasil pengamatan pada orang tua (Paswaniati et al., 2021). Dalam hal tindak kekerasan, anak melihat tingkah laku kekerasan yang ada di lingkungan, kemudian anak mengimitasi tindak kekerasan tersebut.� Lingkungan yang penuh dengan perilaku agresivitas juga dengan mudah dapat mempengaruhi pola pikir, perilaku dan juga sikap anak terkait agresi. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh agresivitas tentu menganggap bahwa perilaku agresivitas merupakan hal yang lumrah dilakukan (Syifa, 2015). Agresi juga bisa muncul karena amarah yaitu ekspresi dari suatu emosi tidak suka yang sangat besar akibat tindakan yang salah dari orang lain sehingga menyebabkan individu kehilangan kesabaran. Kondisi marah ini� berpotensi memicu tindakan agresivitas dari individu sehingga dapat menyerang secara fisik maupun verbal pada individu lain (Saraswati et al., 2023).�

Anak marginal di pinggiran rel kereta api rata-rata berada pada rentang usia 6-11 tahun. Rentang usia ini menempatkan mereka pada masa kanak-kanak akhir atau fase late childhood.� Pada fase ini,� seorang anak mulai muncul keinginan menyesuaikan standar yang disetujui oleh kelompoknya mulai dari penampilan, berbicara, dan perilaku (Hurlock, 2012).� Anak mulai membandingkan diri, memiliki waktu lebih untuk bermain dengan teman sebayanya, ingin diakui dan mendapat pengakuan dari lingkungannya sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan munculnya perkembangan yang mengarah pada perilaku negatif dan dapat memunculkan perilaku agresi (Syifa, 2015; Wibisono, 2017). Anak sudah mengerti apa yang ia inginkan dan sulit untuk menuruti perintah atau nasehat orang tua karena terpengaruh oleh teman-teman sebayanya.

Berdasarkan hasil preliminary study berupa wawancara kepada Ketua RT kawasan pemukiman pinggir rel kereta api di Kecamatan X di Surabaya, umumnya.� anak-anak di kawasan tersebut cenderung meniru perilaku teman-temannya. Ketika teman dalam kelompok melakukan tindakan kekerasan, anak-anak yang lain akan mengikutinya.� Perilaku anak-anak marginal di kawasan pemukinan tersebut sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yaitu anak-anak marginal kerap terjebak dalam sebuah keadaan penerimaan sosial yang bergantung pada pilihan untuk meniru atau tidak melakukan tindakan agresi. Akhirnya sebagian besar anak memilih untuk melakukan tindak agresi agar selaras dengan perilaku teman-teman kelompoknya (Wibisono, 2017).

Pengambilan data di preliminary research juga dilakukan melalui observasi yang bertujuan untuk mendapatkan dan mengetahui tingkat intensitas agresivitas anak di pinggiran rel kereta api Kecamatan X Surabaya. Observasi dilakukan pada sepuluh anak berusia 6-11 tahun yang berada pada satu lingkungan dan sering berkumpul di sekitar pinggiran rel kereta api di wilayah X di Surabaya. Dari hasil observasi tersebut, didapatkan beberapa bentuk perilaku agresi antara lain sering bertengkar melakukan perundungan terhadap temannya, mengeluarkan kata-kata kasar yang termasuk kepada aspek agresi verbal, begitu juga dengan tindakan mereka yang tidak selayaknya dilakukan, misalnya mendorong temannya, memukul hingga menangis yang termasuk pada aspek agresi fisik dan bentuk dari pada kemarahan dan kebencian.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa intensitas munculnya tindakan agresivitas anak di daerah tersebut sebenarnya merupakan respon mereka terhadap keadaan yang sedang mereka hadapi. Perilaku agresivitas muncul ketika mereka dihadapkan pada situasi yang membuat mereka merasa tidak nyaman seperti halnya untuk mempertahankan dan melindungi diri mereka. Respon tersebut sebenarnya wajar karena sebagai upaya melindungi diri sendiri. Namun respon tersebut menjadi� negatif bila luapan amarah di ekspresikan dengan cara yang salah.

Jika perilaku agresif pada anak dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan anak menjadi terbiasa dan memiliki pemahaman yang keliru tentang cara mengekspresikan emosi marah.� Hal ini dapat berdampak negatif bagi anak karena perilaku agresi tersebut dapat terbawa di tahap perkembangan berikutnya. Masa remaja merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak sehingga� perilaku agresif saat remaja boleh jadi juga� merupakan kelanjutan dari perilaku agresif semasa kanak-kanak (Annisavitry & Budiani, 2017). Banyak kasus ketika anak salah dalam merespon emosi, misalnya anak memukul temannya ketika memperebutkan sesuatu, adanya tawuran antar siswa yang berujung pada kekerasan, banyaknya kasus perundungan dan berbagai kasus lainnya.�

Jika anak terbiasa mengekspresikan emosi dengan cara yang salah, mereka dapat menginternalisasi perilaku agresif sebagai respons standar terhadap tekanan. Kasus seperti tawuran, perundungan, dan kekerasan antar siswa menunjukkan perlunya intervensi yang tepat untuk membantu anak mengelola emosi mereka (Purwadi et al., 2018). Agresivitas yang tidak terkendali berdampak pada kesehatan mental dan hubungan interpersonal anak, sehingga penting untuk memperkenalkan strategi regulasi emosi sejak dini (Velotti et al., 2017).

Regulasi emosi diartikan sebagai suatu cara untuk mempertahankan, menaikkan atau menurunkan intensitas dari pengalaman emosi (Gyurak et al., 2011). Pada anak, regulasi emosi diibaratkan sebagai sebuah kemampuan dalam mengenali emosi diri dan orang lain serta kemampuan menyampaikan apa yang dirasakan (Papalia & Martorell, 2021). Dalam usia prasekolah, regulasi emosi merupakan salah satu aspek cukup penting dari suatu perkembangan sosial dan kognitif anak (Zuddas, 2012). Dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah kemampuan individu dalam memahami emosi, mengontrol diri ketika diperhadapkan pada kondisi yang berpotensi menyebabkan individu untuk meluapkan emosi yang mengarah pada kemampuan berpikir, pengelolaan emosi, pengaturan dan pengendalian diri dalam berperilaku yang dikelola guna menyelesaikan permasalahan.

Terdapat lima konsep mengenai keterampilan regulasi emosi dari (Greenberg & Watson, 2006;� Greenberg, 2004) yaitu (a) individu mengenal emosi yang dirasakan, (b) Mengekspresikan emosi, (c) Individu Mampu mengelola emosi, (d) Mengubah emosi negatif menjadi emosi positif, dan (e) Memiliki keterampilan menenangkan diri. Konsep individu mengenal emosi yang dirasakan menunjukkan bahwa kemampuan individu mengenal emosi yang dirasakan ketika melihat, mampu menjelaskan, serta memberi label terhadap perasaan atau emosi yang sedang dirasakan. Hal ini menandakan apapun emosi yang muncul diri individu memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda dan akan menjadi baik maksudnya jika individu mampu memahami tujuannya (Mininni, 2005).

Konsep mengekspresikan emosi dapat dimaknai sebagai kemampuan individu mengekspresikan serta menunjukkan bagaimana emosi yang dirasakan yaitu ketika individu bisa mengungkapkan secara lisan maupun tulisan tentang perasaan atau emosi yang dirasakan. Konsep individu Mampu mengelola emosi dapat diartikan sebagai kemampuan individu mengatur dan mengelola emosi ialah individu yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam mengontrol dan merasionalisasikan emosi yang keluar. Konsep mengubah emosi negatif menjadi emosi positif menjelaskan tentang� adanya emosi dari setiap individu, tentu harapannya seseorang bisa memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memberi penilaian dan tanggung jawab akan emosi yang keluar dan yang dirasakan dengan harapan individu dapat mengambil suatu keputusan yang tepat. Konsep memiliki keterampilan menenangkan diri menunjukkan kemampuan individu dalam menenangkan diri adalah keterampilan untuk bisa menjelaskan adanya emosi yang muncul dalam suatu keadaan, individu bisa merasakan kehadiranya, mulai mengatur pernafasan, dan memunculkan emosi-emosi positif aktifitas ini dapat dilakukan dengan berbicara dengan diri sendiri (self-talk), mindfull terhadap yang dilakukan, dan bisa sadar untuk mengontrol emosi diri.

Regulasi emosi dapat menjadi solusi efektif untuk menurunkan agresivitas. Kemampuan ini mencakup pemahaman, kontrol, dan penyesuaian emosi agar dapat menghadapi situasi penuh tekanan tanpa berujung pada perilaku destruktif (Sheppes et al., 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian diri dan menurunkan agresivitas pada kelompok rentan, seperti anak tunalaras dan anak panti asuhan (Aqila et al., 2022; Nugraheni & Christiana, 2013; Rahmadhony, 2020).

Bila anak mampu menempatkan emosinya dengan baik, tentu itu akan mengarahkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki baik dalam bidang akademik maupun hubungan dengan sosialnya. Regulasi emosi yang tidak pada tempatnya akan berdampak pada aspek internal dan eksternal anak. Aspek internalnya ialah depresi atau stress. Aspek eksternalnya ialah perilaku agresi seperti menunjukkan kemarahan secara bebas sehingga meningkatkan tindakan agresif (Purwadi et al., 2018).

Penelitian ini memiliki urgensi karena anak marginal yang berusia 6�11 tahun berada pada fase perkembangan penting, yaitu masa kanak-kanak akhir, di mana mereka mulai mencari pengakuan dari kelompoknya (Hurlock, 2012) Jika tidak diarahkan dengan baik, perilaku negatif seperti agresivitas dapat terbawa hingga dewasa, memengaruhi kehidupan sosial dan emosional mereka di masa depan. Pelatihan regulasi emosi mampu menurunkan agresivitas (Rahman, 2005).

Keunikan penelitian ini terletak pada fokusnya pada anak marginal di kawasan rel kereta api, kelompok yang sering kali luput dari perhatian intervensi berbasis regulasi emosi. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapangan untuk menguji efektivitas pelatihan regulasi emosi, yang jarang dilakukan pada populasi serupa di Indonesia.Berdasarkan permasalahan diatas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat agresivitas sebelum dan setelah pelatihan regulasi emosi.

 

METODE PENELITIAN

 

�Populasi enelitian ini adalah anak marginal di Pinggiran Rel Kereta Api X di �Surabaya yang berusia 6-11 Tahun. Dari populasi tersebut, kemudian diambil sampel memggunakan teknik purposive untuk menjadi subjek penelitian. Kriteria sampel yang akan berpartisipasi dalam kelompok uji yaitu mereka yang sudah putus sekolah. Pada penelitian ini, terdapat jumlah total 10 orang subjek pelatihan regulasi emosi yaitu 5 orang anak perempuan dan 5 orang anak laki-laki.

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tergantung dan variabel terikat.� variabel tergantung (Y) yaitu agresivitas. Definisi operasional agresivitas dalam penelitian ini adalah keadaan emosi dimana adanya respon negatif yang disebabkan oleh stimulus negatif yang keluar dalam bentuk perilaku yang kurang tepat ke lingkungan dan kedalam diri individu itu sendiri seperti perasaan emosi marah, kekerasan fisik maupun verbal�. Variabel ini diukur dengan menggunakan checklist observasi terhadap aspek-aspek agresivitas yaitu: agresivitas fisik, verbal, dan marah. ��

Sedangkan Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah pelatihan regulasi emosi. Definisi operasional dari pelatihan regulasi emosi adalah suatu kegiatan yang sistematis, proses bertahap yang membantu individu dalam mengubah tingkah laku ketika diperhadapkan pada situasi yang fokusnya pada cara dan pemberian materi agar bisa mengenal perasaan, mengekspresikan, mengelola, mengubah perasaan, serta menenangkan diri individu dalam hal menjaga keseimbangan emosi. Kegiatan pelatihan regulasi emosi berupa mentoring, sedangkan bentuk pelatihan menggunakan konsep belajar sambil bermain. Dalam pelaksanaan pelatihan regulasi emosi akan menggunakan desain Time-series design atau desain rangkaian waktu (pre-experimental design) yang akan dilaksanakan selam 4 kali pertemuan dalam kurun waktu 2 minggu, nantinya peneliti akan mengukur pre-test melaksanakan treatment dan kemudian posttest.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuasi. Penelitian eksperimen ialah penelitian yang dipakai dan digunakan untuk mencari efek dari perlakuan tertentu, melihat pengaruh� dari yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2015). �Salah satu jenis penelitian kelompok eksperimen adalah eksperimen kuasi yaitu penelitian eksperimen yang dilakukan tanpa ada prosedur pemilihan subjek secara acak (Hastjarjo, 2019) dan kadang juga karena tiadanya kelompok kontrol (Akbar et al., 2023; Rukminingsih et al., 2020). Bentuk desain eksperimen kuasi juga beragam, yang akan dipakai ialah Time-series design atau desain rangkaian waktu (pre-experimental design (Hastjarjo). Dalam desain eksperimen rangkaian waktu ini hanya akan �menggunakan satu kelompok uji tanpa adanya kelompok kontrol (Rukminingsih et al., 2020).

 

Tabel 1.� Desain eksperiman

Kelomompok

Pretest

Perlakuan

Posttest

Eksperimen

O1 O2 O3 O4

X1

O5 O6 O7 O8

Keterangan:

X� : Pelatihan regulasi emosi

O1 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlakuan

O2 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlaku

O3 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlakuan

O4 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlakuan

O5 : Kelompok yang nantinya diberi posttest setelah adanya perlakuan

O6 : Kelompok yang nantinya diberi posttest setelah adanya perlakuan

O7 : Kelompok yang nantinya diberi posttest setelah adanya perlakuan

O8 : Kelompok yang nantinya diberi posttest setelah adanya perlakuan

 

Pelatihan menurut ialah proses pembelajaran yang bertujuan untuk mendapatkan dan menambah kemampuan individu atau kelompok sehingga dapat dilihat perubahannya dalam waktu yang singkat dengan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori (Heriyanti, 2013). Tahap pelaksanaan eksperimen pelatihan regulasi emosi akan diterapkan pada materi yang kemudian akan disajikan dalam bentuk pelatihan belajar sambil bermain dimana nanti subjek akan dimentoring. Pelatihan

regulasi emosi akan terdiri dari 20 sesi yang dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan dengan durasi waktu sekitar 1,5 jam. Adanya pelatihan akan dilakukan sesuai dengan modul yang telah disusun oleh peneliti. Modul pelatihan regulasi emosi yang disusun akan berdasarkan pada indikator regulasi emosi dari Greenberg (Leslie S Greenberg, 2004).

 

Tabel 2. Materi Pelatihan Regulasi Emosi

Pertemuan

Materi

Indikator ketercapaian

Aktivitas

1.

Mengenal emosi

Anak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menerangkan, dan memberikan label atau nama terhadap emosi yang dialami.

Materi terkait jenis-jenis emosi menggunakan alat peraga sebagai label emosi.

Peserta bisa membedakan jenis-jenis Emosi

Mengekspresikan Emosi

Anak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya kepada orang lain.

Bermain peran dalam mengekspresikan emosi

2.

Menenangkan Diri

Anak bisa mengakui adanya emosi yang muncul saat sesuatu terjadi, menoleransi dan merasakan kehadirannya, mengatur pernafasan, dan memunculkan emosi positif

Pengetahuan mengenai bagaimana menenangkan diri �Emotional Tools�

Keterampilan dalam teknik relaksasi dan penggunaan �Emotional Tools� dalam meregulasi emosi.

3.

Mengubah Emosi Negatif menjadi Positif

Keterampilan dalam menilai dan bertanggung jawab akan emosi-emosi yang dirasakan

Pengetahuan dan keterampilan mengenal emosi yang dirasakan dan memilih strategi coping yang tepat. Berkaitan dengan Afirmasi Positif.

 

Pengetahuan teknik relaksasi.

Mengelola Emosi

Anak bisa untuk mengontrol dan merasionalisasikan emosi terutama pada saat diekspresikan.

Materi cara mengendalikan emosi �Stop Think Do�

Keterampilan mengenai bagaimana penerapan regulasi emosi

4.

Penutupan Pelatihan Regulasi Emosi

-

Mengulang materi dan praktek dalam meregulasi emosi.

 

Peserta mampu merefleksikan diri.

 

 

 

Penelitian ini menggunakan skala �agresivitas pada anak ���marginal usia 6-11 tahun adalah modifikasi dari skala agresivitas�� �berdasarkan alat ukur yang digunakan dalam perilaku disusun berdasarkan teori Buss & Perry (1992) yang telah diterjemahkan, ada tiga aspek yang dipakai yaitu aspek agresivitas fisik, agresivitas verbal, agresivitas kemarahan (anger) dimana terdapat 25 aitem yang merupakan bentuk tingkah laku dari agresivitas. Skala agresivitas ini menggunakan metode checklists observasi sebagai instrumen untuk

mengumpulkan data dalam mengukur perilaku agresi pada anak marginal usia 6-11 tahun. Metode checklist observasi merupakan cara dalam melakukan observasi yang akan memberikan keterangan mengenai muncul atau tidaknya perilaku yang diamati dengan memberikan tanda check (√) jika nantinya perilaku yang diobservasi muncul atau terlihat (Herdiansyah, 2019). Menurut Christensen, observasi juga diartikan sebagai pengamatan pada pola perilaku manusia pada situasi tertentu guna mencari dan mendapatkan informasi terhadap kondisi yang diinginkan (Sugiyono, 2015). Nantinya dalam tabel checklist observasi peneliti akan mencantumkan atau menuliskan indikator perilaku yang mungkin akan muncul dari subjek penelitian.

Pada pelaksaan eksperimen ini, terdapat tiga prosedur yang dijalani subjek yaitu:

1.       Pra-kondisi

Sebelum dimulai pelatihan regulasi emosi, subjek penelitian terlebih dahulu akan diobservasi sebagai data pre-test.� Observasi dilakukan menggunakan checklist observasi yang akan dibantu oleh fasilitator. Tujuannya untuk melihat data diri dan tingkat agresivitas pada anak marginal usia 6-11 tahun di pinggiran rel kereta api X sebelum nanti dilakukannya pelatihan regulasi emosi. Peneliti mencatat skor dalam bentuk tabel rangkaian waktu. Data akan dianalisis kemudian mencari rerata skor sebelum dilaksanakan pelatihan. Pengambilan data pre-test dilakukan� sebanyak 4 kali yang dibagi menjadi beberapa tahapan. Dua kali pengambilan data sebelum treatment (pelatihan) diberikan dan dua kali saat treatment (pelatihan) diberikan yaitu pada pertemuan 1 dan 2.�

2.       Pelaksanaan Pelatihan

Pelaksanaan pelatihan regulasi emosi nantinya akan terdiri dari 20 sesi yang dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan yang akan dibagi menjadi beberapa minggu pertemuan. Dalam sekali pertemuan akan dilaksanakan sekitar 1,5 jam. Pemberian pelatihan dilakukan sesuai dengan modul pelatihan yang telah disusun oleh peneliti. Dua pertemuan awal akan di observasi dan data akan dimasukkan kedalam data pre-test 3 dan 4, kemudian 2 pertemuan akhir akan dimasukkan kedalam data post-test 1 dan 2, lalu peneliti menambah 2 pertemuan lanjutan sebagai pertemuan pembelajaran yang biasa peneliti lakukan untuk mengambil 2 data post-test akhir, sehingga peneliti akan mendapatkan total 4 post-test untuk mengetahui hasil kondisi akhir, setelah diberikannya perlakuan yang ditujukan untuk melihat efektivitas dari treatment yang diberikan.

3.       Setelah Pelatihan/ Tahap Tindak Lanjut

Setelah pelatihan dilakukan dengan melaksanakan checklist observasi dengan skala agresivitas pada anak marginal usia 6-11 tahun, selanjutnya akan ada wawancara tanya jawab terhadap perubahan yang dirasakan. Tahap tindak lanjut dilakukan 2 hari setelah dilakukannya pelatihan regulasi emosi yang akan dibantu oleh orangtua subjek maupun fasilitator nantinya.

 

�������� �HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam penelitian ini, subjek penelitian mengikuti serangkaian pre-test dan post-test. Tujuan dari kedua test tersebut adalah untuk membandingkan tingkat agresivitas sebelum dan setelah mereka mengikuti pelatihan regulasi emosi. Berikut hasil pre-test dan post-test para subjek penelitian.

Tabel 3. Hasil pre-test dan post-test

Nama

Mean Pretest 1-4

Mean Posttest 1-4

ZA

178.00

125.50

BR

110.25

95.75

AF

123.50

97.00

AL

125.75

101.50

WI

170.00

121.75

RA

127.00

98.00

NA

97.00

87.25

AI

110.50

79.50

SIL

87.25

71.50

WIL

113.50

77.25

 

Tabel tersebut menunjukkan bahwa semua peserta eksperimen mengalami penurunan tingkat agresivitas setelah mengikuti pelatihan. Tentu tingkat agresivitas setiap anak berbeda-beda, namun bila membandingkan hasil pre-test dan post-test� , trend yang terjadi adalah penurunan tingkat agresivitas. Hal ini semakin diperjelas dari grafik tingkat agresivitas pada gambar 1. Bila digambarkan, memang terlihat ada penurunan tingkat agresivitas subjek penelitian setelah pertemuan ke-2 pelatihan regulasi emosi.


 


�

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Grafik hasil pretest & posttest

 

Bentuk agresivitas yang diobesrvasi adalah agresivitas fisik, verbal, dan marah. Berdasarkan hasil observasi, ketiga bentuk agresivitas ini juga mengalami penurunan setelah subjek mengikuti pelatihan regulasi emosi. Hal ini tampak dalam tabel 4.

Tabel 4. Rerata pre-test dan post test masing-masing bentuk agresivitas

Agresivitas

Mean Pre-test

Mean Post-test

Agresivitas Fisik

140.00

105.70

Agresivitas Verbal

246.60

188.40

Agresivitas Marah

110.50

87.90

 

Selanjutnya adalah melakukan uji perbedaan hasil pre-test dan post-test . Namun sebelumnya harus dilakukan uji asumsi terlebih dahulu. Uji asumsi yang diperlukan adalah uji normalitas yaitu untuk dapat mengetahui apakah sebaran data penelitian terdistribusi normal atau tidak. Sebaran skor dikatakan normal jika hasil uji menunjukkan p>0,05. Kriteria pengujian normalitas yaitu jika nilai Sig > 0.05, maka dapat dinyatakan instrumen variabel terdistribusi normal. Uji normalitas dilakukan menggunakan One-Sample Shapiro Wilk Test melalui program SPSS versi 25 for windows. Berikut merupakan hasil uji normalitas.

 

Tabel 5. Uji Normalitas

Uji Pre-test � Post-test

N

Sig.

Keterangan

Pre-test

10

0.139

Normal

Post-test

10

0.544

Normal

 

Berdasarkan uji normalitas yang ditunjukkan melalui uji pre-test dan post-test menunjukkan hasil sig 0.139 yang artinya lebih besar dari 0,05 dan hasil post-test dengan sig 0.544 lebih besar dari 0,05 artinya kedua data terdistribusi normal.

Berdasarkan hasil uji normalitas ternyata data terdistribusi secara normal. Maka dari itu, bisa dilanjutkan melakukan uji hipotesis. Peneliti menggunakan analisis statistika parametrik yakni Paires Sample T-Test. Uji tersebut dipilih karena peneliti ingin melihat ada atau tidaknya perbedaan tingkat agresivitas saat sebelum dilakukan pelatihan regulasi emosi dengan sesudah dilakukan pelatihan regulasi emosi.

 

Tabel 4. Data Deskripsi Pre-test dan Post-test

Uji Pre-test � Post-test

Mean

N

Std. Deviation

Std. Error Mean

Pre-test

497.00

10

116.268

36.767

Post-test

385.90

10

69.446

21.961

 

Dari tabel diatas diketahui bahwa rerata agresivitas kelompok eksperimen pada hasil pretest sebesar 497.00 dan pada hasil posttest sebesar 385.90. Berdasarkan data tersebut terlihat perbedaan rerata antara pre-test dan post-test. Pre-test 497 > post-test 385,90. Ini artinya secara deskriptif terdapat penurunan tingkat perilaku agresitas� anak saat post-test. Bila dilihat dari standar error rerata dari pre-test dan post-test,� terlihat standard error mean pada hasil pretest sebesar 36.767 yang menunjukkan tingkat ketepatan rerata skor pre-test� subjek penelitian. Demikian pula standar error pada posttest sebesar 21.961, yang artinya terdapat ketepatan rerata skor post-test. Penurunan standar error rerata ini juga menunjukkan keberhasilan pelatihan regulasi emosi dalam menurunkan tingkat perilaku agresivitas. Untuk meyakinkan bahwa memang ada perbedaan secara signifikan, langkah selanjutnya adalah melakukan uji paired sample test correlation.

Hasil uji paired sample test correlation diperoleh dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,950 (p < 0.01).� Hasil menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan tingkat agresivitas setelah mendapat pelatihan regulasi emosi. Ini artinya hipotesa diterima. Ada perbedaan tingkat perilaku agresivitas setelah subjek mendapat pelatihan regulasi emosi. Dengan kata lain� ada pengaruh pemberian pelatihan regulasi emosi dalam menurunkan agresivitas anak.

 

Pembahasan

Penurunan rata-rata skor agresivitas yang disertai dengan penurunan standar deviasi dan standar error mean mengindikasikan bahwa pelatihan regulasi emosi tidak hanya efektif dalam menurunkan tingkat agresivitas, tetapi juga mampu memberikan hasil yang lebih seragam di antara peserta. Artinya, pelatihan ini dapat dianggap berhasil mengurangi agresivitas secara signifikan dan merata dalam kelompok eksperimen.

Emosi yang tidak terkelola, seperti frustrasi atau marah, sering menjadi pemicu agresivitas. Bila perilaku agresivitas akibat emosi negatif ini dibiarkan tentu membawa konsekuensi negatif. Pada beberapa kasus, setelah melakukan perilaku agresi anak mungkin merasa puas karena mendapat perhatian orang dewasa, namun kepuasan tersebut tidak berlangsung lama. Anak akan mengulangi lagi perilaku agresi agar mendapat perhatian kembali (Wibisono, 2017).Anak yang tidak bisa mengontrol emosi sehingga berperilaku agresi berpotensi dijauhi oleh teman sebayanya (Nugraheni & Christiana, 2013; Syifa, 2015).� Anak juga bisa mendapat label negatif dari lingkungan sebagai anak yang pemarah (Nugraheni & Christiana, 2013),� Dari sisi preatsi akademik, umumnya anak yangn berperilaku agresi memiliki performa akademik yang rendah (Saraswati et al., 2023). Perilaku agresif yang dibiarkan dapat terbawa terus hingga anak menjadi dewasa.

Pelatihan regulasi emosi membantu anak mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka secara konstruktif, sehingga mengurangi dorongan untuk bertindak agresif. Pelatihan regulasi emosi memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru bagi anak mengenai pengelolaan emosi negatif (Rahmadhony, 2020). Melalui pelatihan regulasi emosi anak belajar mengenali tanda-tanda emosi negatif sebelum menjadi tindakan agresif.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah checklist observasi agresivitas yang disusun berdasarkan teori Buss & Perry (1992). Terdapat tiga aspek yang diukur: agresivitas fisik, agresivitas verbal, dan kemarahan. Penggunaan checklist ini memberikan keunggulan dalam pengamatan langsung perilaku anak marginal di lingkungan mereka, memungkinkan evaluasi yang lebih akurat dan relevan.

Keandalan alat ukur ini didukung oleh struktur item yang dirancang untuk mendeteksi berbagai manifestasi agresivitas, mulai dari tindakan fisik hingga ekspresi verbal dan emosi. Misalnya, pada aspek agresivitas fisik, indikator mencakup perilaku seperti memukul atau menendang, sedangkan pada aspek verbal, fokus pada penggunaan kata-kata kasar atau suara keras. Dalam aspek kemarahan, indikator melibatkan ekspresi emosional seperti wajah marah atau tindakan impulsif lainnya.

Hasil dari penggunaan alat ukur ini menunjukkan penurunan yang signifikan pada semua aspek agresivitas setelah pelatihan regulasi emosi. Penurunan rerata skor agresivitas fisik (140.00 ke 105.70), agresivitas verbal (246.60 ke 188.40), dan kemarahan (110.50 ke 87.90) memberikan bukti kuat bahwa alat ukur tersebut efektif dalam memetakan perubahan perilaku sebelum dan sesudah intervensi.

Dengan demikian, checklist observasi tidak hanya relevan secara teoritis tetapi juga praktis dalam konteks penelitian ini. Penggunaan alat ukur yang terstandarisasi memastikan bahwa data yang dikumpulkan memiliki validitas dan reliabilitas tinggi, sehingga mendukung generalisasi hasil penelitian untuk populasi anak marginal lainnya.

Pelatihan regulasi emosi yang diajarkan kepada anak-anak marginal di pinggiral rel kereta api X di Surabaya meliputi mengenal emosi, mengekspresikan emosi secara positif, menenangkan diri, mengubah emosi negatif menjadi positif, dan mengelola emosi. Sebagai contoh, pada materi mengenai pengaturan dan pengendalian emosi negatif menjadi positif melalui teknik afirmasi positif. Teknik ini mampu membuat subjek merasa lebih baik dan tenang sehingga ketika adanya stimulus agresif subjek dapat menyikapinya dengan perilaku yang tepat serta merasa lebih tenang. Teknik berpikir positif merupakan salah satu teknik yang dapat� menurunkan stres individu (Aji & Rizkasari, 2023; Arsini et al., 2023). Saat individu sudah tenang maka individu dapat berpikir lebih jernih sehingga tidak mudah marah lantas terjebak melakukan perilaku agresif (Aji & Rizkasari, 2023).

Dalam materi mengekspresikan emosi, peserta diajak bermain peran sehingga peserta paham jika ada orang lain yang marah kepada dirinya, apa yang dia rasakan, Harapannya tentu anak akan belajar berempati pada orang lain. Individu yang memiliki empati yang tinggi umumnya memiliki tingkat agresivitas yang rendah (Effendy & Indrawati, 2018; Firmansyah, 2022). Dia tidak akan mudah menyalurkan emosi negatif dalam bentuk perilaku agresi. Dalam materi mengubah emosi negatif menjadi emosi positif, peserta diajarkan teknik relaksasi sederhana. Melalui Teknik relaksasi ini, anak diajarkan agar dapat menenangkan diri ketika sedang marah. Teknik relaksasi�� �membantu anak untuk fokus terhadap sumber� masalah yang dapat memicu munculnya perilaku agresi. Fokus pada sumber masalah ini membuat anak dapat berpikir cara mengatasi masalah dengan baik tanpa melibatkan perilaku agresi(Pridandi & Yuyaina, 2023). ��Dengan demikian, ketika anak berinteraksi kembali dengan orang lain, ia sudah dalam kondisi tenang.

Secara keseluruhan, pelatihan regulasi emosi bertujuan membantu anak anak mengenali emosi negatif, mengelola emosi dan mengarahkan kepada hal yang lebih positif. Pelatihan regulasi yang dilakukan oleh peneliti memiliki keunggulan dari segi penurunan agresivitas verbal. Sebagaimana diketahui, anak-anak marginal di pinggiran rel kereta api X sering menggunakan kata-kata kasar. Setelah mengikuti pelatihan regulasi emosi, penggunaan agresi verbal mengalami penurunan. Regulasi emosi memang berkaitan dengan tingkat perilaku agresisivitas, termasuk agresi verbal. Semakin individu mampu mengendalikan emosi negatif maka individu cenderung tidak akan melakuan agresi verbal (Anggraini & Desiningrum, 2020).

�Keberhasilan pelatihan ini juga dipengaruhi oleh faktor penyusunan modul yang �disesuaikan untuk anak usia 6-11 tahun serta dikemas dengan cara yang menyenangkan dengan berbagai kegiatan positif dalam mengatur emosi pada anak. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya mengenai pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan perilaku agresif pada anak yang dilakukan selama �lima sesi. Dalam pelatihan tersebut �ada tiga aspek utama �yang digunakan dalam pelatihan regulasi �emosi yaitu menilai, mengatur dan mengungkapkan emosi (Syahadat, 2013).

Keberhasilan ini juga berkat dukungan dari pendampingan �oleh fasilitator. Dukungan nyata dari orang tua subjek turut membuat pelatihan regulasi emosi pada anak ini dikatakan berhasil. Orang tua memang memiliki peran dalam perkembangan emosi anak (Nabila Aulia Az Zahra, 2023). Semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua, anak akan semakin mampu melakukan regulasi emosi (Rahiem, 2023).

Anak-anak di pinggiran rel kereta api sering mengalami tekanan seperti kemiskinan, ketidakstabilan keluarga, dan paparan kekerasan. Hal ini meningkatkan risiko perilaku agresif. Pemberian pelatihan regulasi emosi menjadi kebutuhan penting untuk menghadapi stres ini. Lingkungan yang terbatas dalam memberikan edukasi atau dukungan emosional memperkuat pentingnya intervensi seperti pelatihan regulasi emosi.

 

KESIMPULAN

 

Setelah mengikuti pelatihan regulasi emosi, semua subjek penelitian mengalami penurunan tingkat agresivitas, baik itu dalam agresivitas fisik, verbal, dan kemarahan. Hal ini terlihat dari hasil analisis data yang menunjukkan tingkat perbedaan yang signifikan p=0.000 (<0,05) antara pre-test dan post-test. Dengan demikian terdapat perbedaan tingkat agresivitas sebelum dan setelah pelatihan regulasi emosi pada anak-anak usia 6-11 tahun di kawasan pinggiran rel kereta api X di Surabaya. Hasil penelitian ini membawa harapan agar pelatihan regulasi emosi dapat terus dikembangkan dan dilanjutkan dalam dalam menurunkan agresivitas anak sehingga anak dapat mengenal emosi, mengekspresikan emosi, menenangkan diri, mengubah emosi negatif menjadi positif, dan mengelola emosi secara tepat sehingga dapat mengurangi munculnya perilaku agresif pada anak.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya, yaitu terkait tempat dan waktu. Minimnya waktu untuk melakukan� pelatihan sementara materi yang diberikan cukup banyak membuat peneliti harus mempersiapkan alat dan bahan dengan cepat dan mempersiapkan fasilitator dengan matang.

Saran yang bisa diberikan adalah untuk para subjek penelitian agar terus menerapkan cara mengelola emosi sehingga dapat mengurangi perilaku agresi. Kemudian kepada pihak RT agar dapat menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk meneruskan pelatihan regulasi emosi sehingga anak-anak lain juga dapat belajar mengelola emosi mereka. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait regulasi emosi dan dukungan sosial dari orang tua.�

 

REFERENSI

�Aji, P. T., & Rizkasari, E. (2023). Efektifitas Terapi Afirmasi Positif Dan Relaksasi Terhadap Penurunan Tingkat Stres Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Sinektik, 4(2), 196�208. Https://Doi.Org/10.33061/Js.V4i2.6716

Akbar, R., Weriana, Siroj, R. A., & Afgani, M. W. (2023). Experimental Research Dalam Metodologi Penelitia. Jurnal Imiah Wahana Pendidikan, 9(2), 465�474. Https://Doi.Org/10.5281/Zenodo.7579001

Anggraini, L. N. O., & Desiningrum, D. R. (2020). Hubungan Antara Regulasi Emosi Dengan Intensi Agresivitas Verbal Instrumental Pada Suku Batak Di Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara Universitas Diponegoro. Jurnal Empati, 7(3), 1103�1111. Https://Doi.Org/10.14710/Empati.2018.21864

Arsini, Y., Amini, A., & Sinaga, P. W. (2023). Pengaruh Berfikir Positif Untuk Menurunkan Stres Psikologis. Mudabbir Journal Reserch And Education Studies, 3(2), 17�26. Https://Doi.Org/10.56832/Mudabbir.V3i2.367

Effendy, M., & Indrawati, E. S. (2018). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Agresif Pada Suporter Sepak Bola Panser Biru Banyumanik Semarang. Jurnal Empati, 7(Nomor 3), 140�150.

Firmansyah, F. A. A. (2022). Hubungan Antara Empati Dengan Periaku Bullying Di Sma Pondok Modern Selamat Kendal. Jurnal Psimawa, 5(2), 75�78.

Freire, P. (1984). Pendidkan, Pembeasab, Perubahan Sosial . Pt Sangkala Pulsar.

Greenberg, L. S. (2004). Introduction Emotion Special Issue. Clinical Psychology And Psychotherapy, 2, 1�2.

Hastjarjo, D. T. (2019). Rancangan Eksperimen-Kuasi. Buletin Psikologi, 27(2), 187�203. Https://Doi.Org/10.22146/Buletinpsikologi.38619

Herdiansyah, H. (2019). Wawancara, Observasi, Dan Fokus Groups Sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif. Rajawali Pers.

Heriyanti. (2013). Program Pelatihan Bimbingan Dan Konseling Untuk Meningkatkan Kompetensi Profesional Konselor Di Sekolah. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1), 105�118.

Hurlock, E. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.

Kurniati A & Suhardi. (2014). Kajian Persebaran Permukiman Kumuh Di Surabaya Pusat Aryani Kurniati. Swara Bhumi. Http://Ejournal.Unesa.Ac.Id/Index.Php/Swara-Bhumi/Article/View/7700, 154�164.

Nabila Aulia Az Zahra. (2023). Upaya Peran Orangtua Dalam Membentuk Perkembangan Emosional Pada Anak Pra-Sekolah. Joies: Journal Of Islamic Education Studies, 8(2).

Nugraheni, L., & Christiana, E. (2013). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perilaku Agresi Anak Usia Dini Dan Penanganan Konselor Di Tk Bina Anak Sholeh (Bas) Tuban. Jurnal Bk Unesa, 04(1), 338�346.

Pridandi, P., & Yuyaina, N. N. A. (2023). Urgensi Teknik Relaksasi Dan Katarsis Dalam Menurunkan Stres Pengasuhan Anak. Spiritual Healing: Jurnal Tasawuf Dan Psikoterapi, 4(June), 1�7.

Rahayu, S. , & S. S. (2023). Implementation Of Fuzzy Inference On Permanent Employee Determination Application. National Seminar On Technology And Applied Research.

Rahiem, M. D. H. (2023). Orang Tua Dan Regulasi Emosi Anak Usia Dini. Aulad: Journal On Early Chilhood, 6(1), 40�50. Https://Doi.Org/10.31004/Aulad.V6i1.441

Rahmadhony, S. (2020). Efektivitas Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Bullying Pada Siswa Smp. Analitika Jurnal Magister Psikologi Uma, 12(2), 169�178. Https://Doi.Org/10.31289/Analitika.V12i2.3733

Rukminingsih, Adnan, G., & Latief, M. A. (2020). Metode Penelitian Pendidikan : Penelitian Kuantitatif, Penelitian Kualitatif, Dan Penelitian Tindakan Kelas (E. Munastiwi & H. Ardi, Eds.; 1st Ed., Issue July). Erhaka Utama.

Sandora, M. (2020). Konsep Pendidkan Anak Marginal Dalam Perspektif Pendidikan Berbasis Masyarakat. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender, 18(2), 196. Https://Doi.Org/10.24014/Marwah.V18i2.7588

Saraswati, F. I., Anas, M., & Umar, N. F. (2023). Agresivitas Siswa Dan Penanganannya : Studi Kasus Pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi An-Nas. Pinisi Journal Of Art, Humanity & Social Studies, 3(2), 202�210.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian. Alfabeta.

Syahadat, Y. M. (2013). Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Agresivitas Pada Anak. Humanitas, 10(1), 19�35. Https://Doi.Org/10.33558/An-Nizam.V2i2.6261

Syifa, I. (2015). Perilaku Agresif Peserta Didik Di Sdit Al Huda Ditinjau Berdasarkan Teori Belajar Behavioristik Albert Bandura. Tadrisuna Jurnal Pendidikan Islam Dan Kajian Keislaman, 3057, 138�151.

Wibisono, K. R. (2017). Identifikasi Perilaku Agresif Anak Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Kelas V Sd Pada Pembelajaran Dalam Kelas Di Sekolah Luar Biasa Prayuwana Yogyakarta. Jurnal Widia Ortododaktika, 8(1), 46�56.

 

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).