p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN:
2774-6534
������������������������������������������������ Available online
at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
Pelatihan Regulasi Emosi Dalam Menurunkan Agresivitas
Anak Marginal Usia 6-11 Tahun Di Pinggiran Rel Kereta Api Kecamatan X Surabaya
Tabitha Neema Christy Sembiring1, Dessi Christanti2
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya,
Indonesia���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Email: [email protected]1; [email protected]2
Abstract |
Agresivitas adalah perilaku yang muncul karena emosi negatif yang keluar. Salah satu penyebab agresivitas adalah ketidakmampuan individu mengelola emosi marah. Fenomena ini dialami oleh anak-anak marginal
usia 6-11 tahun di pinggiran rel kereta api X Surabaya. Pelatihan regulasi emosi menjadi alternatif dalam menurunkan agresivitas anak marginal tersebut.� Melalui pelatihan regulasi emosi anak akan
belajar keterampilan mengenal emosi, mengekspresikan emosi, mengelola emosi, mengubah emosi, dan menenangkan diri saat menghadapi emosi. Subjek penelitian ini terdiri dari 10 anak yang tinggal di pinggiran rel kereta api kecamatan
X di Surabaya yang terdiri dari
5 anak perempuan dan 5 anak laki-laki yang memiliki tingkat agresivitas cukup tinggi. Penelitian ini menggunakan desain Time-series design atau desain� rangkaian waktu dengan mengukur pre-test kemudian melaksanakan treatment dan diakhiri
dengan mengukur
post-test. Pelaksanaan pelatihan
regulasi emosi ini dilakukan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 2 minggu. Setiap sesi pelatihan berlangsung selama 1,5 jam, dengan jarak antar pertemuan yang dijadwalkan secara merata, yaitu 3-4 hari.. �Uji normalitas
yang menunjukkan data pre-test dan post-test terdistribusi normal. Selanjutnya
dilakukan uji paired-test yang membuktikan
bahwa dari data pre-test
dan post-test terjadi penurunan
skor yang signifikan.� Skor rerata
Pre-test 497 > post-test 385,90.�
Ini artinya, skor rerata post-test lebih kecil dari pre-test. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan
penurunan tingkat agresivitas setelah mendapat pelatihan regulasi emosi. Untuk mendukung hasil uji paired-test kemudian dilakukan uji paired sample test coorelation
yang menunjukkan hasil nilai koefisien korelasi sebesar 0,950 (p <
0.01 Keywords: Pelatihan,
Regulasi Emosi, Agresivitas,
Anak Marginal, intervensi psikologis |
Abstrak Aggressiveness is a behavior that arises due to
negative emotions that come out. One of the causes of aggressiveness is the
inability of individuals to manage angry emotions. This phenomenon is
experienced by marginal children aged 6-11 years on the outskirts of the X
Surabaya railway. Emotional regulation training is an alternative in reducing
the aggressiveness of these marginal children. Through emotional regulation
training, children will learn the skills of recognizing emotions, expressing
emotions, managing emotions, changing emotions, and calming themselves down
when facing emotions. The subjects of this study consisted of 10 children who
lived on the outskirts of the X district railway in Surabaya, consisting of 5
girls and 5 boys who had quite high levels of aggressiveness. This study used
a Time-series design or time series design by measuring the pre-test then
carrying out treatment and ending with measuring the post-test. The
implementation of this emotional regulation training was carried out 4 times
over a period of 2 weeks. Each training session lasted for 1.5 hours, with a
distance between meetings that was evenly scheduled, namely 3-4 days. The
normality test showed that the pre-test and post-test data were normally
distributed. Furthermore, a paired-test test was conducted which proved that
from the pre-test and post-test data there was a significant decrease in
scores. The average score of the pre-test was 497 > post-test 385.90. This
means that the average score of the post-test was smaller than the pre-test.
These results indicate that there is a tendency for a decrease in the level of
aggressiveness after receiving emotional regulation training. To support the
results of the paired-test test, a paired sample test correlation test was
conducted which showed a correlation coefficient value of 0.950 (p <0.01. Kata Kunci: Emotion
Regulation Training, Aggressiveness, Marginalized Children, Age 6-11 Years. |
�������������������������������������������������������������������������������������������
*Correspondence Author: Tabitha Neema Christy Sembiring
Email: [email protected]
Salah satu kota yang mendapat julukan kota ramah
anak di Indonesia, ternyata
di kota Surabaya masih terdapat kelompok anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh dan tergolong dalam kelompok marginal
Anak marginal memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan atau pelaku agresi�
Terdapat empat bentuk perilaku agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan (Buss & Perry, 1992). Agresi fisik (physical aggression) merupakan bentuk perilaku agresi berupa segala bentuk tindakan yang keluar untuk menyakiti, serta melukai seseorang secara fisik, tindakannya berbagai macam seperti menyerang, memukul, dan menendang. Agresi verbal (verbal aggression) adalah bentuk perilaku agresi berupa tindakan agresi kepada seseorang melalui cara verbal, misalnya dengan cara berteriak, memaki, mengeluarkan kata yang tidak seharusnya, membentak, mengucapkan kata kasar, memaki, berteriak, dan lainnya. Kemarahan (anger) merupakan bentuk perilaku agresi� berbentuk perasaan marah� akibat sesuatu hal negatif yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik yang dialami yang direaksikan secara langsung. Misalnya, perasaan benci, marah, kesal, serta tidak bisa mengendalikan amarah. Emosi negatif yang muncul disebabkan karena adanya ekspektasi yang terjadi namun tidak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dikeluarkan dengan munculnya ekspresi yang dapat merugikan dirinya dan orang lain. Permusuhan (hostility) merupakan bentuk perilaku agresi yang bersumber dari penilaian yang buruk atau negatif pada orang lain sehingga berpotensi menyebabkan perselisihan dengan orang lain. Bentuk agresi permusuhan ini merupakan bentuk agresi covert (tidak terlihat). Bentuk kebenciannya seperti tidak mau bergaul, perbuatan yang merugikan orang lain, terlalu overestimate terhadap orang lain, ingin mengajak mengadakan permusuhan dan berkelahi dengan orang lain yang menyebabkan keributan.
Sumber perilaku agresi seorang anak beragam. Anak bisa mendapatkan perilaku agresinya dari hasil pengamatan pada orang tua (Paswaniati et al., 2021). Dalam hal tindak kekerasan, anak melihat tingkah laku kekerasan yang ada di lingkungan, kemudian anak mengimitasi tindak kekerasan tersebut.� Lingkungan yang penuh dengan perilaku agresivitas juga dengan mudah dapat mempengaruhi pola pikir, perilaku dan juga sikap anak terkait agresi. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh agresivitas tentu menganggap bahwa perilaku agresivitas merupakan hal yang lumrah dilakukan (Syifa, 2015). Agresi juga bisa muncul karena amarah yaitu ekspresi dari suatu emosi tidak suka yang sangat besar akibat tindakan yang salah dari orang lain sehingga menyebabkan individu kehilangan kesabaran. Kondisi marah ini� berpotensi memicu tindakan agresivitas dari individu sehingga dapat menyerang secara fisik maupun verbal pada individu lain (Saraswati et al., 2023).�
Anak marginal di pinggiran rel kereta api
rata-rata berada pada rentang
usia 6-11 tahun. Rentang usia ini
menempatkan mereka pada
masa kanak-kanak akhir atau fase late childhood.� Pada fase ini,� seorang anak mulai muncul
keinginan menyesuaikan standar yang disetujui oleh kelompoknya mulai dari penampilan, berbicara, dan perilaku
Berdasarkan hasil preliminary study berupa wawancara kepada Ketua RT kawasan pemukiman pinggir rel kereta api di Kecamatan X di Surabaya, umumnya.� anak-anak di kawasan tersebut cenderung meniru perilaku teman-temannya. Ketika teman dalam kelompok melakukan tindakan kekerasan, anak-anak yang lain akan mengikutinya.� Perilaku anak-anak marginal di kawasan pemukinan tersebut sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yaitu anak-anak marginal kerap terjebak dalam sebuah keadaan penerimaan sosial yang bergantung pada pilihan untuk meniru atau tidak melakukan tindakan agresi. Akhirnya sebagian besar anak memilih untuk melakukan tindak agresi agar selaras dengan perilaku teman-teman kelompoknya (Wibisono, 2017).
Pengambilan data di preliminary research juga dilakukan melalui observasi yang bertujuan untuk mendapatkan dan mengetahui tingkat intensitas agresivitas anak di pinggiran rel kereta api Kecamatan X Surabaya. Observasi dilakukan pada sepuluh anak berusia 6-11 tahun yang berada pada satu lingkungan dan sering berkumpul di sekitar pinggiran rel kereta api di wilayah X di Surabaya. Dari hasil observasi tersebut, didapatkan beberapa bentuk perilaku agresi antara lain sering bertengkar melakukan perundungan terhadap temannya, mengeluarkan kata-kata kasar yang termasuk kepada aspek agresi verbal, begitu juga dengan tindakan mereka yang tidak selayaknya dilakukan, misalnya mendorong temannya, memukul hingga menangis yang termasuk pada aspek agresi fisik dan bentuk dari pada kemarahan dan kebencian.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa intensitas munculnya tindakan agresivitas anak di daerah tersebut sebenarnya merupakan respon mereka terhadap keadaan yang sedang mereka hadapi. Perilaku agresivitas muncul ketika mereka dihadapkan pada situasi yang membuat mereka merasa tidak nyaman seperti halnya untuk mempertahankan dan melindungi diri mereka. Respon tersebut sebenarnya wajar karena sebagai upaya melindungi diri sendiri. Namun respon tersebut menjadi� negatif bila luapan amarah di ekspresikan dengan cara yang salah.
Jika perilaku agresif pada anak dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan anak menjadi terbiasa dan memiliki pemahaman yang keliru tentang cara mengekspresikan emosi marah.� Hal ini dapat berdampak negatif bagi anak karena perilaku agresi tersebut dapat terbawa di tahap perkembangan berikutnya. Masa remaja merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak sehingga� perilaku agresif saat remaja boleh jadi juga� merupakan kelanjutan dari perilaku agresif semasa kanak-kanak (Annisavitry & Budiani, 2017). Banyak kasus ketika anak salah dalam merespon emosi, misalnya anak memukul temannya ketika memperebutkan sesuatu, adanya tawuran antar siswa yang berujung pada kekerasan, banyaknya kasus perundungan dan berbagai kasus lainnya.�
Jika anak terbiasa mengekspresikan emosi dengan cara yang salah, mereka dapat menginternalisasi perilaku agresif sebagai respons standar terhadap tekanan. Kasus seperti tawuran, perundungan, dan kekerasan antar siswa menunjukkan perlunya intervensi yang tepat untuk membantu anak mengelola emosi mereka (Purwadi et al., 2018). Agresivitas yang tidak terkendali berdampak pada kesehatan mental dan hubungan interpersonal anak, sehingga penting untuk memperkenalkan strategi regulasi emosi sejak dini (Velotti et al., 2017).
Regulasi emosi diartikan sebagai suatu cara untuk mempertahankan, menaikkan atau menurunkan intensitas dari pengalaman emosi (Gyurak et al., 2011). Pada anak, regulasi emosi diibaratkan sebagai sebuah kemampuan dalam mengenali emosi diri dan orang lain serta kemampuan menyampaikan apa yang dirasakan (Papalia & Martorell, 2021). Dalam usia prasekolah, regulasi emosi merupakan salah satu aspek cukup penting dari suatu perkembangan sosial dan kognitif anak (Zuddas, 2012). Dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah kemampuan individu dalam memahami emosi, mengontrol diri ketika diperhadapkan pada kondisi yang berpotensi menyebabkan individu untuk meluapkan emosi yang mengarah pada kemampuan berpikir, pengelolaan emosi, pengaturan dan pengendalian diri dalam berperilaku yang dikelola guna menyelesaikan permasalahan.
Terdapat lima konsep mengenai keterampilan regulasi emosi dari (Greenberg & Watson, 2006;� Greenberg, 2004) yaitu (a) individu mengenal emosi yang dirasakan, (b) Mengekspresikan emosi, (c) Individu Mampu mengelola emosi, (d) Mengubah emosi negatif menjadi emosi positif, dan (e) Memiliki keterampilan menenangkan diri. Konsep individu mengenal emosi yang dirasakan menunjukkan bahwa kemampuan individu mengenal emosi yang dirasakan ketika melihat, mampu menjelaskan, serta memberi label terhadap perasaan atau emosi yang sedang dirasakan. Hal ini menandakan apapun emosi yang muncul diri individu memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda dan akan menjadi baik maksudnya jika individu mampu memahami tujuannya (Mininni, 2005).
Konsep mengekspresikan emosi dapat dimaknai sebagai kemampuan individu mengekspresikan serta menunjukkan bagaimana emosi yang dirasakan yaitu ketika individu bisa mengungkapkan secara lisan maupun tulisan tentang perasaan atau emosi yang dirasakan. Konsep individu Mampu mengelola emosi dapat diartikan sebagai kemampuan individu mengatur dan mengelola emosi ialah individu yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam mengontrol dan merasionalisasikan emosi yang keluar. Konsep mengubah emosi negatif menjadi emosi positif menjelaskan tentang� adanya emosi dari setiap individu, tentu harapannya seseorang bisa memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memberi penilaian dan tanggung jawab akan emosi yang keluar dan yang dirasakan dengan harapan individu dapat mengambil suatu keputusan yang tepat. Konsep memiliki keterampilan menenangkan diri menunjukkan kemampuan individu dalam menenangkan diri adalah keterampilan untuk bisa menjelaskan adanya emosi yang muncul dalam suatu keadaan, individu bisa merasakan kehadiranya, mulai mengatur pernafasan, dan memunculkan emosi-emosi positif aktifitas ini dapat dilakukan dengan berbicara dengan diri sendiri (self-talk), mindfull terhadap yang dilakukan, dan bisa sadar untuk mengontrol emosi diri.
Regulasi emosi dapat menjadi solusi efektif untuk menurunkan agresivitas. Kemampuan ini mencakup pemahaman, kontrol, dan penyesuaian emosi agar dapat menghadapi situasi penuh tekanan tanpa berujung pada perilaku destruktif (Sheppes et al., 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian diri dan menurunkan agresivitas pada kelompok rentan, seperti anak tunalaras dan anak panti asuhan (Aqila et al., 2022; Nugraheni & Christiana, 2013; Rahmadhony, 2020).
Bila anak mampu menempatkan emosinya dengan baik, tentu itu akan mengarahkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki baik dalam bidang akademik maupun hubungan dengan sosialnya. Regulasi emosi yang tidak pada tempatnya akan berdampak pada aspek internal dan eksternal anak. Aspek internalnya ialah depresi atau stress. Aspek eksternalnya ialah perilaku agresi seperti menunjukkan kemarahan secara bebas sehingga meningkatkan tindakan agresif (Purwadi et al., 2018).
Penelitian ini memiliki urgensi karena anak marginal yang berusia 6�11 tahun berada pada fase perkembangan penting, yaitu masa kanak-kanak akhir, di mana mereka mulai mencari pengakuan dari kelompoknya (Hurlock, 2012) Jika tidak diarahkan dengan baik, perilaku negatif seperti agresivitas dapat terbawa hingga dewasa, memengaruhi kehidupan sosial dan emosional mereka di masa depan. Pelatihan regulasi emosi mampu menurunkan agresivitas (Rahman, 2005).
Keunikan penelitian ini terletak pada fokusnya pada anak marginal di kawasan rel kereta api, kelompok yang sering kali luput dari perhatian intervensi berbasis regulasi emosi. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapangan untuk menguji efektivitas pelatihan regulasi emosi, yang jarang dilakukan pada populasi serupa di Indonesia.Berdasarkan permasalahan diatas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat agresivitas sebelum dan setelah pelatihan regulasi emosi.
�Populasi enelitian
ini adalah anak marginal
di Pinggiran Rel Kereta Api X di �Surabaya
yang berusia 6-11 Tahun. Dari populasi tersebut, kemudian diambil sampel
memggunakan teknik purposive untuk menjadi subjek penelitian. Kriteria sampel
yang akan berpartisipasi dalam kelompok uji yaitu mereka yang sudah
putus sekolah. Pada penelitian ini,
terdapat jumlah total 10 orang subjek
pelatihan regulasi emosi yaitu 5
orang anak perempuan dan 5 orang anak laki-laki.
Variabel dalam penelitian ini terdiri
dari variabel tergantung dan variabel terikat.�
variabel tergantung (Y) yaitu agresivitas.
Definisi operasional agresivitas dalam penelitian ini adalah keadaan
emosi dimana adanya respon negatif yang disebabkan oleh stimulus negatif yang
keluar dalam bentuk perilaku yang kurang tepat ke lingkungan dan kedalam diri
individu itu sendiri seperti perasaan emosi marah, kekerasan fisik maupun
verbal�. Variabel ini diukur dengan menggunakan checklist observasi terhadap aspek-aspek agresivitas yaitu:
agresivitas fisik, verbal, dan marah. ��
Sedangkan Variabel bebas (X) dalam penelitian ini
adalah pelatihan regulasi emosi. Definisi
operasional dari pelatihan regulasi emosi adalah suatu kegiatan yang
sistematis, proses bertahap yang membantu individu dalam mengubah tingkah laku
ketika diperhadapkan pada situasi yang fokusnya pada cara dan pemberian materi
agar bisa mengenal perasaan, mengekspresikan, mengelola, mengubah perasaan,
serta menenangkan diri individu dalam hal menjaga keseimbangan emosi. Kegiatan pelatihan regulasi emosi berupa mentoring,
sedangkan bentuk pelatihan menggunakan konsep belajar sambil bermain. Dalam pelaksanaan pelatihan regulasi emosi akan
menggunakan desain Time-series design atau desain rangkaian waktu (pre-experimental design) yang
akan dilaksanakan selam 4 kali pertemuan dalam kurun waktu 2 minggu, nantinya
peneliti akan mengukur pre-test
melaksanakan treatment dan kemudian posttest.
Penelitian
ini adalah penelitian eksperimen kuasi. Penelitian eksperimen ialah penelitian yang dipakai dan digunakan untuk mencari efek dari perlakuan
tertentu, melihat pengaruh� dari
yang lain dalam kondisi yang terkendalikan
Tabel
1.� Desain eksperiman
Kelomompok |
Pretest |
Perlakuan |
Posttest |
Eksperimen |
O1 O2 O3 O4 |
X1 |
O5 O6 O7 O8 |
Keterangan:
X� : Pelatihan regulasi emosi
O1 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlakuan
O2 : Kelompok
yang diberi pretest sebelum
diberikannya perlaku
O3 : Kelompok yang diberi pretest sebelum diberikannya perlakuan
O4 : Kelompok
yang diberi pretest sebelum
diberikannya perlakuan
O5 : Kelompok
yang nantinya diberi posttest setelah
adanya perlakuan
O6 : Kelompok
yang nantinya diberi posttest setelah
adanya perlakuan
O7 : Kelompok
yang nantinya diberi posttest setelah
adanya perlakuan
O8 : Kelompok
yang nantinya diberi posttest setelah
adanya perlakuan
Pelatihan menurut ialah
proses pembelajaran yang bertujuan untuk mendapatkan dan menambah kemampuan
individu atau kelompok sehingga dapat dilihat perubahannya dalam waktu yang
singkat dengan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori
regulasi emosi akan
terdiri dari 20 sesi yang dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan dengan durasi
waktu sekitar 1,5 jam. Adanya pelatihan akan dilakukan sesuai dengan modul yang
telah disusun oleh peneliti. Modul pelatihan regulasi emosi yang disusun akan berdasarkan
pada indikator regulasi emosi dari Greenberg
Tabel 2. Materi Pelatihan Regulasi Emosi
Materi |
Indikator
ketercapaian |
Aktivitas |
|
1. |
Mengenal
emosi |
Anak memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi, menerangkan, dan memberikan label atau nama terhadap emosi
yang dialami. |
Materi terkait jenis-jenis emosi menggunakan alat
peraga sebagai label emosi. |
Peserta bisa membedakan jenis-jenis Emosi |
|||
Mengekspresikan Emosi |
Anak memiliki kemampuan dan keterampilan
untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya kepada orang lain. |
Bermain peran dalam mengekspresikan
emosi |
|
2. |
Menenangkan Diri |
Anak bisa mengakui adanya emosi yang muncul
saat sesuatu terjadi, menoleransi dan merasakan kehadirannya, mengatur
pernafasan, dan memunculkan emosi positif |
Pengetahuan mengenai bagaimana menenangkan diri �Emotional Tools� |
Keterampilan dalam teknik relaksasi dan
penggunaan �Emotional Tools� dalam
meregulasi emosi. |
|||
3. |
Mengubah Emosi Negatif menjadi Positif |
Keterampilan dalam menilai dan bertanggung
jawab akan emosi-emosi yang dirasakan |
Pengetahuan dan keterampilan mengenal
emosi yang dirasakan dan memilih strategi coping yang tepat. Berkaitan dengan
Afirmasi Positif. |
|
Pengetahuan teknik relaksasi. |
||
Mengelola Emosi |
Anak bisa untuk mengontrol
dan merasionalisasikan emosi terutama pada saat diekspresikan. |
Materi cara mengendalikan emosi �Stop Think Do� |
|
Keterampilan mengenai bagaimana penerapan
regulasi emosi |
|||
4. |
Penutupan Pelatihan Regulasi Emosi |
- |
Mengulang materi dan praktek dalam meregulasi
emosi. |
|
Peserta mampu merefleksikan diri. |
Penelitian ini menggunakan skala
�agresivitas pada anak ���marginal usia 6-11 tahun adalah modifikasi dari skala agresivitas�� �berdasarkan alat ukur yang digunakan dalam perilaku disusun
berdasarkan teori Buss &
Perry (1992) yang telah diterjemahkan, ada tiga aspek yang dipakai
yaitu aspek agresivitas fisik, agresivitas verbal,
agresivitas kemarahan (anger)
dimana terdapat 25 aitem yang
merupakan bentuk tingkah laku dari agresivitas. Skala agresivitas ini menggunakan metode checklists observasi sebagai instrumen
untuk
mengumpulkan data dalam
mengukur perilaku agresi pada anak marginal usia 6-11 tahun. Metode checklist observasi
merupakan cara dalam melakukan observasi yang akan memberikan keterangan
mengenai muncul atau tidaknya perilaku yang diamati dengan memberikan tanda
check (√) jika nantinya perilaku yang diobservasi muncul atau terlihat
Pada pelaksaan eksperimen
ini, terdapat tiga prosedur yang dijalani subjek yaitu:
1. Pra-kondisi
Sebelum dimulai pelatihan
regulasi emosi, subjek penelitian terlebih dahulu akan diobservasi sebagai data
pre-test.� Observasi dilakukan
menggunakan checklist observasi yang
akan dibantu oleh fasilitator. Tujuannya untuk melihat data diri dan tingkat
agresivitas pada anak marginal usia 6-11 tahun di pinggiran rel kereta api X
sebelum nanti dilakukannya pelatihan regulasi emosi. Peneliti mencatat skor
dalam bentuk tabel rangkaian waktu. Data akan dianalisis kemudian mencari
rerata skor sebelum dilaksanakan pelatihan. Pengambilan data pre-test
dilakukan� sebanyak 4 kali yang dibagi
menjadi beberapa tahapan. Dua kali pengambilan data sebelum treatment
(pelatihan) diberikan dan dua kali saat treatment (pelatihan) diberikan
yaitu pada pertemuan 1 dan 2.�
2. Pelaksanaan Pelatihan
Pelaksanaan pelatihan
regulasi emosi nantinya akan terdiri dari 20 sesi yang dilaksanakan dalam 4
kali pertemuan yang akan dibagi menjadi beberapa minggu pertemuan. Dalam sekali
pertemuan akan dilaksanakan sekitar 1,5 jam. Pemberian pelatihan dilakukan sesuai
dengan modul pelatihan yang telah disusun oleh peneliti. Dua pertemuan awal
akan di observasi dan data akan dimasukkan kedalam data pre-test 3 dan 4,
kemudian 2 pertemuan akhir akan dimasukkan kedalam data post-test 1 dan
2, lalu peneliti menambah 2 pertemuan lanjutan sebagai pertemuan pembelajaran
yang biasa peneliti lakukan untuk mengambil 2 data post-test akhir,
sehingga peneliti akan mendapatkan total 4 post-test untuk mengetahui
hasil kondisi akhir, setelah diberikannya perlakuan yang ditujukan untuk
melihat efektivitas dari treatment yang diberikan.
3. Setelah Pelatihan/ Tahap
Tindak Lanjut
Setelah pelatihan dilakukan
dengan melaksanakan checklist
observasi dengan skala agresivitas pada anak marginal usia 6-11 tahun,
selanjutnya akan ada wawancara tanya jawab terhadap perubahan yang dirasakan.
Tahap tindak lanjut dilakukan 2 hari setelah dilakukannya pelatihan regulasi
emosi yang akan dibantu oleh orangtua subjek maupun fasilitator nantinya.
Sebagaimana
telah disampaikan bahwa dalam penelitian ini, subjek penelitian mengikuti
serangkaian pre-test dan post-test. Tujuan dari kedua test
tersebut adalah untuk membandingkan tingkat agresivitas sebelum dan setelah
mereka mengikuti pelatihan regulasi emosi. Berikut hasil pre-test dan post-test
para subjek penelitian.
Tabel 3. Hasil pre-test dan post-test
Nama |
Mean Pretest 1-4 |
Mean Posttest 1-4 |
ZA |
178.00 |
125.50 |
BR |
110.25 |
95.75 |
AF |
123.50 |
97.00 |
AL |
125.75 |
101.50 |
WI |
170.00 |
121.75 |
RA |
127.00 |
98.00 |
NA |
97.00 |
87.25 |
AI |
110.50 |
79.50 |
SIL |
87.25 |
71.50 |
WIL |
113.50 |
77.25 |
Tabel tersebut menunjukkan
bahwa semua peserta eksperimen mengalami penurunan tingkat agresivitas setelah
mengikuti pelatihan. Tentu tingkat agresivitas setiap anak berbeda-beda, namun
bila membandingkan hasil pre-test dan post-test� , trend yang terjadi adalah penurunan tingkat
agresivitas. Hal ini semakin diperjelas dari grafik tingkat agresivitas pada
gambar 1. Bila digambarkan, memang terlihat ada penurunan tingkat agresivitas
subjek penelitian setelah pertemuan ke-2 pelatihan regulasi emosi.
Gambar 1. Grafik hasil pretest
& posttest
Bentuk
agresivitas yang diobesrvasi adalah agresivitas fisik, verbal, dan marah. Berdasarkan
hasil observasi, ketiga bentuk agresivitas ini juga mengalami penurunan setelah
subjek mengikuti pelatihan regulasi emosi. Hal ini tampak dalam tabel 4.
Tabel 4.
Rerata pre-test dan post test masing-masing bentuk agresivitas
Agresivitas |
Mean Pre-test |
Mean Post-test |
Agresivitas Fisik |
140.00 |
105.70 |
Agresivitas Verbal |
246.60 |
188.40 |
Agresivitas Marah |
110.50 |
87.90 |
Selanjutnya
adalah melakukan uji perbedaan hasil pre-test dan post-test . Namun
sebelumnya harus dilakukan uji asumsi terlebih dahulu. Uji asumsi yang
diperlukan adalah uji normalitas yaitu untuk dapat mengetahui apakah sebaran
data penelitian terdistribusi normal
atau tidak. Sebaran skor dikatakan normal jika hasil uji menunjukkan p>0,05.
Kriteria pengujian normalitas yaitu jika nilai Sig > 0.05, maka dapat dinyatakan instrumen
variabel terdistribusi normal.
Uji normalitas dilakukan menggunakan One-Sample
Shapiro Wilk Test melalui program SPSS versi 25 for windows. Berikut
merupakan hasil uji normalitas.
Tabel 5. Uji Normalitas
Uji Pre-test � Post-test |
N |
Sig. |
Keterangan |
Pre-test |
10 |
0.139 |
Normal |
Post-test |
10 |
0.544 |
Normal |
Berdasarkan uji normalitas
yang ditunjukkan melalui uji pre-test dan post-test menunjukkan
hasil sig 0.139 yang artinya lebih besar dari 0,05 dan hasil post-test
dengan sig 0.544 lebih besar dari 0,05
artinya kedua data terdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji
normalitas ternyata data terdistribusi secara normal. Maka dari itu, bisa
dilanjutkan melakukan uji hipotesis. Peneliti menggunakan analisis statistika
parametrik yakni Paires Sample T-Test. Uji tersebut dipilih karena
peneliti ingin melihat ada atau tidaknya perbedaan tingkat agresivitas saat
sebelum dilakukan pelatihan regulasi emosi dengan sesudah dilakukan pelatihan
regulasi emosi.
Tabel 4. Data Deskripsi Pre-test dan Post-test
Uji Pre-test �
Post-test |
Mean |
N |
Std.
Deviation |
Std.
Error Mean |
Pre-test |
497.00 |
10 |
116.268 |
36.767 |
Post-test |
385.90 |
10 |
69.446 |
21.961 |
Dari
tabel diatas diketahui bahwa rerata agresivitas kelompok eksperimen pada hasil pretest sebesar 497.00
dan pada hasil posttest sebesar
385.90. Berdasarkan
data tersebut terlihat perbedaan rerata antara pre-test dan post-test.
Pre-test 497 > post-test 385,90. Ini artinya secara deskriptif
terdapat penurunan tingkat perilaku agresitas�
anak saat post-test. Bila dilihat dari standar error
rerata dari pre-test dan post-test,� terlihat standard error mean pada
hasil pretest sebesar 36.767 yang menunjukkan tingkat ketepatan rerata skor pre-test� subjek penelitian. Demikian pula
standar error pada posttest sebesar 21.961, yang artinya terdapat ketepatan rerata skor post-test.
Penurunan standar error rerata ini juga menunjukkan keberhasilan pelatihan
regulasi emosi dalam menurunkan tingkat perilaku agresivitas. Untuk meyakinkan bahwa
memang ada perbedaan secara signifikan, langkah selanjutnya adalah melakukan
uji paired sample test correlation.
Hasil uji paired sample test correlation diperoleh dari
nilai koefisien korelasi sebesar 0,950 (p < 0.01).� Hasil menunjukkan bahwa ada kecenderungan
penurunan tingkat agresivitas setelah mendapat pelatihan regulasi emosi. Ini
artinya hipotesa diterima. Ada perbedaan tingkat perilaku agresivitas setelah
subjek mendapat pelatihan regulasi emosi. Dengan kata lain� ada pengaruh pemberian pelatihan regulasi
emosi dalam menurunkan agresivitas anak.
Pembahasan
Penurunan rata-rata skor
agresivitas yang disertai dengan penurunan standar deviasi dan standar error
mean mengindikasikan bahwa pelatihan regulasi emosi tidak hanya efektif dalam
menurunkan tingkat agresivitas, tetapi juga mampu memberikan hasil yang lebih
seragam di antara peserta. Artinya, pelatihan ini dapat dianggap berhasil
mengurangi agresivitas secara signifikan dan merata dalam kelompok eksperimen.
Emosi yang tidak
terkelola, seperti frustrasi atau marah, sering menjadi
pemicu agresivitas. Bila perilaku agresivitas akibat emosi negatif
ini dibiarkan tentu membawa konsekuensi
negatif. Pada beberapa kasus, setelah melakukan perilaku agresi anak mungkin
merasa puas karena mendapat perhatian orang dewasa, namun kepuasan tersebut tidak berlangsung lama. Anak akan mengulangi lagi perilaku agresi agar mendapat perhatian kembali
Pelatihan regulasi emosi membantu anak mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka secara
konstruktif, sehingga mengurangi dorongan untuk bertindak agresif. Pelatihan regulasi emosi memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru bagi anak mengenai
pengelolaan emosi negatif
Alat
ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah checklist observasi agresivitas
yang disusun berdasarkan teori Buss & Perry (1992). Terdapat tiga aspek
yang diukur: agresivitas fisik, agresivitas verbal, dan kemarahan. Penggunaan
checklist ini memberikan keunggulan dalam pengamatan langsung perilaku anak
marginal di lingkungan mereka, memungkinkan evaluasi yang lebih akurat dan
relevan.
Keandalan
alat ukur ini didukung oleh struktur item yang dirancang untuk mendeteksi
berbagai manifestasi agresivitas, mulai dari tindakan fisik hingga ekspresi
verbal dan emosi. Misalnya, pada aspek agresivitas fisik, indikator mencakup
perilaku seperti memukul atau menendang, sedangkan pada aspek verbal, fokus
pada penggunaan kata-kata kasar atau suara keras. Dalam aspek kemarahan,
indikator melibatkan ekspresi emosional seperti wajah marah atau tindakan
impulsif lainnya.
Hasil
dari penggunaan alat ukur ini menunjukkan penurunan yang signifikan pada semua
aspek agresivitas setelah pelatihan regulasi emosi. Penurunan rerata skor
agresivitas fisik (140.00 ke 105.70), agresivitas verbal (246.60 ke 188.40),
dan kemarahan (110.50 ke 87.90) memberikan bukti kuat bahwa alat ukur tersebut
efektif dalam memetakan perubahan perilaku sebelum dan sesudah intervensi.
Dengan
demikian, checklist observasi tidak hanya relevan secara teoritis tetapi juga
praktis dalam konteks penelitian ini. Penggunaan alat ukur yang terstandarisasi
memastikan bahwa data yang dikumpulkan memiliki validitas dan reliabilitas
tinggi, sehingga mendukung generalisasi hasil penelitian untuk populasi anak
marginal lainnya.
Pelatihan regulasi emosi yang diajarkan kepada anak-anak marginal di pinggiral rel kereta
api X di Surabaya meliputi mengenal emosi, mengekspresikan emosi secara positif, menenangkan diri, mengubah emosi negatif menjadi positif, dan mengelola emosi. Sebagai contoh, pada materi mengenai pengaturan dan pengendalian emosi negatif menjadi
positif melalui teknik afirmasi positif. Teknik ini mampu membuat subjek merasa lebih baik dan tenang sehingga
ketika adanya stimulus
agresif subjek dapat menyikapinya dengan perilaku yang tepat
serta merasa lebih tenang. Teknik berpikir positif merupakan salah satu
teknik yang dapat� menurunkan stres
individu
Dalam materi
mengekspresikan emosi, peserta diajak bermain peran sehingga
peserta paham jika ada orang lain yang marah kepada dirinya,
apa yang dia rasakan, Harapannya tentu anak akan
belajar berempati pada
orang lain. Individu yang memiliki
empati yang tinggi umumnya memiliki tingkat agresivitas yang rendah
Secara keseluruhan, pelatihan regulasi emosi bertujuan membantu anak anak
mengenali emosi negatif, mengelola emosi dan mengarahkan kepada hal yang lebih positif. Pelatihan regulasi yang dilakukan
oleh peneliti memiliki
keunggulan dari segi penurunan agresivitas verbal. Sebagaimana diketahui, anak-anak marginal di pinggiran
rel kereta api X sering menggunakan kata-kata kasar. Setelah mengikuti
pelatihan regulasi emosi, penggunaan agresi verbal mengalami penurunan.
Regulasi emosi memang berkaitan dengan tingkat perilaku agresisivitas, termasuk
agresi verbal. Semakin individu mampu mengendalikan emosi negatif maka individu
cenderung tidak akan melakuan agresi verbal
�Keberhasilan pelatihan ini juga dipengaruhi oleh faktor penyusunan modul yang �disesuaikan
untuk anak usia 6-11 tahun serta dikemas dengan cara yang menyenangkan dengan berbagai kegiatan positif dalam mengatur emosi pada anak.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya mengenai pelatihan regulasi
emosi untuk menurunkan perilaku agresif pada anak yang dilakukan selama �lima
sesi. Dalam pelatihan tersebut �ada tiga aspek utama
�yang digunakan dalam pelatihan regulasi �emosi yaitu menilai, mengatur
dan mengungkapkan emosi
Keberhasilan ini juga
berkat dukungan dari pendampingan
�oleh fasilitator. Dukungan nyata dari orang
tua subjek turut membuat pelatihan regulasi emosi pada anak ini dikatakan berhasil. Orang tua memang memiliki peran dalam perkembangan
emosi anak
Anak-anak
di pinggiran rel kereta api sering
mengalami tekanan seperti kemiskinan, ketidakstabilan keluarga, dan paparan kekerasan. Hal ini meningkatkan risiko perilaku agresif. Pemberian pelatihan regulasi emosi menjadi kebutuhan
penting untuk menghadapi stres ini. Lingkungan yang terbatas dalam memberikan edukasi atau dukungan emosional
memperkuat pentingnya intervensi seperti pelatihan regulasi emosi.
Setelah mengikuti pelatihan regulasi emosi, semua subjek penelitian mengalami penurunan tingkat agresivitas, baik itu dalam agresivitas fisik, verbal, dan kemarahan. Hal ini terlihat dari hasil analisis data yang menunjukkan tingkat perbedaan yang signifikan p=0.000 (<0,05) antara pre-test dan post-test. Dengan demikian terdapat perbedaan tingkat agresivitas sebelum dan setelah pelatihan regulasi emosi pada anak-anak usia 6-11 tahun di kawasan pinggiran rel kereta api X di Surabaya. Hasil penelitian ini membawa harapan agar pelatihan regulasi emosi dapat terus dikembangkan dan dilanjutkan dalam dalam menurunkan agresivitas anak sehingga anak dapat mengenal emosi, mengekspresikan emosi, menenangkan diri, mengubah emosi negatif menjadi positif, dan mengelola emosi secara tepat sehingga dapat mengurangi munculnya perilaku agresif pada anak.
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya, yaitu terkait tempat dan waktu. Minimnya waktu untuk melakukan� pelatihan sementara materi yang diberikan cukup banyak membuat peneliti harus mempersiapkan alat dan bahan dengan cepat dan mempersiapkan fasilitator dengan matang.
Saran yang bisa diberikan adalah untuk para subjek penelitian agar terus menerapkan cara mengelola emosi sehingga dapat mengurangi perilaku agresi. Kemudian kepada pihak RT agar dapat menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk meneruskan pelatihan regulasi emosi sehingga anak-anak lain juga dapat belajar mengelola emosi mereka. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait regulasi emosi dan dukungan sosial dari orang tua.�
�Aji, P. T., & Rizkasari,
E. (2023). Efektifitas Terapi
Afirmasi Positif Dan Relaksasi Terhadap Penurunan Tingkat Stres Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Sinektik, 4(2),
196�208. Https://Doi.Org/10.33061/Js.V4i2.6716
Akbar, R., Weriana,
Siroj, R. A., & Afgani, M. W. (2023).
Experimental Research Dalam Metodologi Penelitia. Jurnal Imiah Wahana Pendidikan, 9(2), 465�474.
Https://Doi.Org/10.5281/Zenodo.7579001
Anggraini, L. N. O., & Desiningrum,
D. R. (2020). Hubungan Antara Regulasi
Emosi Dengan Intensi Agresivitas Verbal Instrumental Pada Suku Batak Di Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara
Universitas Diponegoro. Jurnal
Empati, 7(3), 1103�1111. Https://Doi.Org/10.14710/Empati.2018.21864
Arsini, Y., Amini, A., & Sinaga, P. W. (2023). Pengaruh Berfikir Positif Untuk Menurunkan Stres Psikologis. Mudabbir Journal Reserch
And Education Studies, 3(2), 17�26.
Https://Doi.Org/10.56832/Mudabbir.V3i2.367
Effendy, M., & Indrawati, E. S. (2018). Hubungan
Antara Empati Dengan Perilaku
Agresif Pada Suporter Sepak Bola Panser Biru Banyumanik Semarang. Jurnal
Empati, 7(Nomor 3), 140�150.
Firmansyah, F. A. A. (2022). Hubungan Antara Empati Dengan Periaku Bullying Di Sma Pondok Modern Selamat
Kendal. Jurnal Psimawa,
5(2), 75�78.
Freire, P. (1984). Pendidkan, Pembeasab, Perubahan Sosial . Pt Sangkala Pulsar.
Greenberg, L. S. (2004).
Introduction Emotion Special Issue. Clinical Psychology And
Psychotherapy, 2, 1�2.
Hastjarjo, D. T. (2019). Rancangan
Eksperimen-Kuasi. Buletin
Psikologi, 27(2), 187�203.
Https://Doi.Org/10.22146/Buletinpsikologi.38619
Herdiansyah, H. (2019). Wawancara,
Observasi, Dan Fokus
Groups Sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif. Rajawali Pers.
Heriyanti. (2013). Program Pelatihan
Bimbingan Dan Konseling Untuk Meningkatkan Kompetensi Profesional Konselor Di Sekolah. Jurnal Penelitian
Pendidikan, 13(1), 105�118.
Hurlock, E. (2012). Psikologi Perkembangan,
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.
Kurniati A & Suhardi.
(2014). Kajian Persebaran Permukiman
Kumuh Di Surabaya Pusat
Aryani Kurniati. Swara Bhumi. Http://Ejournal.Unesa.Ac.Id/Index.Php/Swara-Bhumi/Article/View/7700,
154�164.
Nabila Aulia
Az Zahra. (2023). Upaya Peran Orangtua Dalam Membentuk Perkembangan Emosional Pada Anak Pra-Sekolah.
Joies: Journal Of
Islamic Education Studies, 8(2).
Nugraheni, L., & Christiana, E. (2013).
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perilaku
Agresi Anak Usia Dini Dan Penanganan Konselor Di Tk Bina
Anak Sholeh (Bas) Tuban. Jurnal
Bk Unesa, 04(1), 338�346.
Pridandi, P., & Yuyaina,
N. N. A. (2023). Urgensi Teknik Relaksasi
Dan Katarsis Dalam Menurunkan
Stres Pengasuhan Anak. Spiritual
Healing: Jurnal Tasawuf
Dan Psikoterapi, 4(June), 1�7.
Rahayu, S. ,
& S. S. (2023). Implementation Of Fuzzy Inference On
Permanent Employee Determination Application. National Seminar On Technology And Applied Research.
Rahiem, M. D. H. (2023). Orang
Tua Dan Regulasi Emosi Anak Usia
Dini. Aulad: Journal On
Early Chilhood, 6(1), 40�50.
Https://Doi.Org/10.31004/Aulad.V6i1.441
Rahmadhony, S. (2020). Efektivitas
Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Bullying Pada Siswa Smp. Analitika Jurnal Magister Psikologi Uma,
12(2), 169�178. Https://Doi.Org/10.31289/Analitika.V12i2.3733
Rukminingsih, Adnan, G., & Latief, M. A. (2020). Metode
Penelitian Pendidikan :
Penelitian Kuantitatif, Penelitian Kualitatif, Dan Penelitian Tindakan Kelas
(E. Munastiwi & H. Ardi, Eds.; 1st Ed., Issue
July). Erhaka Utama.
Sandora, M. (2020). Konsep Pendidkan Anak Marginal
Dalam Perspektif Pendidikan Berbasis
Masyarakat. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan
Jender, 18(2), 196. Https://Doi.Org/10.24014/Marwah.V18i2.7588
Saraswati, F. I., Anas, M.,
& Umar, N. F. (2023). Agresivitas Siswa Dan Penanganannya : Studi Kasus Pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi An-Nas. Pinisi
Journal Of Art, Humanity & Social Studies, 3(2),
202�210.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian.
Alfabeta.
Syahadat, Y. M. (2013). Pelatihan
Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Agresivitas Pada Anak. Humanitas, 10(1),
19�35. Https://Doi.Org/10.33558/An-Nizam.V2i2.6261
Syifa, I. (2015). Perilaku
Agresif Peserta Didik Di Sdit Al Huda Ditinjau Berdasarkan Teori Belajar Behavioristik Albert Bandura. Tadrisuna
Jurnal Pendidikan Islam Dan Kajian Keislaman, 3057, 138�151.
Wibisono, K. R. (2017). Identifikasi Perilaku Agresif Anak Dengan Gangguan Emosi Dan Perilaku Kelas V Sd Pada Pembelajaran
Dalam Kelas Di Sekolah
Luar Biasa Prayuwana
Yogyakarta. Jurnal Widia Ortododaktika, 8(1), 46�56.
�
2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).