�ANALISIS DAMPAK BERLAKUNYA KUHP NASIONAL PADA PEMIDANAAN KEKERASAN PSIKIS PADA ANAK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA

 

 

Rika Yunita

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas peraturan perundang-undangan dalam memberikan perlindungan bagi anak dari kekerasan psikis, serta implikasi dari penerapan Pasal 70 KUHP Nasional terhadap kepastian hukum dan keadilan. Dalam pembentukan peraturan, pemerintah seharusnya mengedepankan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Saat ini, masyarakat semakin menyadari pentingnya kesehatan mental, yang tidak dapat dicapai jika individu, terutama anak, mengalami kekerasan psikis. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan menganalisis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pasal 70 KUHP Nasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi pelaku kekerasan psikis, penerapan Pasal 70 KUHP Nasional dapat mengakibatkan pelaku tidak dijatuhi pidana penjara. Tindak pidana yang terjadi dalam lingkup keluarga sering kali menjadi alasan untuk tidak memberikan sanksi penjara, yang berpotensi memperburuk kondisi anak sebagai korban. Penelitian ini menyimpulkan bahwa peraturan yang ada saat ini belum memberikan perlindungan optimal bagi anak dari kekerasan psikis. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap ketentuan hukum yang ada untuk memastikan adanya sanksi tegas bagi pelaku, serta penguatan mekanisme perlindungan yang lebih efektif. Implikasi dari temuan ini adalah pentingnya penegakan hukum yang lebih responsif terhadap kekerasan psikis, guna menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung kesehatan mental anak.

 

Kata kunci: Anak, kekerasan psikis, penjara

 

Abstract

This study aims to analyze the effectiveness of laws and regulations in providing protection for children from psychological violence, as well as the implications of the application of Article 70 of the National Criminal Code on legal certainty and justice. In the formation of regulations, the government should prioritize legal objectives, namely legal certainty, justice, and utility. Today, society is increasingly aware of the importance of mental health, which cannot be achieved if individuals, especially children, experience psychological violence. This study uses a juridical-normative approach by analyzing Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence and Article 70 of the National Criminal Code. The results of the analysis show that although Law Number 23 of 2004 provides a maximum prison sentence of 3 (three) years for perpetrators of psychological violence, the application of Article 70 of the National Criminal Code can result in the perpetrator not being sentenced to prison. Criminal acts that occur within the family are often a reason not to impose prison sanctions, which has the potential to worsen the condition of children as victims. This study concludes that current regulations do not provide optimal protection for children from psychological violence. Therefore, it is necessary to revise the existing legal provisions to ensure strict sanctions for perpetrators, as well as strengthen more effective protection mechanisms. The implication of these findings is the importance of law enforcement that is more responsive to psychological violence, in order to create a safe environment and support children's mental health.

 

Keywords: Child, Psychological violence, prisonment

*Correspondence Author: Rika Yunita �

Email: [email protected]


 

PENDAHULUAN

 

Kesehatan mental telah menjadi perhatian masyarakat saat ini (Kurniawan & Sulistyarini, 2016; Prasetyo, 2021). Berbagai edukasi diberikan oleh tenaga kesehatan untuk menyadarkan pentingnya menjaga kesehatan mental. Ternyata slogan mens sana in corporesano yang artinya �didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat� ternyata dirasakan kurang sempurna karena ternyata jiwa yang sakit juga mempengaruhi kekuaran tubuh.

Berbagai tindakan kekerasan, kejahatan dan pelanggaran tidak luput dari kesehatan mental yang sedang sakit atau lemah. Pedaku pedofil ditemukan adalah korban di masa lalu, penembakan siswa di Amerika dilakukan biasanya oleh korban bullying teman-teman sekolahnya. Ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang kuat antara kesehatan mental dan perilaku agresif, di mana pemahaman yang lebih dalam tentang faktor-faktor penyebabnya masih kurang dalam literatur saat ini (Kim & Nho, 2017; Zhang et al., 2023).

Kesehatan mental dimulai dari lingkungan rumah tangga (Glynn et al., 2021; Xiang et al., 2020). Indonesia sudah memiliki UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pengapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang mengatur pemidanaan terkait kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga. Ancaman pidana adalah 3 tahun penjara.

Terbitnya KUHP Nasional �memberi pengaturan yang cukup signifikan dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif. Pasal 70 ayat (1) KUHP Nasional memberikan 15 (lima belas) alasan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana. Namun, alternatif pemidanaan yang diatur dalam KUHP Nasional, seperti pidana denda dan pidana pengawasan, belum memiliki panduan teknis yang jelas untuk implementasinya, sehingga menciptakan ketidakpastian bagi korban.

Pelaku kekerasan psikis terhadap anak dalam ruang lingkup anak-anak dapat memanfaatkan Pasal 70 ayat (1) KUHP Nasional untuk tidak dipenjara sehingga dapat terus bersama korban. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan bagi korban dan dampaknya terhadap kesehatan mental mereka, yang masih kurang diteliti dalam konteks hukum dan sosial di Indonesia. Korban yang tetap tinggal bersama pelaku kekerasan psikis akan semakin terpuruk keadaannya sehingga pemidanaan tidak terasa memberikan keadilan bagi korban.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini merupakan studi hukum yang bersifat yuridis-normatif, yaitu analisis terhadap regulasi yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia (Kotz� & Kim, 2019; Widiyono & Khan, 2022). Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menyelidiki hubungan antara norma hukum dan praktik di lapangan, serta mengidentifikasi adanya kekosongan atau ketidaksesuaian dalam penerapan hukum. Populasi yang diteliti mencakup peraturan-peraturan yang relevan dengan isu kesehatan mental dan kekerasan psikis, khususnya terkait dengan anak. Sampel diambil dari regulasi yang diterapkan dalam konteks kasus kekerasan psikis di Indonesia, dengan fokus pada UU Nomor 23 Tahun 2004 dan KUHP Nasional. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive untuk memastikan analisis mencakup regulasi yang paling relevan dan signifikan dengan masalah yang diangkat. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan akan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif, di mana analisis ini dilakukan secara sistematis dengan mengelompokkan informasi berdasarkan tema utama dari peraturan yang diteliti. Keterkaitan antara regulasi dan aplikasi di lapangan akan diidentifikasi untuk menemukan celah dalam penerapan hukum yang mungkin tidak memberikan keadilan bagi korban. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, dengan hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi yang jelas, efektif, teratur, runtut, dan logis. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman isu yang dibahas serta menyoroti implikasi hukum dari temuan. Selain itu, analisis ini juga akan mencakup diskusi kritis tentang efektivitas dan kelemahan peraturan yang ada, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan di masa mendatang.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Kekerasan Psikis pada Anak dalam Lingkup Rumah Tangga

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia diatur secara khusus dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai segala tindakan yang dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual, psikologis, maupun penelantaran rumah tangga. Ini juga mencakup ancaman untuk melakukan tindakan, pemaksaan, atau perampasan kebebasan yang dilakukan secara melawan hukum dalam konteks rumah tangga. Meskipun subjek korban dalam pengertian ini dikhususkan perempuan namun anak merupakan subjek dalam lingkup rumah tangga yang harus dilindungi tanpa melihat jenis kelamin.

Anak menurut KBBI adalah manusia yang masih kecil .Anak juga diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian anak menurut Lawrence Kohlberg adalah individu yang sedang mengalami proses perkembangan moral (Dahl, 2019; Garrigan et al., 2018). Anak, sejak dalam kandungan, mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Ketika seorang anak lahir, anak tidak dapat melakukan segala sesuatunya sendiri. Anak memerlukan orang lain yang lebih dewasa untuk merawat dan memberi kasih sayang. Seiring pertumbuhannya, anak akan mempelajari sesuatu.. Deklarasi Hak-hak Anak menyebutkan salah satu hak anak, karena belum matang secara fisik dan mental, mememerlukan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang sesuai, baik sebelum maupun setelah kelahiran (Clark et al., 2020; Hughes et al., 2020). Orang tua adalah pengasuh dari seorang anak (dimana "anak" mengacu pada keturunan, alih-alih mengacu pada usia) . Orang tua sebagai orang yang lebih dewasa diharapkan mengurus kebutuhan anak dan mengajari anak dalam keterampilan motoric, sensorik, kognitif sampai kemampuan mengelola emosi. Keberhasilan mendidik seorang anak akan mempengaruhi masa depan anak, tidak hanya pintar di bidang akademisi tetapi memiliki kesehatan mental dan akhlak yang baik.

Di era media social ini, Gen Z sering menggaungkan perihal kesehatan mental yang hilang karena keadaan keluarga terutama orang tua yang tidak mampu menjalankan tugasnya. Kesehatan Mental atau Mental Health adalah kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan orang untuk mengatasi tekanan hidup, yang berkaitan dengan kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seseorang .

�Paparan terhadap keadaan sosial, ekonomi, geopolitik, dan lingkungan yang tidak menguntungkan, termasuk kemiskinan, kekerasan, ketidaksetaraan, dan deprivasi lingkungan, juga meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi kesehatan mental .

Kekerasan psikis biasanya meliputi perilaku yang ditujukan untuk mengintimidasi dan menganiaya, mengancam atau menyalahgunakan wewenang, membatasi keluar rumah, mengawasi, mengambil hak asuh anak, merusak benda-benda anak, mengisolasi, agresi verbal dan penghinaan yang dilakukan secara konstan (Unicef, 2000).

Kekerasan psikis adalah kekerasan yang sering terjadi namun sulit untuk dibuktikan karena kekerasan psikis tidak memberikan bukti luka yang terlihat. Berbeda dengan kekerasan fisik yang dengan mudah terlihat lebam atau luka lainnya kemudian dapat langsung dilakukan visum et repertum. Kekerasan fisik dapat menimbulkan luka saat pertama kali dilakukan. Namun beda halnya dengan kekerasan psikis. Kekerasan psikis tidak terlihat secara langsung dengan kasat mata tetapi harus memerlukan ahli yang menilai. Akibat kekerasan psikis bersifat perubahan perilaku yang akan terjadi jika korban mengalami kekerasan beberapa kali. Sayangnya, semakin sering korban mengalami kekerasan psikis, korban dapat menjadi perlakukan pelaku adalah hal yang wajar sehingga korban tidak menganggap hal tersebut adalah suatu kekerasan.

Kekerasan psikis dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Hal yang sering dilakukan orang tua yang sebetulnya adalah kekerasan psikis adalah membandingkan anak dengan orang lain dengan cara menghina. Bahkan saat ini seorang selebriti yang telah berulang kali menghina anaknya di media social secara live Instagram. Orang lain dapat dengan jelas mendengar hinaan tersebut. Anaknya mungkin saja tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaporkan ibunya sehingga perlakukan penghinaan terhadap anaknya tidak dipandang sebagai suatu bentuk kekerasan dan disetujui oleh beberapa kalangan. Budaya di Indonesia pun menganggap anak yang sudah melakukan perlawanan terhadap orang tua adalah anak yang pembangkang tanpa melihat atau mendengar alasan si anak dan membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan orang tuanya terhadap anak tersebut.

Kekerasan psikis pun biasanya menyertai atau sebagai alat pelaku untuk melakukan kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual atau penelantaran. Pola kekerasan psikis ini biasanya juga dibarengi dengan pengucilan korban dari pihak luar. Pelaku pelan-pelan menyakinkan korban jika orang-orang sekitarnya bukan merupakan orang yang baik untuk korban dan hanya pelaku yang menyayangi korban. Namun ketika korban sudah tergantung dengan pelaku maka pelaku melakukan kekerasan psikis secara lebih terang-terangan.

Kekerasan psikis yang menyertai kekerasan seksual adalah kekerasan yang marak terjadi karena pelaku kekerasan seksual terhadap anak sering kali mengancam dan menghina korban. Di kota Mataram pelaku kekerasan seksual yang dibarengi kekerasan psikis adalah seorang ayah tega mencabuli anaknya dengan ancaman akan menceraikan ibunya jika si anak mengadukan perbuatan pelaku .

Kekerasan psikis yaitu penghinaan verbal yang berupa ejekan dan sumpah serapah kerapkali mengawali kekerasan fisik . Penghinaan membuat korban tidak berharga, tidak berdaya dan tidak dicintai sehingga tidak melakukan perlawanan ketika pelaku melakukan kekerasan fisik terhadap korban. Mental yang sudah dilemahkan sangat berpengaruh pada respon korban untuk melawan ketika terjadi kekerasan lainnya terhadap diri korban.

�Ketika korban dipisahkan dari dunia luar maka korban menjadi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwenang. Pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada korban dan membiasakan korban di posisi lebih lemah yang seringkali membuat pola pikir korban berubah menjadi menormalkan perbuatan pelaku. Seorang suami yang sering menghina bentuk badan istrinya maka si istri akan merasa bahwa benar nilai diri istrinya seperti yang dikatakan suami walaupun istri mungkin saja telah melakukan perubahan fisik.

Di Indonesia, tindak pidana kekerasan psikis yang terjadi dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi:

Pasal 45

(1)         Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

(2)         Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pemidanaan terhadap pelaku kekerasan psikis dalam rumah tangga maksimal hanya 3 tahun. Berdasarkan laporan dari Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi di ranah personal menunjukkan angka yang signifikan, di antaranya adalah kekerasan oleh mantan pacar dengan 713 kasus yang paling banyak dilaporkan. Selanjutnya, terdapat 622 kasus kekerasan terhadap istri, 422 kasus kekerasan dalam pacaran, 140 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, serta 111 kasus kekerasan dalam konteks KDRT atau kepada kerabat seperti menantu, sepupu, dan kakak/adik ipar. Selain itu, terdapat 90 kasus kekerasan dari mantan suami. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di ranah personal adalah kekerasan psikis. Rendahnya pidana penjara terhadap pelaku ternilai bahwa akibat kekerasan psikis tidaklah sebesar kekerasan lainnya.

Anak korban yang mengalami kekerasan psikologis di lingkungan mereka sulit melaporkan kepada polisi dan layanan masyarakat karena factor ketakutan terhadap pelapor. Beberapa alasan sulitnya kekerasan psikis pada anak diungkap adalah sebagai berikut:

1.      Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya kaerna takut akibat yang kelak diterima baik dari pelaku (ancaman) maupun trauma dari kejadian itu sendiri

2.      Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih besar (dewasa) sering menolak tuduhan (setidaknya di awal proses penyelidikan) bahwa dia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan pelaku adalah menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami �wild imagination�

3.      Anggota keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap

4.      Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga tidak patut dicampuri oleh masyarakat

5.      Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas �tanda-tanda� pada diri anak yang mengalami kekerasan.

 

Keadilan bagi Korban Setelah Disahkan KUHP Nasional

Kekerasan psikis dalam rumah tangga bahkan dapat menjadi tindak pidana yang dapat tidak dijatuhkan pidana penjara dengan aturan baru dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. KUHP sendiri adalah peraturan perundang-undangan sebagai salah satu dasar hukum pidana di Indonesia. KUHP awalnya dibentuk oleh colonial Belanda dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indi� yang disahkan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun pada saat Indonesia merdeka, dilakukan penyelarasan terhadap KUHP dengan pencabutan pasal-pasal yang dianggap tidak relevan lagi. Penyelarasan ini dididasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan.[2]

Pada 6 Desember 2022 RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Nasional) yang akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026. KUHP Nasional yang baru diharapkan mengisi kekosongan hukum ataupun penyesuaian yang diperlukan karena perkembangan yang terjadi di masyarakat sehingga perubahan yang dilakukan di KUHP cukup signifikan. Masyarakat, terutama para penegak hukum diberikan waktu sekitar 3 (tiga) tahun untuk mempelajari dan menyiapkan strategi penanganan perkara terbaru.

Dalam waktu 3 (tiga) tahun ini menjadi waktu yang penting untuk penegak hukum dan legislative untuk mempertimbangkan urgensi mengubah Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, terutama untuk pasal-pasal yang mengatur hukumannya dibawah 5 (lima) tahun penjara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 70 KUHP Nasional terkait beberapa keadaan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yaitu sebagai berikut:

Pasal 70

(1)   Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:

a.      Terdakwa adalah Anak;

b.      Terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;

c.      Terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;

d.      Kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;

e.      Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;

f.       Terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;

g.      Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;

h.      Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut;

i.       Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;

j.       Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana yang lain;

k.      Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;

l.       Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;

m.    Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;

n.      Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau

o.      Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.

(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:

a.        Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

b.        Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;

c.        Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau

d.        Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Pasal 70 KUHP Nasional mengatur tindak pidana yang dilakukan di kalangan keluarga dapat tidak dijatuhkan pidana penjara terutama jika pemidanaannya dibawah 5 (lima) tahun (Adinata, 2022; Shukan et al., 2019). Salah satu tindak pidana yang terjadi di lingkungan keluarga adalah tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Padahal Pasal 45 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur kekerasan psikis dalam rumah tanggga hanya dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Jika didasarkan Pasal 70 KUHP Nasional, pelaku dapat tidak dijatuhkan pidana penjara dan hanya dijatuhkan pidana denda atau kerja social atau pengawasan karena terjadi di lingkup rumah tangga dan dengan aturan pidana penjara dibawah 5 (lima) tahun.

Pasal 70 KUHP Nasional ini dianggap sebagai bentuk keadilan restorative yang tidak mengedepankan pemidanaan penjara melainkan mediasi atau pemidanaan lainnya. Keadilan restorative memusatkan perhatian pada upaya menyembuhkan dan memulihkan luka korban kejahatan dan mengembalikan pelaku kejahatan kepada kehidupannya yang baik sebagai warga yang taat hukum, serta memperbaiki kerusakan yang timbul dalam tantan hubungan interpersonal dan masyarakat . Pasal ini juga diharapkan memberikan alternatif solusi terhadap permasalahan overload tahanan di berbagai Lembaga Permasyarakatan di Indonesia. Akan tetapi harus diingat, keadilan restorative juga bertujuan memulihkan atau memperbaiki keadaan korbannya seperti semula. Pemulihan dapat dilakukan secara fisik ataupun non fisik, termasuk juga kompensasi ataupun restitusi berupa uang dengan maksud mencapai kondisi yang memulihkan kepada kondisi semula, bukan hanya sekedar pidana denda yang dibayarkan ke kas negara, yang tiadk memberikan manfaat apapun terhadap korban.

Aturan dalam Pasal 70 KUHP Nasional dapat dijadikan alasan para pelaku untuk menghindari pidana penjara. Padahal akibat kekerasan psikis memang tidak dapat dilihat secara kasat mata dan dirasakan secara langsung serta dihitung kerugiannya . Bahkan kerugian yang dirasakan oleh korban seringkali tidak terlihat oleh mata dan dianggap tidak menimbulkan kerugian apapun, terutama pada anak-akan yang belum bisa mengelola emosi atau menceritakan perasaan mereka sendiri.

Akibat kekerasan psikis pada anak dapat berupa trauma atau depresi. Namun anak yang trauma dan depresi tidak selalu memperlihatkan sikap murung, ketakutan atau menyendiri. Ada anak-anak yang memperlihatkan sifat kekerasan, bahkan mendapat cap �anak nakal�. Jika tidak mendapat perhatian dan pertolongan, anak dapat berperilaku semakin agresif dalam melakukan pelanggaran atau tindakan kriminal.

Akibat kekerasan psikis biasanya dapat dinilai oleh ahli dan mendapat pengobatan tidak cukup sekali. Trauma dan depresi akibat kekerasan psikis bisa terus mengikuti korban seumur hidupnya bakal menularkan kepada anak-anaknya sehingga memberikan dampak luas secara tidak langsung. Apabila Pasal 70 KUHP Nasional tidak dapat menilai �kerugian� kekerasan psikis sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diukur dengan nilai uang, maka pelaku dapat memiliki alasan lain untuk menghindar dari pidana penjara. Apabila korban tidak dipisahkan dari pelaku maka pelaku dengan mudah melakukan hal yang sama atau lebih parah kepada korban. Di Indonesia sendiri belum memiliki peraturan untuk larangan bagi orang tua yang melakukan kekerasan menjauhi anaknya. Namun jika pasal 70 KUHP Nasional diaplikasikan dan dipertimbangkan untuk tidak memberikan pemidanaan penjara kepada pelaku dan pelaku hanya diberikan pidana denda, pidana kerja social atau pidana pengawasan maka kemungkinan pelaku akan melakukan kekerasan psikis kembali kepada korban. Tidak menutup kemungkinan pelaku melakukan kekerasan lainnya sebagai rasa dendam.

 

Analisis

Munculnya alasan untuk tidak dilakukan pemidanaan penjara dalam Pasal 70 ayat (1) KUHP Nasional mempengaruhi pengaturan pidana di Indonesia, salah satunya adalah pemidanaan kekerasan psikis terhadap anak-anak dalam lingkup rumah tangga. Alternatif pemidanaan, selain penjara, tidak memberi pemisahaan antara pelaku dan korban sehingga akan membuat kekerasan psikis terus berlangsung.

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond, yang menyatakan bahwa hukum bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat. Dalam konteks interaksi kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan lainnya. Kepentingan hukum berkaitan dengan pengaturan hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan kepentingan yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus mempertimbangkan tahapan, di mana perlindungan tersebut berasal dari ketentuan hukum dan semua peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat. Pada dasarnya, ini merupakan kesepakatan masyarakat untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota masyarakat serta antara individu dengan pemerintah, yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang terancam atau dirugikan oleh pihak lain. Perlindungan ini diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak yang dijamin oleh hukum (Alfiansyah, 2022; Dinanti & Wahyuningsih, 2016).

Pemerintah sebagai penguasa yang memiliki kewenangan untuk membentuk dan mengubah suatu undang-undang harus menyadari perlindungan hukum tidak dapat dinilai dari keadaan terdakwa semata. Perlindungan hukum� tidak boleh mengabaikan akibat dari tindak pidana tersebut. Akibat kekerasan psikis pada anak yang menjadikan Kesehatan mental harus diperbaiki, dan sementara waktu perbaikan dilakukan pula pemisahan dengan pelaku. Jika pemerintah tidak menganggap penting Kesehatan mental anak-anak saat ini yang mendapatkan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga pada akhirnya mempengaruhi pula masa depan negara kita. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pembuat peraturan harus segera mengganti undang-undang terkait kekerasan psikis pada anak-anak dalam lingkup rumah tangga.

 

 

KESIMPULAN

 

Adanya alasan tidak diberikan pemidanaan penjara pada Pasal 70 KUHP Nasional disatu sisi tidak mengedepankan pidana penjara sebagai efek jera tetapi dilain pihak mempengaruhi kepastian hukum dan perlindungan bagi korban di berbagai aturan pidana di Indonesia. Pemidanaan bagi pelaku kekerasan psikis pada anak dalam lingkup rumah rangga harus menjadi perhatian pemerintah setelah diberlakukannya Pasal 70 KUHP Nasional. Pemerintah hendaknya tidak hanya berpihak pada pemberian hak-hak dan kesempatan bagi pelaku tetapi tetap harus memastikan perlindungan dan keadilan bagi korban dalam mencapai kepastian hukum di Indonesia. Implikasi dari temuan ini adalah perlunya revisi atau penambahan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku kekerasan psikis, serta penguatan mekanisme perlindungan bagi korban. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, tetapi juga akan berkontribusi pada upaya pencegahan kekerasan psikis di tingkat keluarga. Selain itu, diperlukan sosialisasi yang lebih luas mengenai hak-hak korban dan mekanisme hukum yang ada, sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan memanfaatkan perlindungan hukum yang tersedia.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adinata, K. D. F. (2022). Penerapan Prinsip Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana Lanjut Usia (Studi Tentang Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum). Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara, 12(1), 26�62. https://doi.org/10.30999/mjn.v12i1.2059

Alfiansyah, R. (2022). Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Lingkungan Masyarakat. De Cive: Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(3), 88�95. https://doi.org/10.56393/decive.v2i3.1500

Clark, H., Coll-Seck, A. M., Banerjee, A., Peterson, S., Dalglish, S. L., Ameratunga, S., Balabanova, D., Bhan, M. K., Bhutta, Z. A., & Borrazzo, J. (2020). A future for the world�s children? A Who�Unicef�Lancet Commission. The Lancet, 395(10224), 605�658. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(19)32540-1

Dahl, A. (2019). The science of early moral development: On defining, constructing, and studying morality from birth. Advances in Child Development and Behavior, 56, 1�35. https://doi.org/10.1016/bs.acdb.2018.11.001

Dinanti, D., & Wahyuningsih, Y. Y. (2016). Perlindungan Hukum Atas Hak-Hak Tersangka Pada Proses Penyidikan Perkara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Yuridis, 3(2), 89�98. https://doi.org/10.35586/.v3i2.181

Garrigan, B., Adlam, A. L. R., & Langdon, P. E. (2018). Moral decision-making and moral development: Toward an integrative framework. Developmental Review, 49, 80�100. https://doi.org/10.1016/j.dr.2018.06.001

Glynn, L. M., Davis, E. P., Luby, J. L., Baram, T. Z., & Sandman, C. A. (2021). A predictable home environment may protect child mental health during the Covid-19 pandemic. Neurobiology of Stress, 14, 100291. https://doi.org/10.1016/j.ynstr.2020.100291

Hughes, N., Sheahan, F., Williams, W. H., & Chitsabesan, P. (2020). Ensuring the rights of children with neurodevelopmental disabilities within child justice systems. The Lancet Child & Adolescent Health, 4(2), 163�166. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(19)30401-8

Kim, S., & Nho, C. R. (2017). Longitudinal reciprocal effects between peer relationship difficulties and aggressive behaviors in Korean adolescents. Children and Youth Services Review, 83, 41�47. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2017.10.024

Kotz�, L. J., & Kim, R. E. (2019). Earth system law: The juridical dimensions of earth system governance. Earth System Governance, 1, 100003. https://doi.org/10.1016/j.esg.2019.100003

Kurniawan, Y., & Sulistyarini, I. (2016). Komunitas Sehati (Sehat Jiwa dan Hati) sebagai intervensi kesehatan mental berbasis masyarakat. INSAN: Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 1(2), 112�124.

Prasetyo, A. E. (2021). Edukasi mental health awareness sebagai upaya untuk merawat kesehatan mental remaja dimasa pandemi. JE (Journal of Empowerment), 2(2), 261�269. https://doi.org/10.35194/je.v2i2.1757

Shukan, A., Abdizhami, A., Ospanova, G., & Abdakimova, D. (2019). Crime control in the sphere of information technologies in the Republic of Turkey. Digital Investigation, 30, 94�100. https://doi.org/10.1016/j.diin.2019.07.005

Widiyono, T., & Khan, M. Z. K. (2022). The Legal Philosophy and Justice Values In The Acquisition of Land Rights in Indonesia: A Normative Legal Research. International Journal of Law Reconstruction, 6(2), 278�298. https://doi.org/10.26532/ijlr.v6i2.26841

Xiang, Y.-T., Yang, Y., Li, W., Zhang, L., Zhang, Q., Cheung, T., & Ng, C. H. (2020). Timely mental health care for the 2019 novel coronavirus outbreak is urgently needed. The Lancet Psychiatry, 7(3), 228�229. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(20)30046-8

Zhang, C., Zhang, Q., Zhuang, H., & Xu, W. (2023). The reciprocal relationship between depression, social anxiety and aggression in Chinese adolescents: The moderating effects of family functioning. Journal of Affective Disorders, 329, 379�384. https://doi.org/10.1016/j.jad.2023.02.134

 

� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).