ANALISA PENGGALIAN KAIDAH HUKUM SECARA PROGRESIF DALAM MENGHADAPI KEADILAN VIRTUAL

 

 

Pardamean Hasiholan

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Hukum Progresif dalam konteks penegakan hukum di era media sosial serta implikasinya terhadap keadilan masyarakat. Hukum Progresif muncul sebagai kritik terhadap Hukum Positivisme yang mengutamakan asas fiksi hukum demi mencapai kepastian hukum, menekankan pentingnya penggalian nilai-nilai dalam kaidah hukum dan norma yang berlaku di masyarakat untuk mencapai keadilan yang lebih substansial. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui analisis dokumen dan studi kasus, penelitian ini mengidentifikasi tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menerapkan prinsip-prinsip Hukum Progresif. Temuan menunjukkan bahwa penegak hukum perlu aktif menggali nilai-nilai dan menggunakan hati nurani dalam penegakan hukum, tetapi di tengah maraknya media sosial, keadilan sering kali dipahami sebagai keadilan virtual yang berlandaskan pendapat pribadi. Untuk menghindari jebakan ini, penegak hukum harus mempertahankan kaidah hukum, termasuk asas fiksi hukum, sebagai dasar untuk mencapai kepastian hukum. Kemandekan dalam memahami hukum dapat menciptakan tren di mana pelaku tidak terjerat pidana karena ketidaktahuan. Implikasi penelitian ini menekankan perlunya pelatihan dan pemahaman yang lebih baik mengenai kaidah hukum di kalangan penegak hukum untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum yang adil dan bijaksana.

 

Kata kunci: Progresif, Fiksi Hukum, Keadilan Virtual

 

Abstract

This research aims to analyze the role of Progressive Law in the context of law enforcement in the era of social media and its implications for public justice. Progressive Law emerged as a critique of Legal Positivism that prioritizes the principle of legal fiction in order to achieve legal certainty, emphasizing the importance of extracting values in legal rules and norms that apply in society to achieve more substantial justice. Using a qualitative approach through document analysis and case studies, this research identifies the challenges faced by law enforcers in applying the principles of Progressive Law. The findings show that law enforcers need to actively explore values and use conscience in law enforcement, but amid the rise of social media, justice is often understood as virtual justice based on personal opinions. To avoid this trap, law enforcement must maintain the rule of law, including the principle of legal fiction, as the basis for achieving legal certainty. Stagnation in understanding the law can create a trend where perpetrators are not charged with crimes due to ignorance. The implications of this research emphasize the need for better training and understanding of the rule of law among law enforcers to improve the effectiveness of fair and prudent law enforcement.

 

Keywords: Progressive, legal fiction, virtual justice

*Correspondence Author: Pardamean Hasiholan

Email: [email protected]

 


 

PENDAHULUAN

 

Indonesia sebagai negara hukum menjamin perlindungan hak dan kewajiban rakyatnya (Aswandi & Roisah, 2019; Hidayat, 2016). Perlindungan hukum dapat tercapai jika penegakan hukum dilakukan secara optimal dan progresif (Ansori, 2017; Romadan, 2021). Penegakan hukum yang progresif menghendaki penegakan hukum dilandasi tekad kepedulian terhadap kehidupan sosial (social reasonableness, an examination and valuation of life), sehingga hukum harus pro-rakyat, pro-keadilan, menyejahterakan dan membahagiakan rakyat. Penegakan hukum dilakukan berdasarkan hati Nurani (Aulia, 2018; Jainah, 2021). Namun penegak hukum tetap harus memperhatikan pengertian rakyat sesungguhnya terlepas dari sekelompok orang, bahkan saat ini sekelompok penguna media social yang berpendapat di berbagai media social dengan tujuan menyebarluaskan pendapatnya secara cepat. Kita sering mendengar fenomena ini dengan istilan �keadilan netizen� atau bisa kita sebut sebagai �keadilan virtual�

Keadilan virtual seringkali diikuti dengan unjuk rasa, penyerangan instansi atau bahkan pribadi penegak hukum di media sosial yang tidak berkaitan dengan proses penanganan suatu perkara tindak pidana (Dong et al., 2017; Hanna et al., 2016). Netizen, bertindak seolah-olah mewakili masyarakat luas memberikan pendapat yang menurut masing-masing pribadi benar, tanpa memperdulikan apakah sesuai dengan kaidah yang berlaku atau pengetahuan yang benar. Keadilan netizen dapat memaksa penegak hukum untuk membebaskan seorang pelaku atau melanjutkan proses hukum tertentu (Al-Khateeb et al., 2017; Li, 2017). Dengan tujuan membebaskan seorang pelaku, salah satu cara yang diambil penegak hukum adalah mengenyampingkan asas fiksi hukum tanpa menggali keadaan lain dari pelaku dan korban. Alasan pelaku yang mengaku tidak mengetahui atau memahami hukum serta merta dipercaya dan menjadi alasan pembenar.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif, yaitu penelitian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia (Zainuddin & Karina, 2023). Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, sementara sampel diambil dari peraturan yang relevan dengan isu hukum yang sedang diteliti menggunakan teknik purposive sampling untuk memastikan representativitasnya.Data sekunder penelitian dikumpulkan melalui studi kepustakaan berkaitan dengan isu hukum atau permasalahan yang diajukan dalam penelitian.�� Data sekunder hasil penelitian dianalisis secara kualitatif secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan dari permasalahan yang dibahas.Data hasil penelitian diuraikan dengan kalimat yang jelas, efektif, teratur, runtut, dan logis sehingga dapat memudahkan dalam melakukan analisis dan pembahasan terhadap permasalahan.

 


 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hukum Progresif Membentengi Ketidakpastian Hukum dari Keadilan Virtual

Fiat Justitia et Pereat mundus, adalah salah satu ungkapan terkenal yang diucapkan oleh Ferdinand I (1503�1564), Raja Hungaria dan Bohemia dari 1558 sampai dengan 1564, yang diadaptasi dari kalimat yang hampir mirip artinya Fiat justitia ruat coelumyang artinya �meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakan�. Ungkapan ini tentu tidak selalu mudah untuk dilakukan. Pada kenyataannya perbedaan antara das sollen (nila-nilai dalam kaidah yang berlaku) dan das sein (kenyataan yang terjadi di lapangan) seringkali terasa. Padahal masyarakat pasti mengharapkan adanya kepastian hukum dari setiap aturan yang diciptakan. Hukum yang dapat memberikan kepastian, akan mewujudkan ketertiban dalam bermasyarakat yang pada akhirnya menjamin perlindungan atas hak dan kewajiban masyarakat.

Perbedaan antara berlakunya das sollen dengan das sein nampak dari jumlah dan ragam tindak pidana yang terjadi dalam suatu masyarakat. Tindak pidana dapat membuat kekacauan sehingga diperlukan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan abstraksi nilai, ide dan cita menjadi tujuan hukum . Urfan mengemukakan bahwa tujuan hukum sebagai sasaran dari penegakan hukum mengandung nilai-nilai moral seperti nilai kebenaran dan keadilan yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks dinamika hukum masyarakat . Proses penegakan hukum inilah yang akan menyelaraskan kembali antara das solen dan das sein.

Lawrence M. Friedman mengemukakan penegakan hukum paling tidak berkaitan dengan tiga unsur dalam sistem hukum yaitu:

1.      Struktur Hukum

Struktur hukum merupakan pola yang menunjukan tentang bagaimana hukum dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan formalnya (Rains et al., 2019). Struktur ini berkaitan dengan bagaimana institusi-institusi hukum seperti pengadilan, kejaksaan dan kepolisian melaksanakan fungsinya.

2.      Substansi Hukum

Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang digunakan oleh, baik penegak hukum maupun masyarakat sebagai subjek hukum dalam penegakan hukum dan perbuatan hukum.

3.      Kultur Hukum

Kultur hukum berkaitan dengan pilihan hukum masyarakat dalam mengambil tindakan atau perbuatan hukum (DeScioli, 2023). Dimensi kultur hukum sangat berkaitan dengan Sejarah social masyarakat serta substansi hukum yang mengiringi dinamika social kemasyarakatan.

Gastov Radbruch mengemukakan bahwa hukum dibangun atas tiga prinsip dasar yaitu filosofis, sosiologis dan legalistis (Christianto, 2020; Wijatmoko et al., 2023). Konsep Radburch ini sering diistilahkan dengan teori prioritas baku yang menetapkan tiga tingkatan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan . Ketiga tujuan hukum ini seringkali bertentangan terutama mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara bersamaan. Penegakan hukum sebagai upaya sadar dari penegak hukum yang demi mencapai tujuan hukum tersebut harus mempedomani seluruh kaidah hukum yang berlaku. Kaidah hukum terdiri dari asas hukum (prinsip hukum yang bersifat absrak dan universal), norma hukum (kaidah yang berasal dari asas dan lebih konkret) dan aturan hukum (norma hukum yang dikonkretkan dalam peraturan perundang-undangan).

Teori mengenai penegakan hukum yang menjadi perhatian masyarakat saat ini adalah yang dilakukan secara progresif, yaitu penegakan hukum yang tidak hanya membaca dan menafsir undang-undang secara normative, melainkan menemukan hukum dalam undang-undang tersebut . Hukum Progresif melihat kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya maka hukum progresif dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscue Pound, dia menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan melainkan diluar hal itu dan melihat efek 3 hukum serta bekerjanya hukum . Hukum progresif menghendaki para penegak hukum menilai suatu peristiwa tidak hanya berdasarkan peraturan melainkan mencari makna yang lebih dalam dengan menggali keseluruhan kaidah hukum yang mengandung asas dan norma hukum dengan tidak mengabaikan humanism dengan penuh empati, memiliki hati nurani, dan berdedikasi terhadap kemanusiaan itu sendiri sehingga pro-rakyat.

Di Indonesia pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sendiri diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleg Lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Salah satu prosedur yang harus dilalui dalam pembentukan suatu peraturan, yang salah satunya adalah Undang-undang, adalah tahap pengundangan. Pada pengaturan tahap pengundangan ini, secara implisit menormakan asas fiksi hukum. Penjelasan Pasal 81 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu �Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.� Lembaran resmi yang dibutukan dalam pembentukan Undang-undang adalah penempatan pada Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara untuk penjelasan UU tersebut. Asas fiksi hukum juga menjadi landasan Hakim untuk memutus perkara yaitu dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 dengan secara eksplisit menyebutkan asas fiksi hukum yaitu �ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf� dan pada Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang menegaskan �tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara� .

Asas Fiksi Hukum diperkenalkan oleh Von Savigny atau asas presumption iures de iure atau asas yang menganggap semua orang tahu hukum. Asas ini menganggap orang yang tidak mengetahui hukum, tidak luput dari tanggung jawab. Asas fiksi hukum ini berkaitan dengan yang dikemukakan Aristoteles, nemo censetur ignorare legem yang artinya tidak ada yang dianggap tidak tahu akan hukum.

Asas fiksi hukum selalu dikaitkan dengan sosialisasi yang baik. Sosialisasi sendiri dikenal dengan tahap penyebarluasan. Sosialisasi undang-undang dilakukan dengan tujuan memberikan informasi terkait peraturan yang telah diundangkan dan memberi kesempatan masyarakat turut andil dalam memberikan masukan. Penyebarluasan Peraturan tersebut dilakukan, misalnya melalui media elektronik dan/atau media cetak. Bahkan di era kemajuan teknologi telah memudahkan masyarakat untuk mencari berbagai informasi termasuk peraturan yang telah diundangkan di berbagai website. Sosialisasi juga sering dilakukan dengan acara seminar dengan mengundang berbagai lapisan masyarakat dan berlaku umum. Sosialisasi yang tidak optimal sering dianggap menjadi salah satu alasan masyarakat tidak menaati hukum.

Namun, dalam paradigma hukum modern, penegakan hukum membutuhkan peran aktif masyarakat untuk mensosialisasikan yang dilakukan secara persuasif dan mengawasi jalannya penegakan hukum. Masyarakat diharapkan secara persuasifmengupayakan penyadaran hukum pada anggtota masyarakat lain dengan menjelaskan esensi dan tujuan suatu hukum termasuk mengenai adanya peraturan yang baru diundangkan demi mencapai ketertiban dalam masyarakat. Dalam fungsi pengawasan, masyarakat dapat melaporkan setiap tindak pidana yang dilakukan orang lain. Seyogyanya sinergitas antara masyarakat dan penegak hukum terjalin dalam proses penegakan hukum, tanpa menunggu proaktif dari salah satu pihak. Hal ini dapat dilakukan masyarakat dengan cara aktif mencari dan membaca peraturan yang berlaku. Bahkan dengan teknologi saat ini, masyarakat awam pun dapat mendapatkan pemahaman terkait suatu peraturan dari persepktif penegak hukum atau para akademisi.

Terlebih lagi, Hakim MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie menjelaskan terkait asas fiksi hukum yang dikaitkan dengan sosialisasi peraturan dalam pertimbangan Putusan Nomor 1/PUU-V/2007, sebagai berikut:

�Mahkamah berpendapat bahwa teori fiksi (adagium) itu justru diperlukan untuk kepastian hukum (rechtszekerheid). Menurut teori fiksi (adagium) tersebut, setiap orang dianggap tahu undang-undang (iedereen wordt geacht de wet te kennen). Ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf (ignorantia iuris neminem excusat). Lagi pula, undang-undang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat yang dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama Pemerintah. Oleh karena sudah diundangkan, maka setiap orang dianggap mengetahui undang-undang tersebut.�

Selain sosialisasi, asas fiksi hukum pun memiliki antitesis dari asas fiksi hukum yang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah �rechtsdwaling� atau kesesatan hukum atau error juris yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh Undangan-undang.Dalam Kesesatan hukum sendiri dapat dibedakan menjadi dapat mengerti dan yang tidak dapat dimengerti dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan dan latar belakang pelaku secara objektif. Tingkat pendidikan, teknologi yang telah dimiliki untuk mengakses media sosial atau media lainnya. Hal ini untuk mengetahui apakah benar pelaku benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui hukuman tersebut atau memang pelaku memiliki niat jahat dengan tidak memperdulikan hukum yang berlaku di masyarakatnya.

Dalam penegakan hukum progesif, penegak hukum menggali asas-asas hukum dengan mengoptimalkan alat-alat bukti yaitu :

1.         Keterangan saksi

2.         Keterangan ahli

3.         Surat

4.         Petunjuk

5.         Keterangan terdakwa

6.         Alat bukti elektronik

Alat bukti keterangan terdakwasesungguhnya untuk memberikan kesempatan pelaku Pelaku diperbolehkan untuk tidak mengakui perbuatannya pada saat memberikan keterangan sehingga penegak hukum cenderung mencari kebenaran melalui setidaknya 2 (dua) alat bukti lainnya. Mengingat sifat dasar manusia adalah menghindari hukuman atau masalah sehingga kemungkinan pelaku akan menggunakan hak ingkar dengan tujuan tidak mendapatkan pemidanaan.

Perkembangan masyarakat saat ini, menjadi sangat aktif berpendapat di media sosial. Beberapa perkara tindak pidana telah disebarluaskankan oleh pengguna media sosial, dengan menambahkan pendapat-pendapat pribadi bagaimana seharusnya penegak hukum bertindak. Kita sering mendengar fenomena ini sebagai �keadilan netizen�. Tidak jarang suatu perkara tindak pidana yang telah tersebar luas menarik unjuk rasa yang membuat kegaduhan atau penghinaan terhadap instansi dan bahkan pribadi penegak hukum yang menangani. Masalahnya, para pengguna media sosial tidak selalu berada di tempat kejadian. Mereka juga belum tentu memiliki pengetahuan atas perkara atau kaidah yang seharusnya diterapkan. Pengguna media sosial itu akan melahap semua informasi yang disajikan, tanpa memperdulikan kebenarannya. Ketika keadaan semakin ricuh, penegak hukum terpaksa mengesampingkan asas hukum yang benar demi mencapai �keadilan yang pro-rakyat� yang dihadirkan oleh �keadilan virtual�

�No viral, no justice� adalah slogan yang selalu didengungkan para pengguna media. Namun viralnya suatu perkara dapat saja ditunggangi orang-orang berkepentingan, seperti para pembuat konten, pengacara yang mewakili pelaku tindak pidana atau calon-calon pejabat negara yang sedang menarik perhatian masyarakat. Dengan mengedepankan keprihatian terhadap pelaku dan menggiring opini penegak hukum yang tidak objektif akan memberikan simpati para netizen. Sesekali penegak hukum ditampilkan LHKPN untuk memberi kesan telah terjadi korupsi, meskipun tidak jelas perbuatan tersebut benar adanya atau tidak. Keadilan yang diminta hanya semata bagi kepentingan yang direpresentatifkan saja. Keadilan tersebut bisa saja melanggar hak dan kewajiban orang lain.

Pengertian keadilan telah dirumuskan oleh para pemikir sejak dahulu kala. Salah satu teori keadilan yang berpengaruh adalah teori keadilan John Rawls yang dikenal dengan istilah �Justice as Fairness�. John Rawls mengembangkan suatu konsep keadilan yang fokus pada pembagian hak dan kewajiban secara �fair� sebagai parameter dasar adil tidaknya suatu tindakan atau perbuatan. Dari pandangan John Rawls terlihat bahwa nilai keadilan tidak boleh ditawar dan harus diwujudkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya, meskipun seandainya jika hal tersebut diperlukan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar . Sedangkan hukum progresif dalam pencapaian keadilan adalah keadilan sosial dalam sila kelima dari Pancasila yaitu �keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�, artinya keadilan diusahakan sedemikian rupa dirasakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya persamaan hak, tidak membedakan golongan.

Penegak hukum harus jeli menggali kaidah hukum, seperti yang dikehendaki Hukum Progresif sehingga tidak jatuh ke dalam pemuasan keadilan virtual semata. Meskipun asas �Aequum, et bonum est lex legumemenghendaki ketika terjadi pertentangan antara keadilan-kemanfaatan dengan kepastian hukum maka penegak hukum mendahulukan keadilan-kemanfaatan. Akan tetapi penegak hukum harus tetap murni menjalankan maksudnya mencapai keadilan yang berlandasan kaidah hukum yang benar sehingga pada akhirnya tercapai kepastian hukum.


 

Analisis kasus pemeliharaan Landak Jawa di Bali

Duduk perkara:

Bahwa pelaku memiliki dan memelihara Satwa yang dilindungi berupa Landak Jawa berawal dari mertua pelaku yang menemukan 2 (dua) ekor landak di ladang yang dirawat hingga besar kemudian saat mertua pelaku meninggal, pelaku yang merawat 2 (dua) ekor landak tersebut sampai beranak pinak sehingga keseluruhan landak jawa yang dimiliki/dipelihara oleh Pelaku berjumlah 4 (empat) ekorKemudian petugas Kepolisian mendapatkan informasi dari masyarakat tentang kepemilikan Pelaku atas landak Jawa sehingga melakukan pemeriksaan dan menemukan 4 (empat) landak Jawa dalam keadaan hidup. Penyidik melakukan penyidikan dan berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh Jaksa bahkan telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat oleh Jaksa.

Bahwa 4 (empat) ekor Landak Jawa merupakan satwa endemic di Indonesia yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Undang � Undang RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), yang diatur dalam Lampiran PP Nomor : 7 tahun 1999, tanggal 27 januari 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, tercantum dalam nomor urut 30 disebut Landak (Hystrix Brachyura) dan diatur kembali dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.106/MENLHK/SEWTJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor : P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi tercantum pada lampiran nomor urut 71 disebut Landak Jawa (Hystrix Javanica).

Pada proses persidangan, kasus ini viral di media social. Berbagai media menyoroti jalannya persidangan.Pendapat di berbagai media menyatakan Pelaku tidak bersalah karena merawat 2 (dua) ekor Landak Jawa dan mengembakbiakan sampai menjadi 4 (empat) ekor. Pemeriharaan yang dilakukan pelaku adalah bentuk perlindungan sehingga tidak dibunuh orang lain . Penuntut Umum menuntut pelaku dengan tuntutan bebas yaitu pelaku dinyatakan tidak memiliki niat dan sikap hati jahat untuk memiliki dan memelihara satwa dilindungi berupa 4 (empat) ekor Landak Jawa tetapi barang-bukti 4 (empat) ekor hewan landak dalam keadaan hidup dirampas untuk negara untuk diserahkan ke Balai KSDAE . Salah satu hal meringankan yang dijadikan pertimbangan adalah pelaku tidak tahu adanya aturan landak termasuk satwa yang dilindungi .

Penuntut Umum dalam tuntutannya, mengaitkan perbuatan pelaku sebagai bentuk pertentangan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum dimana kewajiban hukum pelaku adalah sebagai manusia yang adil dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila dan falsafah Bali �Tri Hita Karana�, yang mana esensi dari falsafah ini adalah bentuk pemujaan atau interaksi kepada semesta dalam konteks menjaga hubungan kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam hayati atau hewan karena landak jawa yang dipelihara digunakan oleh pelaku sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan Hindu . Oleh karena landak jawa yang dipelihara bukan untuk tujuan jual-beli melainkan atas dasar kemanusiaan maka Penuntut Umum tidak menemukan mens rea pelaku.

Tuntutan bebas yang diberikan Penuntut Umum dianggap oleh pengguna media social sebagai surat tuntutan yang responsif, mengandung nilai-nilai keadilan . Putusan Hakim dalam perkara ini menguatkan tuntutan Penuntut umum yang menyatakan pelaku tidak terbukti bersalah memiliki niat batin yang jahat untuk memelihara satwa dilindungi berupa 4 (empat) ekor Landak Jawa.

 

Analisis

Dari kasus diatas kita dapat menyimpulkan kemudahan teknologi saat ini menyebabkan masyarakat sering kali membuat �keadilannya� sendiri dengan menyebarluaskan pendapat dan cerita suatu perbuatan tindak pidana. Sayangnya kecepatan jari untuk berpendapat dan menyebarluaskan tidak diiringi kesadaran untuk mencari hukum terlebih dahulu. Masyarakat memberikan keadilan virtual disertai unjuk rasa untuk memaksakan penegak hukum mengenyampingkan peraturan yang berlaku tanpa menggali kaidah hukum demi menghindari kekacauan massa lebih lanjut (Guler & Onat, 2024; Wolfe et al., 2018). Namun jika penegak hukum mulai menormalkan pengeyampingan asas hukum demi mencapai keadilan virtual maka kepastian hukum tidak akan tercapai dan akhirnya terjadi kekacauan hukum.

Media sangat menonjolkan alasan pelaku yang tidak mengetahui hukum yang mengatur larangan untuk memelihara Landak Jawa. Jaksa dan Hakim mengadopsi alasan ini menjadi alasan yang meringankan. Alasan ini bertentangan dengan asas fiksi hukum. Asas fiksi hukum menganggap orang yang tidak mengetahui hukum tetap bertanggung jawab atas tindakannya.

Apabila asas fiksi hukum ini mau dikesampingkan dengan menggunakan asas kesesatan hukum maka penegak hukum dapat mengoptimalkan alat-alat bukti lainnya untuk kebenaran alasan pelaku yang menyatakan tidak mengetahui hukum tersebut. Hal-hal yang bisa digali dari saksi-saksi dan pelaku (sebagai pelaku) seperti umur pelaku, tingkat pendidikan, pekerjaan, teknologi yang dimiliki atau keadaan tempat tinggal pelaku,akses yang dimiliki atau dapat dipergunakan pelaku untuk mengetahui suatu peraturan, termasuk Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam.

Alasan meringankan lainnya adalah menyatakan pelaku tidak memiliki niat jahat untuk memiliki/memelihara hewan Landak Jawa. Tujuan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dibentuk. Dalam Penjelasan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam menyatakan salah satu sasaran konservasi adalah menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan Pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan). Undang-undang ini hendak menjamin satwa dan tumbuhan berada di habitatnya dengan sifat alaminya, seperti Landak Jawa yang memang satwa liar harus berada di alam liar. Maka dari itu ada larangan untuk memelihara satwa liar karena dapat menghilangkan sifat alami dan tidak berada pada habitatnya dan mempengaruhi proses ekologis. Niat jahat pelaku yang dimaksud dalam undang-undang ini bukan saja menyangkut tindakan kekerasan seperti melukai, membunuh atau tindakan bertujuan komersiil. Memisahkan satwa liar dari habitatnya juga merupakan suatu tindakan jahat terhadap satwa tersebut karenanya satwa liar tidak dapat dijadikan peliharaan manusia yang meninggalkan habitat sesungguhnya

Tindak lanjut pelaku sebagai manusia yang memiliki akal pikiran untuk melakukan kebaikan juga dapat menjadi pertimbangan. Pelaku dan mertua pelaku menemukan satwa Landak Jawa yang artinya bukan pemilik aslinya. Akan tetapi pelaku tidak pernah berusaha untuk mencari tahu kebenaran dari tindakannya ataupun mengembalikan kepada pihak bewenang .

Dipandang dalam rasa pemenuhan keadilan pelaku, tuntutan dan putusan bebas terhadap pelaku dianggap suatu tindakan progresif. Jaksa dan Hakim tidak hanya menilai suatu perbuatan pidana berdasarkan unsur-unsur pasal. Pembebasan pelaku dinilai telah memberikan keadilan di masyarakat, terutama untuk pelaku. Bagaimanapun putusan ini telah menjadi sumber hukum yang diakui yaitu Yurisprudensi. Apabila ada pelaku lainnya memelihara satwa liar dengan tujuan �baik� yaitu merawat di rumahnya ketika terluka karena pelaku tidak mengerti hukum, maka pelaku bisa menggunakan yurisprudensi perkara ini.Bahkan alasan �tidak mengetahui dan mengerti hukum� dengan menyalahkan kurang sosialisasi dari pemerintah dapat menjadi tren baru. Menjadi tugas penegak hukum lainnya untuk menggali kaidah hukum dan nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk menciptakan keadilan tanpa meninggalkan kepastian hukum.

Penegak hukum harus memastikan keadilan masyarakat yang diusahakan bukan hanya yang disajikan oleh keadilan virtual. Tugas penegak hukum untuk menciptakan kepastian hukum tanpa meninggalkan keadilan bagi masyarakat. Sekali lagi, keadilan bagi masyarakat yang dimaksud dalam hukum progresif harus secara luas, bukan sekelompok orang saja.

 

 

KESIMPULAN

 

Kesimpulan ini merangkum temuan dengan baik, namun perlu lebih menyoroti kontribusi teoritis dan rekomendasi praktis. Penegakan hukum progresif menekankan pentingnya keadilan bagi masyarakat melalui pendekatan yang aktif dalam menggali dan menerapkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Keadilan bagi masyarakat tidak selalu sejalan dengan keadilan virtual, yang lebih berlandaskan pada pendapat pribadi. Oleh karena itu, penegakan hukum progresif harus tetap berpegang pada kaidah hukum, termasuk asas, norma, dan aturan hukum, agar keadilan yang dicapai juga memenuhi standar kepastian hukum. Pengabaian kaidah hukum dapat mengakibatkan kekacauan dalam sistem hukum, terutama jika dilakukan oleh hakim dalam memberikan putusan. Putusan hakim, sebagai sumber hukum dalam bentuk yurisprudensi, dapat menciptakan celah bagi pelaku pidana jika tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang solid. Untuk itu, disarankan agar hakim lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan kaidah hukum dan mendorong dialog antara teori dan praktik untuk memperkuat penegakan hukum yang adil dan efektif.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Khateeb, H. M., Epiphaniou, G., Alhaboby, Z. A., Barnes, J., & Short, E. (2017). Cyberstalking: Investigating formal intervention and the role of Corporate Social Responsibility. Telematics and Informatics, 34(4), 339�349. https://doi.org/10.1016/j.tele.2016.08.016

Ansori, L. (2017). Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif. Jurnal Yuridis, 4(2), 148�163. https://doi.org/10.35586/.v4i2.244

Aswandi, B., & Roisah, K. (2019). Negara hukum dan demokrasi pancasila dalam kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(1), 128�145. https://doi.org/10.14710/jphi.v1i1.128-145

Aulia, M. Z. (2018). Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi. Undang: Jurnal Hukum, 1(1), 159�185. https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185

Christianto, H. (2020). Measuring cyber pornography based on Indonesian living law: A study of current law finding method. International Journal of Law, Crime and Justice, 60, 100348. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2019.100348

DeScioli, P. (2023). On the origin of laws by natural selection. Evolution and Human Behavior, 44(3), 195�209. https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2023.01.004

Dong, T., Liang, C., & He, X. (2017). Social media and internet public events. Telematics and Informatics, 34(3), 726�739. https://doi.org/10.1016/j.tele.2016.05.024

Guler, A., & Onat, I. (2024). Reform, defund or do not touch? Exploring factors affecting the demand for organizational change in law enforcement. Journal of Criminal Justice, 93, 102200. https://doi.org/10.1016/j.jcrimjus.2024.102200

Hanna, P., Vanclay, F., Langdon, E. J., & Arts, J. (2016). Conceptualizing social protest and the significance of protest actions to large projects. The Extractive Industries and Society, 3(1), 217�239. https://doi.org/10.1016/j.exis.2015.10.006

Hidayat, E. (2016). Perlindungan hak asasi manusia dalam negara hukum indonesia. ASAS: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 8(2). https://doi.org/10.24042/asas.v8i2.1249

Jainah, Z. O. (2021). Budaya Hukum Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.

Li, E. (2017). Penological developments in contemporary China: Populist punitiveness vs. penal professionalism. International Journal of Law, Crime and Justice, 51, 58�71. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2017.06.001

Rains, L. S., Zenina, T., Dias, M. C., Jones, R., Jeffreys, S., Branthonne-Foster, S., Lloyd-Evans, B., & Johnson, S. (2019). Variations in patterns of involuntary hospitalisation and in legal frameworks: an international comparative study. The Lancet Psychiatry, 6(5), 403�417. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(19)30090-2

Romadan, S. (2021). Peran Pendidikan Tinggi Hukum Dan Urgensi Mahasiswa Dalam Mewujudkan Hukum Yang Berkeadilan. Crepido, 3(1), 33�44. https://doi.org/10.14710/crepido.3.1.33-44

Wijatmoko, E., Armawi, A., & Fathani, T. F. (2023). Legal effectiveness in promoting development policies: A case study of North Aceh Indonesia. Heliyon, 9(11). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e21280

Wolfe, S. E., Rojek, J., Manjarrez Jr, V. M., & Rojek, A. (2018). Why does organizational justice matter? Uncertainty management among law enforcement officers. Journal of Criminal Justice, 54, 20�29. https://doi.org/10.1016/j.jcrimjus.2017.11.003

Zainuddin, M., & Karina, A. D. (2023). Penggunaan Metode Yuridis Normatif Dalam Membuktikan Kebenaran Pada Penelitian Hukum. Smart Law Journal, 2(2), 114�123. https://doi.org/10.34310/slj.v2i2.26

 

� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).