Universitas
Airlangga, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak |
Seksualitas merupakan diskusi yang tabu untuk dibawa ke permukaan, terutama topik seksualitas di kalangan awal remaja. Film Monster membungkus bagaimana seksualitas di kalangan remaja menjadi cerita yang menarik untuk dinikmati, sembari melihat perspektif remaja LGBTQ dalam mengeksplorasi seksualitasnya. Penelitian ini menggunakan Analisis Semiotika dari C.S. Peirce yang
mengenalkan triangle meaning, dengan
tujuan untuk melihat bentuk tanda dan makna yang menjadi representasi homoseksual di awal usia remaja. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji penerimaan dan penolakan terhadap homoseksual melalui pelaku dan pengamat dalam film Monster.
Hasil penelitian menggambarkan
pengalaman remaja LGBTQ sebagai pengalaman yang sebagian besar tragis akibat lingkungan yang tidak mendukung eksistensi homoseksual. Film ini memperlihatkan gestur subtle dari remaja untuk
menunjukkan diri mereka sebagai bagian dari LGBTQ, seperti coming out dan pengenalan
closet. Tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
kompleksitas pengalaman remaja LGBTQ dan mengidentifikasi
tanda-tanda sosial yang membentuk representasi mereka dalam media. Implikasi dari penelitian ini menyoroti pentingnya representasi yang lebih positif dan inklusif dalam film serta media lainnya, serta perlunya dukungan yang lebih besar dari
masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi remaja
dalam mengekspresikan identitas seksual mereka. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan isu-isu seksualitas di kalangan remaja. Kata kunci: Remaja; Seksualitas; LGBTQ |
|
Abstract |
Sexuality is a
taboo discussion to bring to the surface, especially the topic of sexuality
among early adolescents. The film Monster wraps how sexuality among teenagers
becomes an engaging story to enjoy while exploring the perspectives of LGBTQ
youth in their sexual exploration. This research uses C.S. Peirce's Semiotic
Analysis, which introduces the triangle of meaning, with the aim of examining
the forms of signs and meanings that represent homosexuality in early
adolescence. Additionally, this study also examines the acceptance and
rejection of homosexuality through the characters and observers in the film
Monster. The research findings depict the experiences of LGBTQ youth as largely
tragic due to an environment that does not support the existence of
homosexuality. The film showcases subtle gestures from teenagers to express
themselves as part of the LGBTQ community, such as coming out and closet
identification. The purpose of this research is to provide a deeper
understanding of the complexities of LGBTQ youth experiences and to identify
the social signs that shape their representation in media. The implications
of this research highlight the importance of more positive and inclusive
representations in films and other media, as well as the need for greater
societal support to create a safe environment for adolescents to express
their sexual identities. Thus, this research is expected to serve as a
reference in efforts to raise awareness and understanding of sexual issues
among adolescents. Keywords: Adolescence; Sexuality; LGBTQ |
*Correspondence
Author: Nabila Dwita N
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Penelitian
ini fokus pada representasi identitas seksualitas homoseksual di awal usia
remaja yang dideskripsikan oleh Hirokazu Koreeda lewat film �Monster�.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan mengetahui tanda dan makna yang
menjadi representasi identitas seksualitas homoseksual pada awal usia remaja
dengan menggunakan analisis Semiotika oleh C.S Peirce yang mengenalkan teori
segitiga makna atau triangle meaning. Film ini
dipilih sebagai tema penelitian karena menarik untuk melihat bagaimana pengalaman
kesadaran seksualitas lewat kacamata Mugino Minato yang merupakan siswa sekolah
dasar kelas 5 yang memiliki ketertarikan pada sekelasnya, Hoshikawa Yori. Yang
menjadi daya tarik bagi film Monster adalah bagaimana kesadaran Minato terhadap
ketertarikannya kepada Yori lewat empat perspektif yang berbeda, dimana empat
perspektif tersebut perlahan memberikan deskripsi secara bertahap apa yang
dirasakan oleh remaja terhadap seksualitasnya (Minato dan Yori), rasa cemas
yang dialami oleh ibu dari Minato (Mugino Saori), guru yang sadar akan
pengalaman kesadaran seksualitas dan menerima apa yang dialami oleh Minato dan
Yori (Michitosi Hori), dan by-standers dari lingkungan homofobia disekeliling
Minato dan Yori (Makiko Fushimi). Dalam film ini juga memberikan penggambaran
bagaimana bentuk lingkungan homofobia yang datang dari ayahnya Yori (Hoshikawa
Kiyotaka) dan dari teman kelas Minato dan Yori.
Seksualitas
merupakan diskusi yang masih tabu untuk dibawa ke permukaan. Penelitian yang
dilakukan oleh Zakiyah et al. (2016) menyebutkan bagaimana pendidikan
seksualitas masih menjadi pembicaraan yang dianggap sebagai topik porno dalam
keluarga (Zakiyah et al., 2016).
Walaupun keluarga menjadi tiang utama untuk sumber pengetahuan dan memberi
perlindungan untuk menyaring informasi untuk anak, tetapi banyak orang tua yang
masih enggan untuk mendiskusikan apa itu seksualitas dan merasa tidak nyaman
jika topik seksualitas muncul dalam pembicaraan, entah seksualitas tersebut
adalah heteroseksual atau homoseksual. Hal ini berakhir dengan orang tua yang
menolak untuk mengenal dan menyampaikan apa itu seksualitas dan ekspresi
gender, lalu meninggalkan pertanyaan untuk anak-anak terutama bagi mereka yang
berusia muda.
Seiring
berjalannya waktu, ilmu dan pendidikan tentang seksualitas tidak hanya
didapatkan lewat buku atau pendidikan formal (Sari et al., 2023;
Savitri & Kirnantoro, 2013).
Perkembangan media teknologi juga dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan
untuk mencari dan mendalami apa itu seksualitas dan edukasi seks. Media menurut
Li (2023) bermain peran yang cukup besar dalam edukasi seks, karena media
memberikan gambaran ekspresi yang tidak pernah dialami oleh individu yang
mengonsumsi media tersebut . Usia
dan masa-masa remaja menurut World Health Organization (WHO) (2018) merupakan
usia yang tepat untuk mendapatkan edukasi seks, karena remaja memiliki daya
serap yang tinggi jika dibandingkan dengan rentang usia lainnya (Organization, 2018). Remaja
memerlukan ilmu dan pendekatan pada edukasi seks dan seksualitas untuk
mengatasi norma sosial dan stigma mengenai seksualitas, identitas gender, dan
orientasi seksual dari individu maupun dari orang lain (Amanda & Adhari,
2024; Newton-Levinson et al., 2016). Ilmu
seksualitas tidak hanya diberikan lewat buku atau pendidikan formal, tetapi
juga dapat diberikan lewat informasi di internet, atau media seperti drama atau
film (Ratnawati et al.,
2014). Dalam penelitian ini, film menjadi salah satu
contoh bagaimana media dapat memberikan deskripsi dan contoh penyebab dari
kurangnya edukasi seks dan seksualitas yang menghasilkan lingkungan yang
memandang seksualitas sebagai stigma.
Film
menjadi salah satu cara untuk berkomunikasi dengan massa. Mengikuti dari
definisi yang diberikan oleh Effendy (1986), komunikasi massa merupakan
komunikasi yang ditujukan untuk komunikan dengan jumlah banyak dan dilakukan
secara serempak dengan menggunakan media massa modern seperti surat kabar
dengan sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada
umum dan film yang dipertujukan di gedung-gedung bioskop. Edgar-Hunt et al.
(2010) menjelaskan lewat bukunya yaitu �Basic Film Making: The Language of
Film� bahwa proses dalam pembuatan film merupakan cara untuk menceritakan suatu
fenomena lewat penggunaan gambar dan suara. Hasil dari pembuatan film yang
merupakan film itu sendiri, berisi cerita dan pesan tersirat dengan teknik
pengambilan gambar dan penggunaan audio yang dapat mendeskripsikan apa yang
ingin disampaikan kepada massa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa film
digunakan sebagai alat komunikasi dengan tujuan untuk menyampaikan pesan yang
ingin disampaikan kepada massa.
Penelitian
pada homoseksual, terutama homoseksualitas di awal usia remaja tidak banyak
dilakukan terutama di negara Asia karena seksualitas menjadi sesuatu hal yang
tabu (Xu & Zheng, 2015;
Yu et al., 2021).
Homoseksualitas di negara Asia masih dipandang sebagai sesuatu yang negative
karena kurangnya pengetahuan mereka akan seksualitas dan kesehatan seksual yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional dan konfusianisme. Jika dibandingkan dengan Indonesia yang masih
melihat homoseksual menjadi sesuatu hal yang negatif, Jepang jauh lebih
progresif, menerima, dan menyatakan adanya hak untuk Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender dan Queer (LGBTQ). Hal ini dibuktikan lewat adanya undang-undang di
beberapa kota di Jepang yang melarang untuk melakukan diskriminasi terhadap
seksualitas dan gender. Tetapi masih sulit bagi komunitas untuk diterima secara
sosial dan beberapa bentuk undang-undang yang dianggap masih kurang melindungi
komunitas LGBTQ. Lewat film Monster, walau dalam film tersebut tidak ada bagian
dimana menyentuh pada bagian politik dan undang-undang tentang perlindungan
LGBTQ, film ini mendeskripsikan bagaimana respon lingkungan terhadap komunitas
muda LGBTQ.
Dalam
penelitian ini, film �Monster� berhasil menyalurkan pesan bagaimana pengalaman
kesadaran seksualitas dapat menjadi sesuatu yang indah dan disaat yang
bersamaan menjadi pengalaman yang traumatis lewat pandangan seorang dua anak
kelas 5 SD yang berumur 10 tahun bernama Mugino Minato dan Hoshikawa Yori. Film
�Monster� merupakan salah satu karya dari Hirokazu Koreeda yang dirilis di
bulan Juni tahun 2023, tetapi baru saja menembus ke dunia sinema Indonesia dan
menjadi topik pembahasan di media sosial di awal tahun 2024. �Monster�
menghadirkan 4 sudut pandang yang berbeda dalam satu kejadian yang sama.
Ke-empat sudut pandang berbeda tersebut datang dari Saori Mugino yang merupakan
Ibu dari Mugino Minato, guru yang mengajar Minato bernama Michitoshi Hori,
Makiko Fushimi yaitu kepala sekolah dari sekolah dimana Minato belajar, dan
perspektif yang datang dari Mugino Minato sendiri bersama dengan temannya Yori
Hoshikawa.
Film ini
berlatar belakang pinggiran kota yang berada di Jepang dengan penggambaran
modern yang terlihat bagaimana penggunaan smartphone untuk siswa kelas 5 SD.
Mugino Minato merupakan anak tunggal yang tinggal bersama ibunya bernama Saori
Mugino. Suatu saat, Saori merasakan ada sesuatu hal yang aneh terjadi pada Minato.
Minato bersikap seolah-olah sedang menyembunyikan sesuatu dari Saori. Hal ini
berawal dari Saori yang menemukan sisa potongan rambut dalam jumlah banyak yang
berserakan dekat kamar mandi. Sisa potongan rambut tersebut dicurigai dimiliki
oleh Minato yang berusaha untuk memotong rambutnya sendiri tanpa bimbingan dari
Ibunya. Lalu sikap yang janggal perlahan semakin terus terjadi seperti bolos
sekolah dengan alasan sakit, Minato yang pulang dari sekolah dengan hanya
berbalut sepatu sebelah kanan, botol minum yang berisi tanah, dan Minato mulai
menanyakan pertanyaan yang terdengar janggal.
�If a
human gets a pig�s brain transplanted, is it a human or a pig?� � Minato Mugino
(Monster, 2023)
(Jika
manusia mendapatkan transplasi otak dari seekor babi, apakah manusia tersebut
masuk masuk kedalam kategori manusia atau sudah menjadi babi?)
Film ini
menceritakan satu kejadian yang sama dari empat perspektif yang berbeda, dimana
satu kejadian tersebut ternyata berdampak kepada tidak hanya Minato, tetapi
juga gurunya Hori Michitoshi, kepala sekolahnya Fushimi Makiko, dan temannya
Hoshikawa Yori. Tidak hanya itu, keempat perspektif tersebut memberikan kesan
yang sama, dimana penonton akan timbul pertanyaan, siapakah yang sebenarnya
disebut sebagai Monster? Istilah monster dalam film ini diambil dari film petak
umpet, dimana yang jaga dan yang harus mencari anggota yang bersembunyi disebut
sebagai �monster�. Setiap scene yang disajikan memiliki makna tersendiri, dan
tersirat beberapa emosi yang ingin disampaikan kepada penonton lewat kacamata
keempat karakter tersebut. Tidak hanya film ini memberikan gambaran bagaimana
pengalaman seksualitas dapat terjadi pada awal usia remaja, film ini
mengajarkan bentuk lingkungan pinggiran kota yang cenderung tidak mendapatkan
banyak pengetahuan tentang homoseksual yang menghasilkan lingkungan yang
mempunyai presepsi negatif terhadap homoseksual (homofobia). Lalu lewat
pengalaman Hoshikawa Yori, penonton dapat melihat bagaimana pengalaman
homofobia di usia remaja karena Yori cenderung memiliki lingkaran teman yang
lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki untuk terhindar dari ejekan teman
sekelasnya yang laki-laki, dan memiliki ayah yang abusive karena Yori yang
memiliki ketertarikan pada laki-laki.
Remafedi
(1985) menjelaskan bahwa masih sulit untuk menilai prevalensi preferensi
homoseksual di kalangan remaja, tetapi setidaknya sedikit dari kalangan remaja
tersebut pernah mengalami pengalaman homoseksual. Namun pengalaman homoseksual
yang dialami tidak serta merta mencerminkan preferensi seksual. Sekalipun
adanya penelitian tentang seksualitas pada awal usia remaja, penelitian
tersebut dilakukan pada mereka yang sudah memasuki usia dewasa tetapi sudah
menyadari seksualitasnya sejak awal usia remaja. Hal ini masih terbukti lewat
penelitian yang dilakukan oleh Alves et al (2016) yang melakukan penelitian
pada beberapa homoseksual yang sudah coming out di usia dewasa tentang
pengalaman homoseksualnya di awal usia remaja (Alves et al., 2016). Mereka
menemukan bahwa di masa kanak-kanak, sudah mulai timbul hasrat seksual dan rasa
ingin tahu terhadap individu dengan jenis kelamin sama. Perasaan ingin tahu dan
hasrat seksual tersebut perlahan berkembang dan di masa remaja, mereka paham
dan menyadari bahwa ia merupakan seorang homoseksual. Kebanyakan dari mereka
mengalami krisis identitas dari awal masa remaja sampai dewasa karena stigma
terhadap homoseksual dan bentuk diskriminasi yang mereka terima dari sosial.
Hal ini mengakibatkan pada kesehatan terutama pada kesehatan psikologis.
Homoseksual merasa kesulitan dalam menyadari dan menerima seksualitasnya dengan
cara yang lebih mulus tanpa terhindar dari bentuk diskriminasi sosial dan
kultur yang cenderung heteronormatif.
Penelitian
pernah dilakukan oleh Li et al. (2023) mendeskripsikan bagaimana media
menggambarkan karakteristik gay, lesbian, dan keseluruhan homoseksual (Fox & Ralston,
2016; Fried & Opree, 2023).
Spesifik untuk karakteristik gay, cenderung digambarkan dan terbagi menjadi dua
tipe; flamboyant (deskripsi cenderung seperti perempuan) dan nonseksual
(karakter yang cenderung biasa saja, seperti karakter laki-laki heteroseksual).
Karakter gay di media selalu diberikan sebagai karakter yang lucu dan hanya
digunakan sebagai supporting character. Tidak hanya itu, karakter gay juga
cenderung digambarkan tidak mempunyai plot percintaan dan digambarkan sebagai
seseorang yang selalu sendiri tanpa pasangan. Hal ini menjadi pengaruh pada
bagaimana khalayak mendapatkan presepsi homoseksual, spesifiknya gay, sebagai
individu yang persis seperti perempuan sehingga menciptakan stereotip terhadap
komunitas gay.
Dari
penelitian yang sudah dilakukan, peneliti dapat membandingkan dengan penelitian
yang sudah dilakukan dan apa yang akhirnya menjadi diskusi utama dalam
penelitian ini. Penggambaran karakter gay dalam film Monster berbeda dari apa
yang biasa digambarkan oleh media pada umumnya. Karakter gay dalam film Monster
digambarkan sebagai remaja yang kebingungan mencari jati diri dan sulit dalam
menerima seksualitasnya sebagai homoseksual. Walaupun ada beberapa tanda yang
masih menggambarkan bagaimana karakter homoseksual yang masih mengikuti
stereotype media lewat karakter Yori (rambut gondrong dan berteman dengan teman
perempuan ketimbang dengan laki-laki), tetapi adanya karakter Minato
menimbulkan karakter baru yang melawan bagaimana gambaran karakter gay pada
media mainstream. Menjadi hal yang menarik untuk diteliti bagaimana film
Monster memberikan gambaran baru pada karakter gay dengan adanya faktor umur
yang memengaruhi pengalaman sebagai homoseksual. Lalu menjadi menarik bagaimana
film Monster dapat masuk ke dalam box office Indonesia, walaupun dalam
deskripsi genre film ini, sudah disebutkan bahwa film ini mengandung unsur
LGBTQ. Lewat film Monster, gambaran tersebut diharapkan dapat memberikan
pandangan yang berbeda pada khalayak yang menyaksikan film Monster.
Tujuan
dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana bentuk tanda dan makna yang
menjadi representasi homoseksual di awal usia remaja. Penelitian ini juga
melihat bagaimana bentuk penerimaan dan penolakan terhadap homoseksual lewat
pelaku dan dari pengamat dalam film Monster. Peneliti melihat bahwa film ini
memberikan kesan yang berbeda terhadap pengalaman homofobia yang dialami oleh
karakter Minato dan Yori, karena pengaruh yang datang dari umur mereka yang
masuk kedalam kategori usia awal remaja. Bentuk pengalaman, diskriminasi dan
bentuk ekspresi gender dan seksualitas pada usia muda, berbeda dari mereka yang
mengalami kesadaran seksualitas di usia tua. Selain itu, film ini dapat menjadi
representasi homoseksual yang mengalami kesulitan dalam menerima
seksualitasnya, disertai dengan pengalaman yang dipengaruhi oleh faktor
interpersonal dan intrapersonal.
METODE
PENELITIAN
����������� Penelitian merupakan penelitian
kualitatif deskriptif, dengan menggunakan metode analisis semiotika oleh C.S
Peirce (1931) untuk menganalisis representasi homoseksual di usia remaja lewat
film �Monster� (Chen et al., 2020). Populasi
penelitian mencakup semua adegan dan dialog yang berkaitan dengan pengalaman
homoseksualitas remaja, sedangkan sampel diambil secara purposive dari
potongan-potongan adegan yang mewakili pengalaman karakter utama, Mugino Minato
dan Hoshikawa Yori, serta interaksi mereka dengan karakter lain seperti ibu
Minato dan guru mereka. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui analisis
konten film, di mana peneliti mengamati dan mencatat adegan serta dialog yang
mencerminkan tema homoseksualitas, termasuk interaksi antar karakter dan
konteks sosial. Analisis data dilakukan dengan pendekatan semiotika berdasarkan
teori segitiga makna C.S. Peirce, yang melibatkan identifikasi tanda, objek,
dan interpretant dalam adegan terpilih untuk memahami representasi
homoseksualitas. Hasil analisis ini diinterpretasikan untuk menggambarkan pengalaman
karakter dalam menghadapi identitas seksual mereka serta lingkungan sosial yang
ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian
ini melihat bagaimana representasi homoseksual pada usia remaja serta
pengalaman sebagai homoseksual lewat film Monster dengan mengambil potongan
dalam film disertai dengan dialog dan penggunaan suara dalam potongan film
tersebut. Pada bagian awal film, masih sulit untuk mendeskripsikan film ini
sebagai genre thriller karena diawali dengan adanya langkah kaki anak-anak di
tengah rumput, dan kebakaran pada gedung yang terdapat bar dan tempat
prostitusi yang diarungi dengan musik klasik dentuman piano yang lembut. Saori
(ibu dari Minato) melihat kebakaran tersebut dan mengajak Minato untuk
menyaksikan kebakaran dari teras apartemennya. Tetapi disaat tersebut, Minato
melemparkan pertanyaan yang mengherankan bagi Saori (pada Gambar 2). Tentu hal
ini menjadi pertanyaan bagi Saori karena pertanyaan tersebut tentu terdengar
aneh baginya. Saori bertanya siapa yang mengajari pertanyaan tersebut, Minato
menjawab ia tau pertanyaan itu dari gurunya, Hori. Lalu Saori mengatakan bahwa
guru belakangan ini mengajarkan hal-hal aneh, dan memberikan jawaban dari
pertanyaan Minato �That�s not a human being (itu bukan manusia).� (pada Gambar
3).
Gambar 2. Saori
dan Minato berbincang sambil menyaksikan kebakaran
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar 3. Jawaban
dari Saori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Tidak
lama, penonton diajak menyaksikan perubahan yang terjadi pada Minato yang
seakan Minato sedang menyembunyikan sesuatu dari Saori. Minato terlihat sehabis
memotong rambutnya sendiri dan datang dari sekolah hanya dengan satu pasang
sepatu di hari ulang tahun mendiang ayahnya. Tidak hanya itu, Minato mencari
alasan sakit agar tidak masuk sekolah, dan terdapat kotoran tanah di dalam
tempat minumnya. Yang akhirnya menjadi titik baliknya adalah Minato mulai
pulang malam sembari membawa sepeda di tengah hutan. Sebagai seorang ibu, tentu
Saori merasa khawatir dan membawa Minato pulang ke rumah. Tetapi Saori masih
berusaha untuk mencairkan suasana dan tidak berusaha untuk memarahi atau
memojokki Minato yang terus terlihat murung. Minato juga mulai mempertanyakan
diri dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi seperti ayahnya. Tiba-tiba,
Minato melemparkan dirinya ke jalan dengan membuka pintu mobil yang sedang
mereka kendarai. Perjalanan ini berakhir menjadi perjalanan menuju rumah sakit
(pada Gambar 4). Minato terlihat merasa ketakutan selama proses CT Scan.
Ketakutannya tidak lama terkuak setelah Saori berusaha menggali apa yang Minato
rasakan dan ia menyatakan bahwa dirinya merasa berubah menjadi manusia dengan
otak babi, yang dicurigai pengaruh dari gurunya, Hori (pada Gambar 5).
Sikap-sikap yang dialami oleh Minato ini yang akhirnya menjadi deskripsi
pengalaman homoseksual pada remaja dimana ia mulai mempertanyakan dirinya dan
Saori sebagai ibunya tidak mengerti apa yang Minato rasakan.
Gambar 4. Minato
menjatuhkan diri dari mobil
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar 5. Minato
menyatakan otaknya telah berganti menjadi otak babi
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
1.
Kebingungan Remaja dalam Menemukan Identitas
Seksual
Terdapat
empat perspektif untuk memahami apa yang dirasakan oleh Minato akan perasaannya
terhadap Yori, yang juga mendeskripsikan bagaimana kebingungan Minato dalam
menemukan identitas seksualnya. Datang dari perspektif Minato di bagian akhir
film, terlihat bagaimana alasan mengapa Minato memotong rambutnya karena ia
menghindari terkena �penyakit� yang disebut oleh Yori sebagai �penyakit otak
babi�. Pada bagian ini juga diperlihatkan bagaimana Yori menunjukkan afeksinya
dengan membelai rambut Minato. Penonton dapat melihat bagaimana Minato membeku
saat ia berusaha mengambil snack yang jatuh, disaat yang bersamaan saat Yori
menyentuh rambutnya, seolah-olah menunjukkan betapa ia berusaha menolak untuk
menyukai aksi tersebut (pada Gambar 6). Tidak ada background music yang
dialunkan, dengan tujuan agar penonton dapat merasakan rasa ketegangan yang
Minato alami saat Yori menunjukkan afeksinya pada Minato. Aksi yang ditunjukkan
oleh Minato memberikan tanda bahwa Minato masuk ke dalam tahap penolakan atas
afeksi yang diberikan oleh Yori yang juga sesama laki-laki. Rasa penolakan ini
dicampur dengan rasa takut untuk menerima apa yang sebenarnya ia rasakan. Rasa
penolakan ini dapat menjadi ancaman untuk kebutuhan psikologis.
Gambar 6.
Pengalaman Seksualitas Minato
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Pengakuan
identitas seksualitas menjadi salah satu tahap yang paling penting bagi
kesejahteraan individu LGBTQ (Garr-Schultz & Gardner, 2021). Swann (2011) menuliskan dalam teori
self-verification bahwa pandangan diri harus dikonfirmasi oleh orang lain untuk
mempertahankan persepsi diri seseorang tetap stabil dan dunia sosial dapat
diprediksi. Yang artinya, verifikasi diri juga membutuhkan konfirmasi dari
orang lain agar mereka tidak merasa bingung dengan identitas yang mereka miliki
yang mempunyai pengaruh pada bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam sisi
positif. Dalam kasus ini, Minato tidak punya orang lain yang dapat
mengonfirmasi atas perasaannya yang juga Minato merasa bingung akan
perasaannya, sehingga Minato memilih untuk menolak. Sayangnya, kasus seperti
ini sering dialami oleh mereka yang merasa kesulitan dalam menerima
seksualitasnya. Adegan ini ditutup dengan Minato meminta Yori untuk tidak
mengajaknya berbicara saat di dalam kelas, menunjukkan bagaimana Minato tidak
ingin terlihat bersama dengan Yori oleh siapapun (pada Gambar 7).
Gambar 7.
Penolakan Minato terhadap Yori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
2.
Perjuangan Berkelanjutan Melawan Bullying Siswa
LGBT di Jepang
Kebingungan
Minato berlanjut saat melihat Yori yang terus mengalami bullying dari teman
sekelasnya. Tidak hanya mengalamin bullying, Yori juga mengalami kekerasan
seksual secara verbal karena teman sekelasnya yang terus mengejek Yori yang
terlihat seperti perempuan dan mengajak Yori untuk berciuman dengan salah satu
teman sekelasnya dengan mendeskripsikan kalau bibir temannya terasa lembut jika
dicium (pada Gambar 8). Minato merasa iba pada Yori dan merasa perlu untuk
mengajak berbicara secara empat mata. Ia menemukan Yori sedang menyelamatkan
kucing yang terperangkap di dalam got. Sayangnya, Yori tidak dapat
menyelamatkan kucing tersebut, tetapi Minato menjadikan kesempatan ini untuk
meminta maaf. Yori memiliki karakter yang selalu tersenyum dan selalu mengubah
obrolan yang sifatnya negatif menjadi positif, sehingga hal ini mempermudah
Minato untuk meminta maaf kepada Yori dan Yori mengubah pembicaraan tersebut
menjadi pembicaraan layaknya anak seumur mereka.
Bullying
sangat disayangkan menjadi salah satu pengalaman yang sering dialami terutama
siswa LGBTQ. Knight & Bochenek (2017) melakukan penelitian pada pemuda dan
pakar pendidikan LGBT untuk menyoroti kebijakan sekolah dalam melindungi siswa
LGBTQ dari bullying, terutama Jepang menjadi salah satu negara dengan masalah
bullying yang cukup serius. Bullying pada siswa LGBT di Jepang disebabkan
karena kurangnya pendidikan seks dan kebungkaman mereka akan topik LGBTQ. WHO,
lewat penelitian yang dilakukan oleh Li et. al (2023), mengatakan bahwa
pentingnya bagi siswa di awal usia remaja untuk mendapatkan pendidikan dan
edukasi seks. Dapat terlihat pada Gambar 8, menjadi dampak dari siswa yang
kurang mendapatkan edukasi seks dan seksualitas sehingga timbulnya pandangan
negatif terhadap homoseksual.
Gambar 8.
Pengalaman Pelecehan Seksual Yori Didasari Homofobia
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
3.
Closet: Tempat Aman bagi Remaja LGBTQ
Closet
menjadi salah satu metafora yang sering digunakan oleh komunitas LGBTQ. Closet
dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai �lemari�, memiliki arti lain yang
dimana diambil dari politik gay era pembebasan di pertengahan tahun 1960, yang
berarti tempat untuk menyimpan sesuatu yang bersifat rahasia (Scott, 2018). Lewat adegan pada Gambar 9, terlihat Yori
mengajak Minato ke suatu tempat di dalam hutan yang cukup jauh dari pusat kota.
Tempat tersebut merupakan bagian dari peron kereta api yang terbengkalai, yang
dimana menjadi tempat Yori untuk bermain selama ini. Peneliti
menginterpretasikan tempat tersebut sebagai closet bagi Yori dan Minato. Hal
ini dikarenakan pada bagian film, terlihat Yori dan Minato dapat bermain dengan
bebas dan berkreasi dengan ruang yang mereka miliki tanpa rasa takut dihakimi
oleh orang lain. Peron terbengkalai tersebut menjadi safe space bagi Yori dan
Minato untuk menjadi diri sendiri. Di dalam tempat itu juga Yori menunjukkan
afeksinya yang lebih dengan membagi bekal makanannya, mengajak bermain,
menghias tempatnya menjadi tempat yang nyaman bagi keduanya (pada Gambar 10),
dan berbicara hal yang Yori inginkan.
Selama
adegan tersebut ditunjukkan, dentuman piano tidak terdengar tegang atau
menakutkan, memberikan deskripsi bagaimana Minato juga merasa senang diajak ke
dalam peron kereta api tersebut. Hal ini seakan menunjukkan bagaimana Minato
juga ikut nyaman saat diajak Yori ke dalam closet-nya. Penempatan peron kereta
api yang berada di tengah hutan juga memberikan deskripsi bagaimana homoseksual
yang belum pernah mengalami coming out merasa bahwa menjadi homoseksual
merupakan hal yang sifatnya tercela atau sesuatu hal yang harus dikubur dan
disembunyikan. Selama Minato dan Yori bermain di dalam tempatnya pun hanya
terdengar suara dentuman piano yang memberikan kesan bahagia dan youthful bagi
anak-anak seumur mereka.
Gambar 9. Yori
mengajak Minato ke dalam �Closet�-nya
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar 10. Hiasan
di dalam �Closet� Yoridan Minato
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Peneliti
melihat bagaimana Minato dan Yori ingin menunjukkan rasa nyamannya akan satu
sama lain kepada orang lain saat mereka berdua sedang mengerjakan tugas
sekolahnya untuk membuat puisi. Pada Gambar 11, terlihat Yori menggunakan cara
dengan menjadikan setiap suku kata di dalam nama mereka menjadi awalan cerita.
Yori menggunakan cara ini untuk menunjukkan bahwa Minato dan Yori memiliki
hubungan yang erat dan menginspirasikan Yori dalam mengerjakan tugas puisinya.
Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu gestur yang romantis tetapi bersifat
subtle karena mereka tidak dapat menunjukkan kasih sayangnya agar terhindar
dari celaan teman-temannya dengan berbasis homofobia.
Gambar 11. Tugas
Yori dengan menggunakan suku kata dari nama lengkap Minato dan Yori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
4.
Coming Out
Seiring
berjalannya waktu, perasaan Minato terhadap Yori semakin berkembang. Hal ini
ditunjukkan lewat bagaimana saat Yori terluka karena tidak sengaja terdorong
oleh Minato, Minato terlihat sangat khawatir dan merasa bersalah akan
perilakunya. Yori tidak berhenti menenangkan Minato dengan terus berkata bahwa
Minato tidak bersalah. Pada saat itu juga Yori menyatakan kalau kemungkinan ia
akan pindah ke sekolah baru atas permintaan ayahnya. Awalnya Minato mengatakan
kalau ayahnya Yori sengaja memindahkannya ke sekolah baru karena ingin membuang
Yori jauh darinya. Yori tahu akan hal tersebut, karena ayahnya Yori merupakan
seseorang yang abusive dan mengetahui bahwa Yori berbeda dari anak lainnya,
yang dalam konteks ini adalah seorang homoseksual. Minato merasa bersalah
kembali karena mengeluarkan gurauan yang tidak senonoh. Lalu Minato meminta
Yori agar ia tidak pergi darinya (pada Gambar 12). Adegan ini menjadi tanda
bahwa Minato memiliki perasaan terhadap Yori. Penonton dapat melihat chemistry
yang terbentuk antar keduanya lewat permohonan Minato agar Yori tidak pergi
darinya.� Sayangnya, Minato masih
diselimuti oleh rasa takut, sehingga pada saat Yori memeluknya, Minato
mendorongnya dan pergi dari tempat tersebut (pada Gambar 13).
Rasa
bersalah terus menyelimuti sembari Minato yang masih merasa bahwa perasaannya
terhadap Yori tidak lagi bentuk kasih sayang sebagai teman. Adegan ini menjadi
penghubung atas kejadian dimana Minato menjatuhkan diri sendiri dari mobil saat
ibunya sedang menjemputnya di dari tengah hutan. Ternyata, alasan mengapa
Minato menjatuhkan diri sendiri dari mobil adalah Yori yang menghubunginya
lewat telepon dan Minato ingin segera menghampirinya untuk minta maaf. Ucapan
Minato kepada Saori tentang bagaimana ia tidak bisa menjadi ayahnya, karena rasa
bersalahnya yang didasarin oleh rasa sukanya pada Yori. Minato minta maaf
kepada ibunya karena ia tidak bisa menyukai perempuan seperti ayahnya menyukai
ibunya. Adegan ini kembali dibawa pada saat Minato mendapatkan CT Scan dari
rumah sakit. Minato merasa takut pada saat menerima CT Scan karena ia
menganggap bahwa mesin CT Scan dapat memperlihatkan apa yang ia pikir dan
rasakan terhadap Yori, walaupun faktanya CT Scan tersebut hanya ingin
menunjukkan kalau tidak ada luka di dalam kepala Minato. Seperti yang sudah
ditunjukkan pada bagian Saori, Minato mengatakan bahwa ia sudah memiliki otak
babi di dalam tubuh manusia, karena ia menyukai Hiro. Adegan dimana Minato
mengaku memiliki otak babi di dalam tubuh manusia menjadi satu momen ironis
jika dilihat bahwa ini menjadi satu-satunya cara Minato untuk coming out kepada
ibunya.
Gambar 12. Permintaan Minato agar Yori tidak
pergi
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar 13.
Penolakan Minato terhadap Yori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Coming
out menjadi moment berharga bagi LGBTQ karena pada tahap tersebut dimana
individu LGBTQ berkomitmen kepada dirinya sendiri dan orang lain sebagai
homoseksual. Proses coming out terutama pada remaja menjadi panah dua arah
karena dapat berdampak positif karena ada self-acceptance akan seksualitas, dan
menjadi sesuatu yang melegakan. Tetapi dapat berbalik arah karena lingkungan
yang tidak mendukung, diskriminasi dan muncul sebagai stigma buruk untuk remaja
LGBTQ (Sahoo et al., 2023). Penelitian yang dilakukan oleh Sahoo et. al
(2023) menemukan bahwa individu LGBTQ yang melakukan coming out di masa remaja
mengalami proses coming out yang kompleks. Remaja LGBTQ juga cenderung lebih
nyaman melakukan coming out di media sosial ketimbang kepada lingkungan atau
keluarga di dunia nyata karena lingkungan mereka yang masih bersifat
konservatif. Hal ini disebabkan karena ia merasa bahwa media sosial menciptakan
lingkungan yang lebih aman dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Proses
coming out memperlukan waktu dan lokasi yang tepat. Lewat adegan ini, Minato
tidak mengerti apa yang dialaminya. Tetapi satu hal yang yakin adalah
perasaannya terhadap Yori sehingga rasa takutnya mendorong Minato untuk �coming
out� dengan cara yang lebih �aman� dengan menyebutkan dirinya bahwa otaknya
telah ditukar dengan otak babi.
5.
Peran Lingkungan untuk Remaja LGBTQ
Keempat
perspektif yang dari Hori (guru sekolah Yori dan Minato), Saori (ibu dari
Minato), Fushimi (kepala sekolah), dan Minato sendiri yang akhirnya
menceritakan bahwa monster yang dimaksud adalah peranan lingkungan untuk remaja
LGBTQ yang mengalami krisis identitas seksualitas. Lewat kacamata Hori, ia
melihat bahwa memungkinkan bagi remaja untuk mengalami krisis identitas
seksualitas setelah melihat kertas puisi yang ditulis oleh Yori. Ia menyadari
bahwa untuk menyadari bahwa seseorang sedang merasa kesulitan dalam menerima
seksualitasnya, diperlukan beberapa kebohongan untuk melindungi diri sendiri
dari lingkungan konservatif. Salah satunya adalah Hori yang terkena kasus
kekerasan terhadap siswa karena dianggap ia yang mencela Minato dan Yori dengan
kata-kata �otak babi�. Pada Gambar 14, Hori menghampiri rumah Minato dan
berteriak �tidak ada yang salah denganmu!� di tengah hujan badai untuk
membuktikan bahwa tidak apa-apa menyukai sesama jenis. Guru Hori mengambil
peran sebagai lingkungan yang menerima keberadaan LGBTQ.
Gambar 14.
Penerimaan Seksualitas lewat Adegan Guru Yori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Lewat
kacamata Minato, terdapat satu adegan dimana Minato menghampiri Yori secara
tergesa-gesa di rumahnya setelah perlahan menyadari perasaannya terhadap Yori.
Suatu ketika, Yori dan ayahnya menyambutnya di depan pintu dan menyatakan bahwa
ia sudah sembuh dari �penyakitnya�. Yori mengatakan kalau ia sudah kembali
�normal� dan ayahnya berkata kalau Yori sedang menyukai perempuan yang tinggal
di dekat rumah neneknya. Minato membalas kalau Yori akan selalu normal, tetapi
Yori dan ayahnya tidak menggubris ucapan Minato. Minato melangkah keluar dengan
kesedihan yang tidak lama disambut oleh Yori yang keluar dari pintu lalu
berkata kalau ia berbohong. Tidak lama ayahnya muncul dari dalam rumah, menarik
Yori kembali ke dalam dan menyiksa Yori karena tidak menuruti apa kata ayahnya.
Tidak hanya itu, tingkah laku ayahnya yang abusive ditunjukkan pada adegan
dimana guru Hori datang ke kediaman Yori dan bertemu ayahnya. Ia mengatakan
bahwa Yori memiliki otak babi (pada Gambar 15).
Kekerasan
terhadap remaja LGBTQ di dalam lingkungan keluarga menjadi salah satu kasus
yang besar tertapi bersifat tertutup. Kekerasan ini sering terjadi dibalik
pintu tertutup, sehingga tidak banyak disorot oleh media. Kekerasan dalam
bentuk fisik dan verbal menempati posisi ke-3 dan ke-4 dari Abusive behaviours
experienced from family members berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Galop (2022). Dampak dari kekerasan tersebut mengakibatkan kesehatan mental
individu, merusak hubungan keluarga, dan dapat merusak kemampuan dalam
membentuk hubungan dengan orang lain. Ketiga hal tersebut terlihat pada Yori
yang ternyata menjadi sebab dibalik kebakaran gedung yang ditunjukkan pada
adegan di awal film karena ingin mencegah ayahnya dari melakukan hal yang tidak
senonoh di dalam bar, dan melihat bagaimana Yori mengatakan kepada dirinya
sendiri bahwa ia memiliki penyakit otak babi yang datang dari ucapan ayahnya
sendiri. Lewat film Monster, ayah dari Yori merepresentasikan monster yang
sebenarnya merupakan representasi dari tindakan homofobia dan penolakan atas
eksistensi LGBTQ dengan cara yang keras dan kasar yang sayangnya cukup umum
terjadi.
Gambar 15. Ucapan
Homofobia dari Ayah Yori
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Gambar 16. Fushimi
berbicara dengan Minato
Sumber: Dokumen Pribadi Penulis
Fushimi
merepresentasikan mereka yang ignorant terhadap LGBTQ. Mereka cenderung tidak
peduli akan adanya eksistensi LGBTQ selama itu tidak memengaruhi kehidupannya
tetapi yang sayangnya, mereka masih memiliki pandangan negatif terhadap LGBTQ.
Penelitian yang dilakukan oleh Yokota (2023) melihat kenyamanan mereka terhadap
LGBTQ dan sikap homofobia . Ia
menyebutkan bahwa banyak yang masih merasa kurang nyaman dan memiliki pandangan
cenderung negatif terhadap LGBTQ . Tetapi
mereka masih merangkul teman akrab atau sebayanya yang juga merupakan bagian
dari LGBTQ. Mereka akan merasa nyaman dan memandang hanya sebagai teman, dengan
mengecualikan seksualitas mereka. Penelitian ini digambarkan pada adegan dimana
Minato menceritakan tentang rasa sukanya dengan seseorang tanpa Fushimi
mengetahui bahwa seseorang tersebut adalah Fushimi. Minato menyatakan bahwa ia
berbohong sehingga menyebabkan guru Hori dipecat. Tetapi yang Fushimi lakukan
adalah mengatakan bahwa kebahagiaan seharusnya dapat dimiliki semua orang. Jika
hanya beberapa orang saja yang dapat memilikinya, maka hal itu bukan
kebahagiaan (pada Gambar 16). Fushimi yang sadar akan keresahannya Minato,
meminta Minato untuk mengeluarkan keresahannya lewat meniup trompet
sekencang-kencangnya.
KESIMPULAN
Alves, M. J. H., Parente, J. S., & Albuquerque, G. A.
(2016). Homosexual orientation in childhood and adolescence: experiences of
concealment and prejudice. Reprodu��o & Climat�rio, 31(2),
68�75. https://doi.org/10.1016/j.recli.2016.03.002
Amanda, C., & Adhari, A. (2024). Pentingnya Pendidikan
Seksualitas dalam Mencegah Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Ranah
Research: Journal of Multidisciplinary Research and Development, 7(1),
677�686. https://doi.org/10.38035/rrj.v7i1.1303
Chen, D., Song, F., Tang, L., Zhang, H., Shao, J., Qiu, R.,
Wang, X., & Ye, Z. (2020). Quarantine experience of close contacts of
COVID-19 patients in China: A qualitative descriptive study. General
Hospital Psychiatry, 66, 81�88.
https://doi.org/10.1016/j.genhosppsych.2020.07.006
Fox, J., & Ralston, R. (2016). Queer identity online:
Informal learning and teaching experiences of LGBTQ individuals on social
media. Computers in Human Behavior, 65, 635�642.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.06.009
Fried, M., & Opree, S. J. (2023). Advertising has come
out: Viewers� perception of the portrayal of lesbian, gay, and transgender
characters in advertising. Poetics, 96, 101761.
https://doi.org/10.1016/j.poetic.2023.101761
Garr-Schultz, A., & Gardner, W. (2021). �It�s just a
phase�: Identity denial experiences, self-concept clarity, and emotional
well-being in bisexual individuals. Self and Identity, 20(4),
528�544. https://doi.org/10.1080/15298868.2019.1625435
Newton-Levinson, A., Leichliter, J. S., & Chandra-Mouli,
V. (2016). Sexually transmitted infection services for adolescents and youth in
low-and middle-income countries: perceived and experienced barriers to
accessing care. Journal of Adolescent Health, 59(1), 7�16. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2016.03.014
Organization, W. H. (2018). WHO recommendations on
adolescent sexual and reproductive health and rights.
Ratnawati, D., Nursasi, A. Y., & Permatasari, H. (2014).
Pengalaman remaja sebagai pendidik sebaya dalam pencegahan perilaku seks bebas
di wilayah Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Jurnal Keperawatan
Widya Gantari Indonesia, 1. https://doi.org/10.52020/jkwgi.v1i0.839
Sahoo, S., Venkatesan, V., & Chakravarty, R. (2023).
�Coming out�/self-disclosure in LGBTQ+ adolescents and youth: International and
Indian scenario-A narrative review of published studies in the last decade
(2012-2022). Indian Journal of Psychiatry, 65(10), 1012�1024.
https://doi.org/10.4103/indianjpsychiatry.indianjpsychiatry_486_23
Sari, A. K., Meinarisa, M., & Mekeama, L. (2023).
Hubungan Literasi Informasi Kesehatan Reproduksi terhadap Tingkat Pengetahuan
dan Sikap Kesehatan Reproduksi Remaja SMP di Kota Jambi. Jurnal Ners, 7(2),
1641�1651. https://doi.org/10.31004/jn.v7i2.16489
Savitri, D., & Kirnantoro, K. (2013). Pemberian
pendidikan kesehatan reproduksi berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
tentang seks bebas pada remaja kelas X dan XI 2 di SMK Muhammadiyah II Bantul. JNKI
(Jurnal Ners Dan Kebidanan Indonesia)(Indonesian Journal of Nursing and
Midwifery), 1(1), 23�28.
https://doi.org/10.21927/jnki.2013.1(1).23-28
Scott, D. T. (2018). �Coming out of the closet��examining a
metaphor. Annals of the International Communication Association, 42(3),
145�154. https://doi.org/10.1080/23808985.2018.1474374
Xu, Y., & Zheng, Y. (2015). Prevalence of childhood
sexual abuse among lesbian, gay, and bisexual people: A meta-analysis. Journal
of Child Sexual Abuse, 24(3), 315�331.
https://doi.org/10.1080/10538712.2015.1006746
Yu, C., K�gesten, A. E., De Meyer, S., Moreau, C., van
Reeuwijk, M., & Lou, C. (2021). Pornography use and perceived gender norms
among young adolescents in urban poor environments: A cross-site study. Journal
of Adolescent Health, 69(1), S31�S38. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2021.03.008
Zakiyah, R., Prabandari, Y. S., & Triratnawati, A.
(2016). Tabu, hambatan budaya pendidikan seksualitas dini pada anak di Kota
Dumai. Berita Kedokteran Masyarakat, 32(9), 323�330.
|
� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |