Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Desember 2024, 4 (12), 1234-1241

p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534

 

 

������������������������������������������������ Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index

 

Perlindungan Dan Kepastian Hukum Debitur Terhadap Pengalihan Piutang (Cessie) Dalam Praktek Perbankan Di Indonesia

 

Ayu Tresna Waty1, Dewi Iryani2, Hartana3

Universitas Bung Karno, Indonesia1

[email protected]1[email protected]2, [email protected]3

 

Abstract

Bank sebagai penunjang perekonomian negara sekaligus merupakan sarana keuangan penting bagi masyarakat. Bank merupakan industri jasa yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat dan merupakan badan atau lembaga keuangan yang tugas utamanya menghimpun uang dari pihak ketiga sebagai perantara untuk menyalurkan permintaan dan penawaran kredit. Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kredit salah satunya adalah kredit macet. Kredit bermasalah adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruhnya kewajibannya kepada bank seperti yang telah dijanjikannya. Solusi yang seringkali diterapkan bank sebagai kreditur untuk mengatasi kredit macet adalah melakukan pengalihan tagihan (cessie ) terhadap fasilitas kredit. Metode penelitian yang digunakan yaitu normatif, sifat penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analitis, jenis data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder, analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, serta pengambilan kesimpulan dilakukan dengan logika deduktif. Perlindungan debitur atas pengalihan hak tagih (cessie) ini harus dilakukan dimana debitur wajib diberitahu atas cessie dan adanya jaminan bahwa hak-hak debitur dalam perjanjian kredit sebelumnya tetap didapatkan oleh debitur tersebut. Serta dari segi debitur sebagai konsumen perbankan juga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk menolak bila terdapat klausul yang merugikan dan tidak sesuai dengan klausul awal serta hak untuk mengajukan keberatan apabila debitur merasa dirugikan oleh tindakan pengalihan piutang tersebut.

 

Keywords: Perjanjian Kredit, Pengalihan Piutang (Cessie), Perlindungan Hukum

Abstrak

Banks support the country's economy and are also an important financial means for society. Banks are a service industry that provides services to the public and are financial bodies or institutions whose main task is to collect money from third parties as intermediaries to channel demand and supply of credit. One of the problems that occur in the implementation of credit is bad credit. Problematic credit is a situation where a customer is unable to pay part or all of his obligations to the bank as promised. The solution that is often applied by banks as creditors to overcome bad credit is to transfer claims (cessie) to credit facilities. The research method used is normative, the nature of the research used is analytical descriptive, the type of data used is primary and secondary data, data analysis is carried out descriptively qualitative and quantitative, and conclusions are drawn using deductive logic. Debtor protection regarding the transfer of claim rights (cessie) must be carried out where the debtor must be notified of the cessie and there is a guarantee that the debtor's rights in the previous credit agreement are still obtained by the debtor. And from the debtor's point of view as a banking consumer, they also have the right to obtain information, the right to object if there is a clause that is detrimental and not in accordance with the initial clause and the right to submit an objection if the debtor feels disadvantaged by the act of transferring the receivables.

 

Keywords: Credit Agreement, Transfer of Receivables (Cessie), Legal Protection.

������������������������������������������������������������������������������������������� �������������������*Correspondence Author: Ayu Tresna Waty

Email: [email protected]


 

INTRODUCTION

Dalam era globalisasi dan digitalisasi, dunia perbankan menghadapi tantangan yang kompleks, termasuk pengelolaan risiko kredit dan mekanisme penyelesaian utang. Salah satu mekanisme yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah kredit macet adalah pengalihan piutang atau cessie. Secara global, cessie menjadi isu penting dalam hukum perbankan karena memberikan alternatif bagi bank untuk memitigasi risiko kredit. Dalam konteks Indonesia, pengalihan piutang ini sering kali menimbulkan berbagai permasalahan hukum, terutama terkait perlindungan debitur dan kepastian hukum. Perlindungan konsumen di sektor keuangan menjadi salah satu prioritas dalam peraturan, sebagaimana diatur dalam POJK No.6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Keuangan.

Isu spesifik yang muncul dari pengalihan piutang melalui cessie adalah kurangnya pemberitahuan kepada debitur, yang menyebabkan potensi pelanggaran hak-hak debitur. Hal ini ditekankan oleh Hamler, (2022) yang menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap debitur sering kali terabaikan dalam pengalihan piutang tanpa pemberitahuan. Dalam konteks global, praktik ini menimbulkan pertanyaan terkait standar perlindungan konsumen, sebagaimana diuraikan oleh Ahmad M & Sutarman Y, (2023) yang menyoroti pentingnya prinsip keadilan dalam perlindungan konsumen.

Urgensi penelitian ini terletak pada kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan bank sebagai kreditur dan hak-hak debitur. Dalam tinjauan pustaka, Hermansyah, (2009) menjelaskan bahwa pengalihan piutang melalui cessie merupakan instrumen penting dalam hukum perbankan nasional, tetapi pelaksanaannya sering kali menyisakan celah hukum. (J.Satrio. C. 1999) menegaskan bahwa cessie harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan transparansi agar tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat, terutama debitur.

Sebagai pembaruan dari penelitian sebelumnya, studi ini akan memfokuskan pada analisis perlindungan hukum debitur dalam praktik cessie yang diterapkan di perbankan Indonesia berdasarkan kerangka hukum terkini, termasuk Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998 dan Peraturan Bank Indonesia No.3 Tahun 2023. Studi ini juga mengacu pada tinjauan empiris mengenai kasus-kasus pengalihan piutang yang telah menimbulkan sengketa hukum, seperti yang dibahas oleh Rani Apriani, (2022) dan (Muhammad I, 2019).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi langkah-langkah hukum yang dapat memberikan perlindungan optimal kepada debitur serta memastikan kepastian hukum dalam pengalihan piutang melalui cessie. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis dan teoretis dalam memperbaiki sistem hukum perbankan di Indonesia.

Secara global, pengalihan piutang telah lama menjadi bagian dari praktik bisnis dan perbankan. Di berbagai negara, cessie diatur dengan ketat untuk melindungi kepentingan debitur dan kreditur. Namun, praktik ini sering kali menjadi tantangan ketika hak debitur diabaikan dalam proses pengalihan. Miru, (2019) menyoroti bahwa perlindungan konsumen, termasuk debitur, menjadi isu global yang harus diintegrasikan dalam regulasi keuangan untuk mencegah ketidakadilan.

Dalam konteks hukum perbankan internasional, pengalihan piutang sering kali melibatkan aspek lintas batas yang kompleks. Hermansyah, (2009) menjelaskan bahwa meskipun cessie memberikan fleksibilitas kepada bank dalam pengelolaan aset, proses ini harus dilakukan dengan transparansi untuk mencegah konflik hukum. Dalam praktik perbankan Indonesia, pengalihan piutang sering kali dilakukan tanpa pemberitahuan kepada debitur, yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi debitur. Hal ini sejalan dengan temuan Hamler, (2022) yang menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap debitur sering kali diabaikan.

Di Indonesia, cessie diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan berbagai peraturan perbankan. Namun, praktiknya sering kali menimbulkan permasalahan hukum, terutama terkait hak-hak debitur. (Dadang H, 2016) menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam praktik cessie di Indonesia adalah kurangnya transparansi dan pemberitahuan kepada debitur. Akibatnya, debitur sering kali tidak menyadari bahwa piutangnya telah dialihkan kepada pihak ketiga.

Menurut (Rida H, 2020), pengalihan piutang secara cessie sering kali digunakan sebagai alternatif penyelesaian kredit macet. Namun, kurangnya pengaturan yang jelas mengenai kewajiban pemberitahuan kepada debitur membuat proses ini rentan terhadap sengketa hukum. Dalam beberapa kasus, debitur merasa dirugikan karena tidak diberi kesempatan untuk memberikan persetujuan atau mengetahui pihak baru yang akan menagih piutang.

Urgensi penelitian ini adalah untuk mengatasi celah hukum dalam pengalihan piutang melalui cessie di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh (Philipus M, 1987), perlindungan hukum bagi rakyat, termasuk debitur, harus menjadi prioritas utama dalam sistem hukum. Dalam konteks cessie, perlindungan hukum ini mencakup hak debitur untuk diberitahu tentang pengalihan piutang dan kepastian mengenai pihak yang berwenang menagih utang.

Menurut Suharnoko (2012), praktik cessie yang tidak transparan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas regulasi yang ada, seperti POJK No.6/POJK.07/2022, dalam memberikan perlindungan hukum kepada debitur. Selain itu, studi ini akan mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat diambil oleh bank untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian dalam pengalihan piutang.

Tinjauan pustaka ini mengacu pada berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian. J. Satrio (1999; 2012) memberikan penjelasan mendalam mengenai konsep cessie dan implikasinya dalam hukum perdata. Menurut Satrio, cessie adalah bentuk pengalihan hak yang membutuhkan pemberitahuan kepada debitur agar sah secara hukum. Hal ini sejalan dengan pandangan (I Ketut, 2019), yang menekankan pentingnya kepastian hukum dalam proses pengalihan hak atas tanah dan hak tanggungan.

Dalam konteks perbankan, Hermansyah (2009) menjelaskan bahwa cessie merupakan instrumen penting dalam pengelolaan aset bank. Namun, praktik ini harus dilakukan dengan memperhatikan hak-hak debitur untuk mencegah potensi sengketa. Pandangan ini diperkuat oleh (Peter M, 2011), yang menyatakan bahwa penelitian hukum harus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah hukum yang timbul dari pengalihan piutang.

Sebagai pembaruan dari penelitian sebelumnya, studi ini akan mengintegrasikan pendekatan empiris dan normatif untuk mengevaluasi efektivitas regulasi terkini dalam memberikan perlindungan kepada debitur. Misalnya, penelitian ini akan menganalisis kasus-kasus terbaru yang melibatkan pengalihan piutang melalui cessie, seperti yang dibahas oleh Rina M, (2021) dan Dian P, (2021). Selain itu, penelitian ini akan mengeksplorasi peran teknologi dalam meningkatkan transparansi proses cessie, seperti penggunaan sistem digital untuk pemberitahuan kepada debitur.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi langkah-langkah hukum yang dapat memberikan perlindungan optimal kepada debitur dalam pengalihan piutang melalui cessie. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk Mengevaluasi efektivitas regulasi yang ada, seperti POJK No.6/POJK.07/2022, dalam melindungi hak-hak debitur. Menganalisis implikasi hukum dari praktik pengalihan piutang tanpa pemberitahuan kepada debitur. Memberikan rekomendasi praktis bagi bank dan regulator untuk meningkatkan kepastian hukum dalam pengalihan piutang.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berfokus pada studi pustaka yang menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan, literatur, dokumen hukum, dan teori-teori hukum yang relevan dengan pengalihan piutang (cessie) dalam praktik perbankan di Indonesia. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dan mengevaluasi kerangka hukum yang berlaku, seperti yang diatur dalam KUH Perdata, Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, dan POJK No. 6 Tahun 2022.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Mengkaji peraturan hukum yang mengatur pengalihan piutang (cessie), seperti Pasal 613 KUH Perdata, POJK No. 6 Tahun 2022, dan peraturan perbankan lainnya. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), Menganalisis konsep-konsep hukum yang relevan, seperti perlindungan hukum debitur dan kepastian hukum dalam pengalihan piutang. Pendekatan Kasus (Case Approach), Menggunakan studi kasus dari sengketa hukum terkait cessie yang telah diputuskan di pengadilan untuk memahami implikasi hukum dari praktik tersebut.

Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh peraturan perundang-undangan, literatur, dan dokumen hukum yang relevan dengan topik pengalihan piutang (cessie). Sampel penelitian dipilih berdasarkan kriteria relevansi dengan fokus studi, yaitu dokumen hukum yang menjelaskan tentang: Proses dan prosedur pengalihan piutang melalui cessie. Perlindungan hukum terhadap debitur dalam praktik perbankan. Sengketa hukum yang timbul dari pengalihan piutang. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui: Studi Literatur, Mengacu pada literatur seperti karya Ahmad Miru & Sutarman Yodo (2023) dan Dadang Husen Sobana (2016), yang membahas perlindungan konsumen dan hukum perbankan. Studi Dokumen, Menggunakan dokumen peraturan seperti KUH Perdata, POJK No. 6 Tahun 2022, dan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998. Analisis Kasus, Mengkaji putusan pengadilan terkait sengketa cessie, seperti yang diuraikan dalam jurnal-jurnal hukum yang relevan.

Data dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yang melibatkan langkah-langkah berikut: Identifikasi, Mengidentifikasi aturan hukum dan literatur yang relevan. Interpretasi, Menafsirkan ketentuan hukum berdasarkan teori dan konsep yang ada. Evaluasi, Mengevaluasi efektivitas regulasi dalam memberikan perlindungan kepada debitur. Kesimpulan, Menarik kesimpulan berdasarkan logika deduktif untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dengan menggunakan metode ini, penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman hukum terkait pengalihan piutang melalui cessie serta mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi debitur.

�������� �HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Pengaturan Hukum Mengenai� Pengalihan Piutang Secara Cessie Dalam Praktek Perbankan Di Indonesia

Piutang / tagihan yang merupakan objek dalam cessie adalah jenis tagihan atas nama yang berarti tagihan-tagihan dimana krediturnya adalah orang tertentu. Kredit adalah persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dalam praktek perbankan, piutang/tagihan secara umum digunakan untuk hal-hal sebagai berikut: a. Piutang/tagihan sebagai jaminan kredit bank, b. Piutang/tagihan sebagai objek pembiayaan kredit, c. Piutang yang telah dialihkan (cessie) sebagai jaminan kredit bank, d. Piutang/tagihan yang timbul dari pemberian kredit dialihkan (cessie)� sebagai alternatif penyelesaian kredit macet.

Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pada piutang/tagihan yang dialihkan (cessie) sebagai alternative penyelesaian kredit macet. Pada perjanjian kredit yang mengatur terkait pengalihan piutang, dalam hal ini bank selaku kreditur dapat mengalihkan piutangnya yang timbul berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur kepada pihak ketiga yang telah ditetapkan oleh pihak kreditur dan hak-hak atas jaminan kredit kepada pihak lain yang ditetapkan sendiri setiap saat apabila dibutuhkan oleh bank. Dengan demikian terkait dengan pengalihan piutang yang dilakukan secara cessie apabila diperjanjikan dalam perjanjian kredit yang telah dibuat oleh bank selaku kreditur, dalam hal ini mengikat debitur apabila perjanjian kredit telah disetujui dan ditandatangani oleh debitur. Pengalihan piutang secara cessie dapat terjadi di dunia perbankan. Penyaluran fasilitas kredit yang dirasa tidak efektif atau kebijakan internal bank untuk melakukan restrukturisasi di dalam kegiatan perkreditannya, atau pertimbangan lain untuk mengalihkan piutangnya dengan jalan menjual piutang kreditnya itu kepada pihak ketiga. Namun selain alasan-alasan tersebut, ada beberapa alasan lain yang dapat membuat Bank melakukan penjualan atau pengalihan atas piutangnya, alasan-alasan tersebut adalah :

a.       Bank bermaksud untuk meningkatkan Capital Adequacy Ratio (CAR).

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang sangat mempengaruhi kemampuan Bank di dalam menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang perbankan. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank sangat memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi besaran CAR yang dimilikinya, maka demi meningkatkan rasio kecukupan modalnya, bank akan menjual piutang yang dianggapnya memiliki bobot resiko yang tinggi dengan tujuan untuk mengurangi resiko aset tidak lancar pada neraca bank.

b.       Bank hendak meningkatkan rasio profitabilitasnya

c.       Salah satu ukuran dari profitabilitas suatu bank adalah besarnya rasio dari keuntungannya dibanding dengan aset bank, yang disebut dengan istilah Return On Asset ( ROA ).

d.       Pemberian fasilitas kredit yang dilakukan oleh Bank telah melampai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi debitur yang bersangkutan.

e.       Bank mengalami kekurangan likuiditas akibat dari terlalu besarnya loan portofolio (portepel kredit) bank.

f.        Bank menilai berdasarkan pertimbangan resiko bahwa loan portofolio di sector industry tertentu atau di wilayah ytertentu terlalu besar, sehingga bank bermaksud untuk menguranginya.

g.       Bank bermaksud untuk melakukan restrukturisasi terhadap loan portofolionya.

 

Dari uraian diatas, maka terdapat pokok-pokok hal yang menjadi perhatian dalam pengaturan pengalihan piutang (cessie) dalam praktek perbankan di Indonesia yakni terkait pengaturan pengalihan piutang (cessie) telah� diatur namun kurang spesifik dalam Undang-Undang KUH Perdata maupun� ketentuan hukum perbankan dalam hal ini POJK No.6 tahun 2022 pasal 34 pasal 1 yakni �Dalam hal penyedia usaha jasa keuangan (PUJK) melaksanakan pengalihan hak tagih kepada pihak lain berdasarkan perjanjian kredit atau pembiayaan dengan konsumen, PUJK wajib memenuhi tata cara pengalihan hak tagih kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan�. Pada pasal ini tidak memberikan kriteria atas piutang/tagihan yang kondisi apa yang boleh dilakukan pengalihan piutang (cessie) oleh penyedia usaha jasa keuangan (PUJK). Sehingga memungkinkan pihak PUJK dapat melakukan cessie tersebut dengan semena-mena yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen dalam hal ini debitur.

Dengan aturan yang kurang spesifik penyelesaian piutang secara cessie ini secara tegas dan adil maka menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat,� Hal ini tidak sesuai dengan asas Pancasila terutama sila kelima �Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia�,�� serta pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan filosofis bagi sistem ekonomi Indonesia. Pasal ini menekankan pada pentingnya kesejahteraan bersama, keadilan, dan peran aktif negara dalam mengatur perekonomian. Dimana salah tujuan besarnya yakni mencapai kesejahteraan umum melalui pengaturan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Serta tidak sesuai dengan teori perlindungan hukum dimana salah satu tujuan dari perlindungan hukum yakni memperkuat kestabilan sosial dengan� hukum berperan penting dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan dalam masyarakat. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari� perbuatan� sewenang-wenang� oleh� penguasa� yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk�� menikmati�� martabatnya�� sebagai manusia.�

Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang lebih tegas dan spesifik untuk mengatur praktik cessie dalam hal menetapkan kriteria dari piutang/tagihan yang dapat dilakukan pengalihan (cessie), termasuk batasan-batasan mengenai cara penagihan, perlindungan data pribadi, dan maupun transparansi informasi.

Terkait perjanjian kredit yang mengikat antara kreditur dan debitur harus dengan jelas memuat pasal tentang pengalihan piutang (cessie) beserta syarat-syarat yang mendasari pengalihan piutang tersebut, atas hal ini debitur dan kreditur harus saling sepakat secara tertulis, dan kedua belah pihak mendapatkan asli dari perjanjian kredit tersebut. Walaupun secara pengaturan hukum KUH Perdata pasal 613� tidak mengatur secara spesifik kriteria atas syarat pengalihan piutang tersebut. sehingga hal ini menimbulkan pelaksanaan yang multi tafsir dan dapat disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang merugikan salah satu pihak. Pihak Perbankan (kreditur) seharusnya dalam segala tindakannya mengacu pada pasal-pasal perjanjian kredit yang telah disepakati kedua belah pihak, dan menghindarkan melakukan upaya lain diluar kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan KUH Perdata pasal 1320 tentang syarat sahnya suatu perjanjian.

 

Analisa Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum Bagi Debitur Atas Pengalihan Piutang (Cessie).

Pada bagian� ini penulis� ingin meletakkan� dasar pemahaman� mengapa perlunya ada perlindungan dan kepastian hukum terhadap debitur terkait� pengalihan piutang� (cessie).

a.       Kepastian hukum terkait pihak-pihak yang berlibat dalam cessie

Pengalihan piutang atau cessie adalah suatu tindakan hukum di mana seorang kreditur (cedent) melimpahkan hak tagihnya terhadap seorang debitur (cessus) kepada pihak ketiga (cessionaris). Dasar hukum mengenai cessie di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 613 yang� berbunyi � Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu�.

Berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata, cessie bisa dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari debitur. Cessie cukup dilaksanakan oleh kreditur asal dan kreditur baru, dan cessie sudah selesai dengan ditanda-tanganinya akta cessie. Artinya hak milik atas tagihan atas nama diserahkan sudah pindah kepemilikannya dari kreditur asal kepada kreditur baru. Hal ini kontradiksi dengan dengan pasal 1320 KUH Perdata yakni Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya �sepakat mereka yang mengikatkan dirinya�. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa �semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya�. Dan dalam POJK No.6 tahun 2022 pasal 34 juga menyebutkan pengalihan hak tagih wajib termuat dalam perjanjian kredit atau pembiayaan dan diberitahukan kepada konsumen atau disetujui oleh konsumen.

Dalam teori kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, yang� menjelaskan tentang kepastian hukum� yang� mengkehendaki� adanya� upaya� pengaturan� hukum� dalam� perundang- undangan yang dibuat oleh para pihak yang berwenang.�� Sehingga aturan-aturan itu memiliki� aspek� yuridis� yang� dapat� menjamin� adanya� kepastian� hukum� yang berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Karenanya� dalam� hal� ini penulis� merasa pengaturan� hukum� di dalam permasalahan� perlindungan� hukum� terhadap debitur dalam hal pengalihan piutang (cessie)� kurang dapat� terlihat jelas� kepastian� hukumnya.

Menurut penulis, perlu ada� penambahan peraturan pelaksanaan terkait pengalihan piutang ini, dimana tidak hanya kewajiban para pihak menuangkan pengalihan piutang ini dalam perjanjian awal terbentuknya objek cessie yakni piutang/tagihan. Namun juga pada saat dilakukannya cessie juga sekaligus dilakukan novasi atas perjanjian kredit tersebut. Sehingga ada kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak terutama pihak debitur.

b.      Perlindungan hukum bagi debitur terkait pengalihan piutang (cessie).

Berdasarkan pasal 613 KUH Perdata, debitur hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif dalam tindakan pengalihan piutang (cessie).�� Dimana debitur hanya diberitahu akan proses cessie tersebut. Atas hal ini dapat menyebabkan adanya hak dan kewajiban yang diatur dalam perjanjian hutang piutang sebelumnya tidak dijamin dilaksanakan oleh kreditur baru (cessionaris), diantaranya:

1.       Perubahan Hubungan Hukum.

Dengan adanya kreditur baru, debitur harus berhadapan dengan kreditur baru yang mungkin memiliki kebijakan penagihan yang berbeda. Ini bisa menyebabkan perubahan dalam metode, frekuensi, dan tekanan penagihan. Dan debitur mungkin kesulitan mendapatkan informasi yang jelas mengenai pengalihan piutang ini, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

2.       Peningkatan Tekanan Penagihan.

Terhadap strategi penagihan agresif kreditur baru, seringkali menerapkan strategi penagihan yang lebih agresif untuk segera mendapatkan pembayaran, debitur mungkin dikenakan biaya tambahan seperti biaya administrasi atau biaya penagihan yang tidak terdapat pada perjanjian awal.

3.       Kerumitan dalam Negosiasi

Akibat perjanjian baru, debitur mungkin perlu melakukan negosiasi ulang mengenai syarat pembayaran dengan kreditur baru, yang bisa memakan waktu dan tenaga. Dan ada kemungkinan kehilangan kesepakatan, kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dengan kreditur lama mungkin tidak berlaku lagi dengan kreditur baru.

4.       Potensi Penyalahgunaan, Terkait informasi pribadi,� ada risiko penyalahgunaan informasi pribadi debitur oleh kreditur baru atau pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.

 

Maka atas hal ini pihak debitur harus juga melindungi kepentingan dengan cara antara lain meminta bukti cessie. Debitur berhak meminta bukti tertulis mengenai pengalihan piutang, seperti salinan akta cessie. Debitur harus memastikan identitas kreditur baru, memastikan bahwa pihak yang menagih utang adalah kreditur baru yang sah. Dan debitur diupayakan mencatat semua komunikasi, semua komunikasi dengan kreditur baru, baik lisan maupun tertulis, sebaiknya dicatat sebagai bukti bila terjadi ketidaksesuaian dalam proses selanjutnya.

Dalam segi regulasi meskipun dalam POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan telah mengatur hak-hak konsumen dalam hal pengalihan piutang, termasuk hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan persetujuan atas pengalihan tersebut.

Pasal 31 ayat (1)� tertera dalam hal terdapat perubahan ketentuan yang mempengaruhi perjanjian mengenai produk dan / atau layanan dari PUJK, PUJK wajib menginformasikan kepada Konsumen.�

Dalam pasal 34 dalam POJK Nomor 6/POJK.07/2022 telah mengatur proses pengalihan piutang khusus dalam praktek perbankan, yakni sebagai berikut:

1.       Dalam hal PUJK melaksanakan pengalihan hak tagih kepada pihak lain berdasarkan perjanjian kredit atau pembiayaan dengan konsumen, PUJK wajib memenuhi tata cara pengalihan hak tagih kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.       Pengalihan hak tagih kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: dimuat di dalam perjanjian kredit atau pembiayaan: dan diberitahukan kepada konsumen atau disetujui oleh Konsumen.

3.       PUJK wajib memastikan pengalihan hak tagih kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen.�

 

Pada POJK tersebut diatas tertera dengan jelas PUJK wajib memastikan bahwa pengalihan cessie ini tidak merugikan konsumen, namun sejauh mana PUJK memastikan hal tersebut tidak tertera batasannya (bias). Sedangkan dalam cessie� menurut KUH Perdata pasal 613 setelah peralihan semua hak dan kewajiban tidak melibatkan PUJK awal / kreditur lama lagi. Dan dalam praktek perbankan umumnya pihak kreditur lama/PUJK tidak melakukan intervensi dan tidak memastikan tidak ada kerugian konsumen atas cessie tersebut.

Akibatnya bila ternyata konsumen/debitur (cessus) mengalami kerugian dalam pengalihan piutang ini, pihak PUJK/Kreditur dapat melepaskan tanggung jawabnya dengan aturan yang masih bias batasannya tersebut.

Dengan adanya resiko-resiko diatas serta berdasarkan uraian kasus yang menjadi objek penelitian ini,� mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terkait pengalihan piutang dalam hal ini debitur. Dalam teori perlindungan hukum menurut Satjipto Rahardjo ini terinspirasi dari tujuan hukum yang dikemukakan Fitzgerald. Tujuan hukum menurut Fitzgerald adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai kepentingan tersebut.�� Dari konsep itu, Rahardjo mengartikan perlindungan hukum sebagai upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

 

KESIMPULAN

Pengalihan piutang (cessie) dalam praktik perbankan di Indonesia menghadapi tantangan terkait kepastian hukum dan perlindungan hak debitur. Pasal 613 KUH Perdata yang menjadi dasar hukum cessie masih kurang spesifik dalam melindungi debitur, sementara implementasi POJK No. 6 Tahun 2022 belum sepenuhnya efektif. Debitur sering kali tidak mendapatkan informasi yang cukup, menghadapi tekanan dari kreditur baru, dan mengalami kerugian akibat kurangnya transparansi.

Oleh karena itu, diperlukan revisi regulasi untuk menyelaraskan KUH Perdata dengan prinsip perlindungan konsumen, peningkatan pengawasan oleh OJK, serta edukasi kepada debitur agar lebih memahami hak-haknya. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan praktik pengalihan piutang yang lebih adil, transparan, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.

 

������� REFERENSI

Ahmad Miru & Sutarman Yodo. (2023). Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Raja Grafindo Persada.

Dadang Husen Sobana. (2016). Hukum Perbankan di Indonesia.

Dian Purnamasari. (2021). Kepastian Hukum Pengalihan Piutang (Cessie) dalam Permohonan Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jember, 5(2).

Hamler. (2022). Perlindungan Hukum Debitur dalam Pengalihan Piutang (Cessie) kepada Pihak Ketiga Tanpa Pemberitahuan kepada Debitur atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). JOEL: Journal of Educational and Language Research.

Hermansyah. (2009). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana.

I Ketut Oka Setawan. (2019). Hukum Pendaftaran Tanah & Hak Tanggungan. Sinar Grafika.

J.Satrio.  Cessie, S. N. (1999). Kompensatie & Pencampuran Hutang.

Miru, A. (2019). Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers.

Muhammad Iqbal. (2019). Kepastian Hukum terkait Pengalihan Piutang (Cessie) dalam Praktik Perbankan di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum Padjadjaran.

Peter Mahmud Marzuki. (2011). Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group.

Philipus M. Hadjon. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya.

Rani Apriani. (2022). Prosedur Pengalihan Cessie dalam Perspektif Hukum. Jurnal Bina Mulia Hukum.

Rida Hesti Ratnasari. (2020). Pengalihan Piutang secara Cessie sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Macet dalam Perbankan. Jurnal Rechts Vinding.

Rina Marlina. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Cessionaris dalam Pengalihan Piutang secara Cessie KPR Bersubsidi. Jurnal Pagaruyuang Law Journal.

Suharnoko. Doktrin, Subrogasi, Novasi dan Cessie. Bandung: Prenada Media/Kencana, 2012.

 

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).