Mushofa, Mahyudin
Barni
Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak |
Hati mempunyai
peran yang sangat penting
dalam diri manusia. Tidak hanya dari sudut kesehatan
fisik atau biologis melainkan juga dimensi spiritual dan moral. Bahkan
kemuliaan seseorang baik di sisi hamba atau Tuhan itu tergantung kondisi hatinya. Al-Qur�an dan Hadis sebagai
sumber otoritatif dalam Islam sangat banyak membicarakannya. Tulisan ini menggunakan studi literasi dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menggali dan menganalisis pemahaman tentang hati dalam Al-Qur�an dan Hadis,
serta perannya dalam membentuk karakter dan perilaku individu. Hasil kajian menunjukkan bahwa Al-Qur�an menekankan pentingnya menjaga hati dari kotoran dosa dan penyakit spiritual, serta mengisi hati dengan iman
dan taqwa. Hadis Nabi Muhammad SAW menyoroti bahwa hati berfungsi sebagai pusat kontrol tubuh; hati yang bersih akan memancarkan kebaikan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, pemahaman
yang mendalam tentang konsep hati dalam
Al-Qur�an dan Hadis sangat penting untuk membangun karakter yang baik dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam, menjadikan menjaga kebersihan hati sebagai kunci untuk mencapai kedekatan spiritual dengan
Allah. Kata kunci: Hati; Al-Qur�an; Hadis |
|
Abstract |
The heart has a
very important role in humans. Not only from a physical or biological health
perspective but also from a spiritual and moral dimension. Even a person's
glory, whether with the servant or God, depends on the condition of his
heart. The Koran and Hadith as authoritative sources in Islam talk a lot
about it. This paper uses literacy studies with a qualitative descriptive
approach to explore and analyze the understanding of the heart in the Qur'an
and Hadith, as well as its role in shaping individual character and behavior.
The results of the study show that the Qur'an emphasizes the importance of
protecting the heart from the impurities of sin and spiritual diseases, as
well as filling the heart with faith and piety. The hadith of the Prophet
Muhammad PBUH highlights that the heart functions as the control center of
the body; A clean heart will radiate goodness and bring a person closer to
Allah. Therefore, a deep understanding of the concept of the heart in the
Qur'an and Hadith is essential for building good character and behavior in
accordance with the teachings of Islam, making maintaining a clean heart the
key to achieving spiritual closeness with Allah. Keywords: Heart; Al-Qur'an; Hadith. |
*Correspondence
Author: Mushofa
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Hati,
dalam banyak tradisi dan sistem pemikiran, seringkali dianggap sebagai pusat dari
perasaan, pikiran, dan moralitas manusia (Imbir, 2016). Dalam
konteks Islam, hati memiliki makna yang mendalam dan luas yang tercermin dalam
ajaran al-Qur'an dan Hadis (Putra, 2016). Konsep
hati dalam perspektif al-Qur'an dan Hadis tidak hanya mencakup aspek fisik atau
biologis, tetapi juga melibatkan dimensi spiritual dan moral yang signifikan.
Bahkan al-Ghazali berpendapat bahwa kemuliaan dan keutamaan manusia
dibandingkan dengan makhluk-mahkluk lainnya adalah karena manusia memiliki hati
dan akal, yang dengan pertolongan Allah Swt. sehingga manusia bisa mengenal dan
mendapat Ilmu tentang Allah Swt, dan sifat-sifat-Nya (Lah et al., 2015).
Al-Qur'an,
sebagai wahyu ilahi yang menjadi panduan utama umat Islam, seringkali
menyebutkan hati dalam berbagai konteks, mulai dari deskripsi kondisi hati yang
bersih dan penuh iman, hingga hati yang keras dan tertutup dari petunjuk Allah
Saw (Emra et al., 2024;
Ridwan et al., 2021).
Seperti dalam Surah Al-Baqarah/2:74, Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ قَسَتْ
قُلُوْبُكُمْ
مِّنْۢ بَعْدِ
ذٰلِكَ فَهِيَ
كَالْحِجَارَةِ
اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً
ۗ
Artinya:
Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan
lebih keras.
Ayat ini
menggambarkan bagaimana hati yang tidak menerima petunjuk Allah Swt. akan
menjadi keras dan tidak peka terhadap kebenaran. Sehingga oleh Allah Swt.
diibaratkan seperti batu bahkan lebih keras daripada batu. Nabi Saw. juga
memposisikan hati sebagai pusat sipiritual dan moral manusia, artinya hati
menjadi kontrol perilaku seseorang. Sebagaimana sabdanya:
أَلَا وَإِنَّ
فِي الْجَسَدِ
مُضْغَةً إِذَا
صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ
فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلَا
وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya:
Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika daging itu baik,
maka baiklah seluruh tubuh, dan jika daging itu rusak, maka rusaklah seluruh
tubuh. Itulah hati.
Dalam
konteks ini, hati dianggap sebagai pusat spiritual yang memengaruhi sikap dan
perilaku seseorang (Dahuri, 2023; Van
Cappellen et al., 2021).
Sebagai contoh, hati yang bersih dan penuh dengan iman akan mendorong perilaku
yang baik, sedangkan hati yang keras dan tercemar bisa mengarah pada tindakan
yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun masyarakat (Faozi & Himmawan,
2023; Hadi, 2015; Suhartiningsih et al., 2021). Hadis
ini menegaskan betapa pentingnya kondisi hati dalam menentukan kualitas
keimanan dan tindakan seseorang.
Melihat
begitu pentingnya peran hati dalam diri kita, serta relevansi penelitian ini di
tengah perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini,
seperti materialisme, individualisme, dan krisis moral, tulisan sederhana ini
bertujuan untuk menggali dan menganalisis pemahaman tentang hati dalam
Al-Qur'an dan Hadis, serta bagaimana konsep ini berperan dalam membentuk
karakter dan perilaku seseorang. Dengan memahami ajaran-ajaran ini secara
mendalam, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang bagaimana
menjaga kebersihan hati dan menjadikannya sebagai pusat yang berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan ini, diharapkan kita dapat menerapkan
prinsip-prinsip tersebut dalam praktik kehidupan spiritual dan sosial kita.
METODE PENELITIAN
Penulisan� ini�
menggunakan metode� studi� kepustakaan dengan� pendekatan�
deskriptif� kualitatif�� berdasarkan beberapa kitab tafsir yang
bercorak tahlily� atau maudhu�i� dan kitab-kitab hadis serta penemuan� terbaru�
di bidangnya (Lestari et al., 2021).
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari kitab-kitab tafsir yang bercorak
tahlili dan maudhu�i, serta kitab-kitab hadis yang relevan. Sampel diambil dari
beberapa kitab tafsir dan hadis yang dianggap otoritatif dan berpengaruh dalam
studi tentang hati, termasuk Mu�jam al-fadzi al-Qur�an. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah purposive sampling, di mana penulis memilih sumber-sumber
yang dianggap paling relevan dan representatif untuk penelitian ini. Kriteria
penelitian mencakup kitab tafsir yang diakui oleh ulama sebagai rujukan dalam
studi Islam, hadis yang sahih dan diterima dalam tradisi Islam, serta sumber
yang membahas tentang hati dengan mendalam dalam konteks spiritual dan moral.
Data dianalisis menggunakan teknik analisis konten, di mana penulis
mengkategorikan dan menganalisis ayat-ayat serta hadis yang berkaitan dengan
hati, serta membandingkan pandangan dari berbagai pakar untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif mengenai konsep hati dalam Al-Qur'an dan Hadis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi Hati
Dalam KBBI kata �hati� mempunyai
banyak varian arti tergatung digunakan untuk dan dikaitkan dengan apa kata tersebut. Jika dilihat dari organ tubuh dan fungsinya maka di dalam KBBI �hati� diartikan organ badan yang berwarna
kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga
perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.� Jika dikaitkan dengan fungsi non jasmani (psikis) �hati� diartikan sesuatu yang ada di dalam tubuh
manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya).
Al-Ghazali dalah Ihy��
Ul�mi al-D�n secara khusus membahas
tentang keajaiban hati ini. Ia
menyebutkan bahwa qalb ini memiliki
dua makna. Makna pertama, qalb diartikan sepotong daging atau segumpal darah
yang terletak di dalam dada
sebelah kiri yang lazim disebut hati.� Namun dalam penelusuran penulis qalb ini
juga terkadang dimaknai jantung, dimana organ tubuh yang dibagian dalamnya terdapat rongga yang berisi darah merah kehitam-hitaman
dan merupakan sumber ruh atau kehidupan.
Makna kedua, qalb adalah jiwa
yaitu sesuatu yang imaterial (bukan materi) atau lath�fah
(elemen dasar).�
Jika melihat penjelasan
Al-Ghazali tersebut maka terlihat bahwa qalb itu secara
fisik adalah organ tubuh manusia dengan
fungsi tertentu sesuai sunnatullah, hal ini bisa
dilihat dalam ilmu yang mempelajari anatomi tubuh manusia.
Kemudian qalb secara non fisik merupakann jiwa. Kemudian terlepas dari perbedaan makna qalb apakah
hati atau jantung yang jelas kedua organ tubuh ini sangat vital bagi kehidupan manusia. Namun dalam tulisan ini qalb yang dimaksud
mengarah pada hati.
Definisi Hati Perspektif
Al-Qur�an
Jika kita membaca terjemahan al-Qur�ān, maka akan ditemukan kata �hati� bertaburan di berbagai ayat. Menurut al-Qur�ān, hati adalah lokus dari
apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian
manusia. Hati bukan saja tumpuan pandangan
Tuhan, melainkan juga lokus
di mana Tuhan mengungkapkan Diri-Nya sendiri pada manusia. Kehadiran-Nya terasa di dalam hati, dan wahyu diturunkan ke dalam hati
para nabi.
Hati juga pusat pandangan,
pemahaman, dan dzikr serta tempatnya iman. Iman tumbuh dalam hati, juga berbagai kebaikan seperti kesucian, kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, kedamaian, cinta dan tobat (Georges, 2020). Jika Tuhan tidak menyucikan
hati, ia akan sakit, berdosa,
jahat, kasar, penuh kebencian, selalu cemas, dan seterusnya.
Namun demikian,
ketika kita benar-benar mencermati ayat-ayat tentang hati itu pada nas
Qur�ān itu sendiri.
Akan menjumpai banyak kosa kata �Arab untuk menyebut hati, yaitu shadr, qalb,
fu�ād, dan lubb. Semuanya diterjemahkan sebagai hati. Adakah
perbedaan antara shadr, qalb, fu�ād
dan lubb itu? Tentu ada, maka
disini penulis ingin mengkaji terlebih dahulu dari sisi makna
harfiyah dari konsep hati, serta
contoh ayat yang menggunakan term tersebut.
Makna Shadr (صَدْرٌ),
Qalb (قَلْبٌ), Fu�d (فُؤَادٌ),
dan Lubb (لُبٌّ)
Shadr (صَدْرٌ)
Diantara istilah untuk mengungkapkan
hati dalam Al-Qur�an yaitu kata shadr. Kata shadr sendiri dan pecahannya disebutkan dalam Al-Qur�an sebanyak 46 kali,
dengan perincian sebarannya sebagai berikut:
Tabel
1. (tabel ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam
Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an al-Karim)
No. |
Kata |
Jumlah |
Surah:Ayat |
1.
|
يَصْدُرُ |
1 |
Az-Zalzalah:6 |
2.
|
يُصْدِرَ |
1 |
Al-Qashas:23 |
3.
|
صَدْرًا |
1 |
An-Nahl:106 |
4.
|
صَدْرُكَ |
4 |
Al-A�raf:7, Hud: 12, Al-Hijr:97,
dan Al-Insyirah:1 |
5.
|
صَدْرَهُ |
3 |
Al-An�am:
125, Al-An�am:125, dan Az-Zumar: 22 |
6.
|
صَدْرِى |
2 |
Thaha:2 dan, As-Syu�ara:13 |
7.
|
الصُّدُوْرُ |
20 |
Ali Imran: 119,154, Al-Ma�idah:7,
Al-Anfal:43, At-Taubah:14, Yunus:57, Hud:5, Al-Hajj:46, Al-Ankabut:10,49,
Luqman:23, Fathir:38, Az-Zumar:7, Ghafir:19, As-Syura:24, Al-Hadid:6,
At-Taghabun:4, Al-Mulk:13, Al-Adiyat:10, An-Nas:5 |
8.
|
صُدُوْرِكُمْ |
4 |
Ali Imran:29, 154, Al-Isra�:51,
dan Ghafir:80 |
9.
|
صُدُوْرُهُمْ |
10 |
Ali Imran:118, An-Nisa�:90,
Al-A�raf:43, Hud:5, Al-Hijr:47, An-Naml:74, Al-Qashash:69, Ghafir:56,
Al-Hasyr:9 dan 13 |
Jumlah |
46 |
|
Kata shadr (صَدْرُ)
berasal dari bahasa Arab yaitu صَدَرَ- صَدْرًا� yang artinya terjadi, kembali, lahir,
memulai, mengirimkan, dan lain-lain, diartikan juga �ما بين
العنق والبطن�
yaitu sesuatu yang berada diantara leher dan perut (dada), juga bermakna al-fua
(hati).� Perbedaan makna pada kata shadr
itu tergantung penggunaannya. Seperti kata shadr bermakna dada, sebagaimana
firman Allah Swt. dalam Q.S. Ann�s/114:5:
الَّذِيْ
يُوَسْوِسُ فِيْ
صُدُوْرِ النَّاسِۙ
Artinya: yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia.
Kata shadr bermakna tempatnya
qalb (hati) yaitu dada, yang bekerja seperti akal yaitu memahami sesuatu.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hajj/22: 46
اَفَلَمْ
يَسِيْرُوْا فِى
الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ
يَّعْقِلُوْنَ
بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ
يَّسْمَعُوْنَ
بِهَاۚ فَاِنَّهَا
لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ
وَلٰكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوْبُ الَّتِيْ
فِى الصُّدُوْرِ
Artinya: Tidakkah mereka
berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat
mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati yang berada dalam dada.
Kata shadr bermakna hati yang
bekerja sebagai penerima kebenaran Islam dan caha ilmu pengetahuan. Sebagaimana
firman Allah Swt. dalam Q.S. Az-Zumar/:22
اَفَمَنْ
شَرَحَ اللّٰهُ
صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِ
فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ
مِّنْ رَّبِّهٖ
ۗفَوَيْلٌ لِّلْقٰسِيَةِ
قُلُوْبُهُمْ
مِّنْ ذِكْرِ اللّٰهِ
ۗ اُولٰۤىِٕكَ
فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: Maka, apakah orang yang
Allah bukakan hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu mendapat cahaya dari
Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka, celakalah mereka yang
hatinya membatu dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Ketiga ayat di atas kiranya
sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kata shadr dipakai dalam al-Qur�an untuk
mengungkapkan makna hati. Tentu nanti akan berbeda makna dan dimensi dengan
kata lain seperti qalb, fuad dan lubb yang sama-sama bermakna hati. Perbedaanya
nanti bisa dilihat pada dimensinya.
Qalb (قَلْبٌ)
Setelah kata shadr, konsep hati
di dalam Al-Qur�an dinyatakan dengan kata qalb. Kata qalb sendiri dan bentuk pecahannya
dalam Al-Qur�an disebut ��kali. Bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel
2. (tabel ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam
Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an al-Karim)
No. |
Kata |
Jumlah |
Surah:Ayat |
1.
|
قَلَّبُوا |
1 |
At-Taubah:48 |
2.
|
نُقَلِّبُ |
1 |
Al-An�am:110 |
3.
|
نُقَلِّبُهُمْ |
1 |
Al-Kahfi:18 |
4.
|
يُقَلِّبُ |
2 |
Al-Kahfi:42 dan An-Nur:44 |
5.
|
تُقَلَّبُ |
1 |
Al-Ahzab:66 |
6.
|
تَتَقَلَّبُ |
1 |
An-Nur:37 |
7.
|
اِنْقَلَبَ |
1 |
Al-Hajj:11 |
8.
|
اِنْقَلَبْتُمْ |
2 |
Ali Imran: 144 dan At-Taubah:95 |
9.
|
اِنْقَلَبُوا |
5 |
Ali Imran:74, Al-A�raf:119,
Yusuf:62, Al-Muthaffifin:31 dan Muthaffifin:31 |
10.
|
تَنْقَلِبُوا |
2 |
Ali-Imran:149 dan Al-Maidah:21 |
11.
|
يَنْقَلِبُ |
5 |
Al-Baqara:143, Ali Imran: 144,
Al-Fath: 12, Al-Mulk: 4, Al-Insyiqaq: 9 |
12.
|
يَنْقَلِبُوا |
1 |
Ali Imran: 127 |
13.
|
يَنْقَلِبُونَ |
1 |
As-Syu�ara:
227 |
14.
|
تَقَلُّبُ |
2 |
Al-Baqarah: 144, Ali Imran: 196 |
15.
|
تَقَلُّبَكَ |
1 |
As-Syu�ara:
219 |
16.
|
تَقَلُّبُهُمْ |
2 |
An-Nahl: 46 dan Ghafir: 4 |
17.
|
مُتَقَلَّبَكُمْ |
1 |
Muhammad: 19 |
18.
|
مُنْقَلِبُونَ |
3 |
Al-A�raf:
125, As-Syu�ara: 50, Az-Zukhruf:
14 |
19.
|
مُنْقَلَبِ |
1 |
As-Syu�ara:
227 |
20.
|
مُنْقَلَبًا |
1 |
Al-Kahfi:
36 |
21.
|
قَلْبٌ |
6 |
Ali Imran: 159, As-Syu�ara: 89, As-Shafat: 84, Ghafir:
35, Qaf: 33 dan 37 |
22.
|
قَلْبِكَ |
3 |
Al-Baqarah: 97, As-Syu�ara: 194, As-Syura: 24 |
23.
|
قَلْبُهُ |
8 |
Al-Baqarah: 204, 283, Al-Anfal:
24, Al-Nahl: 106, Al-Kahfi: 28, Al-Ahzab: 32,
Al-Jasiyah: 23, At-Taghabun: 11 |
24.
|
قَلْبِهَا |
1 |
Al-Qashash:10 |
25.
|
قَلْبِى |
1 |
Al-Baqarah: 260 |
26.
|
قَلْبَيْنِ |
1 |
Al-Ahzab: 4 |
27.
|
قُلُوْب |
21 |
Ali Imran: 151, Al-A�raf: 101, 179, Al-Anfal: 12, At-Taubah:
117, Yunus: 74, Ar-Ra�d: 28, Al-Hijr:
12, Al-Hajj: 32, 46, 46, An-Nur: 37, As-Syu�ara:
200, Ar-Rum: 59, Al-Ahzab: 10, Az-Zumar: 45, Ghafir: 18, Muhammad: 24, Al-Fath: 4, Al-Hadid: 27, An-Nazi�at: 8 |
28.
|
قُلُوْبُكُمَا |
1 |
At-Tahrim: 4 |
29.
|
قُلُوْبُكُمْ |
15 |
Al-Baqarah: 74, 225, Ali Imran:
103, 126, 154, Al-An�am: 46, Al-Anfal: 10, 11, 70,
Al-Ahzab: 5, 51, 53, Al-Fath: 12, Al-Hujurat: 7,
dan 14 |
30.
|
قُلُوْبُنَا |
6 |
Al-Baqarah: 88, Ali Imran: 8,
An-Nisa�: 155, Al-Maidah: 113, Fusshilat: 5, Al-Hasyr: 10 |
31.
|
قُلُوْبُهُمْ |
68 |
Al-Baqarah: 7, 10, 93, 118, Ali
Imran: 7, 156, 167, Ani-Nisa�: 63, Al-Ma�idah: 13,
41, 41, 52, Al-An�am: 25, 43, Al-A�raf: 100, Al-Anfal: 2, 49, 63, 63, At-Taubah: 8, 15, 45, 60, 64, 77, 87, 93, 110, 110, 125,
127, Yunus: 88, Ar-Ra�d: 28, An-Nahl: 22, 108,
Al-Isra�: 46, Al-Kahfi: 14, 57, Al-Anbiya�: 3, Al-Hajj: 35, 53, 53, 54, Al-Mu�minun: 60, 63,
An-Nur: 50, Al-Ahzab: 12, 26, 60, Saba�: 23, Az-Zumar: 22, 23, Muhammad: 16,
20, 29, Al-Fath: 11, 18, 26, Al-Hujurat: 3,
Al-Hadid: 16, 16, Al-Mujadalah: 22, Al-Hasyr: 2, 14, As-Shof: 5, Al-Munafiqun:
3, Al-Mudassir: 31, Al-Muthaffifin: 14 |
32.
|
قُلُوْبِهِنَّ |
1 |
Al-Ahzab: 53 |
Jumlah |
167 |
|
Kata qalb (قَلْبٌ)
berasal dari kata قَلَبَ � قَلْبًا
artinya merubah (bentuk, rupa dan lain-lain), membalikkan (menjadikan yang di
atas di bawah), menjadikan (yang di dalam di luar). Kata al-qalb (اْلقَلْبُ)
adalah bentuk masdar (infinitif) dari qalaba (قَلَبَ)
yang artinya hati, isi, lubuk hati, jantung dan inti.� Senada dengan makna ini, Al-Ashfih�n�
menyebutkan: �قلب الشيئ تصريفه
وصرفه عن وجه الى
وجه� artinya membalikkan sesuatu dan mengubahnya dari satu
wajah ke wajah lainnya.
Melihat pemaknaan di atas maka
kata qalb jika dilihat dari makna kerjanya adalah merubah, membalikkan,
menjadikan, sementara jika dilihat dari bentuk masdarnya bermakna hati dan
jantung. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kerja hati dan jantung manusia itu
sering mengalami perubahan, misalnya perubahasan perasaan senang menjadi susah,
begitu juga mengami pembalikan, misalnya setuju menjadi tidak setuju. Jika
dikaitkan dengan jantung maka juga terjadi perubahan detak jantung dari normal
menjadi tidak normal. Oleh karenanya, ketika hati belum mempunyai keputusan
inilah yang kemudian dinamakan keraguan (was-was). Maka diantara doa yang
sering dipanjatkan oleh Rasulullah Saw. adalah doa ketetapan hati sebagaimana
penjelasan Umi Salamah ketika ditanya oleh sahabat Syahr bin Hausyab:
يَا
أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ
مَا كَانَ أَكْثَرُ
دُعَاءِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا
كَانَ عِنْدَكِ,
قَالَتْ كَانَ
أَكْثَرُ دُعَائِهِ
يَا مُقَلِّبَ
الْقُلُوبِ ثَبِّتْ
قَلْبِي عَلَى
دِينِكَ
Artinya: Wahai Umma al-Mu�minin
�doa apa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah Saw. ketika berada
disampingmu?�, beliau menjawab: �doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah
Saw. adalah: �Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di
atas agama-Mu.�
Kata qalb (hati) diartikan sebagai
pengetahuan dan pemahaman sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Q�f/50:36-37
وَكَمْ
اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ
مِّنْ قَرْنٍ هُمْ
اَشَدُّ مِنْهُمْ
بَطْشًا فَنَقَّبُوْا
فِى الْبِلَادِۗ
هَلْ مِنْ مَّحِيْصٍ
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ
لَذِكْرٰى لِمَنْ
كَانَ لَهٗ قَلْبٌ
اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ
وَهُوَ شَهِيْدٌ
Artinya: Betapa banyak umat
sebelumnya (kaum kafir Quraisy) yang telah Kami binasakan! Mereka itu lebih
hebat kekuatannya daripada (kaum kafir Quraisy) itu, sehingga mampu menjelajah
(dan mengamati) beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (bagi mereka dari
kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia
menyaksikan.
Kata qalb (hati) diartikan akal
sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q,S. Al-Hajj/22: 46
اَفَلَمْ
يَسِيْرُوْا فِى
الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ
يَّعْقِلُوْنَ
بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ
يَّسْمَعُوْنَ
بِهَاۚ فَاِنَّهَا
لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ
وَلٰكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوْبُ الَّتِيْ
فِى الصُّدُوْرِ
Artinya: Tidakkah mereka
berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat
mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati yang berada dalam dada.
Kedua ayat di atas kiranya juga
sudah membuktikan bahwa kata qalb dipakai dalam al-Qur�an untuk menggambarkan
hati. Tentu nanti juga akan berbeda makna dan dimensi dengan kata lain seperti
fuad dan lubb yang sama-sama bermakna hati. Perbedaanya nanti bisa dilihat pada
dimensinya
Fuad (فؤاد)
Di dalam Al-Qur�an juga
ditemukan kata fuad dan pecahannya kata af-idah yang artinya hati. Allah Swt.
Menggunakan kata fuad ini untuk menggambarkan bahwa hati tidak mungkin bisa
bohong. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Najm/53:11 yang artinya: �Hatinya tidak
mendustakan apa yang telah dilihatnya�. Kata fuad dan pecahannya seperti kata
af-idah di dalam Al-Qur�an disebut 13 kali. Bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. (tabel
ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an
al-Karim)
No. |
Kata |
Jumlah |
Surah |
1.
|
الفُؤَادُ |
3 |
Al-Isra�:36, Al-Qashash:10,
An-Najm:11 |
2.
|
فُؤَادَكَ |
2 |
Hud:120, Al-Furqan: 32 |
3.
|
أَفْئِدَةٌ |
8 |
Al-An�am:
113, Ibrahim:37, An-Nahl:78, Al-Mu�minun:78, As-Sajdah:9, Al-Ahqaf:26,
Al-Mulk:23, Al-Humazah:7, Al-An�am:110, Ibrahim:43 dan Al-Ahqaf:26 |
Kata fuad (فؤاد)
berasal dari kata فَأَدَ � فَأدًا yang artinya mengenai (menimpa), misalnya berkata: اَصَابَ
فُؤَادَهُ� artinya
menimpa hatinya atau jantung. Secara
harfiah kata al-fuad artinya hati, akal
dan pikiran. Namun kata fuad ini lebih
kedalam, misal: مِنْ صَمِيْمِ
الْفُؤَادِ
artinya dari lubuk hati.� Al-Ashfih�n� menjelaskan kata al-Fu�d itu seperti al-qalb, tetapi disebut
fuad jika diartikan sebagai tafaud yaitu menyala.�
Kata fuad bermakna hati nurani, yang nanti akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Isra�/17:36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهٖ
عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ
كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ
كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Artinya: Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggungjawabannya.
Kata fuad bermakna hati juga disebutkan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Al-Qashash/28:10
وَاَصْبَحَ فُؤَادُ
اُمِّ مُوْسٰى فٰرِغًاۗ اِنْ كَادَتْ
لَتُبْدِيْ
بِهٖ لَوْلَآ
اَنْ رَّبَطْنَا
عَلٰى قَلْبِهَا
لِتَكُوْنَ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: Hati ibu Musa menjadi hampa� Sungguh, hampir saja dia
mengungkapkan (bahwa bayi itu adalah
anaknya), seandainya Kami tidak meneguhkan hatinya agar dia termasuk orang-orang yang beriman
(kepada janji Allah).
Contoh penggunaan
kata af�idah yang merupakan
pecahan dari kata fu�ad yang bermakna hati kecil. Sebagaimana
firman Allah dalam Q.S. Al-An�am/6: 113
وَلِتَصْغٰٓى اِلَيْهِ
اَفْـِٕدَةُ
الَّذِيْنَ
لَا يُؤْمِنُوْنَ
بِالْاٰخِرَةِ
وَلِيَرْضَوْهُ
وَلِيَقْتَرِفُوْا
مَا هُمْ
مُّقْتَرِفُوْنَ
Artinya: (Setan-setan itu saling membisikkan perkataan yang indah juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman pada akhirat tertarik pada bisikan itu serta
menyenanginya, dan agar mereka
melakukan apa yang biasa mereka (setan-setan
itu) lakukan.
Lubb (لُبٌّ)
Selanjutnya term hati yang juga dipakai di dalam Al-Qur�an adalah kata lubb, walaupun tidak secara spesifik
menggunakan kata lubb, melainkan lebih banyak menggunakan kata al-Alb�b. Kata lubb sendiri (لُبٌّ)
secara harfiah bisa bermakna inti, akal, dan hati.� Sementara penggunakan kata al-Alb�b di dalam Al-Qur�an selalu diawali dengan kata �lu, sehingga menjadi
�lu al-alb�b (orang yang berakal sempurna).
Di dalam Al-Aqur�an
kata al-Albab disebut sebanyak
16 kali, yaitu di dalam:
Q.S. Al-Baqarah: 179, 197, dan 269, Ali Imran: 7, dan 190, Al-Ma�idah: 100, Yusuf: 111, Ar-Ra�d:
19, Ibrahim: 52, Shad: 29 dan 43, Az-Zumar: 9, 18 dan 21, Ghafir:
54, At-Thalaq: 10.
Banyaknya istilah dalam Al-Qur�an yang merujuk pada satu makna itu juga merupakan keterbatasan ilmu manusia di dalam memahami kalam Tuhan. Bagaimanapun juga pemaknaan semacam ini tidak
boleh dipahami mutlak benar, karena
Al-Qur�an adalah firman
Tuhan tentu yang mengetahui
makna secara pasti adalah Tuhan sendiri. Manusia dengan keterbatasan pengetahuannya hanya mencoba menginterprestasikan dengan cara yang mendekati benar menurut ilmu manusia.
Oleh karenanya jika terjadi berbagai macam variasi pernafsiran
itu sangat dimaklumi.
Dimensi Hati Perspektif
Al-Qur�an
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam mengkaji
hati, setidaknya ada empat konsep
dalam Al-Qur�an untuk mendiskripsikan hati yaitu Shadr (صَدْرٌ),
Qalb (قَلْبٌ),
Fuad (فُؤَادٌ),
dan Lubb (لُبٌّ).
Tentu disini Allah Swt. mempunyai maksud yang tersembunyi mengapa term hati menggunakan empat konsep ini. Keempat
konsep hati ini jika dipahami
secara mendalam mempunyai dimensi yang berbeda, walaupun pada umumkan memiliki terjemahan yang sama yaitu hati. Oleh karenanya terkadang kita kesulitan memahami makna yang mendalam yang terdapat dalam Al-Qur�an yang tidak dapat ditangkap sepenuhnya hanya dengan membaca terjemah.
Hakim Attirmidzi (205-320 H) menjelaskan bahwa hati (kalbu) itu
merupakan lapisan semua batin manusia,
ada yang merupakan lapisan luar dan lapisan dalam. Ia mengibaratkan putih mata (shadr),
hitam mata (qalb), biji mata
(fu�d), dan cahaya di biji mata (lubb).
Masing-masing bagian mempunyai
hukum dan pengertian yang berbeda. Namun, semuanya saling membantu dan manfaatnya saling berkaitan.� Jadi, setiap dimensi hati mempunayi
cahaya sendiri.
Shadr
Shadr adalah lapisan
hati bagian luar (de Jong et al., 2017; Jushiddi et al., 2021). Ibarat rumah shadr adalah terasnya.
Ia tempat masuknya bisikan dan penyakit. Ibarat rumah, teras adalah tempat yang sering dan pertama terkena debu dan sampah. Apa yang masuk ke dalam shadr
jarang terasa. Ia tempat masuknya
rasa iri dengki, syahwat, angan-angan, dan berbagai keperluan. Kadangkala ia merasa
sempit dan longgar. Ia tempat berkuasanya
nafs al-ammarah bi al-su� (nafs yang selalu mengarah keburukan). Di dalamnya ada pintu masuk
bagi jiwa tersebut. Bisa dikatakan shadr ini pintu
masuknya pengetahuan. Shadr
ini tempat cahaya Islam, tempat menjaga pengetahuan yang di dengar dan dipelajari dengan cara belajar
dan mendengar.
Bukti kalau shadr adalah dimensi hati sebagai tempatnya
hidayah dan menerima keislaman yakni firman Allah Swt. Q.S. Al-An�am/6: 125.
فَمَنْ يُّرِدِ
اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ
يَشْرَحْ
صَدْرَهٗ
لِلْاِسْلَامِۚ
وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ
يَجْعَلْ
صَدْرَهٗ
ضَيِّقًا
حَرَجًا كَاَنَّمَا
يَصَّعَّدُ
فِى السَّمَاۤءِۗ
كَذٰلِكَ
يَجْعَلُ
اللّٰهُ الرِّجْسَ
عَلَى الَّذِيْنَ
لَا يُؤْمِنُوْنَ
Artinya: Maka, siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, Dia akan melapangkan
dadanya untuk menerima Islam. Siapa yang Dia kehendaki menjadi
sesat, Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak seakan-akan
dia sedang mendaki ke langit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
Al-Jilani (w. 561 H) menjelaskan bahwa yang dimaksud hidayah disini adalah tauhid (yakni mengesakan Allah Swt) dengan melapangkan dan meluaskan hatinya untuk pasrah kepada
apa yang telah ditetapkan Allah Swt. kepadanya.� Sementara As-Suyuti (w. 911 H) dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa masuknya hidayah keIslaman melewati dada seseorang yakni dengan cara Allah Swt menyinarkan nur hidayah ke
dalam dadanya, sehingga dengan sadar ia mau
menerima Islam dan mau membuka dadanya lebar-lebar untuk menerimanya.�
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami
bahwa shadr menjadi pintu masuknya
hidayah. Dan cahaya kebenaran Islam pada hakekatnya terdapat dalam hati. Oleh sebab itu, orang yang selalu berada dalam kebenaran
sebenarnya hatinya telah mendapatkan hidayah. Sebaliknya, orang yang hatinya kosong terhadap kebenaran Islam maka ia termasuk
orang yang sesat. Dengan demikian tempat hidayah dan keilmuan itu berada pada dimensi shadr.
Disamping shadr sebagai tempat
dimensi cahaya hidayah dan keilmuan, shadr juga sebagai tempat setan membisikkan
keraguan (was-was) kepada manusia, sebagaimana Allah Swt. dalam Q.S. Annas/114: 5-6. Terminologi lain yang digunakan
Allah Swt. untuk menggambarkan shadr yang negatif menggunakan istilah ad-dhayyiq/yadiqu yang artinya sempit, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. As-Syu�ara/26:13-14
قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يُّكَذِّبُوْنِ
ۗ وَيَضِيْقُ
صَدْرِيْ
وَلَا يَنْطَلِقُ
لِسَانِيْ
فَاَرْسِلْ
اِلٰى هٰرُوْنَ
Artinya: Dia (Musa) berkata, �Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku takut mereka akan
mendustakanku. Dadaku terasa sempit dan lidahku kelu. Maka, utuslah Harun (bersamaku).
Senada makna dengan ayat di atas, Allah Swt. juga berfirman dalam Q.S. Al-Hijr15:
�وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ
Artinya: Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan.
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa shadr termasuk dimensi hati yang bisa sempit juga bisa luas. Dalam kondisi bodoh shadr
manusia sempit. Dengan kata lain, seseorang yang shadr-nya sempit berarti tidak memiliki
ilmu pengetahuan dan tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mencari hidayah
Allah SWT. Dalam kondisi seperti
ini manusia akan masuk ke
dalam ruang kebatilan. Jika ruang kebatilan dipersempit maka ruang cahaya
dan ilmu atau kebenaran akan terbuka lebar. Maka disinilah manusia bisa memilih yang haqq dan mana yang bathil berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Maka dapat disimpulkan� bahwa
shadr adalah dimensi hati yang berfungsi sebagai pintu keislaman dan kekafiran.
Qalb
Qalb adalah lapisan kedua, ia berada
di dalam shadr. Menurut At-Tirmidzi qalb ini tempatnya
cahaya iman, cahaya khusus, takwa, cinta, rida,
yakin, takut, harap, sabar dan kanaah. Ia juga merupakan sumber-sumber pokok pengetahuan, ia ibarat sumber
mata air sementara shadr adalah telaganya.
Jadi ilmu pengetahuan keluar dari qalb
menuju shadr.� Qalb inilah yang menurut Rasulullah Saw. sebagai pengendali seluruh anggota tubuh. Jika qalb nya baik maka
baik pula seluruhnya, begitu sebaliknya. (lihat: penjelasan
hadis tentang qalb).
Sebagaimana dijelaskan di atas, makna qalb membalikkan,
mengganti, berubah-ubah,
dan berbolak-balik. Maka pada dimensi
inilah yang menyebabkan manusia itu bisa
berubah menjadi baik dan buruk. Disamping qalb merupakan dimensi hati sebagai pusat
bersemayamnya hidayah, iman dan wawasan kesadaran yang mendalam atau ilmu. Dimensi
ini memiliki sifat yang transenden atau tidak tampak
dengan mata. Dan salah satu kemampuan dimensi qalb yaitu
memahami tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Q.S.
Al-Hajj/22: 46
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا
فِى الْاَرْضِ
فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ
بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ
يَّسْمَعُوْنَ
بِهَاۚ فَاِنَّهَا
لَا تَعْمَى
الْاَبْصَارُ
وَلٰكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوْبُ
الَّتِيْ
فِى الصُّدُوْرِ
Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka
dapat memahami atau telinga mereka
dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.
Ayat di atas merupakan
teguran Allah Sawt. kepada
orang yang inkar dengan kebenaran. Fungsi hati dalam ayat
itu memahami (qulubun ya�qilun biha) tanda kekuasaan
dan kebenaran Allah SWT. Artinya
hati disini mempunyai daya atau kemampuan memahami atau berfikir.
Dan Allah Swt. tidak menunjuk ke organ tubuh lainnya. Oleh karenanya Allah Swt. menegaskan bahwa kondisi orang-orang kafir atau
orang yang tidak berakal itu buta hatinya
(yang terdapat dalam shadr (dada)) dan bukan buta pada mata yang ada di kepala. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dimensi qalb
itu ada di dalam shadr.
Selain itu, qalb
juga merupakan tempat bersemayamnya keimanan manusia. Hal tersebut dapat ditelaah melalui Q.S. An-Nahl/16: 106.
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ
مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ
اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ
وَقَلْبُهٗ
مُطْمَىِٕنٌّۢ
بِالْاِيْمَانِ
وَلٰكِنْ
مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ
ۗوَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya: Siapa yang kufur kepada Allah setelah beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa (mengucapkan
kalimat kekufuran), sedangkan hatinya tetap tenang dengan
keimanannya (dia tidak berdosa). Akan tetapi, siapa yang berlapang dada untuk (menerima) kekufuran, niscaya kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka ada azab
yang besar.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa keimanan dan kekafiran seseorang sangat bergantung pada hatinya. Lebih jelasnya, terminologi iman seringkali disandingkan dengan istilah qalb (wa
qalbuhu muthma�innun bil iman). Sementara
istilah kufr berhubungan dengan terminologi shadr (bil kufri
shadran).
Fu�d
Fu�d adalah dimensi hati pada lapisan ketiga, lebih dalam lagi
dari qalb. Ibarat kamar dan lemari yang ada di dalam rumah. Menurut
At-Tirmidzi fu�d adalah lokus makrifat,
lintasan hati dan penyaksian. Fu�d ini terletak di tengah-tengah hati sebagaimana hati terletak di tengah shadr. Ia seperti
mutiara yang terpendam di dalam mulut kerang.� Di dalam fu�d inilah diproses
ilmu pengetahuan (ma�rifah), jika hati mempuyai mata,
fuad inilah ma8ta hati yang dimaksud.
Jika mencermati ayat-ayat
dalam Al-Qur�an, maka ditemukan perbedaan antara al-qalb dan al-fuad terletak pada fungsi antara keduanya.
Al-Qalb merupakan tempat bersemayamnya keberIslaman seseorang. Artinya, ketika seseorang menggunakan hatinya (al-Qalb) dalam bermuamalah maka ia menerapkan
syariat yang ada dalam Islam. Gampangnya al-Qalb lebih mengarah pada aktifitas keberIslaman seperti bagaimana shalat, puasa, dan aktifitas lainnya. Dalam dimensi al-Qalb ini masih tersimpan cahaya keburukan. Meskipun tidak sebesar dalam dimensi
as-Shadr.
Berbeda dengan dimensi al-fuad yang lebih cenderung pada keberimanan. Ia tempat bersemayamnya
keimanan seseorang yang tidak ada celah
sedikit pun untuk suatu keburukan. Dan ketika dimensi ini tidak berfungsi
atau tertutup maka seseorang tidak memiliki cahaya keimanan lagi. Dengan kata lain ia akan menjadi
sesat, murtad, musyrik bahkan kafir. Begitu pula sebaliknya, ketika dimensi al-fuad ini berfungsi maka
ia akan mengetahui
hakekat dibalik keimanannya kepada Allah SWT.
Berdasarkan analisa di atas, maka bisa pihami
bahwa Islam adalah ilmu dan amal sedangkan
iman adalah ilmu pengetahuan dan kesesuaian hati. Karena pada dasarnya hati (al-fuad) tidak mampu
berbohong sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam� Q.S. Al-Najm/53: 11.
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ
مَا رَاٰى
Artinya: Hatinya tidak mendustakan
apa yang telah dilihatnya.
Dalam ayat tersebut,
istilah yang digunakan ialah ra�a (melihat).
Jadi fungsi al-fuad ialah melihat apa
yang terdapat di balik suatu kejadian. Dan fuad tidak bisa
berbohong, sebagaimana penjelasan Al-Qusyairi (w. 465 H)
ketika menafsiri ayat tersebut yakni
hati Nabi Saw. tidak berbohong terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt. yang telah disaksikannya.� Berbeda dengan istilah yang disandingkan dengan al-Qalb yang lebih condong kepada al-ilm atau al-ma�rifah.
Dengan demikian dapat diambil benang
merah bahwa fungsi al-fuad ialah melihat hakekat
dari tanda-tanda penciptaan Allah kemudian dari penglihatan tersebut al-fuad mengambil manfaat darinya. Jadi antara dimensi al-fuad dan al-qalb saling bersinergi
dalam upaya mengetahui dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT.
Jadi, konsep al-fuad
memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan al-qalb, meskipun pada hakekatnya kedua konsep tersebut sangat berdekatan dan memiliki satu makna yaitu
hati. Tidak berlebihan apabila dikatakan sedekat konsep ar-rahman dan ar-rahim yang sama-sama memiliki akar makna kasih
sayang. Akan tetapi keduanya menunjuk pada makna yang umum dan khusus.
Lubb
Lubb adalah lapisan inti hati. Lubb ini merupakan
tempat cahaya tauhid. Ia adalah cahaya
yang paling sempurna dan penguasa
yang paling agung. Dengan lubb
manusia dapat mengetahui hakekat yang menjadi ilmu Allah Swt. di dalam lubb� menjadi ilmu Allah Swt. Di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikit pun, inilah yang mungkin kita sebut
dengan istilah hati nurani. Sebab,
Allah Swt. memberikan cahaya kekuasaanNya dalam dimensi lubb
tersebut. Dan Allah Swt. adalah pengatur dari ketetapan atau isi dasar
agama yang ada dalam dimensi ini.
Lubb merupakan
akal yang murni, suci, dan bersih dari segala macam
kotoran hati. Lubb adalah dimensi
hati yang paling inti, dengan
lubb inilah manusia memahami hakekat segala sesuatu. Untuk itu, Allah SWT menggunakan istilah Ulu-l-Albab untuk menunjuk hamba-Nya yang mampu menggunakan akalnya untuk memahami esensi dari segala
kejadian. Oleh karena itu Ulu-l-Albab merupakan kriteria manusia yang diberikan kemampuan untuk mengambil hikmah oleh Allah
SWT, sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 269.
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ
مَنْ يَّشَاۤءُ
ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ
فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا
ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ
اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Artinya: Dia (Allah) menganugerahkan
hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah
dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.
Kandungan Hati
1.� Hati yang mengandung
penyakit
Penyakit hati disini tentu
bukan penyakit dalam arti fisik seperti hepatitis, kanker hati dan lainnya, tetapi penyakit hati secara secara
spiritual, yaitu yang merujuk
pada kondisi atau sifat negatif yang mengganggu kesehatan jiwa dan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan
Tuhan. Ini bisa termasuk sifat-sifat seperti kemunafikan, kebencian, iri, kesombongan, kemarahan, dan kedengkian. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S.
Al-Baqarah/2:10
فِيْ قُلُوْبِهِمْ
مَّرَضٌۙ
فَزَادَهُمُ
اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ
ەۙ بِمَا
كَانُوْا
يَكْذِبُوْنَ
Artinya: Dalam hati mereka ada
penyakit,� lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu
berdusta.
Ayat ini menjelaskan
hati yang sakit yang dimiliki oleh golongan orang munafik yaitu orang-orang yang bimbang hatinya apakah menjadi bagian kaum mukminin
atau kaum kafirin. Orang munafik ini dengan kejahilannya
menipu dirinya sendiri, namun mereka tidak memahami
hal itu karena
rusaknya hati mereka, yaitu hati
yang sakit yang terdapat keraguan, tidak yakin akan kebenaran,
munafik dan tidak beriman.
2.� Hati yang mengadung
keraguan
Hati yang mengandung keraguan
adalah kondisi di mana seseorang merasa tidak pasti atau
ragu tentang keyakinan, keputusan, atau perasaannya sendiri. Hati yang penuh keraguan ini akan
menghalangi seseorang untuk mengambil tindakan. Dalam konteks
spiritual, keraguan bisa menjadi penghalang dalam hubungan seseorang dengan Tuhan atau dalam menjalani
keyakinan mereka. Seperti keraguan orang-orang munafik pada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9:45
اِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ
الَّذِيْنَ
لَا يُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ
وَالْيَوْمِ
الْاٰخِرِ
وَارْتَابَتْ
قُلُوْبُهُمْ
فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ
يَتَرَدَّدُوْنَ
Artinya: Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad untuk tidak berjihad)
hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hati mereka ragu, karena
itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.
3.� Hati yang mengandung
kemunafikan
Hati yang mengandung kemunafikan
adalah di mana seseorang memiliki sikap atau niat yang tidak tulus, baik
dalam keyakinan maupun dalam tindakan.
Sebagaimana lazimnya munafik yang sering dipahami berupa perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang diyakini atau dilakukan. Ini dapat mencakup perilaku seperti berpura-pura baik di depan orang lain, tetapi di dalam hati tidak
memiliki niat yang sama. Sikap inilah
yang sering dilakukan oleh
orang-orang munafik yang hidup
pada zaman Nabi Saw. mereka berpura-pura
iman dihadapan nabi, padahal dibelakang
mereka sangat memusuhi nabi. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9:127
وَاِذَا مَآ اُنْزِلَتْ
سُوْرَةٌ
نَّظَرَ بَعْضُهُمْ
اِلٰى بَعْضٍۗ هَلْ يَرٰىكُمْ
مِّنْ اَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوْاۗ
صَرَفَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْ
بِاَنَّهُمْ
قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ
Artinya: Apabila diturunkan suatu surah, satu sama lain di antara mereka saling berpandangan
(dengan sikap mengejek sambil berkata), �Adakah seseorang (dari kaum muslim) yang melihat kamu?� Setelah itu mereka pun pergi. Allah memalingkan hati mereka disebabkan
mereka adalah kaum yang tidak memahami.
4.� Hati yang mengandung
kedamaian
Hati yang damai adalah
di mana seseorang merasa tenang, harmonis, dan seimbang secara emosional dan spiritual. Ini adalah
keadaan di mana seseorang dapat merasakan kedamaian batin meskipun di tengah tantangan atau kesulitan. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Ar-Ra�d/13:28
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
وَتَطْمَىِٕنُّ
قُلُوْبُهُمْ
بِذِكْرِ
اللّٰهِ ۗ
اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ
الْقُلُوْبُ
ۗ
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan
mengingat Allah hati akan selalu tenteram.
Jenis-jenis Hati
Secara eksplisit
sebenarnya di dalam
Al-Qur�an Allah Swt. tidak membagi hati menjadi
beberapa bagian, namun jika dikaji
secara mendalam dalam sebaran ayat
pasti akan ditemukan ayat-ayat yang menggambarkan jenis-jenis hati, diantaranya: hati yang sehat, hati yang keras, hati yang tertutup, dan hati yang lalain.
1.� Hati yang bersih
atau sehat
Hati yang sehat adalah
hati yang bersih yang selamat dari penyakit-penyakit
hati, baik penyakit yang menyebabkan kemusyrikan, kekufuran, dan perilaku buruk. Orang yang hatinya bersih akan selamat ketika
menghadap Allah Swt. disebutkan dalam Q.S Asy-Syu�ara/26: 88-89
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ
مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ
اِلَّا مَنْ اَتَى
اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
Artinya:
(Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.�
2.� Hati yang keras
Hati yang keras adalah
hati merujuk pada sikap atau kondisi
seseorang yang sulit menerima perasaan, empati, atau perubahan.
Ini bisa berarti orang tersebut tidak peka terhadap perasaan
orang lain, keras kepala, atau enggan untuk
belajar dari pengalaman. Dalam konteks
spiritual atau emosional, hati yang keras juga bisa berarti kurangnya
koneksi dengan diri sendiri atau
dengan orang lain. Allah Swt.
berfirman dalam Q.S.
Ali-Imran/159
فَبِمَا رَحْمَةٍ
مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوْا
مِنْ حَوْلِكَ
ۖ فَاعْفُ
عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِى الْاَمْرِۚ
فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ
يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh
dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka,
dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.
3.� Hati yang tertutup
Hati yang tertutup adalah
merujuk pada kondisi di
mana seseorang enggan atau sulit membuka
diri, baik terhadap perasaan sendiri maupun terhadap orang lain. Seseorang dengan hati yang tertutup akan sulit
untuk menjalin hubungan yang dekat, berkomunikasi secara jujur, atau menerima
kasih sayang. Dalam konteks spiritual atau emosional, membuka hati sangat untuk konektifitas yang lebih baik dengan orang lain. Kaitannya dengan jenis hati ini
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 88
وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا
غُلْفٌ ۗ بَلْ لَّعَنَهُمُ
اللّٰهُ بِكُفْرِهِمْ
فَقَلِيْلًا
مَّا يُؤْمِنُوْنَ
Artinya: Mereka berkata, �Hati kami tertutup.� Tidak! Allah telah melaknat mereka itu karena keingkaran
mereka, tetapi sedikit sekali mereka yang beriman.
4.� Hati yang lalai
Hati yang lalai adalah� merujuk pada
kondisi di mana seseorang tidak memperhatikan atau mengabaikan hal-hal penting dalam hidupnya, baik itu perasaan,
tanggung jawab, atau nilai-nilai moral. Ini bisa berarti kurangnya
kesadaran akan diri sendiri atau
lingkungan, serta ketidakmampuan untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti. Dalam konteks spiritual, hati yang lalai adalah lupa
dengan Allah Swt. karena terlena dengan kesenangan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi/18:28
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ
مَعَ الَّذِيْنَ
يَدْعُوْنَ
رَبَّهُمْ
بِالْغَدٰوةِ
وَالْعَشِيِّ
يُرِيْدُوْنَ
وَجْهَهٗ
وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ
تُرِيْدُ
زِيْنَةَ
الْحَيٰوةِ
الدُّنْيَاۚ
وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا
قَلْبَهٗ
عَنْ ذِكْرِنَا
وَاتَّبَعَ
هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا
Artinya: Bersabarlah engkau (Nabi
Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap
keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling
dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.
Fungsi Hati
1.� Berfikir
Fungsi hati berpikir merujuk pada pemahaman bahwa hati tidak hanya
sebagai organ fisik, tetapi juga sebagai pusat perasaan, niat, dan pemikiran dalam konteks spiritual atau emosional. Disini hati dianggap
sebagai tempat di mana pemahaman dan keputusan yang dalam berasal. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Qaf/50:37
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى
لِمَنْ كَانَ لَهٗ
قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى
السَّمْعَ
وَهُوَ شَهِيْدٌ
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat
peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan.
2.� Bertadabbur
Bertadabbur di sini artinya kemampuan
hati untuk merenungkan, memahami, dan menyelami makna yang lebih dalam dari
ajaran atau fenomena tertentu, terutama dalam konteks spiritual dan keagamaan.
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Hajj/22:46
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا
فِى الْاَرْضِ
فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ
بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ
يَّسْمَعُوْنَ
بِهَاۚ فَاِنَّهَا
لَا تَعْمَى
الْاَبْصَارُ
وَلٰكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوْبُ
الَّتِيْ
فِى الصُّدُوْرِ
Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka
dapat memahami atau telinga mereka
dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.
3.� Berdzikir
Berdzikir di sini artinya
peran hati dalam mengingat dan menyebut nama Tuhan secara konsisten, baik melalui lisan
maupun dalam hati. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Ar-Ra�d/13: 28
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
وَتَطْمَىِٕنُّ
قُلُوْبُهُمْ
بِذِكْرِ
اللّٰهِ ۗ
اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ
الْقُلُوْبُ
ۗ
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan
mengingat Allah hati akan selalu tenteram.
4.� Merasakan
Fungsi hati merasakan disini merujuk pada kemampuan hati untuk mengalami
dan memahami berbagai emosi serta perasaan
yang muncul dalam diri seseorang. Maka, hati dianggap sebagai
pusat perasaan dan pengalaman emosional. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Hadid/57: 27
ثُمَّ قَفَّيْنَا
عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ
بِرُسُلِنَا
وَقَفَّيْنَا
بِعِيْسَى
ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ
الْاِنْجِيْلَ
ەۙ وَجَعَلْنَا
فِيْ قُلُوْبِ
الَّذِيْنَ
اتَّبَعُوْهُ
رَأْفَةً
وَّرَحْمَةً
ۗوَرَهْبَانِيَّةَ
ِۨابْتَدَعُوْهَا
مَا كَتَبْنٰهَا
عَلَيْهِمْ
اِلَّا ابْتِغَاۤءَ
رِضْوَانِ
اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا
حَقَّ رِعَايَتِهَا
ۚفَاٰتَيْنَا
الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا
مِنْهُمْ
اَجْرَهُمْ
ۚ وَكَثِيْرٌ
مِّنْهُمْ
فٰسِقُوْنَ
Artinya: Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan
(mengutus) rasul-rasul Kami
dan Kami meneruskan (pula dengan
mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam
hati orang-orang yang mengikutinya.
Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada-adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang
yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik.
Eksistensi Hati Perspektif
Al-Qur�an
Semua anggota tubuh yang diberikan oleh Allah Swt. ini adalah
merupakan amanah yang harus dijaga dan digunakan sesuai fungsi dan maksud pemberi nikmat yaitu tidak lain adalah untuk semata-mata
ibadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Az-Zariy�t/51:56
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ
وَالْاِنْسَ
اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku
Berdasarakan ayat di atas maka
manusia mempunyai kewajiban meyembah dan beribadah kepada Allah Swt. yakni menggunkan
seluruh anggota tubuhnya yang menjadi komponen penyusun tubuh untuk menyebah-Nya.
Oleh karenanya jika anggota tubuh dibuat
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
tuntunan Allah Swt. akan menerima siksa
kelak di hari pembalasan, termasuk hati.
Eksistensi hati dalam diri
manusia sangat menentukan keselamatannya. Posisi hati dalam organ tubuh manusia adalah ibarat seorang raja yang mempunyai kendali dan kekuasaan untuk memberi perintah pada tentaranya. Semua yang diperbuat oleh tentara ini akan ditentukan
oleh perintah Sang Raja, sesuai
kehendak dan keinginannya. Sebuah perbuatan tidak akan bisa
dijalankan dengan baik, sebelum hati
memberikan arahan niat dan tujuan yang diinginkannya. Karena itu pula, hati yang akan bertanggung jawab� di� kemudian� hari. Sebagaimana� setiap� pemimpin� bertanggungjawab� atas apa yang dipimpinya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Isra�/17:36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهٖ
عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ
كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ
كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Artinya: Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggungjawabannya.
Dijelaskan dalam Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI terkait ayat ini bahwa
Jangan mengatakan sesuatu yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku melihat apa yang tidak engkau lihat,
jangan pula mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar,
atau mengalami apa yang tidak engkau alami. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan
dan hati, adalah amanah dari tuhanmu,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya,
apakah pemiliknya menggunakan untuk kebaikan atau keburukan'dan
janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu, karena sesungguhnya sekuat apa pun hentakan kakimu, kamu sekali-kali
tidak dapat menembus bumi dan setinggi apa pun kepalamu, sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung. Sesungguhnya kamu adalah makhluk
yang lemah dan rendah di hadapan Allah, kamu tidak memiliki kekuatan dan kemuliaan, melainkan apa yang dianugerahkan oleh-Nya.
Ayat ini menjelaskan
bahwa anggota tubuh seperti telinga,
mata dan hati harus digunakan sesuai fungsinya artinya telinga harus mendengarkan apa yang layak didengar dan tidak mengatakan apa yang tidak didengar, mata juga harus digunakan untuk melihat apa yang layat dilihat dan tidak berbohong atas apa yang tidak
dilihat, begitu juga hati.
Hati dalam Perspektif Al-Hadis
Sudah diketahui
bersama bahwa hati adalah organ tubuh manusia yang paling penting. Jika hati seseorang baik maka baik pula perilakunya. Begitu pula jika hatinya buruk
maka buruk pula perilakuknya. Dalam hal ini hati bagaikan
cermin yang bisa memantulkan cahaya keimanan. Kebersihan hati dari sifat-sifat
yang tidak disenangi Allah adalah merupakan bagian dari kesempurnaan
iman, maka sungguh beruntung seseorang yang dapat membersihkan hatinya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-A�la/87: 14
قَدْ أَفْلَحَ
مَن تَزَكَّى
Artinya: �Sesungguhnya beruntunglah orang
yang membersihkan diri (dengan beriman).�
Dan Allah Swt. juga berirman
di dalam Q.S. As-Syams/91:
9
قَدْ أَفْلَحَ
مَن زَكَّاهَا
Artinya: �sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu.�
Di banyak kesempatan
secara eksplisit Nabi
Muhammad Saw. menyebutkan tentang
hati, mulai dari fungsi hati,
perkara yang menyebabkan hati menjadi gelap,
Allah Swt. tidak memandang manusia dari segi fisik
dan penampilan melainkan hati seseorang, cara menjaga hati,
dan lain sebagainya. Hal itu
dikarenakana Nabi Saw. ingin
mengajarkan kepada kita bahwa hati
adalah pusat kehidupan kita. Bahkan hati sangat mempengaruhi terhadap perilaku kita. Nabi Muhammad Saw.
bersabda:
أَلَا وَإِنَّ
فِي الْجَسَدِ
مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ
الْقَلْبُ
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat
segumpal daging. Apabi
la segumpal daging itu baik maka
baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging itu buruk maka
buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.
Dalam hadis ini,
Nabi Saw. secara khusus menyebut hati dengan
ciri fisik mughah (sepotong daging). Dikatakan demikian karena ukurannya yang kecil (sekiranya bisa dikunyah di dalam mulut).� Menurut ulama, hadis ini adalah hujjah
bahwa akal itu berada di dalam
hati tidak di dalam otak, namun
pendapat ini terjadi banyak khilaf di kalangan ulama Syafi�iyah dan pakar ilmu kalam. Menurut Abu Hanifah �akal itu di dalam
otak, dikatakan pula akal itu di dalam
hati�. Kalangan Hanafiyah menceritakan bahwa pendapat pertama (akal di dalam otak) adalah
golongan filosof, sementara pendapat kedua (akal di dalam hati) adalah
ahli kedokteran. Al-Maziri menguatkan argumennya bahwa akal itu di dalam
hati. Ia membuktikan dengan firman Allah Swt. Q.S.
Al-Hajj/22: 46
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا
فِى الْاَرْضِ
فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ
بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ
يَّسْمَعُوْنَ
بِهَاۚ فَاِنَّهَا
لَا تَعْمَى
الْاَبْصَارُ
وَلٰكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوْبُ
الَّتِيْ
فِى الصُّدُوْرِ
Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka
dapat memahami atau telinga mereka
dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.
Dan firman Allah Swt.
Q.S. Qaf /50:37
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى
لِمَنْ كَانَ لَهٗ
قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى
السَّمْعَ
وَهُوَ شَهِيْدٌ
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat
peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan.
Al-Maziri menambahkan,
berdasarkan hadis ini juga bahwa Nabi Saw. mengukur baik buruknya
seluruh jasad itu tergantung hati, sementara otak adalah bagian
dari jasad, maka baik-buruknya otakpun juga tergantung hati, maka dari
itu dapat diketahui bahwa otak bukan tempatnya
akal.� Terlepas dari perdebatan
yang ada, apakah hati tempatnya akal atau bukan,
yang jelas eksistensinya
sangat mempengaruhi jasad, baik secara fisik
atau psikis.
Terkait hadis di atas Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah menggambarkan
bahwa hati adalah raja, sementara organ tubuh lainnya adalah
pasukan yang menerima petunjuk bila melakukan
perintah, dan tidak ada satu amalpun
yang tegak melainkan amal itu keluar
dari hati.�
Al-Jauziyah disini mengibaratkan hati adalah raja artinya hati adalah pengendali
utama� terhadap oragan tubuh lainnya.
Maka, berdasarkan hadis di atas, keberadaan hati disini menjadi
vital bagi perilaku manusia, ia menjadi
pengendali organ tubuh lainnya, sehingga gerakan atau tindakan
yang dilakukan oleh tangan,
kaki, lisan, mata, telinga dan oragan tubuh lainnya adalah
perintah hati. Maka, jika hati memberikan
intruksi baik, baik pula tindakannya, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hati sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Tindakan yang dilakukan manusia itu menggambarkan
isi hatinya.
Menjaga kebersihan hati sangat penting untuk dilakukan.
Jika hati ini kotor, maka sangat dimungkinkan kita akan kesulitan berjumpa dengan Allah Swt. maka peranan
yang perlu diperhatikan
oleh kita adalah bagaimana mensirnakan kendala-kendala yang menutup pintu hati ini
yaitu yang berupa dosa maksiat, amarah,
kedengkian, bohong, membanggakan diri, riya�, takabbur, syu�uzan, maksiat, kedurhakaan, kecintaan terdapat dunia yang berlebihan,
dan semua perbuatan yang bisa menghambat kedekatan kita kepada Allah Swt.
Kemudian upaya apa yang bisa kita lakukan?
Tentu membersihkan hati dengan menjauhi
sifat-sifat tercela tersebut. Dengan begitu hati ini
akan menjadi terang, dan terangnya hati ini akan
terpancar dalam perilaku dan memudahkan kita ma�rifat kepada
Allah Swt. sebagaimana ungkapan Ibnu Atha�illah
Assakandari (w. 709 H) :
كَيْفَ يَشْرُقُ
قَلْبٌ صُوَرَ الْاَكْوَنِ
مُنْطَبِعَةً
فِي مِرْأَتِهِ؟
اَمْ كَيْفَ
يَرْحَلُ� اِلَى
اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ
بِشَهْوَتِهِ؟
اَمْ كَيْفَ
يَطْمَعُ
اَنْ يَدْخُلَ
حَضْرَةَ
اللهِ وَهُوَ لَمْ يَطَهَّرْ
مِنْ جَنَابَةِ
غَفْلَتِهِ؟
اَمْ كَيْفَ
يَرْجُو اَنْ يَفْهَمَ
دَقَائِقَ
الْاَسْرَارِ
وَهُوَ لَمْ يَتُبْ
مِنْ هَفَوَاتِهِ
Artinya:�Bagaimana hati manusia akan menyirnakan cahaya, bila cermin
hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan?Bagaimana seorang hamba ini mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu
oleh syahwat? Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, sementara ia belum
bersih dari jinabat kelalaianya? Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami rahasia-rahasia halus, padahal ia belum bertaubat
dari kesalahannya.�
Perbuatan dosa akan mengotori
hati. Dosa yang dilakukan akan menjadi noda
hitam yang menutupi kesucian dan kebersihan hati. Jika noda-noda itu terus menumpuk,
hati ini akan berkarat dan menjamur. Mungkin lama-kelamaan akan mengeras
seperti kerak batu yang sulit dibersihkan. Nabi Muhammad
Saw. bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ
عَنْ ابْنِ
عَجْلَانَ
عَنْ الْقَعْقَاعِ
بْنِ حَكِيمٍ
عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ
إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً
نُكِتَتْ
فِي قَلْبِهِ
نُكْتَةٌ
سَوْدَاءُ
فَإِذَا هُوَ نَزَعَ
وَاسْتَغْفَرَ
وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ
فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ { كَلَّا بَلْ رَانَ
عَلَى قُلُوبِهِمْ
مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
} قَالَ هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami
[Qutaibah] telah menceritakan
kepada kami [Al Laits] dari
[Ibnu 'Ajlan] dari [Al Qa'qa' bin Hakim] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] beliau bersabda: "Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka di titikkan dalam hatinya sebuah titik hitam dan apabila ia meninggalkannya
dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan dan apabila ia kembali
maka ditambahkan titik hitam tersebut
hingga menutup hatinya, dan itulah yang diistilahkan "Ar raan" yang Allah sebutkan: kallaa bal raana
'alaa quluubihim maa kaanuu yaksibuun.(QS. Almuthaffifin 14). Ia berkata; hadits ini adalah hadits
hasan shahih.
Hadis di atas dengan
jelas mengisyaratkan bahwa dosa yang diperbuat akan mengotori hati. Dan cara membersihkannnya adalah dengan bertobat.
Orang yang ahli maksiat hatinya akan kotor
dan gelap. Pada kondisi seperti ini akan
sulit menerima cahaya iman dan ilmu.
Hati yang bersih menjadi
titik sasaran Allah Swt. dalam memandang
hamba-Nya. Allah Swt. tidak
memandang penampilan fisik tetapi melihat
hati. Hal ini tercermin dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut:
وَعَنْ أبي هُريْرة
عَبْدِ الرَّحْمن
بْنِ صخْرٍ� قَالَ:
قالَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ: إِنَّ الله
لا يَنْظُرُ
إِلى أَجْسامِكْم،
وَلا إِلى
صُوَرِكُمْ،
وَلَكِنْ
يَنْظُرُ
إِلَى قُلُوبِكُمْ
وأعْمَالِكُمْ
رواه مسلم.
Artinya: Dari
Abi Hurairah, yakni Abd Rahman bin Shakhr, ia berkata:
�Rasulullah Saw. bersabda:
�Sesungguhnya Allah Swt. tidak memandang jasad kalian dan tidak memandang rupa kalian, tetapi Ia memandang
hati dan amal kalian�.
Hadis ini menekankan
bahwa yang paling dihargai
di sisi Allah adalah ketulusan hati dan niat. Dalam konteks ini, Allah melihat kualitas spiritual dan moral seseorang,
bukan sekadar penampilan luar atau status sosial.
Selain itu, hadis ini juga bisa dipahami
bahwa kita harus introspeksi dan memperbaiki diri dari dalam. Dengan
menyadari bahwa Allah mengutamakan hati, individu didorong untuk mengembangkan sifat-sifat baik, seperti keikhlasan, kasih sayang, dan keadilan. Ini menjadikan iman dan amal sebagai
inti dari pengabdian, menjauhkan fokus dari hal-hal yang bersifat duniawi dan mendorong pencarian kedekatan yang lebih mendalam dengan Sang Pencipta.
Terkait hadis di atas, Al-Nawawi (w. 677)
menjelaskan bahwa ketakwaan tidak bisa dihasilkan dengan amal dahir
saja (Sulistiyorini et al., 2023). Ketakwaan hanya bisa berhasil jika
amal disertai dengan hati yang mengagugkan Allah, hati yang merasa takut kepada-Nya,
dan hati yang mawas kepada-Nya.
Ibn �Alan (w. 1057 H) juga menerangkan bahwa hadis ini
menekankan agar kita bersungguh-sungguh dalam menata kondisi hati, mengetahui sifat hati, mensahihkan� tujuan dan niat hati serta
membersihkan hati dari sifat tercela
dan menghiasinya dengan sifat terpuji, karena hati menjadi
tempat Allah Swt. memandang hambanya (Solanki et al., 2022; Tian et al., 2024). Beliau menambahkan
bersungguh-sungguh dalam memperbaiki hati harus didahulukan daripada amal anggota
badan dahir, karena amal hati bisa
mengesahkan amal syari�at (dahir).
Berdasarakan hadis dan penjelasan di atas, maka dapat
dipahami bahwa hati merupakan pusat dimana Allah Swt. memandang hamba-Nya. Sebelum memperbaiki kondisi dahir alangkah
baiknya menata kondisi hati. Karena ukuran keabsahan dan diterimanya amal adalah hati. Jika hatinya mempunyai niat yang baik, maka apa yang dikerjakan
oleh anggota dahir menjadi baik. Disinilah
pentingnya niat yang baik di dalam beramal.
Oleh karenanya niat menjadi penentu keabsahan sebuah ibadah sekaligus hati yang bersih dan tulus menjadi kunci untuk
mendapatkan keridhaan-Nya.
KESIMPULAN
Dalam
perspektif Al-Qur'an dan Hadis, hati (qalb) memiliki peranan sentral dalam
kehidupan spiritual dan moral seorang Muslim. Hati dianggap sebagai pusat
keimanan, tempat di mana Allah Swt. menilai niat dan keikhlasan seseorang.
Al-Qur'an menekankan pentingnya menjaga hati dari kotoran dosa dan penyakit
spiritual, serta mengisi hati dengan iman dan taqwa. Hadis Nabi Muhammad SAW
juga menyoroti bahwa hati yang bersih akan memancarkan kebaikan dan membawa
seseorang lebih dekat kepada Allah Swt. Oleh karena itu, upaya untuk
memperbaiki dan membersihkan hati merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dalam
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Implikasinya, pendidikan spiritual yang
menekankan kebersihan hati harus menjadi bagian integral dalam pembelajaran
Islam, sehingga individu dapat mengembangkan karakter yang baik dan
berkontribusi positif terhadap masyarakat, serta meningkatkan hubungan mereka
dengan Allah.
Dahuri, D. (2023). Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan
Otak perspektif Kajian Neurosains Spiritual. Jurnal Ilmu Pendidikan Dan
Sains Islam Interdisipliner, 76�85. https://doi.org/10.59944/jipsi.v2i2.106
de Jong, T. L., Pluymen, L. H., van Gerwen, D. J.,
Kleinrensink, G.-J., Dankelman, J., & van den Dobbelsteen, J. J. (2017).
PVA matches human liver in needle-tissue interaction. Journal of the
Mechanical Behavior of Biomedical Materials, 69, 223�228. https://doi.org/10.1016/j.jmbbm.2017.01.014
Emra, Y., Abubakar, A., & Irham, M. (2024). Karakteristik
Al-Muflih {U< N Dalam Al-Qur�an (Kajian Tafsir Tah} li> li> QS
Al-Baqarah/2: 5). Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur�an Dan Tafsir,
9(1), 35�48. https://doi.org/10.47435/al-mubarak.v9i1.2457
Faozi, A., & Himmawan, D. (2023). Nilai-Nilai Pendidikan
Spiritual Menurut Syekh Zainal Abidin Abdul Karim Al Husaini dalam Kitab Al
Barzanji. Journal Islamic Pedagogia, 3(1), 90�97.
https://doi.org/10.31943/pedagogia.v3i1.93
Georges, A. M. (2020). ISIS Rhetoric for the Creation of the
Ummah. In Religion and theology: breakthroughs in research and practice
(pp. 429�449). IGI Global. https://doi.org/10.4018/978-1-7998-2457-2.ch025
Hadi, M. F. Z. (2015). Tasawuf untuk Kesehatan Mental. An-Nida�,
40(1), 31�41. https://doi.org/10.24014/an-nida.v40i1.1493
Imbir, K. K. (2016). From heart to mind and back again. A
duality of emotion overview on emotion-cognition interactions. New Ideas in
Psychology, 43, 39�49. https://doi.org/10.1016/j.newideapsych.2016.04.001
Jushiddi, M. G., Mani, A., Silien, C., Tofail, S. A. M.,
Tiernan, P., & Mulvihill, J. J. E. (2021). A computational multilayer model
to simulate hollow needle insertion into biological porcine liver tissue. Acta
Biomaterialia, 136, 389�401.
https://doi.org/10.1016/j.actbio.2021.09.057
Lah, N. A. A., Wahab, M. H. A., Koh, D., & Saruwono, M.
(2015). Metaphysical approach for design functionality in Malay-Islamic
architecture. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 202,
273�284. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.08.231
Lestari, F. F. S., Hamdan, M., & Susilawati, S. (2021).
Studi Literatur Keefektifan Kelas Virtual Dalam Pembelajaran Fisika Di Masa
Pandemi. Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Fisika, 1(1), 29�32.
https://doi.org/10.52434/jpif.v1i1.1260
Putra, A. A. (2016). Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif
Imam Al-Ghazali. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 1(1),
41�54. https://doi.org/0.25299/althariqah.2016.vol1(1).617
Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). Sumber-sumber
hukum Islam dan Implementasinya. Borneo: Journal of Islamic Studies, 1(2),
28�41. https://doi.org/10.37567/borneo.v1i2.404
Solanki, Y. S., Agarwal, M., Gupta, A. B., Gupta, S., &
Shukla, P. (2022). Fluoride occurrences, health problems, detection, and
remediation methods for drinking water: A comprehensive review. Science of
the Total Environment, 807, 150601.
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.150601
Suhartiningsih, L., Rahmawati, F., & Himami, A. S.
(2021). Tasawuf sebagai Terapi Problematika Masyarakat Modern. Irsyaduna:
Jurnal Studi Kemahasiswaaan, 1(2), 131�146.
https://doi.org/10.54437/irsyaduna.v1i2.290
Sulistiyorini, C. I., Cahyono, D., & Sanosra, A. (2023).
Analisis Spritualitas dan Stres Kerja terhadap Perilaku Menyimpang di Tempat
Kerja dengan Ketaqwaan sebagai Pemediasi di Kalangan Karyawan Universitas
Jember. Budgeting: Journal of Business, Management and Accounting, 4(2),
265�281. https://doi.org/10.31539/budgeting.v4i2.4174
Tian, D., Chen, W., Xu, D., Xu, L., Xu, G., Guo, Y., &
Yao, Y. (2024). A review of traditional Chinese medicine diagnosis using
machine learning: Inspection, auscultation-olfaction, inquiry, and palpation. Computers
in Biology and Medicine, 108074.
https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2024.108074
Van Cappellen, P., Edwards, M. E., & Fredrickson, B. L.
(2021). Upward spirals of positive emotions and religious behaviors. Current
Opinion in Psychology, 40, 92�98. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2020.09.004
|
� 2024 by the authors. Submitted for
possible open access publication under the terms and conditions of the
Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |