�HATI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR�AN DAN HADIS

 

 

Mushofa, Mahyudin Barni

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Indonesia

Email: [email protected]

 

 

 

Abstrak

Hati mempunyai peran yang sangat penting dalam diri manusia. Tidak hanya dari sudut kesehatan fisik atau biologis melainkan juga dimensi spiritual dan moral. Bahkan kemuliaan seseorang baik di sisi hamba atau Tuhan itu tergantung kondisi hatinya. Al-Qur�an dan Hadis sebagai sumber otoritatif dalam Islam sangat banyak membicarakannya. Tulisan ini menggunakan studi literasi dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menggali dan menganalisis pemahaman tentang hati dalam Al-Qur�an dan Hadis, serta perannya dalam membentuk karakter dan perilaku individu. Hasil kajian menunjukkan bahwa Al-Qur�an menekankan pentingnya menjaga hati dari kotoran dosa dan penyakit spiritual, serta mengisi hati dengan iman dan taqwa. Hadis Nabi Muhammad SAW menyoroti bahwa hati berfungsi sebagai pusat kontrol tubuh; hati yang bersih akan memancarkan kebaikan dan mendekatkan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang konsep hati dalam Al-Qur�an dan Hadis sangat penting untuk membangun karakter yang baik dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam, menjadikan menjaga kebersihan hati sebagai kunci untuk mencapai kedekatan spiritual dengan Allah.

 

Kata kunci: Hati; Al-Qur�an; Hadis

 

Abstract

The heart has a very important role in humans. Not only from a physical or biological health perspective but also from a spiritual and moral dimension. Even a person's glory, whether with the servant or God, depends on the condition of his heart. The Koran and Hadith as authoritative sources in Islam talk a lot about it. This paper uses literacy studies with a qualitative descriptive approach to explore and analyze the understanding of the heart in the Qur'an and Hadith, as well as its role in shaping individual character and behavior. The results of the study show that the Qur'an emphasizes the importance of protecting the heart from the impurities of sin and spiritual diseases, as well as filling the heart with faith and piety. The hadith of the Prophet Muhammad PBUH highlights that the heart functions as the control center of the body; A clean heart will radiate goodness and bring a person closer to Allah. Therefore, a deep understanding of the concept of the heart in the Qur'an and Hadith is essential for building good character and behavior in accordance with the teachings of Islam, making maintaining a clean heart the key to achieving spiritual closeness with Allah.

 

Keywords: Heart; Al-Qur'an; Hadith.

 

*Correspondence Author: Mushofa

Email: [email protected]

 

 

PENDAHULUAN

 

Hati, dalam banyak tradisi dan sistem pemikiran, seringkali dianggap sebagai pusat dari perasaan, pikiran, dan moralitas manusia (Imbir, 2016). Dalam konteks Islam, hati memiliki makna yang mendalam dan luas yang tercermin dalam ajaran al-Qur'an dan Hadis (Putra, 2016). Konsep hati dalam perspektif al-Qur'an dan Hadis tidak hanya mencakup aspek fisik atau biologis, tetapi juga melibatkan dimensi spiritual dan moral yang signifikan. Bahkan al-Ghazali berpendapat bahwa kemuliaan dan keutamaan manusia dibandingkan dengan makhluk-mahkluk lainnya adalah karena manusia memiliki hati dan akal, yang dengan pertolongan Allah Swt. sehingga manusia bisa mengenal dan mendapat Ilmu tentang Allah Swt, dan sifat-sifat-Nya (Lah et al., 2015).

Al-Qur'an, sebagai wahyu ilahi yang menjadi panduan utama umat Islam, seringkali menyebutkan hati dalam berbagai konteks, mulai dari deskripsi kondisi hati yang bersih dan penuh iman, hingga hati yang keras dan tertutup dari petunjuk Allah Saw (Emra et al., 2024; Ridwan et al., 2021). Seperti dalam Surah Al-Baqarah/2:74, Allah Swt. berfirman:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ

Artinya: Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras.

Ayat ini menggambarkan bagaimana hati yang tidak menerima petunjuk Allah Swt. akan menjadi keras dan tidak peka terhadap kebenaran. Sehingga oleh Allah Swt. diibaratkan seperti batu bahkan lebih keras daripada batu. Nabi Saw. juga memposisikan hati sebagai pusat sipiritual dan moral manusia, artinya hati menjadi kontrol perilaku seseorang. Sebagaimana sabdanya:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Artinya: Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah hati.

Dalam konteks ini, hati dianggap sebagai pusat spiritual yang memengaruhi sikap dan perilaku seseorang (Dahuri, 2023; Van Cappellen et al., 2021). Sebagai contoh, hati yang bersih dan penuh dengan iman akan mendorong perilaku yang baik, sedangkan hati yang keras dan tercemar bisa mengarah pada tindakan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun masyarakat (Faozi & Himmawan, 2023; Hadi, 2015; Suhartiningsih et al., 2021). Hadis ini menegaskan betapa pentingnya kondisi hati dalam menentukan kualitas keimanan dan tindakan seseorang.

Melihat begitu pentingnya peran hati dalam diri kita, serta relevansi penelitian ini di tengah perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini, seperti materialisme, individualisme, dan krisis moral, tulisan sederhana ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis pemahaman tentang hati dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta bagaimana konsep ini berperan dalam membentuk karakter dan perilaku seseorang. Dengan memahami ajaran-ajaran ini secara mendalam, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang bagaimana menjaga kebersihan hati dan menjadikannya sebagai pusat yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan ini, diharapkan kita dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik kehidupan spiritual dan sosial kita.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penulisan� ini� menggunakan metode� studi� kepustakaan dengan� pendekatan� deskriptif� kualitatif�� berdasarkan beberapa kitab tafsir yang bercorak tahlily� atau maudhu�i� dan kitab-kitab hadis serta penemuan� terbaru� di bidangnya (Lestari et al., 2021). Populasi dalam penelitian ini terdiri dari kitab-kitab tafsir yang bercorak tahlili dan maudhu�i, serta kitab-kitab hadis yang relevan. Sampel diambil dari beberapa kitab tafsir dan hadis yang dianggap otoritatif dan berpengaruh dalam studi tentang hati, termasuk Mu�jam al-fadzi al-Qur�an. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, di mana penulis memilih sumber-sumber yang dianggap paling relevan dan representatif untuk penelitian ini. Kriteria penelitian mencakup kitab tafsir yang diakui oleh ulama sebagai rujukan dalam studi Islam, hadis yang sahih dan diterima dalam tradisi Islam, serta sumber yang membahas tentang hati dengan mendalam dalam konteks spiritual dan moral. Data dianalisis menggunakan teknik analisis konten, di mana penulis mengkategorikan dan menganalisis ayat-ayat serta hadis yang berkaitan dengan hati, serta membandingkan pandangan dari berbagai pakar untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep hati dalam Al-Qur'an dan Hadis.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Definisi Hati

Dalam KBBI kata �hati� mempunyai banyak varian arti tergatung digunakan untuk dan dikaitkan dengan apa kata tersebut. Jika dilihat dari organ tubuh dan fungsinya maka di dalam KBBI �hati� diartikan organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.� Jika dikaitkan dengan fungsi non jasmani (psikis) �hati� diartikan sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya).

Al-Ghazali dalah Ihy�� Ul�mi al-D�n secara khusus membahas tentang keajaiban hati ini. Ia menyebutkan bahwa qalb ini memiliki dua makna. Makna pertama, qalb diartikan sepotong daging atau segumpal darah yang terletak di dalam dada sebelah kiri yang lazim disebut hati.� Namun dalam penelusuran penulis qalb ini juga terkadang dimaknai jantung, dimana organ tubuh yang dibagian dalamnya terdapat rongga yang berisi darah merah kehitam-hitaman dan merupakan sumber ruh atau kehidupan. Makna kedua, qalb adalah jiwa yaitu sesuatu yang imaterial (bukan materi) atau lath�fah (elemen dasar).�

Jika melihat penjelasan Al-Ghazali tersebut maka terlihat bahwa qalb itu secara fisik adalah organ tubuh manusia dengan fungsi tertentu sesuai sunnatullah, hal ini bisa dilihat dalam ilmu yang mempelajari anatomi tubuh manusia. Kemudian qalb secara non fisik merupakann jiwa. Kemudian terlepas dari perbedaan makna qalb apakah hati atau jantung yang jelas kedua organ tubuh ini sangat vital bagi kehidupan manusia. Namun dalam tulisan ini qalb yang dimaksud mengarah pada hati.

 

Definisi Hati Perspektif Al-Qur�an

Jika kita membaca terjemahan al-Qur�ān, maka akan ditemukan kata �hati� bertaburan di berbagai ayat. Menurut al-Qur�ān, hati adalah lokus dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian manusia. Hati bukan saja tumpuan pandangan Tuhan, melainkan juga lokus di mana Tuhan mengungkapkan Diri-Nya sendiri pada manusia. Kehadiran-Nya terasa di dalam hati, dan wahyu diturunkan ke dalam hati para nabi.

Hati juga pusat pandangan, pemahaman, dan dzikr serta tempatnya iman. Iman tumbuh dalam hati, juga berbagai kebaikan seperti kesucian, kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, kedamaian, cinta dan tobat (Georges, 2020). Jika Tuhan tidak menyucikan hati, ia akan sakit, berdosa, jahat, kasar, penuh kebencian, selalu cemas, dan seterusnya.

Namun demikian, ketika kita benar-benar mencermati ayat-ayat tentang hati itu pada nas Qur�ān itu sendiri. Akan menjumpai banyak kosa kata �Arab untuk menyebut hati, yaitu shadr, qalb, fu�ād, dan lubb. Semuanya diterjemahkan sebagai hati. Adakah perbedaan antara shadr, qalb, fu�ād dan lubb itu? Tentu ada, maka disini penulis ingin mengkaji terlebih dahulu dari sisi makna harfiyah dari konsep hati, serta contoh ayat yang menggunakan term tersebut.

 

Makna Shadr (صَدْرٌ), Qalb (قَلْبٌ), Fu�d (فُؤَادٌ), dan Lubb (لُبٌّ)

 

Shadr (صَدْرٌ)

Diantara istilah untuk mengungkapkan hati dalam Al-Qur�an yaitu kata shadr. Kata shadr sendiri dan pecahannya disebutkan dalam Al-Qur�an sebanyak 46 kali, dengan perincian sebarannya sebagai berikut:

 

Tabel 1. (tabel ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an al-Karim)

No.

Kata

Jumlah

Surah:Ayat

1.                 

يَصْدُرُ

1

Az-Zalzalah:6

2.                 

يُصْدِرَ

1

Al-Qashas:23

3.                 

صَدْرًا

1

An-Nahl:106

4.                 

صَدْرُكَ

4

Al-A�raf:7, Hud: 12, Al-Hijr:97, dan Al-Insyirah:1

5.                 

صَدْرَهُ

3

Al-An�am: 125, Al-An�am:125, dan Az-Zumar: 22

6.                 

صَدْرِى

2

Thaha:2 dan, As-Syu�ara:13

7.                 

الصُّدُوْرُ

20

Ali Imran: 119,154, Al-Ma�idah:7, Al-Anfal:43, At-Taubah:14, Yunus:57, Hud:5, Al-Hajj:46, Al-Ankabut:10,49, Luqman:23, Fathir:38, Az-Zumar:7, Ghafir:19, As-Syura:24, Al-Hadid:6, At-Taghabun:4, Al-Mulk:13, Al-Adiyat:10, An-Nas:5

8.                 

صُدُوْرِكُمْ

4

Ali Imran:29, 154, Al-Isra�:51, dan Ghafir:80

9.                 

صُدُوْرُهُمْ

10

Ali Imran:118, An-Nisa�:90, Al-A�raf:43, Hud:5, Al-Hijr:47, An-Naml:74, Al-Qashash:69, Ghafir:56, Al-Hasyr:9 dan 13

Jumlah

46

 

 

Kata shadr (صَدْرُ) berasal dari bahasa Arab yaitu صَدَرَ- صَدْرًا� yang artinya terjadi, kembali, lahir, memulai, mengirimkan, dan lain-lain, diartikan juga �ما بين العنق والبطن� yaitu sesuatu yang berada diantara leher dan perut (dada), juga bermakna al-fua (hati).� Perbedaan makna pada kata shadr itu tergantung penggunaannya. Seperti kata shadr bermakna dada, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Ann�s/114:5:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ

Artinya: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

Kata shadr bermakna tempatnya qalb (hati) yaitu dada, yang bekerja seperti akal yaitu memahami sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hajj/22: 46

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.

Kata shadr bermakna hati yang bekerja sebagai penerima kebenaran Islam dan caha ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Az-Zumar/:22

اَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗفَوَيْلٌ لِّلْقٰسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِّنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Artinya: Maka, apakah orang yang Allah bukakan hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka, celakalah mereka yang hatinya membatu dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Ketiga ayat di atas kiranya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kata shadr dipakai dalam al-Qur�an untuk mengungkapkan makna hati. Tentu nanti akan berbeda makna dan dimensi dengan kata lain seperti qalb, fuad dan lubb yang sama-sama bermakna hati. Perbedaanya nanti bisa dilihat pada dimensinya.

 

Qalb (قَلْبٌ)

Setelah kata shadr, konsep hati di dalam Al-Qur�an dinyatakan dengan kata qalb. Kata qalb sendiri dan bentuk pecahannya dalam Al-Qur�an disebut ��kali. Bisa dilihat pada tabel berikut:

 

Tabel 2. (tabel ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an al-Karim)

No.

Kata

Jumlah

Surah:Ayat

1.                 

قَلَّبُوا

1

At-Taubah:48

2.                 

نُقَلِّبُ

1

Al-An�am:110

3.                 

نُقَلِّبُهُمْ

1

Al-Kahfi:18

4.                 

يُقَلِّبُ

2

Al-Kahfi:42 dan An-Nur:44

5.                 

تُقَلَّبُ

1

Al-Ahzab:66

6.                 

تَتَقَلَّبُ

1

An-Nur:37

7.                 

اِنْقَلَبَ

1

Al-Hajj:11

8.                 

اِنْقَلَبْتُمْ

2

Ali Imran: 144 dan At-Taubah:95

9.                 

اِنْقَلَبُوا

5

Ali Imran:74, Al-A�raf:119, Yusuf:62, Al-Muthaffifin:31 dan Muthaffifin:31

10.              

تَنْقَلِبُوا

2

Ali-Imran:149 dan Al-Maidah:21

11.              

يَنْقَلِبُ

5

Al-Baqara:143, Ali Imran: 144, Al-Fath: 12, Al-Mulk: 4, Al-Insyiqaq: 9

12.              

يَنْقَلِبُوا

1

Ali Imran: 127

13.              

يَنْقَلِبُونَ

1

As-Syu�ara: 227

14.              

تَقَلُّبُ

2

Al-Baqarah: 144, Ali Imran: 196

15.              

تَقَلُّبَكَ

1

As-Syu�ara: 219

16.              

تَقَلُّبُهُمْ

2

An-Nahl: 46 dan Ghafir: 4

17.              

مُتَقَلَّبَكُمْ

1

Muhammad: 19

18.              

مُنْقَلِبُونَ

3

Al-A�raf: 125, As-Syu�ara: 50, Az-Zukhruf: 14

19.              

مُنْقَلَبِ

1

As-Syu�ara: 227

20.              

مُنْقَلَبًا

1

Al-Kahfi: 36

21.              

قَلْبٌ

6

Ali Imran: 159, As-Syu�ara: 89, As-Shafat: 84, Ghafir: 35, Qaf: 33 dan 37

22.              

قَلْبِكَ

3

Al-Baqarah: 97, As-Syu�ara: 194, As-Syura: 24

23.              

قَلْبُهُ

8

Al-Baqarah: 204, 283, Al-Anfal: 24, Al-Nahl: 106, Al-Kahfi: 28, Al-Ahzab: 32, Al-Jasiyah: 23, At-Taghabun: 11

24.              

قَلْبِهَا

1

Al-Qashash:10

25.              

قَلْبِى

1

Al-Baqarah: 260

26.              

قَلْبَيْنِ

1

Al-Ahzab: 4

27.              

قُلُوْب

21

Ali Imran: 151, Al-A�raf: 101, 179, Al-Anfal: 12, At-Taubah: 117, Yunus: 74, Ar-Ra�d: 28, Al-Hijr: 12, Al-Hajj: 32, 46, 46, An-Nur: 37, As-Syu�ara: 200, Ar-Rum: 59, Al-Ahzab: 10, Az-Zumar: 45, Ghafir: 18, Muhammad: 24, Al-Fath: 4, Al-Hadid: 27, An-Nazi�at: 8

28.              

قُلُوْبُكُمَا

1

At-Tahrim: 4

29.              

قُلُوْبُكُمْ

15

Al-Baqarah: 74, 225, Ali Imran: 103, 126, 154, Al-An�am: 46, Al-Anfal: 10, 11, 70, Al-Ahzab: 5, 51, 53, Al-Fath: 12, Al-Hujurat: 7, dan 14

30.              

قُلُوْبُنَا

6

Al-Baqarah: 88, Ali Imran: 8, An-Nisa�: 155, Al-Maidah: 113, Fusshilat: 5, Al-Hasyr: 10

31.              

قُلُوْبُهُمْ

68

Al-Baqarah: 7, 10, 93, 118, Ali Imran: 7, 156, 167, Ani-Nisa�: 63, Al-Ma�idah: 13, 41, 41, 52, Al-An�am: 25, 43, Al-A�raf: 100, Al-Anfal: 2, 49, 63, 63, At-Taubah: 8, 15, 45, 60, 64, 77, 87, 93, 110, 110, 125, 127, Yunus: 88, Ar-Ra�d: 28, An-Nahl: 22, 108, Al-Isra�: 46, Al-Kahfi: 14, 57, Al-Anbiya�: 3, Al-Hajj: 35, 53, 53, 54, Al-Mu�minun: 60, 63, An-Nur: 50, Al-Ahzab: 12, 26, 60, Saba�: 23, Az-Zumar: 22, 23, Muhammad: 16, 20, 29, Al-Fath: 11, 18, 26, Al-Hujurat: 3, Al-Hadid: 16, 16, Al-Mujadalah: 22, Al-Hasyr: 2, 14, As-Shof: 5, Al-Munafiqun: 3, Al-Mudassir: 31, Al-Muthaffifin: 14

32.              

قُلُوْبِهِنَّ

1

Al-Ahzab: 53

Jumlah

167

 

 

Kata qalb (قَلْبٌ) berasal dari kata قَلَبَ � قَلْبًا artinya merubah (bentuk, rupa dan lain-lain), membalikkan (menjadikan yang di atas di bawah), menjadikan (yang di dalam di luar). Kata al-qalb (اْلقَلْبُ) adalah bentuk masdar (infinitif) dari qalaba (قَلَبَ) yang artinya hati, isi, lubuk hati, jantung dan inti.� Senada dengan makna ini, Al-Ashfih�n� menyebutkan: �قلب الشيئ تصريفه وصرفه عن وجه الى وجه� artinya membalikkan sesuatu dan mengubahnya dari satu wajah ke wajah lainnya.

Melihat pemaknaan di atas maka kata qalb jika dilihat dari makna kerjanya adalah merubah, membalikkan, menjadikan, sementara jika dilihat dari bentuk masdarnya bermakna hati dan jantung. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kerja hati dan jantung manusia itu sering mengalami perubahan, misalnya perubahasan perasaan senang menjadi susah, begitu juga mengami pembalikan, misalnya setuju menjadi tidak setuju. Jika dikaitkan dengan jantung maka juga terjadi perubahan detak jantung dari normal menjadi tidak normal. Oleh karenanya, ketika hati belum mempunyai keputusan inilah yang kemudian dinamakan keraguan (was-was). Maka diantara doa yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah Saw. adalah doa ketetapan hati sebagaimana penjelasan Umi Salamah ketika ditanya oleh sahabat Syahr bin Hausyab:

يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ مَا كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكِ, قَالَتْ كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Artinya: Wahai Umma al-Mu�minin �doa apa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah Saw. ketika berada disampingmu?�, beliau menjawab: �doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah Saw. adalah: �Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.�

Kata qalb (hati) diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Q�f/50:36-37

وَكَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنْ قَرْنٍ هُمْ اَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوْا فِى الْبِلَادِۗ هَلْ مِنْ مَّحِيْصٍ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهٗ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

Artinya: Betapa banyak umat sebelumnya (kaum kafir Quraisy) yang telah Kami binasakan! Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada (kaum kafir Quraisy) itu, sehingga mampu menjelajah (dan mengamati) beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (bagi mereka dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan.

Kata qalb (hati) diartikan akal sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q,S. Al-Hajj/22: 46

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.

Kedua ayat di atas kiranya juga sudah membuktikan bahwa kata qalb dipakai dalam al-Qur�an untuk menggambarkan hati. Tentu nanti juga akan berbeda makna dan dimensi dengan kata lain seperti fuad dan lubb yang sama-sama bermakna hati. Perbedaanya nanti bisa dilihat pada dimensinya

 

Fuad (فؤاد)

Di dalam Al-Qur�an juga ditemukan kata fuad dan pecahannya kata af-idah yang artinya hati. Allah Swt. Menggunakan kata fuad ini untuk menggambarkan bahwa hati tidak mungkin bisa bohong. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Najm/53:11 yang artinya: �Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya�. Kata fuad dan pecahannya seperti kata af-idah di dalam Al-Qur�an disebut 13 kali. Bisa dilihat pada tabel berikut:

 

Tabel 3. (tabel ini hasil konversi penulis dari kitab Al-Mu�jam Al-Mufahras lialfadzi al-Qur�an al-Karim)

No.

Kata

Jumlah

Surah

1.                 

الفُؤَادُ

3

Al-Isra�:36, Al-Qashash:10, An-Najm:11

2.                 

فُؤَادَكَ

2

Hud:120, Al-Furqan: 32

3.                 

أَفْئِدَةٌ

8

Al-An�am: 113, Ibrahim:37, An-Nahl:78, Al-Mu�minun:78, As-Sajdah:9, Al-Ahqaf:26, Al-Mulk:23, Al-Humazah:7, Al-An�am:110, Ibrahim:43 dan Al-Ahqaf:26

 

Kata fuad (فؤاد) berasal dari kata فَأَدَ � فَأدًا yang artinya mengenai (menimpa), misalnya berkata: اَصَابَ فُؤَادَهُ� artinya menimpa hatinya atau jantung. Secara harfiah kata al-fuad artinya hati, akal dan pikiran. Namun kata fuad ini lebih kedalam, misal: مِنْ صَمِيْمِ الْفُؤَادِ artinya dari lubuk hati.� Al-Ashfih�n� menjelaskan kata al-Fu�d itu seperti al-qalb, tetapi disebut fuad jika diartikan sebagai tafaud yaitu menyala.�

Kata fuad bermakna hati nurani, yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Isra�/17:36

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Artinya: Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.

Kata fuad bermakna hati juga disebutkan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Al-Qashash/28:10

وَاَصْبَحَ فُؤَادُ اُمِّ مُوْسٰى فٰرِغًاۗ اِنْ كَادَتْ لَتُبْدِيْ بِهٖ لَوْلَآ اَنْ رَّبَطْنَا عَلٰى قَلْبِهَا لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: Hati ibu Musa menjadi hampa� Sungguh, hampir saja dia mengungkapkan (bahwa bayi itu adalah anaknya), seandainya Kami tidak meneguhkan hatinya agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).

Contoh penggunaan kata af�idah yang merupakan pecahan dari kata fu�ad yang bermakna hati kecil. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-An�am/6: 113

وَلِتَصْغٰٓى اِلَيْهِ اَفْـِٕدَةُ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوْا مَا هُمْ مُّقْتَرِفُوْنَ

Artinya: (Setan-setan itu saling membisikkan perkataan yang indah juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman pada akhirat tertarik pada bisikan itu serta menyenanginya, dan agar mereka melakukan apa yang biasa mereka (setan-setan itu) lakukan.

 

Lubb (لُبٌّ)

Selanjutnya term hati yang juga dipakai di dalam Al-Qur�an adalah kata lubb, walaupun tidak secara spesifik menggunakan kata lubb, melainkan lebih banyak menggunakan kata al-Alb�b. Kata lubb sendiri (لُبٌّ) secara harfiah bisa bermakna inti, akal, dan hati.� Sementara penggunakan kata al-Alb�b di dalam Al-Qur�an selalu diawali dengan kata �lu, sehingga menjadi �lu al-alb�b (orang yang berakal sempurna).

Di dalam Al-Aqur�an kata al-Albab disebut sebanyak 16 kali, yaitu di dalam: Q.S. Al-Baqarah: 179, 197, dan 269, Ali Imran: 7, dan 190, Al-Ma�idah: 100, Yusuf: 111, Ar-Ra�d: 19, Ibrahim: 52, Shad: 29 dan 43, Az-Zumar: 9, 18 dan 21, Ghafir: 54, At-Thalaq: 10.

Banyaknya istilah dalam Al-Qur�an yang merujuk pada satu makna itu juga merupakan keterbatasan ilmu manusia di dalam memahami kalam Tuhan. Bagaimanapun juga pemaknaan semacam ini tidak boleh dipahami mutlak benar, karena Al-Qur�an adalah firman Tuhan tentu yang mengetahui makna secara pasti adalah Tuhan sendiri. Manusia dengan keterbatasan pengetahuannya hanya mencoba menginterprestasikan dengan cara yang mendekati benar menurut ilmu manusia. Oleh karenanya jika terjadi berbagai macam variasi pernafsiran itu sangat dimaklumi.

 

Dimensi Hati Perspektif Al-Qur�an

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam mengkaji hati, setidaknya ada empat konsep dalam Al-Qur�an untuk mendiskripsikan hati yaitu Shadr (صَدْرٌ), Qalb (قَلْبٌ), Fuad (فُؤَادٌ), dan Lubb (لُبٌّ). Tentu disini Allah Swt. mempunyai maksud yang tersembunyi mengapa term hati menggunakan empat konsep ini. Keempat konsep hati ini jika dipahami secara mendalam mempunyai dimensi yang berbeda, walaupun pada umumkan memiliki terjemahan yang sama yaitu hati. Oleh karenanya terkadang kita kesulitan memahami makna yang mendalam yang terdapat dalam Al-Qur�an yang tidak dapat ditangkap sepenuhnya hanya dengan membaca terjemah.

Hakim Attirmidzi (205-320 H) menjelaskan bahwa hati (kalbu) itu merupakan lapisan semua batin manusia, ada yang merupakan lapisan luar dan lapisan dalam. Ia mengibaratkan putih mata (shadr), hitam mata (qalb), biji mata (fu�d), dan cahaya di biji mata (lubb). Masing-masing bagian mempunyai hukum dan pengertian yang berbeda. Namun, semuanya saling membantu dan manfaatnya saling berkaitan.� Jadi, setiap dimensi hati mempunayi cahaya sendiri.

 

Shadr

Shadr adalah lapisan hati bagian luar (de Jong et al., 2017; Jushiddi et al., 2021). Ibarat rumah shadr adalah terasnya. Ia tempat masuknya bisikan dan penyakit. Ibarat rumah, teras adalah tempat yang sering dan pertama terkena debu dan sampah. Apa yang masuk ke dalam shadr jarang terasa. Ia tempat masuknya rasa iri dengki, syahwat, angan-angan, dan berbagai keperluan. Kadangkala ia merasa sempit dan longgar. Ia tempat berkuasanya nafs al-ammarah bi al-su� (nafs yang selalu mengarah keburukan). Di dalamnya ada pintu masuk bagi jiwa tersebut. Bisa dikatakan shadr ini pintu masuknya pengetahuan. Shadr ini tempat cahaya Islam, tempat menjaga pengetahuan yang di dengar dan dipelajari dengan cara belajar dan mendengar.

Bukti kalau shadr adalah dimensi hati sebagai tempatnya hidayah dan menerima keislaman yakni firman Allah Swt. Q.S. Al-An�am/6: 125.

فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya: Maka, siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, Dia akan melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Siapa yang Dia kehendaki menjadi sesat, Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak seakan-akan dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Al-Jilani (w. 561 H) menjelaskan bahwa yang dimaksud hidayah disini adalah tauhid (yakni mengesakan Allah Swt) dengan melapangkan dan meluaskan hatinya untuk pasrah kepada apa yang telah ditetapkan Allah Swt. kepadanya.� Sementara As-Suyuti (w. 911 H) dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa masuknya hidayah keIslaman melewati dada seseorang yakni dengan cara Allah Swt menyinarkan nur hidayah ke dalam dadanya, sehingga dengan sadar ia mau menerima Islam dan mau membuka dadanya lebar-lebar untuk menerimanya.�

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa shadr menjadi pintu masuknya hidayah. Dan cahaya kebenaran Islam pada hakekatnya terdapat dalam hati. Oleh sebab itu, orang yang selalu berada dalam kebenaran sebenarnya hatinya telah mendapatkan hidayah. Sebaliknya, orang yang hatinya kosong terhadap kebenaran Islam maka ia termasuk orang yang sesat. Dengan demikian tempat hidayah dan keilmuan itu berada pada dimensi shadr.

Disamping shadr sebagai tempat dimensi cahaya hidayah dan keilmuan, shadr juga sebagai tempat setan membisikkan keraguan (was-was) kepada manusia, sebagaimana Allah Swt. dalam Q.S. Annas/114: 5-6. Terminologi lain yang digunakan Allah Swt. untuk menggambarkan shadr yang negatif menggunakan istilah ad-dhayyiq/yadiqu yang artinya sempit, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. As-Syu�ara/26:13-14

قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يُّكَذِّبُوْنِ ۗ وَيَضِيْقُ صَدْرِيْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِيْ فَاَرْسِلْ اِلٰى هٰرُوْنَ

Artinya: Dia (Musa) berkata, �Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku takut mereka akan mendustakanku. Dadaku terasa sempit dan lidahku kelu. Maka, utuslah Harun (bersamaku).

Senada makna dengan ayat di atas, Allah Swt. juga berfirman dalam Q.S. Al-Hijr15:

�وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ

Artinya: Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan.

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa shadr termasuk dimensi hati yang bisa sempit juga bisa luas. Dalam kondisi bodoh shadr manusia sempit. Dengan kata lain, seseorang yang shadr-nya sempit berarti tidak memiliki ilmu pengetahuan dan tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mencari hidayah Allah SWT. Dalam kondisi seperti ini manusia akan masuk ke dalam ruang kebatilan. Jika ruang kebatilan dipersempit maka ruang cahaya dan ilmu atau kebenaran akan terbuka lebar. Maka disinilah manusia bisa memilih yang haqq dan mana yang bathil berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Maka dapat disimpulkan� bahwa shadr adalah dimensi hati yang berfungsi sebagai pintu keislaman dan kekafiran.

 

Qalb

Qalb adalah lapisan kedua, ia berada di dalam shadr. Menurut At-Tirmidzi qalb ini tempatnya cahaya iman, cahaya khusus, takwa, cinta, rida, yakin, takut, harap, sabar dan kanaah. Ia juga merupakan sumber-sumber pokok pengetahuan, ia ibarat sumber mata air sementara shadr adalah telaganya. Jadi ilmu pengetahuan keluar dari qalb menuju shadr.� Qalb inilah yang menurut Rasulullah Saw. sebagai pengendali seluruh anggota tubuh. Jika qalb nya baik maka baik pula seluruhnya, begitu sebaliknya. (lihat: penjelasan hadis tentang qalb).

Sebagaimana dijelaskan di atas, makna qalb membalikkan, mengganti, berubah-ubah, dan berbolak-balik. Maka pada dimensi inilah yang menyebabkan manusia itu bisa berubah menjadi baik dan buruk. Disamping qalb merupakan dimensi hati sebagai pusat bersemayamnya hidayah, iman dan wawasan kesadaran yang mendalam atau ilmu. Dimensi ini memiliki sifat yang transenden atau tidak tampak dengan mata. Dan salah satu kemampuan dimensi qalb yaitu memahami tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Hajj/22: 46

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.

Ayat di atas merupakan teguran Allah Sawt. kepada orang yang inkar dengan kebenaran. Fungsi hati dalam ayat itu memahami (qulubun ya�qilun biha) tanda kekuasaan dan kebenaran Allah SWT. Artinya hati disini mempunyai daya atau kemampuan memahami atau berfikir. Dan Allah Swt. tidak menunjuk ke organ tubuh lainnya. Oleh karenanya Allah Swt. menegaskan bahwa kondisi orang-orang kafir atau orang yang tidak berakal itu buta hatinya (yang terdapat dalam shadr (dada)) dan bukan buta pada mata yang ada di kepala. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dimensi qalb itu ada di dalam shadr.

Selain itu, qalb juga merupakan tempat bersemayamnya keimanan manusia. Hal tersebut dapat ditelaah melalui Q.S. An-Nahl/16: 106.

مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Artinya: Siapa yang kufur kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan kalimat kekufuran), sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya (dia tidak berdosa). Akan tetapi, siapa yang berlapang dada untuk (menerima) kekufuran, niscaya kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka ada azab yang besar.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa keimanan dan kekafiran seseorang sangat bergantung pada hatinya. Lebih jelasnya, terminologi iman seringkali disandingkan dengan istilah qalb (wa qalbuhu muthma�innun bil iman). Sementara istilah kufr berhubungan dengan terminologi shadr (bil kufri shadran).

 

Fu�d

Fu�d adalah dimensi hati pada lapisan ketiga, lebih dalam lagi dari qalb. Ibarat kamar dan lemari yang ada di dalam rumah. Menurut At-Tirmidzi fu�d adalah lokus makrifat, lintasan hati dan penyaksian. Fu�d ini terletak di tengah-tengah hati sebagaimana hati terletak di tengah shadr. Ia seperti mutiara yang terpendam di dalam mulut kerang.� Di dalam fu�d inilah diproses ilmu pengetahuan (ma�rifah), jika hati mempuyai mata, fuad inilah ma8ta hati yang dimaksud.

Jika mencermati ayat-ayat dalam Al-Qur�an, maka ditemukan perbedaan antara al-qalb dan al-fuad terletak pada fungsi antara keduanya. Al-Qalb merupakan tempat bersemayamnya keberIslaman seseorang. Artinya, ketika seseorang menggunakan hatinya (al-Qalb) dalam bermuamalah maka ia menerapkan syariat yang ada dalam Islam. Gampangnya al-Qalb lebih mengarah pada aktifitas keberIslaman seperti bagaimana shalat, puasa, dan aktifitas lainnya. Dalam dimensi al-Qalb ini masih tersimpan cahaya keburukan. Meskipun tidak sebesar dalam dimensi as-Shadr.

Berbeda dengan dimensi al-fuad yang lebih cenderung pada keberimanan. Ia tempat bersemayamnya keimanan seseorang yang tidak ada celah sedikit pun untuk suatu keburukan. Dan ketika dimensi ini tidak berfungsi atau tertutup maka seseorang tidak memiliki cahaya keimanan lagi. Dengan kata lain ia akan menjadi sesat, murtad, musyrik bahkan kafir. Begitu pula sebaliknya, ketika dimensi al-fuad ini berfungsi maka ia akan mengetahui hakekat dibalik keimanannya kepada Allah SWT.

Berdasarkan analisa di atas, maka bisa pihami bahwa Islam adalah ilmu dan amal sedangkan iman adalah ilmu pengetahuan dan kesesuaian hati. Karena pada dasarnya hati (al-fuad) tidak mampu berbohong sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam� Q.S. Al-Najm/53: 11.

مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى

Artinya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.

Dalam ayat tersebut, istilah yang digunakan ialah ra�a (melihat). Jadi fungsi al-fuad ialah melihat apa yang terdapat di balik suatu kejadian. Dan fuad tidak bisa berbohong, sebagaimana penjelasan Al-Qusyairi (w. 465 H) ketika menafsiri ayat tersebut yakni hati Nabi Saw. tidak berbohong terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt. yang telah disaksikannya.� Berbeda dengan istilah yang disandingkan dengan al-Qalb yang lebih condong kepada al-ilm atau al-ma�rifah.

Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa fungsi al-fuad ialah melihat hakekat dari tanda-tanda penciptaan Allah kemudian dari penglihatan tersebut al-fuad mengambil manfaat darinya. Jadi antara dimensi al-fuad dan al-qalb saling bersinergi dalam upaya mengetahui dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT.

Jadi, konsep al-fuad memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan al-qalb, meskipun pada hakekatnya kedua konsep tersebut sangat berdekatan dan memiliki satu makna yaitu hati. Tidak berlebihan apabila dikatakan sedekat konsep ar-rahman dan ar-rahim yang sama-sama memiliki akar makna kasih sayang. Akan tetapi keduanya menunjuk pada makna yang umum dan khusus.

 

Lubb

Lubb adalah lapisan inti hati. Lubb ini merupakan tempat cahaya tauhid. Ia adalah cahaya yang paling sempurna dan penguasa yang paling agung. Dengan lubb manusia dapat mengetahui hakekat yang menjadi ilmu Allah Swt. di dalam lubb� menjadi ilmu Allah Swt. Di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikit pun, inilah yang mungkin kita sebut dengan istilah hati nurani. Sebab, Allah Swt. memberikan cahaya kekuasaanNya dalam dimensi lubb tersebut. Dan Allah Swt. adalah pengatur dari ketetapan atau isi dasar agama yang ada dalam dimensi ini.

Lubb merupakan akal yang murni, suci, dan bersih dari segala macam kotoran hati. Lubb adalah dimensi hati yang paling inti, dengan lubb inilah manusia memahami hakekat segala sesuatu. Untuk itu, Allah SWT menggunakan istilah Ulu-l-Albab untuk menunjuk hamba-Nya yang mampu menggunakan akalnya untuk memahami esensi dari segala kejadian. Oleh karena itu Ulu-l-Albab merupakan kriteria manusia yang diberikan kemampuan untuk mengambil hikmah oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 269.

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya: Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.

 

Kandungan Hati

1.� Hati yang mengandung penyakit

Penyakit hati disini tentu bukan penyakit dalam arti fisik seperti hepatitis, kanker hati dan lainnya, tetapi penyakit hati secara secara spiritual, yaitu yang merujuk pada kondisi atau sifat negatif yang mengganggu kesehatan jiwa dan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Ini bisa termasuk sifat-sifat seperti kemunafikan, kebencian, iri, kesombongan, kemarahan, dan kedengkian. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah/2:10

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ ەۙ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ

Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit,� lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta.

Ayat ini menjelaskan hati yang sakit yang dimiliki oleh golongan orang munafik yaitu orang-orang yang bimbang hatinya apakah menjadi bagian kaum mukminin atau kaum kafirin. Orang munafik ini dengan kejahilannya menipu dirinya sendiri, namun mereka tidak memahami hal itu karena rusaknya hati mereka, yaitu hati yang sakit yang terdapat keraguan, tidak yakin akan kebenaran, munafik dan tidak beriman.

 

2.� Hati yang mengadung keraguan

Hati yang mengandung keraguan adalah kondisi di mana seseorang merasa tidak pasti atau ragu tentang keyakinan, keputusan, atau perasaannya sendiri. Hati yang penuh keraguan ini akan menghalangi seseorang untuk mengambil tindakan. Dalam konteks spiritual, keraguan bisa menjadi penghalang dalam hubungan seseorang dengan Tuhan atau dalam menjalani keyakinan mereka. Seperti keraguan orang-orang munafik pada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9:45

اِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ

Artinya: Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad untuk tidak berjihad) hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.

 

3.� Hati yang mengandung kemunafikan

Hati yang mengandung kemunafikan adalah di mana seseorang memiliki sikap atau niat yang tidak tulus, baik dalam keyakinan maupun dalam tindakan. Sebagaimana lazimnya munafik yang sering dipahami berupa perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang diyakini atau dilakukan. Ini dapat mencakup perilaku seperti berpura-pura baik di depan orang lain, tetapi di dalam hati tidak memiliki niat yang sama. Sikap inilah yang sering dilakukan oleh orang-orang munafik yang hidup pada zaman Nabi Saw. mereka berpura-pura iman dihadapan nabi, padahal dibelakang mereka sangat memusuhi nabi. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9:127

وَاِذَا مَآ اُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ نَّظَرَ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍۗ هَلْ يَرٰىكُمْ مِّنْ اَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوْاۗ صَرَفَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ

Artinya: Apabila diturunkan suatu surah, satu sama lain di antara mereka saling berpandangan (dengan sikap mengejek sambil berkata), �Adakah seseorang (dari kaum muslim) yang melihat kamu?� Setelah itu mereka pun pergi. Allah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak memahami.

 

4.� Hati yang mengandung kedamaian

Hati yang damai adalah di mana seseorang merasa tenang, harmonis, dan seimbang secara emosional dan spiritual. Ini adalah keadaan di mana seseorang dapat merasakan kedamaian batin meskipun di tengah tantangan atau kesulitan. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Ar-Ra�d/13:28

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

 

Jenis-jenis Hati

Secara eksplisit sebenarnya di dalam Al-Qur�an Allah Swt. tidak membagi hati menjadi beberapa bagian, namun jika dikaji secara mendalam dalam sebaran ayat pasti akan ditemukan ayat-ayat yang menggambarkan jenis-jenis hati, diantaranya: hati yang sehat, hati yang keras, hati yang tertutup, dan hati yang lalain.

 

1.� Hati yang bersih atau sehat

Hati yang sehat adalah hati yang bersih yang selamat dari penyakit-penyakit hati, baik penyakit yang menyebabkan kemusyrikan, kekufuran, dan perilaku buruk. Orang yang hatinya bersih akan selamat ketika menghadap Allah Swt. disebutkan dalam Q.S Asy-Syu�ara/26: 88-89

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ

Artinya: (Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.�

 

2.� Hati yang keras

Hati yang keras adalah hati merujuk pada sikap atau kondisi seseorang yang sulit menerima perasaan, empati, atau perubahan. Ini bisa berarti orang tersebut tidak peka terhadap perasaan orang lain, keras kepala, atau enggan untuk belajar dari pengalaman. Dalam konteks spiritual atau emosional, hati yang keras juga bisa berarti kurangnya koneksi dengan diri sendiri atau dengan orang lain. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Ali-Imran/159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

 

3.� Hati yang tertutup

Hati yang tertutup adalah merujuk pada kondisi di mana seseorang enggan atau sulit membuka diri, baik terhadap perasaan sendiri maupun terhadap orang lain. Seseorang dengan hati yang tertutup akan sulit untuk menjalin hubungan yang dekat, berkomunikasi secara jujur, atau menerima kasih sayang. Dalam konteks spiritual atau emosional, membuka hati sangat untuk konektifitas yang lebih baik dengan orang lain. Kaitannya dengan jenis hati ini Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 88

وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا غُلْفٌ ۗ بَلْ لَّعَنَهُمُ اللّٰهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيْلًا مَّا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya: Mereka berkata, �Hati kami tertutup.� Tidak! Allah telah melaknat mereka itu karena keingkaran mereka, tetapi sedikit sekali mereka yang beriman.

 

4.� Hati yang lalai

Hati yang lalai adalah� merujuk pada kondisi di mana seseorang tidak memperhatikan atau mengabaikan hal-hal penting dalam hidupnya, baik itu perasaan, tanggung jawab, atau nilai-nilai moral. Ini bisa berarti kurangnya kesadaran akan diri sendiri atau lingkungan, serta ketidakmampuan untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti. Dalam konteks spiritual, hati yang lalai adalah lupa dengan Allah Swt. karena terlena dengan kesenangan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi/18:28

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

Artinya: Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.

 

Fungsi Hati

1.� Berfikir

Fungsi hati berpikir merujuk pada pemahaman bahwa hati tidak hanya sebagai organ fisik, tetapi juga sebagai pusat perasaan, niat, dan pemikiran dalam konteks spiritual atau emosional. Disini hati dianggap sebagai tempat di mana pemahaman dan keputusan yang dalam berasal. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Qaf/50:37

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهٗ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan.

 

2.� Bertadabbur

Bertadabbur di sini artinya kemampuan hati untuk merenungkan, memahami, dan menyelami makna yang lebih dalam dari ajaran atau fenomena tertentu, terutama dalam konteks spiritual dan keagamaan. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Hajj/22:46

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.

 

3.� Berdzikir

Berdzikir di sini artinya peran hati dalam mengingat dan menyebut nama Tuhan secara konsisten, baik melalui lisan maupun dalam hati. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Ar-Ra�d/13: 28

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

 

4.� Merasakan

Fungsi hati merasakan disini merujuk pada kemampuan hati untuk mengalami dan memahami berbagai emosi serta perasaan yang muncul dalam diri seseorang. Maka, hati dianggap sebagai pusat perasaan dan pengalaman emosional. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Hadid/57: 27

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ الْاِنْجِيْلَ ەۙ وَجَعَلْنَا فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَّرَحْمَةً ۗوَرَهْبَانِيَّةَ ِۨابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنٰهَا عَلَيْهِمْ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ رِضْوَانِ اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۚفَاٰتَيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْهُمْ اَجْرَهُمْ ۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

Artinya: Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada-adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik.

 

Eksistensi Hati Perspektif Al-Qur�an

Semua anggota tubuh yang diberikan oleh Allah Swt. ini adalah merupakan amanah yang harus dijaga dan digunakan sesuai fungsi dan maksud pemberi nikmat yaitu tidak lain adalah untuk semata-mata ibadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Az-Zariy�t/51:56

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku

Berdasarakan ayat di atas maka manusia mempunyai kewajiban meyembah dan beribadah kepada Allah Swt. yakni menggunkan seluruh anggota tubuhnya yang menjadi komponen penyusun tubuh untuk menyebah-Nya. Oleh karenanya jika anggota tubuh dibuat melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah Swt. akan menerima siksa kelak di hari pembalasan, termasuk hati.

Eksistensi hati dalam diri manusia sangat menentukan keselamatannya. Posisi hati dalam organ tubuh manusia adalah ibarat seorang raja yang mempunyai kendali dan kekuasaan untuk memberi perintah pada tentaranya. Semua yang diperbuat oleh tentara ini akan ditentukan oleh perintah Sang Raja, sesuai kehendak dan keinginannya. Sebuah perbuatan tidak akan bisa dijalankan dengan baik, sebelum hati memberikan arahan niat dan tujuan yang diinginkannya. Karena itu pula, hati yang akan bertanggung jawab� di� kemudian� hari. Sebagaimana� setiap� pemimpin� bertanggungjawab� atas apa yang dipimpinya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Isra�/17:36

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Artinya: Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.

Dijelaskan dalam Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI terkait ayat ini bahwa Jangan mengatakan sesuatu yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku melihat apa yang tidak engkau lihat, jangan pula mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar, atau mengalami apa yang tidak engkau alami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, adalah amanah dari tuhanmu, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya, apakah pemiliknya menggunakan untuk kebaikan atau keburukan'dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu, karena sesungguhnya sekuat apa pun hentakan kakimu, kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan setinggi apa pun kepalamu, sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Sesungguhnya kamu adalah makhluk yang lemah dan rendah di hadapan Allah, kamu tidak memiliki kekuatan dan kemuliaan, melainkan apa yang dianugerahkan oleh-Nya.

Ayat ini menjelaskan bahwa anggota tubuh seperti telinga, mata dan hati harus digunakan sesuai fungsinya artinya telinga harus mendengarkan apa yang layak didengar dan tidak mengatakan apa yang tidak didengar, mata juga harus digunakan untuk melihat apa yang layat dilihat dan tidak berbohong atas apa yang tidak dilihat, begitu juga hati.

 

Hati dalam Perspektif Al-Hadis

Sudah diketahui bersama bahwa hati adalah organ tubuh manusia yang paling penting. Jika hati seseorang baik maka baik pula perilakunya. Begitu pula jika hatinya buruk maka buruk pula perilakuknya. Dalam hal ini hati bagaikan cermin yang bisa memantulkan cahaya keimanan. Kebersihan hati dari sifat-sifat yang tidak disenangi Allah adalah merupakan bagian dari kesempurnaan iman, maka sungguh beruntung seseorang yang dapat membersihkan hatinya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-A�la/87: 14

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى

Artinya: �Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).�

Dan Allah Swt. juga berirman di dalam Q.S. As-Syams/91: 9

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا

Artinya: �sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.�

Di banyak kesempatan secara eksplisit Nabi Muhammad Saw. menyebutkan tentang hati, mulai dari fungsi hati, perkara yang menyebabkan hati menjadi gelap, Allah Swt. tidak memandang manusia dari segi fisik dan penampilan melainkan hati seseorang, cara menjaga hati, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakana Nabi Saw. ingin mengajarkan kepada kita bahwa hati adalah pusat kehidupan kita. Bahkan hati sangat mempengaruhi terhadap perilaku kita. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Artinya: Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabi

la segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.

Dalam hadis ini, Nabi Saw. secara khusus menyebut hati dengan ciri fisik mughah (sepotong daging). Dikatakan demikian karena ukurannya yang kecil (sekiranya bisa dikunyah di dalam mulut).� Menurut ulama, hadis ini adalah hujjah bahwa akal itu berada di dalam hati tidak di dalam otak, namun pendapat ini terjadi banyak khilaf di kalangan ulama Syafi�iyah dan pakar ilmu kalam. Menurut Abu Hanifah �akal itu di dalam otak, dikatakan pula akal itu di dalam hati�. Kalangan Hanafiyah menceritakan bahwa pendapat pertama (akal di dalam otak) adalah golongan filosof, sementara pendapat kedua (akal di dalam hati) adalah ahli kedokteran. Al-Maziri menguatkan argumennya bahwa akal itu di dalam hati. Ia membuktikan dengan firman Allah Swt. Q.S. Al-Hajj/22: 46

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya: Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.

Dan firman Allah Swt. Q.S. Qaf /50:37

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهٗ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan.

Al-Maziri menambahkan, berdasarkan hadis ini juga bahwa Nabi Saw. mengukur baik buruknya seluruh jasad itu tergantung hati, sementara otak adalah bagian dari jasad, maka baik-buruknya otakpun juga tergantung hati, maka dari itu dapat diketahui bahwa otak bukan tempatnya akal.� Terlepas dari perdebatan yang ada, apakah hati tempatnya akal atau bukan, yang jelas eksistensinya sangat mempengaruhi jasad, baik secara fisik atau psikis.

Terkait hadis di atas Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menggambarkan bahwa hati adalah raja, sementara organ tubuh lainnya adalah pasukan yang menerima petunjuk bila melakukan perintah, dan tidak ada satu amalpun yang tegak melainkan amal itu keluar dari hati.�

Al-Jauziyah disini mengibaratkan hati adalah raja artinya hati adalah pengendali utama� terhadap oragan tubuh lainnya. Maka, berdasarkan hadis di atas, keberadaan hati disini menjadi vital bagi perilaku manusia, ia menjadi pengendali organ tubuh lainnya, sehingga gerakan atau tindakan yang dilakukan oleh tangan, kaki, lisan, mata, telinga dan oragan tubuh lainnya adalah perintah hati. Maka, jika hati memberikan intruksi baik, baik pula tindakannya, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hati sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Tindakan yang dilakukan manusia itu menggambarkan isi hatinya.

Menjaga kebersihan hati sangat penting untuk dilakukan. Jika hati ini kotor, maka sangat dimungkinkan kita akan kesulitan berjumpa dengan Allah Swt. maka peranan yang perlu diperhatikan oleh kita adalah bagaimana mensirnakan kendala-kendala yang menutup pintu hati ini yaitu yang berupa dosa maksiat, amarah, kedengkian, bohong, membanggakan diri, riya�, takabbur, syu�uzan, maksiat, kedurhakaan, kecintaan terdapat dunia yang berlebihan, dan semua perbuatan yang bisa menghambat kedekatan kita kepada Allah Swt.

Kemudian upaya apa yang bisa kita lakukan? Tentu membersihkan hati dengan menjauhi sifat-sifat tercela tersebut. Dengan begitu hati ini akan menjadi terang, dan terangnya hati ini akan terpancar dalam perilaku dan memudahkan kita ma�rifat kepada Allah Swt. sebagaimana ungkapan Ibnu Atha�illah Assakandari (w. 709 H) :

كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرَ الْاَكْوَنِ مُنْطَبِعَةً فِي مِرْأَتِهِ؟ اَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ� اِلَى اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهْوَتِهِ؟ اَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ اَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَمْ يَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفْلَتِهِ؟ اَمْ كَيْفَ يَرْجُو اَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْاَسْرَارِ وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ

Artinya:�Bagaimana hati manusia akan menyirnakan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan?Bagaimana seorang hamba ini mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu oleh syahwat? Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, sementara ia belum bersih dari jinabat kelalaianya? Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami rahasia-rahasia halus, padahal ia belum bertaubat dari kesalahannya.�

Perbuatan dosa akan mengotori hati. Dosa yang dilakukan akan menjadi noda hitam yang menutupi kesucian dan kebersihan hati. Jika noda-noda itu terus menumpuk, hati ini akan berkarat dan menjamur. Mungkin lama-kelamaan akan mengeras seperti kerak batu yang sulit dibersihkan. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ { كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Ibnu 'Ajlan] dari [Al Qa'qa' bin Hakim] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] beliau bersabda: "Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka di titikkan dalam hatinya sebuah titik hitam dan apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan dan apabila ia kembali maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutup hatinya, dan itulah yang diistilahkan "Ar raan" yang Allah sebutkan: kallaa bal raana 'alaa quluubihim maa kaanuu yaksibuun.(QS. Almuthaffifin 14). Ia berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih.

Hadis di atas dengan jelas mengisyaratkan bahwa dosa yang diperbuat akan mengotori hati. Dan cara membersihkannnya adalah dengan bertobat. Orang yang ahli maksiat hatinya akan kotor dan gelap. Pada kondisi seperti ini akan sulit menerima cahaya iman dan ilmu.

Hati yang bersih menjadi titik sasaran Allah Swt. dalam memandang hamba-Nya. Allah Swt. tidak memandang penampilan fisik tetapi melihat hati. Hal ini tercermin dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut:

وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ� قَالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وأعْمَالِكُمْ رواه مسلم.

Artinya: Dari Abi Hurairah, yakni Abd Rahman bin Shakhr, ia berkata: �Rasulullah Saw. bersabda: �Sesungguhnya Allah Swt. tidak memandang jasad kalian dan tidak memandang rupa kalian, tetapi Ia memandang hati dan amal kalian�.

Hadis ini menekankan bahwa yang paling dihargai di sisi Allah adalah ketulusan hati dan niat. Dalam konteks ini, Allah melihat kualitas spiritual dan moral seseorang, bukan sekadar penampilan luar atau status sosial.

Selain itu, hadis ini juga bisa dipahami bahwa kita harus introspeksi dan memperbaiki diri dari dalam. Dengan menyadari bahwa Allah mengutamakan hati, individu didorong untuk mengembangkan sifat-sifat baik, seperti keikhlasan, kasih sayang, dan keadilan. Ini menjadikan iman dan amal sebagai inti dari pengabdian, menjauhkan fokus dari hal-hal yang bersifat duniawi dan mendorong pencarian kedekatan yang lebih mendalam dengan Sang Pencipta.

Terkait hadis di atas, Al-Nawawi (w. 677) menjelaskan bahwa ketakwaan tidak bisa dihasilkan dengan amal dahir saja (Sulistiyorini et al., 2023). Ketakwaan hanya bisa berhasil jika amal disertai dengan hati yang mengagugkan Allah, hati yang merasa takut kepada-Nya, dan hati yang mawas kepada-Nya.

Ibn �Alan (w. 1057 H) juga menerangkan bahwa hadis ini menekankan agar kita bersungguh-sungguh dalam menata kondisi hati, mengetahui sifat hati, mensahihkan� tujuan dan niat hati serta membersihkan hati dari sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji, karena hati menjadi tempat Allah Swt. memandang hambanya (Solanki et al., 2022; Tian et al., 2024). Beliau menambahkan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki hati harus didahulukan daripada amal anggota badan dahir, karena amal hati bisa mengesahkan amal syari�at (dahir).

Berdasarakan hadis dan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa hati merupakan pusat dimana Allah Swt. memandang hamba-Nya. Sebelum memperbaiki kondisi dahir alangkah baiknya menata kondisi hati. Karena ukuran keabsahan dan diterimanya amal adalah hati. Jika hatinya mempunyai niat yang baik, maka apa yang dikerjakan oleh anggota dahir menjadi baik. Disinilah pentingnya niat yang baik di dalam beramal. Oleh karenanya niat menjadi penentu keabsahan sebuah ibadah sekaligus hati yang bersih dan tulus menjadi kunci untuk mendapatkan keridhaan-Nya.

 

 

KESIMPULAN

 

Dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadis, hati (qalb) memiliki peranan sentral dalam kehidupan spiritual dan moral seorang Muslim. Hati dianggap sebagai pusat keimanan, tempat di mana Allah Swt. menilai niat dan keikhlasan seseorang. Al-Qur'an menekankan pentingnya menjaga hati dari kotoran dosa dan penyakit spiritual, serta mengisi hati dengan iman dan taqwa. Hadis Nabi Muhammad SAW juga menyoroti bahwa hati yang bersih akan memancarkan kebaikan dan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah Swt. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki dan membersihkan hati merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Implikasinya, pendidikan spiritual yang menekankan kebersihan hati harus menjadi bagian integral dalam pembelajaran Islam, sehingga individu dapat mengembangkan karakter yang baik dan berkontribusi positif terhadap masyarakat, serta meningkatkan hubungan mereka dengan Allah.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Dahuri, D. (2023). Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan Otak perspektif Kajian Neurosains Spiritual. Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Sains Islam Interdisipliner, 76�85. https://doi.org/10.59944/jipsi.v2i2.106

de Jong, T. L., Pluymen, L. H., van Gerwen, D. J., Kleinrensink, G.-J., Dankelman, J., & van den Dobbelsteen, J. J. (2017). PVA matches human liver in needle-tissue interaction. Journal of the Mechanical Behavior of Biomedical Materials, 69, 223�228. https://doi.org/10.1016/j.jmbbm.2017.01.014

Emra, Y., Abubakar, A., & Irham, M. (2024). Karakteristik Al-Muflih {U< N Dalam Al-Qur�an (Kajian Tafsir Tah} li> li> QS Al-Baqarah/2: 5). Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur�an Dan Tafsir, 9(1), 35�48. https://doi.org/10.47435/al-mubarak.v9i1.2457

Faozi, A., & Himmawan, D. (2023). Nilai-Nilai Pendidikan Spiritual Menurut Syekh Zainal Abidin Abdul Karim Al Husaini dalam Kitab Al Barzanji. Journal Islamic Pedagogia, 3(1), 90�97. https://doi.org/10.31943/pedagogia.v3i1.93

Georges, A. M. (2020). ISIS Rhetoric for the Creation of the Ummah. In Religion and theology: breakthroughs in research and practice (pp. 429�449). IGI Global. https://doi.org/10.4018/978-1-7998-2457-2.ch025

Hadi, M. F. Z. (2015). Tasawuf untuk Kesehatan Mental. An-Nida�, 40(1), 31�41. https://doi.org/10.24014/an-nida.v40i1.1493

Imbir, K. K. (2016). From heart to mind and back again. A duality of emotion overview on emotion-cognition interactions. New Ideas in Psychology, 43, 39�49. https://doi.org/10.1016/j.newideapsych.2016.04.001

Jushiddi, M. G., Mani, A., Silien, C., Tofail, S. A. M., Tiernan, P., & Mulvihill, J. J. E. (2021). A computational multilayer model to simulate hollow needle insertion into biological porcine liver tissue. Acta Biomaterialia, 136, 389�401. https://doi.org/10.1016/j.actbio.2021.09.057

Lah, N. A. A., Wahab, M. H. A., Koh, D., & Saruwono, M. (2015). Metaphysical approach for design functionality in Malay-Islamic architecture. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 202, 273�284. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.08.231

Lestari, F. F. S., Hamdan, M., & Susilawati, S. (2021). Studi Literatur Keefektifan Kelas Virtual Dalam Pembelajaran Fisika Di Masa Pandemi. Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Fisika, 1(1), 29�32. https://doi.org/10.52434/jpif.v1i1.1260

Putra, A. A. (2016). Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 1(1), 41�54. https://doi.org/0.25299/althariqah.2016.vol1(1).617

Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). Sumber-sumber hukum Islam dan Implementasinya. Borneo: Journal of Islamic Studies, 1(2), 28�41. https://doi.org/10.37567/borneo.v1i2.404

Solanki, Y. S., Agarwal, M., Gupta, A. B., Gupta, S., & Shukla, P. (2022). Fluoride occurrences, health problems, detection, and remediation methods for drinking water: A comprehensive review. Science of the Total Environment, 807, 150601. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.150601

Suhartiningsih, L., Rahmawati, F., & Himami, A. S. (2021). Tasawuf sebagai Terapi Problematika Masyarakat Modern. Irsyaduna: Jurnal Studi Kemahasiswaaan, 1(2), 131�146. https://doi.org/10.54437/irsyaduna.v1i2.290

Sulistiyorini, C. I., Cahyono, D., & Sanosra, A. (2023). Analisis Spritualitas dan Stres Kerja terhadap Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja dengan Ketaqwaan sebagai Pemediasi di Kalangan Karyawan Universitas Jember. Budgeting: Journal of Business, Management and Accounting, 4(2), 265�281. https://doi.org/10.31539/budgeting.v4i2.4174

Tian, D., Chen, W., Xu, D., Xu, L., Xu, G., Guo, Y., & Yao, Y. (2024). A review of traditional Chinese medicine diagnosis using machine learning: Inspection, auscultation-olfaction, inquiry, and palpation. Computers in Biology and Medicine, 108074. https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2024.108074

Van Cappellen, P., Edwards, M. E., & Fredrickson, B. L. (2021). Upward spirals of positive emotions and religious behaviors. Current Opinion in Psychology, 40, 92�98. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2020.09.004

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).