Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Desember 2021, 1 (12), 1632-1646
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
DOI : 10.36418/cerdika.v1i12.217 http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika
LEGAL DELEGASI (PELIMPAHAN WEWENANG MEDIS) DOKTER
KEPADA PERAWAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM
Yana Sylvana1, Yohanes Firmansyah2*, Imam Haryanto3
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta1, 2, 3
sylvanavana@gmail.com1, yohanesfirmansah28@gmail.com2,
imam.upns2@gmail.com3
Abstrak
Received:
Revised :
Accepted:
09-07-2021
29-11-2021
21-11-2021
Latar Belakang: Pelimpahan wewenang oleh dokter kepada
perawat dapat dilakukan secara delegasi ataupun mandat.
Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi atau mandat
seharusnya dilakukan dengan cara tertulis karena hal ini
berkaitan dengan hubungan hukum yang terkait dengan hak
dan kewajiban ners dan dokter dalam menjalani
kewenangannya.
Tujuan: Menelaah secara yuridis pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab hukum pelimpahan wewenang dokter ke
perawat
Metode: Pendekatan penelitian ini merupakan yuridis
normatif, dengan waktu penelitian dari Mei 2021 Agustus
2021. Sampel penelitian ini berupa sumber hukum primer
(regulasi dan hukum positif), sumber hukum sekunder (buku),
serta sumber hukum tersier (website). Seluruh materi daring
diambil dari berbagai literatur terindeks Google Scholar
Hasil: Permenkes Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang
Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, dalam Pasal
23 Ayat (1) menyatakan: segala pelimpahan wewenang wajib
tertulis, bilamana hal ini tidak dilakukan maka terdapat
konsekuensi hukum
Kesimpulan: Dokter dapat mendelegasikan wewenang kepada
perawat melalui pendelegasian atau mandat. Pendelegasian
wewenang seringkali diikuti dengan pendelegasian kewajiban,
sedangkan mandat tidak.
Kata kunci: pelimpahan wewenang; kepentingan publik;
kolaborasi pelayanan kesehatan; hukum yang
berlaku.
Abstract
Background: Delegation of authority by doctors to nurses can
be done by delegation or mandate. Delegation of authority by
way of delegation or mandate should be done in writing
because this is related to legal relations related to the rights
and obligations of nurses and doctors in carrying out their
authority.
Objective: To examine juridically the delegation of authority
and legal responsibility for the delegation of authority from
doctors to nurses
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1633
Methods: This study uses a research methodology that reviews
juridical normative which is carried out by synthesizing
deductive conclusions from secondary sources.
Result: Permenkes Number 2052/Menkes/Per/X/2011
concerning Practice License and Implementation of Medical
Practice, in Article 23 Paragraph (1) states: all delegation of
authority must be in writing, if this is not done then there will
be legal consequences
Conclusion: Doctors can delegate authority to nurses
through delegation or mandate. Delegation of authority is
often followed by delegation of obligations, whereas mandate
is not.
Keywords: delegation of authority; public interest; health
service collaboration; applicable law.
*Correspondent Author: Yohanes Firmansyah
Email: yohanesfirmansah28@gmail.com
PENDAHULUAN
Kesehariannya seorang dokter menjalankan praktik di dunia kedokteran seringkali
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya (Mohamad, 2019). Setiap orang memiliki
hak untuk sehat secara jasmani serta hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik
yang disebut Hak dasar manusia (Astuti, 2020). Kesehatan adalah cita-cita bangsa
Indonesia yang termasuk salah satu unsur penilaian kesejahteraan warga negara Indonesia
yang harus diwujudkan, dikarenakan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang
prioritas dan utama yang mendasar bagi manusia (Ardinata, 2020).
UUD 1945 Pasal 28H ayat 1 mencantumkan, manusia memiliki hak kesejahteraan
secara lahir dan batin termasuk salah satunya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
(Pemerintah Republik Indonesia, 2002). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa “setiap individu berhak untuk atas kesehatan”, Oleh
sebab itu masyarakat berhak menerima pelayanan atas kesehatannya dan pemerintah
berperan dalam mengatur penyelenggaraannya (Firmansyah, 2021).
Tenaga medis adalah orang yang berhak untuk melakukan tindakan medis. Bangsa
Indonesia tercantum peraturan yang membahas mengenai perbedaan antara petugas
kesehatan dan petugas medis. Peraturan Pemerintah RI No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, yaitu setiap individu dengan pendidikan di bidang kesehatan dan memiliki
wewenang untuk melakukan upaya kesehatan. Guna mewujudkan kesejahteraan, tenaga
kesehatan berperan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang
maksimal terhadap masyarakat (Nomor, 1996).
Setiap tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah, oleh karena itu setiap
pelayanan kesehatan wajib dilakukan dengan keahlian dan keilmuan yang diperoleh dari
pendidikan. Tenaga kesehatan yang memiliki dua kewenangan adalah perawat kewenangan
perawat yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan keperawatan dan tindakan medis.
Perawat yang mendapatkan pelimpahan wewenang dari seorang dokter selaku tenaga
medis dapat melakukan tindakan medis, hal tersebut tertuang dalam Pasal 32 Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan jika memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan maka perawat diberi kesempatan untuk melakukan tindakan medik
(Presiden, 2014). Pernyataan mengenai : “Dokter atau dokter gigi dapat memberikan
pelimpahan tindakan kedokteran kepada perawat, bidan dan tenaga Kesehatan lainnya
wajib dilakukan secara tertulis” tertuang dalam Permenkes Nomor
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1634
2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, dalam
Pasal 23 Ayat (1) (RI, 2014).
Pasal 1313 KUH Perdata: “suatu perbuatan yang berkaitan dengan hubungan
antara dokter dan pasien dimulai secara keperdataan, untuk melihat apakah ada landasan
hukum jika terjadi sesuatu. Pelimpahan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang
dokter ke perawat dapat menjadi petaka bagi perawat ketika tindakan tersebut
menimbulkan dampak tidak baik kepada pasien (Ahmad Supriyadi, 2012). Permasalahan
hukum dapat timbul jika kesalahan tersebut berdampak fatal bagi pasien, khususnya di
bagian hukum perdata yang berbunyi “setiap tindakan yang melanggar hukum dan
menimbulkan dampak tidak baik pada orang lain maka ia diharuskan untuk mengganti
kerugian tersebut” tercantum dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan
melawan hukum (Subekti & Tjitrosudibio, 2003).
Secara hukum pengalihan tanggung jawab dalam tindakan medis terjadi ketika
tindakan tersebut dilimpahkan ke perawat (Istikomah, Erawantini, & Putra, 2020). Artinya
jika pelimpahan tanggung jawab tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien, perawat juga
turut menjadi pihak yang bertanggungjawab atas kerugiannya (Wati & Nuraini, 2019).
Terdapat pemahaman yang universal yaitu surat tertulis untuk melimpahkan tugas seorang
dokter kepada perawat diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan antara dokter dan perawat
dalam pembuktian hukumnya (Gunawan & Christianto, 2020). Bidang dunia kesehatan
saat ini rekam medis merupakan catatan-catatan medis yang berkaitan dengan bagaimana
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien yang khususnya dituliskan oleh dokter dan
perawat . Rekam medis hanya dapat dilihat dan diketahui isinya oleh dokter dan perawat
yang berkaitan dengan rekam medis pasien yang terkait, inilah yang merupakan kelemahan
dari rekam medis (Susanto, 2018).
Pelimpahan wewenang oleh dokter kepada perawat dapat dilakukan secara delegasi
ataupun mandate (MerdekawatiI, 2021). Pelimpahan wewenang secara delegasi disertai
pelimpahan tanggung jawab sedangkan pada mandat tidak disertai dengan pelimpahan
tanggung jawab (Pramesti, 2013). Pelimpahan tugas wewenang seringkali terjadi secara
lisan dengan berbicara langsung atau melalui sambungan telepon dengan alasan dokter
sedang tidak ada di tempat dan berbeda lokasi dengan tempat dimana sedang berlangsung
pelayanan kesehatan. Hal tersebut belum diatur dalam perundang-undangan secara jelas
namun hal tersebut tidak menjadi masalah jika hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan
dan tidak timbul kerugian bagi pasien (Anam, 2018).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan menjabarkan mengenai
delegasi wewenang dari dokter kepada perawat. Adapun pembahasan lebih lanjut secara
praktis, dibahas pula mengenai penyelesaian sengketa medis bilamana terjadi kesalahan
atau masalah dalam pelimpahan wewenang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin, yang mengelaborasi bidang
kesehatan dengan disiplin ilmu hukum. Jenis penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif (Ariawan, 2013). Metode pendekatan yang
digunakan adalah deskriptif-analitis-eksplanatoris yang menggunakan tipe penelitian
hukum yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang
ditujukan untuk mempelajari kesesuaian dan konsistensi antara satu undang-undang
dengan undang-undang lainnya, atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar,
atau antara regulasi dengan peraturan perundang-undangan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan bahan
hukum yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang melingkupi
seluruh regulasi dan peraturan di Indonesia, bahan hukum sekunder yang berupa buku dan
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1635
jurnal, serta bahan hukum tersier yang berupa kamus dan ensiklopedia. Teknik
pengumpulan data dari seluruh literature berupa studi kepustakaan (library research),
dilakukan dengan menelaah bahan-bahan pustaka berupa buku-buku perundang-undangan
dan sumber-sumber tertulis lainnya, yang terkait atau berhubungan dengan penelitian ini.
Metode berpikir yang digunakan dalam menganalisis data-data yang terkumpul adalah
dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang
sifatnya umum kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus (Ibrahim, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat
Menurut (Fakih & Yulia Kusuma Wardani, 2018), kewenangan dianggap sah jika
ditinjau dari sumber dari mana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga
kategori kewenangan, yaitu atributif, delegatif dan mandat, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Kewenangan Atributif
Kewenangan Atributif yang berdasarkan Undang-Undang terdapat pembagian
kekuasaan. Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini pelaksanaannya dilakukan
sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera dalam peraturan dasarnya terhadap
kewenangan atributif mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada
pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya.
b. Kewenangan Delegatif
Kewenangan yang berdasarkan undang-undang melemparkan sebuah tugas
dari bagian pemerintah ke bagian yang lainnya. Dalam hal ini tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih kepada yang diberi wewenang tersebut dan beralih pada
delegataris.
Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu
2) Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan
3) Delegasi tidak dapat diberikan kepada bawahan, artinya dalam hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi
4) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans dapat untuk
meminta penjelasan berkaitan dengan pelaksanaan wewenang tersebut
5) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
c. Kewenangan Mandat
Menurut (Ngadiarti, Jauhari, El Jannah, Sulistyo, & Dwirahmadi, 2020),
kewenangan mandat adalah pelimpahan yang dilakukan dari jabatan yang lebih tinggi
kepada jabatan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat hubungan rutin atasan dan
bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas. Pelimpahan kewenangan kepada tenaga
kesehatan diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 65 ayat yang menyatakan bahwa (Republik Indonesia, 2014):
1) Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis
dalam melakukan pelayanan medis.
2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat
menerima pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan ketentuan:
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1636
a) Penerima pelimpahan memiliki kemampuan dan keterampilan dalam
melakukan Tindakan yang dilimpahkan.
b) Pemberi limpahan wewenang melakukan pengawasan.
c) Tindakan yang dilakukan orang yang melaksanakan tetap merupakan
tanggung jawab pemberi kewenangan.
d) Pengambilan keputusan merupakan tugas dari pemberi wewenang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, mandat adalah penyerahan
kewenangan lebih tinggi yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada pemberi mandat, sedangkan delegasi merupakan penyerahan
kewenangan dari lebih tinggi kepada yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi (Ngadiarti et al., 2020).
Menurut (Amir & Purnama, 2021), adapun dalam hal pelimpahan wewenang yang
dilakukan dokter kepada ners harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dokter yang memutuskan dalam melakukan penegakan diagnosa, penentuan terapi
serta penentuan indikasi. Pengambilan keputusan oleh dokter tidak dapat limpahkan.
b. Pelimpahan tindakan medis hanya dapat dilakukan jika dokter tersebut sudah yakin
bahwa perawat yang menerima pelimpahan itu sudah mampu melaksanakan tugas
dengan baik.
c. Pelimpahan wewenang itu harus dilakukan secara tertulis termasuk instruksi yang
jelas mengenai pelaksanaannya, bagaimana bertindak jika timbul komplikasi dan
sebagainya.
d. Dalam pelaksanaannya pelimpahan secara mandate harus ada bimbingan dan
pengawasan secara medis.
e. Penolakan pelimpahan dapat dilakukan jika yang dilimpahkan merasa tidak mampu
melakukan Tindakan medis tersebut.
Penyerahan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
keperawatan dalam pasal 29 ayat (1) huruf e pelimpahan tindakan dapat dilakukan secara
tertulis kepada tenaga Kesehatan lainnya dan melakukan evaluasi tindakannya. Perawat
yang memiliki kompetensi yang berhak diberikan pelimpahan tindakan medis tersebut
(Kemenkumham, 2014).
Penyerahan secara mandat adalah pelimpahan tindakan yang dimana perawat
berhak melakukan tindakan atas pengawasan dan tanggung jawab untuk tindakan tersebut
tetap pada orang yang memberikan delegasi, sedangkan penyerahan wewenang secara
delegatif adalah pelimpahan suatu tindakan kepada perawat dan tanggung jawab atas
tindakan tersebut juga diberikan ke perawat tersebut, hanya bisa dilakukan oleh perawat
yang memiliki kompetensi yang bersangkutan (Amir & Purnama, 2021).
Penyerahan wewenang dalam kepada perawat berhubungan dengan jumlah
personil yang ada. Penurunan wewenang ini terkait dengan peran, fungsi dan tugas tenaga
kesehatan serta hubungan hukum satu sama yang lain. Pendelegasian kewenangan harus
dilakukan secara tertulis beserta dengan langkah-langkah dan tata cara yang lengkap
sehingga jika terjadi komplikasi bisa dilakukan pengambilan tindakan. Dalam tahap
pelaksanaannya diperlukan bimbingan. Penerima pendelegasian itu berhak untuk menolak
apabila dia merasa tidak mampu untuk melakukan tindakan medis tersebut (Wahyudian,
2020). Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi atau mandat seharusnya dilakukan
dengan cara tertulis karena hal ini berkaitan dengan hubungan hukum yang terkait dengan
hak dan kewajiban ners dan dokter dalam menjalani kewenangannya. Apabila timbul
kerugian dan kelalaian dalam melakukan tindakan yang dilimpahkan secara mandat, maka
dampak buruk yang ditimbulkan oleh ners yang diberikan wewenang dibebankan kepada
dokter yang didelegasikan. Hal tersebut disebabkan karena tanggung jawab pelimpahan
wewenang tindakan medis tetap berada pada orang yang mendelegasikan, sedangkan yang
bertanggung jawab sebagai pelaksana adalah perawat. Berbeda dengan pelimpahan
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1637
wewenang melalui delegasi, dampak buruk yang timbul akibat tindakan pemberian
delegasi tersebut ditanggung oleh perawat selaku penerima pelimpahan wewenang (Suci
Hawa, 2018).
2. Pelimpahan Wewenang dari Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari Aspek
Hukum
Hukum pidana adalah suatu hukum yang berlaku bagi setiap orang dan setiap orang
wajib menaatinya serta pelaksanaannya dapat dipaksakan, sehingga setiap anggota
masyarakat dan termasuk orang asing yang berada dalam wilayah yurisdiksi Negara
Republik Indonesia wajib menaatinya. Dalam pelimpahan wewenang yang dilakukan oleh
tenaga medis dalam hal ini dokter kepada ners harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (Vitrianingsih & Budiarsih, 2019) .
Dalam melimpahkan tindakan medis kepada ners, dokter berpegangan pada
Permenkes Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, dalam Pasal 23 Ayat (1) menyatakan: “Dokter atau dokter gigi dapat
memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran kepada perawat wajib dilakukan secara
tertulis dan dilakukan evaluasi dalam pelaksanaannya (Budaya Hukum Dokter Gigi dalam
Pelimpahan Wewenang dan Konsekuensi Hukumnya, 2017).
Bagi perawat, dalam menerima pelimpahan tugas dari dokter kepadanya,
a. Eksekusi tugas yang wewenangnya dilimpahkan hanya dapat diberikan secara tertulis
oleh tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan
melakukan evaluasi pelaksanaannya.
b. Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud ayat di atas dilakukan secara delegatif
atau mandat.
Sesuai dengan kedua paraturan perundang-undangan mengacu pada adanya syarat
berupa pelimpahan secara tertulis, sehingga pelimpahan wewenang secara tertulis tentunya
memilki kekuatan dalam hukum dikarenakan pelimpahan wewenang yang dilakukan
dokter kepada ners dengan menulis pada rekam medik dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah menurut macam alat bukti pada hukum acara pidana yang dianut di Indonesia.
Oleh karena itu pelimpahan secara lisan memiliki kekuatan hukum yang lemah dikarenakan
tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang. Menurut macam alat bukti acara pidana
pelimpahan wewenang secara lisan yang sering terjadi di ruangan yang dilengkapi dengan
CCTV maupun pelimpahan lewat telepon yang terdapat bukti pembicaraannya belum
cukup sebagai alat bukti sehingga hal tersebut tidak menjamin pelimpahan wewenang
secara lisan memiliki kekuatan hukum yang kuat (Pertanggungjawaban Pidana Tindakan
Malpraktek Kedokteran Dalam Kaitannya Dengan Masalah Pembuktian, 2019).
Sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tercantum alat bukti yang sah
dalam hukum acara pidana di Indonesia, yaitu : keterangan saksi; keterangan ahli; surat-
surat; petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) tersebut, bukti
elektronik seperti rekaman CCTV dan rekaman telepon tidak masuk dalam alat bukti yang
sah. Alat bukti elektronik tersebut bisa dimasukkan dalam bagian dari alat bukti yang sah
berupa petunjuk menurut pendapat lain. Namun Sumber yang dapat dipergunakan untuk
mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara “limitatif”
ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa, sehingga secara otomatis, bukti elektronik tidak dapat
menjadi bagian dari alat bukti petunjuk (Soerodibroto, 2002).
Sepakat merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian menurut hukum
perdata, dalam pelimpahan wewenang ini, perawat sepakat untuk menerima wewenang dan
melakukan tindakan medis yang sebelumnya dokter telah sepakat untuk diberikan kepada
perawat tersebut. Kecakapan dalam bertindak dan kewenangan harus dimiliki oleh kedua
subyek hukum tersebut. Selaku penerima pelimpahan wewenang, perawat harus cukup
usia, sehat secara lahir dan batin menurut hukum. Pelimpahan wewenang secara atribusi
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1638
artinya penerimaan wewenang karena paksaan undang-undang, sedangkan perawat dalam
pelimpahan wewenang baik secara delegasi atau mandat merupakan wewenang yang
didapatkan atas kehendak kita dan persetujuan kita atas pelimpahan sebuah tugas tersebut,
hal ini sesuai dengan Pasal 1233 BW bahwa perikatan lahir karena persetujuan dan karena
undang-undang (Agustina, 2015).
Jika ditinjau secara perdata, hubungan hukum antar subyek hukum tidak selalu
berpatokan pada adanya syarat tertulis atau tidak tertulis. Secara hukum perdata, hubungan
hukum bisa terjadi karena peraturan perundang-undangan dan karena adanya perjanjian
yang dibuat oleh subyek yang bersangkutan yang mempunyai kepentingan, dan sahnya
suatu perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 BW, yaitu:
a. Adanya kesepakatan para pihak
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
c. Adanya sesuatu yang diperjanjikan
d. Ada kausa yang halal.
Pelimpahan secara tertulis memiliki kekuatan hukum yang kuat sedangkan secara
lisan memiliki kekuatan hukum yang lemah dikarenakan tidak memenuhi salah satu dari
keempat unsur sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 BW yaitu tidak memiliki kausa
yang halal yaitu tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh undang-undang yaitu
adanya ketentuan syarat tertulis dalam pelimpahan wewenang baik secara mandat maupun
delegasi. Terlepas dari segi pidana maupun perdata, sebenarnya terkait pelimpahan
wewenang dalam dunia medis merupakan ranah dari hukum administrasi karena berkaitan
dengan perizinan suatu tindakan medis dapat dilakukan atau tidak (Agustina, 2015).
3. Pertanggungjawaban Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat
Jika terjadi malpraktik dalam pelimpahan wewenang baik yang diberikan secara
delegasi ataupun mandat, tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada seorang individu
saja namun diperlukan penulusuran dengan membuka rekam medis guna melihat kesalahan
yang terjadi ada dimana. Kesalahan yang dapat terjadi dalam pelaksaan tugas oleh perawat
sehingga timbul dampak buruk terhadap pasien atau kesalahan yang terjadi saat pelimpahan
tindakan yang salah. Tanggung jawab (Responsibility) merupakan sebauh bentuk
penerapan hukum bagi perawat dalam menjalankan kewajiban dan peran agar tetap sesuai
dengan kompetensi dan kode etik perawat. Tanggung jawab berarti perawat dipercayai
untuk melakukan suatu tindakan medis yang tentunya sesuai dengan peran dan kompetensi
yang ia miliki, tanggung jawab ini jika terjadi kesalahan makan memiliki konsekuensi yaitu
hukuman jika terbukti perawat bersangkutan salah secara hukum (Putra, 2020).
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan setiap perawat memiliki tanggung jawab
dalam melaksanakan kewajiban pada praktik keperawatan. Tindakan yang menunjukkan
contoh tanggungjawab perawat seperti mengindentifikasi keadaan pasien, memberikan
perawatan yang diperlukan, mencatat serta mengawasi keadaan pasien. Selain itu, dalam
menjalani tugasnya seorang perawat memiliki standar operasional, standar keperawatan
dan standar profesi serta beberapa ketentuan undang-undang yang harus dipatuhi. Perawat
berhak mendapatkan haknya setelah melaksanakan kewajibannya. Namun, apabila dalam
menjalankan tugasnya tersebut terjadi kesalahan yang berdampak tibak baik kepada pasien
maka perawat harus bertanggungjawab atas hal tersebut (Widiastuti et al., 2020).
Dapat ditarik sebuah benang merah bahwa apabila terjadi sebuah kesalahan dalam
tindakan medis maka tanggungjawab dibebankan kepada perawatnya secara mandiri
ataupun ke rumah sakit sebagai institusinya. Hal ini tercantum dalam Pasal 46 UU No.49
Tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit juga turut menanggung resiko
atas tindakan perawat jika terjadi kesalahan dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga
medis (Republik Indonesia, 2009b).
Tidak semua kelalaian tenaga medis merupakan tanggungjawab pihak rumah sakit.
Untuk itu dilakukan penelusuran tentang bagaimana kesalahan tindakan medis tersebut
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1639
terjadi dan apakah sudah sesuai dengan standar operasional yang berlaku atau tidak, jika
sesuai dengan standar operasional maka tanggungjawabnya ditangguhkan kepada pihak
rumah sakit dan juga perawat yang bersangkutan. Perawat dituntut untuk bertanggung
jawab dalam melakukan tindakannya baik sedang dalam masa dinas ataupun bertugas di
rumah sakit, puskesmas, panti, klinik ataupun dimasyarakat. Meskipun tidak dalam rangka
tugas atau tidak sedang melaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertanggung jawab
dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat. Mengenai perawat bertanggungjawab
seutuhnya mengenai kelalaian atau kesalahan dalam menjalakan pelimpahan tindakan tidak
dapat dibenarkan seutuhnya.
Jika dalam sebuah kolaborasi, maka ketua timlah yang memiliki tanggungjawab
terhadap kesalahan dalam tindakan (Rahmawati et al., 2016). Tercantum dalam Pasal 32
Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 bahwa pelimpahan wewenang dapat diselenggarakan
secara mandat dan delegative. Pelimpahan wewenang secara mandat adalah pelimpahan
yang hanya memberikan tugas dalam pelaksanannnya namun tanggung jawabnya tetap
berada pada pihak yang mendelgasikan sedangkan pelimpahan secara delegati berarti
memberikan wewenang serta tanggung jawab kepada perawat itu sendiri (Muhammad,
2014). Berdasarkan hukum perdata, penerima kuasa bertanggung jawab terhadap pemberi
kuasa, oleh karena itu jika penerima kuasa melakukan suatu kesalahan maka tanggung
jawab berada di pemberi kuasa, sehingga jika terjadi kesalahan dalam tindakannya
penerima kuasa wajib melaporkannya kepada pemberi kuasa serta melaporkan keadaan
pasiennya. Hal ini akan berbeda jika penerima kuasa melakukan kesalahn tindakan medis
namun tidak melaporkannya dan mengabaikan kondisi pasien serta melakukannya tanpa
instruksi ataupun melenceng dari instruksi yang diberikan maka yang bertanggungjawab
adalah perawat itu sendiri (Subekti & Tjitrosudibio, 2003). Ditinjau dari kacamata hukum
perdata, pelaku kesalahan tetap akan menerima konsekuensi atas dampak buruk yang ia
timbulkan dengan melakukan ganti rugi (schaedevergoeding). Hal ini tidak menunjukkan
bahwa hukum secara perdata lebih ringan dibandingkan hukum pidana (Wirjono
Prodjodikuro, 1974).
Tuntuan untuk meminta pertanggungjawaban kepada petugas kesehatan bersumber
kepada dua dasar hukum yaitu: Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual
liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata. Kedua, berdasarkan
perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
KUH Perdata. Menurut (Agustina, 2015) bahwa wanprestasi dalam pelayanan kesehatan
baru terjadi bila terjadi bila terpenuhinya unsur - unsur berikut ini:
a. Kontrak terapeutik merupakan dasar hubungan antara petugas kesehatan dengan
pasien terjadi.
b. Petugas Kesehatan melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dan tidak pantas
berkenaan dengan kontrak terapeutik.
c. Adanya dampak buruk yang ditimbulkan akibat dari tindakan tersebut
Dasar hukum yang kedua untuk melakukan gugatan adalah perbuatan melawan
hukum. Kebenaran yang menunjukkan tindakan yang bertentangan dengan hukum
walaupun tidak terdapat kesepakatan yang dapat menjadi dasar suatu gugatan dibuat.
Adapun yang disebutkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata dicantumkan bahwa tindakan
melanggar hukum apapun yang dilakukan dan menimbulkan dampak buruk terhadap orang
lain maka yang menjadi pelaku wajib menerima konsekuensinya berupa hukuman. Sesuai
dengan penelitian (Muhammad, 2014) Guna mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum harus dipenuhi 4 syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata yaitu:
a. terdapat kerugian yang dialami pasien
b. Ada kesalahan
c. kerugian dan kesalahan yang diperbuat memiliki hubungan kausal
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1640
d. Perbuatan yang melanggar hukum
Menurut (Republik Indonesia, 2009) tuntutan ganti rugi dapat diajukan jika pasien
dan keluarganya merasa tenaga Kesehatan telah melakukan kesalahan sehingga timbul
dampak buruk dan hal itu juga melanggar hukum maka dapat melakukan tuntutan menurut
ketentuan pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yakni:
1) Seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan dampak buruk karena tindakan medis yang diterimanya maka dapat
menuntut ganti rugi.
2) Tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat, tuntutan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Dalam keadaan perawat dan dokter yang meberikan pelimpahankuasa bekerja di
rumah sakit mak asiapa yang bertanggung jawab ? ini bergantung kepada siapa yang dapat
memberikan instruksi, jika hanya dokter yang dapat memberikan instruksi maka dokter saja
yang bertanggungjawab. Apabila pihak rumah sakit dan dokter berwenang dalam
memberikan instruksi maka keduanya bertanggungjawab atas tindakan tersebut.
4. Hukum Penyelesaian Sengketa Medis
Bangsa Indonesia, tenaga kesehatan harus menaati hukum, peraturan serta undang-
undang dan juga kode etik dalam pelaksanaan pelayanan Kesehatan terhadap masyarakat.
Hukum kesehatan berkaitan dengan semua aturan yang berkaitan dengan kesehatan yang
rusak. Hukum perdata umum dan hukum pidana umum yang berkaitan dengan hubungan
hukum dalam pelayanan Kesehatan juga termasuk dalam hukum kesehatan (Humaira,
2020). Tindak pidana maupun perdata sangatlah rentan dalam tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan, tindakan yang sangat merugikan dan berakibat sangat
buruk terhadap pasien dapat dikategorikan sebagai kecerobohan dalam melakukan tugas
pelayanan Kesehatan pada pasien. Oleh sebab itu pemahaman tentang tatanan, serta aturan
pemberian asuhan Kesehatan wajib diketahui oleh setiap tenaga kesehatan. Dalam hal ini,
tenaga Kesehatan hanyakah seroang manusia biasa yang tidak luput akan dosa dan salah
disamping ia sebagai seorang tenaga ahli sedangkan dari pihak pasien yang menyadari
bahwa hak-hak ia atas kesehatannya juga dilindungi oleh Undang-Undang, hal inilah yang
membuat sengketa dalam dunia medis menjadi sangat rumit (Herman, 2020).
Mengenai kesalahan dalam dunia medis pada umumnya diselesaikan dengan
mediasi terlebih dahulu, jika hal itu tidak tercapai maka akan menempuh jalur hukum baik
guguatan secara perdata maupun secara pidana. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1992 secara resmi menyebut kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesi, dan dalam pasal 54 dan pasal 55, sedangkan dalam pasal 29 UU No.
36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dimulai
dengan mencari jalan tengah baik dengan media kedua belah pihak ataupun dengan bantuan
pihak lainnya (Sulistyani & Syamsu, 2015).
Ditinjau dari sisi pidana, suatu tindakan dianggap perbuatan pidana jika memenuhi
syarat yang telah ditentukan secara terbatas dalam suatu undang-undang pidana. Nullum
delictum noella poena sine (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih
dahulu). Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal dengan asas legalitas. Dalam beberapa pasal pada
KUHP terutama pasal undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 pengaturan
mengenai sanksi pidana secara umum. Oleh sebab itu apabila petugas kesehatan melakukan
kecerobohan ketika menjalankan tindakan pelayanan kesehatan dapat dituntut berdasarkan
undang-undang (Nurhalimah, 2018).
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1641
Terdapat 2 kaedah hukum yang bertolak belakang yaitu wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum yang dimana perbedaannya terletak pada tanggung jawab terhadap
bawahan dan yang bukan bawahannya pada wanprestasi sedangkan perbuatan melawan
hukum hanya tanggungjawab kepada tenaga kesehatan yang merupakan bawahannya saja.
Hukum ditentukan oleh masyarakat dan jika ada yang melanggar maka masyarakatlah yang
menentukan hukuman pada oelaku dengan pemerintah sebagai wakil masyarakat dalam
mengeksekusi hukuman tersebut (Agustina, 2015).
5. Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang) Diberbagai Negara
Pada tahun 1892, Hukum Kedokteran Prancis memberi Batasan dalam ruang
lingkup untuk melakukan praktik dan melarang non-dokter menawarkan pengobatan-
pengobatan atau melakukan pembedahan. Konteks Indonesia, hal ini tertuang dalam
Undang-Undang Kesehatan 1945 dan diperluas sampai diagnosis. Konteks Mesir, hal ini
terdapat dalam Undang-Undang Praktik Profesi Medis tahun 1954 yang menetapkan para
profesional tersebut yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dapat melakukan praktik
kedokteran yang meliputi diagnosis, advice, pengobatan, pengambilan sampel dan
pengujian, pembedahan, kebidanan dan resep pengobatan. Konteks Jordania, semua yang
disebutkan diatas dianggap sebagai praktik medis pada umumnya selama berada di bawah
pengawasan Dewan Menteri, dan ini termasuk juga kedokteran gigi, farmasi, keperawatan,
anestesi, radiologi, pengobatan pendengaran dan berbicara, pemeriksaan visual dan
kacamata, klinis psikologi, kesehatan mental, dan praktik lainnya yang dianggap medis
oleh Dewan Menteri, yang juga mengamanatkan bahwa siapa pun mengiklankan layanan
medis dan mempraktikkannya maka orang tersebut harus mendapatkan lisensi dari
Kementerian terkait, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan Masyarakat No.
47 tahun 2008 (Pemerintah Indonesia, 2008).
Usaha dalam pengaturan profesi medis di negara Mesir, Jordania serta Prancis
mungkin patut dipuji, namun usaha ini tidak mendefinisikan praktik medis secara tepat.
Sementara dari waktu ke waktu terdapat kencenderungan untuk melihat lebih banyak
aktivitas termasuk di bawah regulasi, seperti kedokteran gigi dan radiologi akan lebih
efektif untuk memasukkan lebih banyak kegiatan lainnya dan tidak terbatas. Di sini
beberapa contoh tindakan seperti : perawatan kiropraktik, pijat, program detoksifikasi, dan
praktik lain yang sering disebut sebagai “pengobatan alternatif” dimungkinkan untuk
dimasukkan dalam praktik medis .
Di Prancis, Mesir, Jordania, dan di negara lain yang mengikuti perkembangan baik
dalam pengobatan yang biasa hingga pengobatan alternatif, tidak ditemukan literatur yang
jelas dalam mendefinisikan hal tersebut. Agar dapat memperhitungkan perubahan yang
terjadi saat ini hingga masa depan, definisi yang digunakan baik dalam yurisprudensi dan
oleh badan legislatif idealnya harus cukup komprehensif. Definisi yang lebih luas dan lebih
banyak presisi juga membantu profesi medis dalam setiap tahap, dan ini termasuk kedalam
pendidikan, pelatihan, konsultasi, diagnosis, pengobatan, pembedahan, pemulihan, dan
pencegahan.
Dalam literatur ini, "delegasi" adalah proses penunjukan, penugasan, atau
menugaskan pihak ketiga yang digunakan oleh penyedia layanan kesehatan, yang
"didelegasikan", untuk melakukan kegiatan tertentu. Badan legislatif di dunia Arab
memiliki sejarah panjang dalam menangani masalah ini karena berkaitan dengan bidang
medis, sedangkan bagi badan legislatif di negara Barat masalah delegasi ini menjadi hal
baru. Di Kanada, Regulated Health Professions Act (1991) adalah badan legislatif pertama
yang menyebutkan kata "delegasi", yang mendefinisikan istilah tersebut sebagai berikut:
"Sebuah mekanisme yang memungkinkan dokter yang didelegasikan untuk melakukan
aktivitas untuk memantau, dengan memberikan otorisasi kepada orang lain (baik secara
reguler atau selain itu) yang tidak ada didelegasikan secara independen untuk melakukan
aktivitas (Optometry, 1992). Tidak dianggap sebagai proses pendelegasian, jika itu adalah
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1642
izin untuk meluncurkan kegiatan yang dipantau dalam lingkup praktik profesional untuk
kesehatan lainnya spesialis, dan juga tidak dihitung sebagai delegasi, jika merujuk pasien
ke dokter lain atau spesialis untuk tujuan perawatan.
Di kebanyakan negara, pendelegasian merupakan bagian dari Hukum Umum,
dengan dasar dan istilah yang diturunkan dari Hukum Administrasi. Delegasi administratif
tidak bersifat hukum kecuali diizinkan oleh badan legislatif, sebagai fungsi hukum atau
konstitusi, dan ini adalah langkah pertama dalam menciptakan spesialisasi tertentu. Namun,
delegasi dalam kacamata perdata berbeda dengan yang di terdapat dalam kacamata hukum
administrasi. Hal terpenting, tiga syarat harus ditaati dalam upaya memenuhi tanggung
jawab kontraktual:
a. Antara penyedia dan klien terdapat kontrak yang valid.
b. Pengakuan bahwa jika terjadi pelanggaran kontrak, penyedia tetap bertanggung jawab
dan harus memenuhinya istilah.
c. Pihak ketiga dipercaya oleh penyedia dalam memenuhi persyaratan kontrak.
Hubungan antara dokter dan pasien tidak setara karena yang pertama adalah
seorang profesional dengan tingkat pengetahuan dan spesialisasi yang tinggi, sedangkan
pasien, terlepas dari tingkat pendidikannya, cenderung tidak terbiasa dengan detail
diagnosis dan pengobatan, hal inilah yang dapat menjadi pertimbangan lain. Sumber
ketidaksetaraan lain dalam hubungan kontraktual ini adalah bahwa hanya satu pihak,
pasien, berisiko mengalami ketidakefektifan dari pengobatan yang diberikan atau
kekambuhan penyakit. Kontrak medis adalah kontrak yang berkelanjutan dan bergantung
pada elemen penting dari waktu, mengingat bahwa janji pertemuan pertama pasien ke
dokter biasanya berfokus pada diagnosis, dan diberikan bahwa kebanyakan pengobatan
tidak langsung. Biasanya, pasien melakukan beberapa kali kunjungan ke dokter dengan
janji tindak lanjut rutin setelah perawatan, untuk memantau masalah aslinya. Yang
terpenting, dokter dianggap menlanggar kontrak apabila meninggalkan pasiennya dan
menghentikan pengobatan.
Biasanya, jika pendelegasian ke pihak ketiga memenuhi syarat maka hal tersebut
tidak menjadi suatu masalah. Kontrak tersebut juga tetap berlaku jika pihak ketiga
mengawasi atau mengelola implementasinya. Selama dokter mengeluarkan instruksi dalam
mempertahankan otoritas pengawasan selama perawatan.
Delegasi adalah bidang yang dasar hukumnya berbeda di setiap negara, akan tetapi
sayangnya kebanyakan badan legislatif belum cukup jelas mengatur tentang konsep dan
penerapannya. Banyak badan legislatif di seluruh dunia, termasuk di Prancis, Mesir, dan
Jordania, telah membuat undang-undang yang membahas delegasi secara implisit daripada
istilah eksplisit. Hukum semacam itu memberikan sedikit ruang gerak kepada dokter untuk
mendelegasikan tugas kepada pihak ketiga. Pertimbangkan, misalnya, hukum di Mesir
yang disahkan 2004 dan dirinci seperti berikut ini:
1) Artikel (1/A) Klinik Swasta: “Fasilitas yang dimiliki atau disewa dan dikelola oleh
dokter atau dokter gigi, di mana ia dapat dibantu oleh satu atau lebih dokter, yang
memiliki izin untuk melakukan profesi serupa”.
2) Artikel (1/B) Klinik Khusus: Klinik umum, dimana lebih dari satu dokter berbeda
spesialisasi bertindak di dalamnya, dan mereka mengelola bersama, di mana salah
satunya adalah direktur teknis dan bertanggung jawab untuk klinik. "
3) Artikel (1/D) Pusat Medis Khusus: “Rumah sakit swasta adalah fasilitas yang
disiapkan untuk menerima pasien, untuk pemeriksaan dan pengobatannya, asalkan
diawasi dan dikelola oleh dokter yang berwenang untuk menjalankan profesi
tersebut. "
Di AS, di mana praktik medis adalah masalah negara bagian dan bukan masalah
federal, 50 negara bagian memiliki hukum yang mirip dengan Texas. Sebagaimana terlihat
di atas, undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada dokter untuk
mendelegasikan praktik kepada orang yang berkualifikasi, terlatih, dan berlisensi dari
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1643
otoritas yang kompeten, dengan dokter tetap bertanggung jawab atas hasil pengobatan,
asalkan tidak bertentangan dengan hukum lainnya. Di Kanada, hal tersebut tercantum
dalam Undang-Undang Medis tahun 1991 bahwa melakukan 13 dari 14 tindakan yang
diatur adalah kewenangan dokter dan para profesional tersebut dapat, dalam keadaan yang
sesuai, mendelegasikan tindakan tersebut kepada pihak ketiga yang mungkin atau mungkin
tidak menjadi anggota dari profesi kesehatan yang diatur.
Setelah pembentukan hubungan antara dokter dan pasien, sumber pendelegasian
yang pertama adalah perintah langsung, lalu dokter memberikan instruksi kepada pihak
ketiga, dengan hanya satu pasien, dan dapat dikeluarkan secara lisan (secara langsung lewat
telepon atau melalui konferensi video) atau secara tertulis. Petunjuk medis, untuk pasien
bernama dan tanggal yang relevan, harus menyertakan detail yang cukup tentang diagnosis
dan perawatan yang aman, bersama dengan rekam medis pasien yang relevan, identifikasi
pihak ketiga atau pihak yang berwenang melaksanakan arahan, dan tanda tangan dan
tanggal tanggung jawab dokter yang berwenang adalah sumber delegasi kedua. Dalam
bidang medis yang menjadi poin penting adalah menyangkut sifat dari aktivitas yang
dilakukan, tanpa pertimbangan orang yang melaksanakannya. Di Prancis, ini dikonfirmasi
oleh Dewan Negara Prancis dalam keputusan Rouzet tahun 1959. Di dalam keputusan
tersebut, pendelegasian spesialisasi kepada asisten medis tetap mempertahankan kualitas
definisinya, tetap sebagai aktivitas medis terlepas dari pelakunya.
Pedoman yang dianut oleh Yurisprudensi Negara Jerman seperti berikut: “Dokter
mungkin memiliki hak untuk mengandalkan stafnya (yang telah dia latih dan diawasi
dengan hati-hati) dalam menjalankan tugasnya dengan benar, tetapi dia tidak diizinkan
untuk mendelegasikan profesionalnya kepada mereka tugasnya, dan jika dia melakukan itu,
maka dia akan bertanggung jawab langsung (secara pribadi) atas kelalaiannya dalam
melakukan itu dan untuk semua tindakan kelalaian atau kelalaian stafnya karena
melaksanakan semua kesalahan yang dilakukan tugas yang dipercayakan ”.
Dalam pendelegasian, dokter berperan sebagai pengawas sehingga sedemikian
rupa standar dan praktik medis yang berlaku tetap dipertahankan. Kementerian Kesehatan
melakukan konsultasi dengan National Academy of Physicians, membagi tugas yang
didelegasikan menjadi dua jenis. Pertama, tugas sederhana yang didelegasikan secara
default kepada asisten yang dianggap kompeten. Tugas-tugas tersebut selanjutnya dibagi
menjadi :
1) Tugas yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari seperti kebersihan, memantau
tanda-tanda vital, dan memberi informasi kepada dokter, yang merupakan tugas
sering dilakukan oleh perawat.
2) Persiapan untuk pembedahan dan pengambilan sampel darah biasanya dilakukan
tanpa pengawasan langsung yang merupakan tugas terapeutik dan keperawatan
sederhana.
Guna menghindari kesalahpahaman makan pendelegasian secara tepat dan benar
dilakukan oleh dokter, baik secara lisan maupun tulisan.
KESIMPULAN
Pendelegasian wewenang menurut pendelegasian atau mandat harus dilakukan
secara tertulis karena menyangkut hubungan hukum tentang hak dan kewajiban perawat
dan dokter dalam menjalankan kewenangannya. Jika ada kerugian atau kesalahan dalam
melaksanakan tindakan yang diamanatkan oleh perawat, maka dokter yang
mendelegasikan akan menanggung dampak negatifnya. Hal ini karena individu yang
mendelegasikan wewenang untuk intervensi medis tetap memiliki tanggung jawab untuk
itu, sedangkan perawat bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Dibandingkan dengan
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1644
pendelegasian wewenang melalui pendelegasian, efek negatif dari tindakan pendelegasian
ditanggung oleh perawat sebagai penerima pendelegasian.
BIBLIOGRAFI
Agustina, Rosa. (2015). Hukum Perdata. In Universitas Terbuka.
Ahmad Supriyadi. (2012). Hukum Perdata. Kudus: Nora Media Enterprise.
Amir, Nabbilah, & Purnama, Dian. (2021). Perbuatan Perawat yang Melakukan Kesalahan
dalam Tindakan Medis. KERTHA WICAKSANA.
https://doi.org/10.22225/kw.15.1.2821.26-36
Anam, Khoirul. (2018). Tanggungjawab dan Kewenangan Perawat Gigi dalam Melakukan
Tindakan Medik Kedokteran Gigi. Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum.
https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.621
Ardinata, Mikho. (2020). Tanggung Jawab Negara terhadap Jaminan Kesehatan dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal HAM.
https://doi.org/10.30641/ham.2020.11.319-332
Ariawan, I. Gusti Ketut. (2013). Metode Penelitian Hukum Normatif. Kertha Widya, 1(1).
Astuti, Endang Kusuma. (2020). Peran BPJS Kesehatan Dalam Mewujudkan Hak Atas
Pelayanan Kesehatan Bagi Warga Negara Indonesia. Penelitian Hukum Indonesia.
Budaya Hukum Dokter Gigi dalam Pelimpahan Wewenang dan Konsekuensi Hukumnya.
(2017). Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. https://doi.org/10.24815/kanun.v19i3.8981
Fakih, Muhammad, & Yulia Kusuma Wardani, Yulia. (2018). Tanggung jawab dokter dan
tenaga kesehatandalam pelayananpasien hemodialisis (menurut peraturan menteri
kesehatan republik indonesia no. 812/menkes/per/vii/2010). Pactum Law Journal,
1(04), 419433.
Firmansyah, Yohanes. (2021). A Hospital’s Legal Responsibility For Patient Rights During
The Covid-19 Pandemic-A Review From The Health Sector’s Law Regulations.
Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2(8), 1392
1406.https://doi.org/10.36418/jiss.v2i8.392
Gunawan, T. Sintak, & Christianto, Gilbert Mayer. (2020). Rekam Medis/Kesehatan
Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia.
https://doi.org/10.26880/jeki.v4i1.43
Herman, Herman. (2020). Gagasan Pengadilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa
Medis Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis. Jurisprudentie :
Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum.
https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v7i1.12264
Humaira, Rezka Zahra. (2020). Pelindungan Hukum Bagi Pasien Dalam Penyelesaian
Sengketa Medis Melalui Pengadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 538/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel). SOEPRA.
https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.1963
Ibrahim, Johnny. (2006). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Teori
Metodologi Penelitian.
Indonesia, Pemerintah. (2008). Undang-Undang No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar. DPR, MPR. Jakarta.
Indonesia, Pemerintah Republik. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
Indonesia, Republik. (2009). Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan. Jakarta Republik Indones.
Istikomah, Futari Ayu, Erawantini, Feby, & Putra, Dony Setiawan Hendyca. (2020).
Tinjauan Pelepasan Informasi Rekam Medis Berdasarkan Aspek Hukum Keamanan
dan Kerahasiaan Rekam Medis untuk Pendidikan di RSUD Sleman. J-REMI : Jurnal
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1645
Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan. https://doi.org/10.25047/jremi.v1i4.2169
Kemenkumham, R. I. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan. Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (38 Tahun 2014).https://doi.org/10.31764/jmm.v5i2.3908
Meirawaty, Gina, & Yudianto, Kurniawan. (2019). Field Experience : Manajemen Strategis
pada Proses Manajemen Keperawatan. Media Karya Kesehatan.
https://doi.org/10.24198/mkk.v2i2.22765
MerdekawatiI, Yuliana. (2021). Tanggung Jawab Pidana Perawat dalam Melakukan
Tindakan Keperawatan Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Studi di Rumah Sakit Umum Santo Antonius Pontianak). Jurnal Nestor
Magister Hukum, 3(5), 10590.
Mohamad, Irwansyah Reza. (2019). Perlindungan Hukum Atas Hak Mendapatkan
Pelayanan Kesehatan Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia. Akademika, 8(2), 78
94.Mohamad, Irwansyah Reza. (2019). Perlindungan Hukum Atas Hak Mendapatkan
Pelayanan Kesehatan Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia. Akademika, 8(2), 78
94.
Muhammad, Abdul Kadir. (2014). Hukum Perdata Indonesia. In Pengantar Hukum
Indonesia (PHI).http://dx.doi.org/10.31314/akademika.v8i2.401
Ngadiarti, Iskari, Jauhari, Arif, El Jannah, Syarifah, Sulistyo, Joko, & Dwirahmadi, Febi.
(2020). Quality validation of learning outcomes test instrument of core courses in
Polytechnics Health Jakarta II, Indonesia. Annals of Tropical Medicine and Public
Health, 23, 12591266.
Nomor, Peraturan Pemerintah. (1996). Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Diakses
Dari Www. Depkes. Go. Id.
Nurhalimah, Siti. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia.
’ADALAH. https://doi.org/10.15408/adalah.v1i1.8200
Optometry, Dentistry. (1992). Regulated Health Professions Act, 1991 The new benchmark
for future health care legislation.
Rafael, P. S. (2019). Pertanggungjawaban Pidana Tindakan Malpraktek Kedokteran Dalam
Kaitannya Dengan Masalah Pembuktian. Lex crimen, 8(8).
Pramesti, A. (2013). Tanggung Jawab Hukum Dalam Hubungan Dokterperawat. E-Jurnal
Medika Udayana.
Presiden, R. I. (2014). Undang-Undang RI No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
Departemen Kesehatan RI.
Putra, Gigih Sanjaya. (2020). Implikasi Tanggungjawab Hukum Atas Tindakan Malpraktik
yang Dilakukan Oleh Tenaga Medis Di Indonesia. Muhammadiyah Law Review.
Rahmawati, Widya, Wirawan, Nia Novita, Wilujeng, Catur Saptaning, Fadhilah, Eriza,
Nugroho, Fajar Ari, Habibie, Intan Yusuf, Fahmi, Ilmia, & Ventyaningsih, Agustiana
Dwi Indiah. (2016). Gambaran Masalah Gizi pada 1000 HPK di Kota dan Kabupaten
Malang (Illustration of Nutritional Problem in the First 1000 Days of Life in Both
City and District of Malang, Indonesia). Indonesian Journal of Human Nutrition,
3(1), 2031.http://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2016.003.Suplemen.3
Republik Indonesia. (2009). UU RI momor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Jakarta.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Presiden Republik Indonesia, pp. 1
78.https://doi.org/10.33490/jkm.v4i2.99
RI, Kemenkes. (2014). UndangUndang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan. Jakarta: Lembar Negara Republik Indonesia, 307.
Setiani, Baiq. (2018). Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Hal Pemenuhan
Kewajiban dan Kode Etik Dalam Praktik Keperawatan. Jurnal Ilmiah Ilmu
Keperawatan Indonesia. https://doi.org/10.33221/jiiki.v8i04.154
Yana Sylvana, Yohanes Firmansyah, Imam Haryanto /Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(12),
1632-1646
Legal Delegasi (Pelimpahan Wewenang Medis) Dokter Kepada Perawat Ditinjau dari
Perspektif Hukum
1646
Soerodibroto, Soenarto. (2002). KUHP & KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung dan Hoge Raad.
Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (2003). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata). Jakarta: Pradnya Paramita.
Suci Hawa, Muhammad Fakih. (2018). Tanggung Jawab Dokter Dan Tenaga
Kesehatandalam Pelayananpasien Hemodialisis (Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no. 812/MENKES/PER/VII/2010). Pactum Law
Journal.
Sulistyani, Venny, & Syamsu, Zulhasmar. (2015). Pertanggungjawaban Perdata Seorang
Dokter Dalam Kasus Malpraktek Medis. Lex Jurnalica.
Susanto, Anton. (2018). Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia Di Unit Rekam Medis
Pku Muhammadiyah Surakarta. Jurnal INFOKES Universitas Duta Bangsa
Surakarta, 8(2).
Susatyo Herlambang, Arita Murwani. (2008). Rumah Sakit. Manajemen Kesehatan Dan
RS. 10.33560/.v4i2.131
Vitrianingsih, Yeni, & Budiarsih, Budiarsih. (2019). pelimpahan wewenang dokter kepada
profesi perawat dalam tindakan medis dari perspektif hukum. Jurnal Hukum Magnum
Opus. https://doi.org/10.30996/jhmo.v2i2.2545
Wahyudian, Helen Yunanta. (2020). Pertanggungjawaban Pada Perawat yang Melakukan
Sirkmusisi. Jurist-Diction. https://doi.org/10.20473/jd.v3i3.18636
Wati, Try Ganjar, & Nuraini, Novita. (2019). Analisis Kejadian Missfile Berkas Rekam
Medis Rawat Jalan di Puskesmas Bangsalsari. Rekam Medik Dan Informasi
Kesehatan.https://doi.org/10.25047/jremi.v1i1.1932
Widiastuti, Putu, Prihandhani, IGAA Sherlyna, & Pradnyasari, Ni Putu Rini. (2020).
hubungan mutu pelayanan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien pengguna
bpjs kesehatan di ruang rawat inap kelas iii rsud mangusada. Jurnal Medikes (Media
Informasi Kesehatan). https://doi.org/10.36743/medikes.v7i2.230
Wirjono Prodjodikuro. (1974). Azas-azas Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).