Pansitopenia pada Riwayat Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas : Tantangan Pendekatan Kasus di RS Perifer
M. Hikmawan
Priyanto1*, Ibnu Mas�ud2
RSUD Kabupaten
Batang, Jawa Tengah, Indonesia
RSUD Kabupaten
Batang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected]1*,
[email protected]2
Abstrak |
||
Pansitopenia adalah kondisi yang ditandai
dengan penurunan ketiga jenis sel darah
tepi: hemoglobin, trombosit, dan leukosit. Hemoglobin kurang dari 11,5 g/dL pada wanita dan 13,5 g/dL
pada pria, trombosit kurang dari 150.000/ul, dan leukosit kurang dari 4000/ul
menunjukkan kondisi ini. Pansitopenia bukan penyakit tersendiri, melainkan
manifestasi dari kondisi lain seperti infeksi, autoimun, genetik, gizi buruk,
atau keganasan. Penentuan penyebab pansitopenia penting untuk diagnosis dan
pengobatan yang tepat. Penyebab bisa karena penurunan produksi sel atau
peningkatan kerusakan sel. Dalam kasus seorang wanita 54 tahun yang dirawat
dengan keluhan lemas dan riwayat BAB hitam serta muntah darah, pemeriksaan
menunjukkan pansitopenia tipe sentral. Tidak ditemukan indikasi efek obat
atau toksin, splenomegali, atau pembesaran limfa. Data laboratorium seperti
hepatitis, HIV, fungsi hati, dan skrining autoimun tidak tersedia, sehingga
dugaan pansitopenia disebabkan oleh anemia aplastik atau mielodisplasia.
Pasien menerima terapi supportif termasuk transfusi darah dan antibiotik,
tetapi memilih pulang sebelum pemeriksaan lebih lanjut. Evaluasi menyeluruh
diperlukan untuk mengidentifikasi etiologi yang mendasari pansitopenia, yang
berperan penting dalam menentukan penanganan dan prognosis pasien. Kata kunci: Pansitopenia, hematemesis, melena. |
||
|
|
|
Abstract Pancytopenia is a condition characterized by a
decrease in all three peripheral blood cell types: hemoglobin, platelets, and
leukocytes. Hemoglobin levels of less than 11.5 g/dL in women and 13.5 g/dL
in men, platelets below 150,000/ul, and leukocytes
under 4,000/ul indicate this condition.
Pancytopenia is not a disease in itself but a manifestation of underlying
conditions such as infections, autoimmune disorders, genetic factors,
malnutrition, or malignancies. Identifying the cause of pancytopenia is
crucial for accurate diagnosis and treatment. Causes may include decreased
cell production or increased cell destruction. In the case of a 54-year-old
woman presenting with weakness and a history of black stools and vomiting
blood, examination revealed central-type pancytopenia. No indications of drug
or toxin effects, splenomegaly, or lymph node enlargement were found.
Laboratory data, such as hepatitis, HIV, liver function, and autoimmune
screening, were unavailable, leading to a presumptive diagnosis of
pancytopenia due to aplastic anemia or myelodysplasia. The patient received
supportive therapy, including blood transfusions and antibiotics, but chose
to discharge herself before further investigations could be conducted. A
thorough evaluation is required to identify the underlying etiology of
pancytopenia, which plays a key role in determining the patient's treatment
and prognosis. Keywords: Pansitopenia, hematemesis, melena |
*Correspondence
Author: M. Hikmawan Priyanto
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Pansitopenia adalah penyakit darah yang ditandai dengan penurunan ketiga
lini sel darah tepi. Kondisi ini meliputi kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dL
pada wanita dan kurang dari 13 g/dL pada pria, trombosit kurang dari 150.000
per ml, dan sel darah putih kurang dari 4000 per ml (atau jumlah neutrofil
absolut 1800 per ml). Namun, ambang batas ini bervariasi berdasarkan usia,
jenis kelamin, ras, dan skenario klinis yang berbeda. Pansitopenia bukanlah
suatu penyakit tersendiri, namun merupakan gejala dari penyakit lain yang
mendasari yang umumnya berhubungan dengan berbagai penyakit jinak dan ganas
(Shalini & Orlando, 2023).
Pansitopenia umumnya terlihat pada anak-anak dan orang dewasa pada dekade
ke-3 dan ke-4. Penelitian telah menunjukkan bahwa rasio pria dan wanita adalah
1,4:2.6 untuk epidemiologi pansitopenia (Alvin et al., 2024). Kondisi seperti
multiple myeloma dan sindrom myelodysplastic lebih sering terjadi pada pasien
berusia lanjut, sedangkan leukemia akut dan infeksi parvovirus B19 lebih sering
terjadi pada pasien yang lebih muda. Di Amerika Utara, etiologi yang paling
umum adalah neoplasma myeloid (leukemia myeloid akut, myelodysplasia, limfoma
non-Hodgkin [NHL], hairy cell leukemia, dan precursor B acute lymphoblastic
leukemia), diikuti oleh anemia aplastik, anemia megaloblastik, dan infeksi HIV
(Shalini & Orlando, 2023).
Etiologi pansitopenia seringkali bervariasi menurut wilayah geografis,
usia, dan jenis kelamin (Osman & Gedik, 2016). Pengaruh geografis, sosial,
dan budaya menentukan etiologi pansitopenia secara signifikan, terutama pada
anemia megaloblastik. Penyebab pansitopenia dapat dikelompokkan ke dalam
gangguan penghancuran sel perifer atau gangguan produksi sumsum tulang. Namun,
sebagian besar kasus menunjukkan ciri-ciri keduanya, karena pansitopenia dapat
timbul dari berbagai mekanisme patofisiologi. Angka kejadian dan kematian dari
pansitopenia bergantung pada faktor penyebabnya, penyebab tersering adalah efek
pengobatan kanker seperti kemoterapi, Human Immunodeficiency Virus (HIV),
infiltrasi atau kegagalan dari sumsum tulang (Osman & Gedik, 2016). Obat-obatan,
terutama obat antirematik, fenilbutazon, antikonvulsan seperti hidantoin,
karbamazepin, kemoterapi (zat alkilasi), dan antibiotik (kloramfenikol,
sulfonamid), merupakan faktor penyebab pansitopenia yang sering dilaporkan
(Fika et al., 2022).
STUDI KASUS
1.
Penurunan
produksi (tipe sentral)
Pansitopenia
akibat berkurangnya produksi terutama disebabkan oleh kekurangan nutrisi.
Pansitopenia yang disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang dikenal sebagai
anemia aplastik. Anemia aplastik dapat memiliki sifat idiopatik atau autoimun.
Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi seperti parvovirus B-19, hepatitis, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), cytomegalovirus, atau virus Epstein-Barr. Selain
itu, anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh keracunan obat atau agen kimia
seperti metotreksat, dapson, karbimazol, karbamazepin, dan kloramfenikol.
Pansitopenia juga dapat dikaitkan dengan asupan yang tidak memadai (seperti
yang terlihat pada gangguan makan dan pecandu alkohol) atau pada kasus
malabsorpsi (Shalini & Orlando, 2023).
Gangguan
produksi sumsum tulang dapat menyebabkan pansitopenia, baik karena kekurangan
gizi yang menyebabkan gangguan produksi sel, infiltrasi sumsum tulang oleh
keganasan, atau sumsum tulang hiposelular. Hal ini biasanya disertai dengan
jumlah retikulosit yang rendah, yang menunjukkan respons sumsum tulang yang
buruk. Kekurangan gizi seperti kekurangan vitamin B12 menyebabkan sintesis DNA
yang tidak sempurna, yang menyebabkan pansitopenia dengan anemia megaloblastik,
yang dapat diidentifikasi dengan makrositosis atau neutrofil hipersegmentasi
pada apusan darah, dan jumlah retikulosit diperkirakan rendah. Kekurangan folat
dan obat-obatan yang menghambat dihidrofolat reduktase seperti metotreksat dan
trimetoprim juga dapat menyebabkan anemia megaloblastik melalui mekanisme yang
sama. Namun, makrositosis yang terisolasi harus ditafsirkan dengan hati-hati,
karena retikulositosis dapat menyebabkan makrositosis palsu, kecuali dengan
jumlah retikulosit yang tinggi. Penyebab gizi yang kurang umum dari pansitopenia
meliputi defisiensi tembaga atau kelebihan seng dan dapat bermanifestasi dengan
defisit neurologis terkait (Shaun & Majeed, 2024).
Produksi sel
juga terganggu ketika sumsum tulang disusupi oleh keganasan (limfoma, leukemia,
mieloma multipel) atau kelainan granulomatosa. Metastasis tumor juga berpotensi
mengakibatkan penggantian sumsum tulang pada tahap akhir penyakit, yang
menyebabkan pansitopenia (Shalini & Orlando, 2023). Keganasan yang
menginfiltrasi dan menggantikan sel-sel hematopoietik yang normal mengganggu
produksi sumsum tulang. Keganasan hematologi umum yang muncul dengan
pansitopenia meliputi leukemia myeloid akut, Leukemia Promielositik Akut
(APML), dan sindrom mielodisplastik. Morfologi apusan darah secara umum
meliputi makrositosis, adanya sel-sel blast yang bersirkulasi dengan atau tanpa
batang Auer, atau apusan darah leukoeritroblastik. Adanya sel-sel blast
granular berlobus dua pada apusan darah menunjukkan APML. Selain itu,
mielofibrosis dapat muncul dengan splenomegali masif, sel-sel teardrop pada
apusan darah, dan ketidakmampuan untuk melakukan aspirasi sumsum tulang.
Investigasi lebih lanjut oleh ahli hematologi termasuk aspirasi sumsum tulang
dan biopsi trephine biasanya diperlukan, dan dapat mengungkapkan sumsum tulang
hiperseluler atau hiposeluler. Pada suspek APML, harus segera dirujuk ke ahli
hematologi untuk pengobatan dengan Asam Retinoat All-Trans (ATRA) dan
kemoterapi karena risiko DIC yang tinggi. Jarang terjadi, keganasan
nonhematologi seperti penyakit metastasis dari tiroid, ginjal, dan prostat juga
dapat menggantikan sel hemopoietik sumsum tulang, yang menyebabkan pansitopenia
(Shaun & Majeed, 2024).
Anemia
aplastik muncul dengan pansitopenia karena sumsum tulang hiposeluler, dengan
penurunan produksi ketiga lini sel. Diferensial atau diagnosa banding lain yang
perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih muda, termasuk penyebab
kegagalan sumsum tulang yang diwariskan, seperti anemia Fanconi, sindrom
Shwachman�Diamond, dan diskeratosis kongenital. Adanya splenomegali atau
anisositosis, atau tidak adanya makrositosis ringan membuat diagnosis anemia
aplastik tidak mungkin. Limfadenopati juga tidak umum terjadi pada anemia
aplastik, dan infeksi harus dipertimbangkan sebagai gantinya. Anemia aplastik
didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang dan biopsi trephine. Penyebab
iatrogenik seperti alkohol, radioterapi, dan obat-obatan juga dapat menyebabkan
pansitopenia karena supresi sumsum tulang. Infeksi tertentu seperti parvovirus
B19 dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) juga dapat mengganggu produksi
sumsum tulang, sehingga menyebabkan pansitopenia. Kondisi genetik seperti
penyakit Gaucher, penyakit bawaan resesif autosom yang menyebabkan defisiensi
glukoserebrosidase pada lisosom, juga dapat menyebabkan pansitopenia melalui
infiltrasi sumsum tulang dan hipersplenisme (Shaun & Majeed, 2024).
2. Peningkatan kerusakan
(tipe perifer)
Kerusakan
sel perifer dapat dikaitkan dengan banyak kondisi autoimun, seperti lupus eritematosus sistemik dan artritis reumatoid, serta sekuestrasi limpa akibat sirosis hati alkoholik,
HIV, tuberkulosis, atau malaria. Hipersplenisme sendiri lebih memengaruhi trombosit dan
eritrosit daripada leukosit (Shalini & Orlando, 2023).
Pansitopenia dapat terjadi karena kerusakan sel perifer
oleh sistem retikuloendotelial, seperti limpa pada hipersplenisme.
Hipersplenisme terjadi karena splenomegali, yang mengakibatkan sekuestrasi sel
darah merah, sel darah putih, dan trombosit di limpa. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh hipertensi portal sekunder akibat penyakit hati kronis, yang
seringkali disebabkan oleh konsumsi alkohol, hepatitis B, atau hepatitis C.
Penyebab hipersplenisme yang kurang umum meliputi infeksi seperti malaria,
virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, skistosomiasis, dan leishmaniasis;
kondisi autoimun; penyakit hemolitik kronis; dan keganasan. Kondisi autoimun
tertentu, seperti lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, sindrom
Felty, dan sarkoidosis, dapat menyebabkan pansitopenia, yang dipicu oleh
hipersplenisme atau kerusakan autoimun pada garis sel oleh autoantibodi (Shaun
& Majeed, 2024).
Meskipun telah dilakukan pemeriksaan yang ekstensif,
sebagian pasien mengalami sitopenia yang tidak dapat dijelaskan, yang kemudian
diklasifikasikan sebagai sitopenia idiopatik dengan signifikansi yang tidak
diketahui (Shalini & Orlando, 2023). Penyebab etiologi pansitopenia
bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, negara, dan kondisi pasien
lainnya. Kekurangan vitamin B12 merupakan penyebab pansitopenia yang paling
umum dan dapat diobati. Penyebab lainnya meliputi penyakit hati kronis, keganasan,
sindrom mielodisplastik, anemia aplastik, penyakit rematik, dan gangguan
endokrin. Sebagian besar penyebab etiologi dapat didiagnosis dengan analisis
laboratorium dan pencitraan radiologi tanpa memerlukan pemeriksaan sumsum
tulang (Osman & Gedik, 2016).
Tabel 1. Penyebab Etiologi Pansitopenia yang Paling Umum
Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Usia
dan Jenis Kelamin |
Etiologi dari Pansitopenia |
||
Usia lebih dari 65 tahun |
Penyakit
Liver Kronis |
Sindrom
Mielodisplastik |
Keganasan |
Usia kurang dari 65 tahun |
Defisiensi
vit B12 |
Anemia
aplastik |
Pengobatan |
Usia lebih
dari 65 tahun dan Perempuan |
Penyakit
Liver Kronis |
Keganasan |
Sindrom
Mielodisplastik |
Usia lebih
dari 65 tahun dan Laki-laki |
Sindrom
Mielodisplastik |
Defisiensi
vit B 12 |
Keganasan |
Usia kurang
dari 65 tahun dan Perempuan |
Pengobatan |
Penyakit
Rematik |
Hipertensi
Porta |
Usia kurang
dari 65 tahun dan Laki-laki |
Defisiensi
vit B12 |
Anemia
Aplastik |
Keganasan |
Tabel 2. Distribusi
dari berbagai macam penyebab pansitopenia (menurut penelitian Gayatri BN, Kadam Satyanarayan Rao, 2018)6
No. |
Penyebab |
Persentase |
1 |
Anemia mgaloblastik |
74,04% |
2 |
Anemia aplastik |
18,26% |
3 |
Leukemia subleukemik |
3,85% |
4 |
Malaria |
1,93% |
5 |
Mieloma multipel |
0,96% |
6 |
Gangguan penyimpanan |
0,96% |
Kekurangan vitamin B12 dan penyebab infeksi lebih umum
terjadi di negara-negara berkembang, sementara penyebab ganas lebih mendominasi
di negara-negara maju (Shaun & Majeed, 2024). Berdasarkan penelitian oleh
Vargas-Carreto et al., penyebab paling umum pansitopenia meliputi anemia
megaloblastik akibat kekurangan vitamin B12, anemia aplastik, hipersplenisme,
atau keganasan seperti sindrom mielodisplastik dan leukemia myeloid akut (Osman
& Gedik, 2016; Shaun & Majeed, 2024).
Patofisiologi yang mendasari pansitopenia bergantung pada
penyebabnya. Pada anemia aplastik, patofisiologi melibatkan aktivasi sel T yang
dimediasi autoimun, yang menyebabkan kerusakan sel induk hematopoietik. Supresi
sumsum tulang juga dapat disebabkan oleh efek sitotoksik langsung dari
obat-obatan seperti metotreksat, antikonvulsan, dan agen kemoterapi.
Hematopoiesis yang tidak efektif terlihat pada sindrom mielodisplastik. Pada
sepsis, mekanisme pansitopenia meliputi supresi sumsum tulang, hipersplenisme,
dan koagulopati konsumtif, yang biasanya bekerja secara kombinasi. Virus
seperti parvovirus B19 dan HIV juga dapat menyebabkan pansitopenia melalui
mekanisme yang memengaruhi sel induk hematopoietik (Shalini & Orlando,
2023). Hemoglobinuria nokturnal paroksismal, yang disebabkan oleh mutasi
genetik, melibatkan hilangnya protein glikofosfatidilinositol seperti CD55 dan
CD59, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan sel yang dimediasi
komplemen (Shaun & Majeed, 2024).
Diagnosis pansitopenia memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk mengetahui etiologinya. Gejala klinis dapat bervariasi dari ringan
hingga keadaan darurat yang mengancam jiwa. Gejala termasuk kelelahan, infeksi,
dan perdarahan, yang muncul sebagai akibat dari gangguan fungsi garis sel darah
yang terlibat (Shaun & Majeed, 2024). Riwayat anamnesis yang komprehensif,
termasuk penyelidikan tentang infeksi baru-baru ini, status gizi, dan riwayat
keluarga, sangat penting untuk evaluasi. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan
pucat, petekie, ulkus, atau ruam, serta manifestasi kekurangan nutrisi seperti
degenerasi gabungan subakut akibat kekurangan vitamin B12 (Shalini &
Orlando, 2023).
Manifestasi klinis yang paling umum pada pansitopenia
meliputi demam (86,7%), kelelahan (76%), pusing (64%), penurunan berat badan
(45,3%), anoreksia (37,3%), keringat malam (28%), pucat (100%), splenomegali
(48%), hepatomegali (21,3%), limfadenopati (14,7%), dan perdarahan (38,7%)
(Shaun & Majeed, 2024). Pemeriksaan awal mencakup hitung darah lengkap,
hitung retikulosit, dan apusan darah tepi untuk mendeteksi sel-sel abnormal
yang mungkin menunjukkan kondisi seperti leukemia, anemia megaloblastik, atau
sindrom mielodisplastik (Osman & Gedik, 2016).
1.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
2.
Pemeriksaan
sitogenetik (Hibridisasi
Fluoresen In Situ [FISH]
atau kariotipe) dari sumsum tulang atau darah tepi
3.
Flow
cytometry sumsum tulang dan/atau darah tepi
4. Studi
molekuler (misalnya, analisis mutasi, profil ekspresi gen)
5. Pemeriksaan
juga harus mencakup kadar vitamin B12 dan folat, kimia hati, dan dehidrogenase
laktat.1
Tabel 3. Sel-Sel Abnormal yang Mungkin Ditemukan pada
Apusan Darah1
Tipe
Sel |
Kondisi
Terkait |
Sel
blast yang bersirkulasi |
Leukemia akut, hairy cell leukemia, atau keganasan
hematologi lainnya |
Leukosit displastik, termasuk sel pseudo-Pelger-Hu�t |
Sindrom mielodisplastik |
Sel
myeloid immatur, seperti promielosit, mielosit, dan metamielosit |
Neoplasma
mieloproliferatif (MPN), seperti
mielofibrosis primer |
Sel
darah merah berinti |
Mielofibrosis
atau MPN lainnya |
Neutrofil
hipersegmentasi |
Kekurangan folat dan/atau vitamin B12 |
Skistosit atau bukti lain anemia hemolitik mikroangiopati
(MAHA) |
Koagulasi
intravaskular diseminata
/ DIC |
Penampakan leukoeritroblastik pada apusan darah, dengan
RBC Teardrops, sel darah merah berinti, dan MAHA |
Kanker metastasis
atau mielofibrosis |
Setelah pansitopenia dipastikan pada hitung darah lengkap
awal, pemeriksaan non-invasif awal harus
meliputi hitung retikulosit dan apusan darah. Hitung retikulosit
merupakan indikator pengganti yang baik untuk respons sumsum
tulang, di mana hitung retikulosit yang rendah akan mengarah pada penyakit gangguan produksi sumsum tulang, sementara hitung retikulosit yang meningkat akan mengindikasikan kerusakan perifer. Apusan
darah juga akan memberikan wawasan tentang morfologi sel, dan akan membantu
untuk mendiagnosis keganasan hematologi atau anemia megaloblastik.
Rujukan dini ke hematologi diperlukan untuk pencitraan
lebih lanjut dan biopsi sumsum tulang jika ditemukan karakteristik yang curiga
ke arah keganasan hematologi. Riwayat pasien juga harus ditinjau kembali untuk
menilai kemungkinan etiologi penyakit. Ini harus mencakup penilaian gejala
terkait seperti kelelahan, penyakit kuning, mudah memar atau perdarahan
berulang, infeksi berulang, gejala konstitusional demam lebih dari 38 �C,
keringat malam yang deras, atau penurunan berat badan yang tidak disengaja lebih
dari 10% dalam 6 bulan terakhir.
Riwayat medis masa lalu termasuk paparan obat atau toksin
harus ditanyakan, untuk menilai penyebab alkohol atau iatrogenik pansitopenia.
Riwayat perjalanan dapat menimbulkan kecurigaan infeksi tropis yang menyebabkan
hipersplenisme. Riwayat keluarga dengan kondisi genetik juga harus diperiksa.
Pemeriksaan seluruh tubuh, termasuk memar yang tidak biasa, petekie atau
purpura, dan pemeriksaan kelenjar getah bening dan perut untuk hepatomegali
atau splenomegali harus dilakukan.
Tanda-tanda yang berguna untuk menilai splenomegali
termasuk redupnya perkusi di ruang Traube, dan timbulnya tanda Castell.
Ultrasonografi harus dipertimbangkan untuk menentukan ukuran limpa, yang tidak
boleh lebih besar dari 13 cm. Adanya limpa masif lebih dari 20 cm harus
menimbulkan kecurigaan leukemia myeloid kronis, mielofibrosis, malaria,
skistosomiasis, leishmaniasis atau penyakit Gaucher. Splenomegali tidak mungkin
terjadi pada anemia aplastik, anemia megaloblastik, dan sebagian besar kasus
mielodisplasia.
Berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan lebih lanjut harus
difokuskan pada penjelasan etiologi penyakit umum, termasuk penyakit hati
(termasuk tes fungsi hati dan pemeriksaan pembekuan darah), virus (termasuk
hepatitis B, hepatitis C, EBV, cytomegalovirus, parvovirus B19 dan HIV) dan
infeksi parasit (termasuk malaria, skistosomiasis dan leishmaniasis),
pemeriksaan hemolitik untuk kerusakan sel (termasuk haptoglobin dan pengujian
antiglobulin langsung), pemeriksaan autoimun untuk penyakit rematik (termasuk
laju sedimentasi eritrosit dan pengujian autoantibodi), dan defisiensi nutrisi
(termasuk hematinik, serum tembaga dan seruloplasmin).
Gambar 1. Algoritma
pendekatan pansitopenia
Keterangan : CT : Computed Tomography ;
PET : Positron Emission Tomography ; SLE : Systemic Lupus
Erythematosus ; DAT : Direct Antiglobulin Test ; LDH : Laktat Dehidrogenase
; HBV : Hepatitis B virus ; HCV : Hepatitis C virus ; EBV : Epstein-Barr virus
; CMV : Cytomegalovirus ; HIV : Human Immunodeficiency Virus ; US
abdomen : Ultrasonography abdomen ; LFTs : Liver Function Tests ; AST : Aspartat Aminotransferase; CRP : C-Reactive Protein.�
Pengobatan pada kasus pansitopenia didasarkan pada etiologi yang
mendasarinya. Kekurangan nutrisi harus segera diperbaiki, dan obat yang memicu
pansitopenia, seperti metotreksat, linezolid, atau antikonvulsan, sebaiknya
dihentikan. Infeksi seperti HIV atau TBC harus diobati secara agresif. Anemia
aplastik sekunder akibat infeksi virus seperti parvovirus biasanya bersifat
sementara, sehingga pengobatan simtomatik sudah cukup. Pilihan pengobatan untuk
pasien dengan anemia aplastik berat meliputi transplantasi sel induk
hematopoietik dan terapi imunosupresi. Rujukan hematologi harus dilakukan untuk
pasien dengan anemia aplastik berat (Shalini & Orlando, 2023; Christine
& Koyamangalath, 2023).
Perawatan suportif juga sangat penting, termasuk transfusi sel darah merah
untuk mengatasi anemia dan meringankan gejala, serta transfusi trombosit untuk
pasien dengan trombositopenia kurang dari 10.000 per mL guna mencegah
perdarahan intrakranial spontan. Terapi antibiotik spektrum luas harus segera
dimulai pada pasien dengan demam neutropenia atau neutropenia berat (Shalini
& Orlando, 2023). Penatalaksanaan pansitopenia sering kali diarahkan pada
penyebab yang mendasarinya, tetapi juga melibatkan pendekatan suportif seperti
penggunaan antibiotik dan strategi transfusi darah terbatas untuk
mempertahankan kadar hemoglobin di atas 7 g/dL (Shaun & Majeed, 2024).
Untuk kasus yang kompleks, di mana penyebab umum telah disingkirkan,
evaluasi terhadap kemungkinan penyebab yang lebih jarang diperlukan.
Investigasi spesifik dapat meliputi flow cytometry untuk hemoglobinuria
nokturnal paroksismal (PNH) serta pengukuran aspartat aminotransferase,
feritin, trigliserida, dan fibrinogen untuk menghitung skor-H pada
hemofagositik limfohistiocytosis (HLH). Kolaborasi dengan ahli hematologi atau
rheumatologist mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan lebih lanjut (Shaun &
Majeed, 2024).
Prognosis pansitopenia bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Pada
kasus seperti infeksi virus, prognosis biasanya sangat baik, dan kondisi dapat
membaik tanpa intervensi tambahan. Namun, prognosis pada pasien dengan sindrom
mielodisplastik sangat bergantung pada derajat pansitopenia dan persentase sel
blast di sumsum tulang. Jika pansitopenia disebabkan oleh obat seperti
metotreksat atau linezolid, penghentian terapi biasanya cukup untuk memulihkan
kondisi (Shalini & Orlando, 2023).
Komplikasi pansitopenia meliputi peningkatan risiko infeksi, anemia yang
mengancam jiwa, dan perdarahan. Pasien dengan demam memerlukan antibiotik
spektrum luas dan antijamur. Transfusi sel darah merah dan trombosit harus
segera diberikan pada pasien dengan anemia berat atau trombositopenia disertai
perdarahan. Sindrom lisis tumor juga dapat terjadi pada pasien yang menerima
kemoterapi untuk tumor besar seperti limfoma tingkat tinggi dan leukemia akut
(Shalini & Orlando, 2023).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identitas
Pasien
Nama ������������������� : Siti Asiyah
RM ���������������������� :
210711
Tanggal
Lahir ������� : 1 Maret 1970
Usia���������� ���������� : 54
tahun
Agama ����������������� : Islam
Jenis Kelamin ������� : Perempuan
Alamat ����������������� : Desa Kambangan RT 03 RW 03,
Kec. Blado, Kabupaten
Batang
Masuk RS � ����������� : 31 Agustus 2024
Keluar
RS�� ����������� :
3 September 2024 (pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri/ PAPS)
B.
Anamnesis
Keluhan
utama: Lemas
Riwayat Penyakit
Sekarang: Pasien datang dengan keluhan lemas. Lemas diikuti dengan riwayat
Buang Air Besar hitam dan muntah darah lebih kurang 1 bulan terahir, namun saat
ini sudah berhenti. Terahit Buang Air Besar hitam dan muntah darah pada tanggal
17 Agustus 2024. Pusing (+), Mual (+), muntah (-). Pasien tidak mengeluhkan
demam. Buang Air Kecil dalam batas normal.
Riwayat
Penyakit Dahulu: Riwayat keluhan serupa dahulu disangkal. riwayat hipertensi
dan kencing manis disangkal.
Riwayat Penyakit
Keluarga: Riwayat keluhan serupa disangkal.
Riwayat Penggunaan
Obat: Riwayat penggunaan obat untuk pegal linu disangkal. Riwayat penggunaan
obat-obat lain disangkal. Pasien pernah berobat ke spesialis penyakit dalam
pada 29 Agustus 2024 dan disarankan untuk rawat inap untuk transfusi.
C. Pemeriksaan
Fisik
Keadaan
Umum����� : Sedang
Kesadaran ������������� : Compos Mentis
Tanda-Tanda Vital
Tensi
Darah���������� : 140/72 mmHg
Nadi �������������������� : 75 x/menit
Laju napas ����������� : 20 x/menit
Suhu
������������������� : 36,7 Celcius
SpO2 ������������������� : 98% Udara Ruangan
Status Generalisata
1.
Kepala/leher :
Mata ��� : konjungtiva anemis (+/+) , sklera ikterik
(-/-), pupil isokor (3/3 mm), RCL (+/+)
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), kelainan bentuk
hidung (-)
Bibir ��� : sianosis (-), pucat (+)
Lidah �� : kotor (-)
Telinga : Tidak ada kelainan bentuk telinga, sekret
(-/-) , darah (-/-)
Leher �� : Pembesaran KGB (-)
2.
Paru:
Inspeksi ���������� : Bentuk dan gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-)
Palpasi : fremitus taktik kanan=kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : vesikuler
(+/+) , Rhonki (-/-) , Wheezing (-/-)
3.
Jantung
Inspeksi ���������� : iktus kordis tidak
tampak
Palpasi : iktus kordis
teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi:
S1>S2 tunggal, reguler,
murmur (-)
4.
Abdomen
Inspeksi ���������� : distensi (-), perubahan warna (-),
benjolan (-)
Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
Auskultasi: bising usus (+) normal
5.
Extremitas
Superior����������� : pucat
(+), akral hangat , edema (-/-) , CRT < 2 detik
Inferior : pucat (+), akral hangat , edema (-/-) , CRT < 2 detik
D. Pemeriksaan
Penunjang
Rontgent���� : tidak dilakukan
EKG tanggal;
tidak dilakukan
Tabel
4. Laboratorium tanggal
31/08/2024
Hasil |
Nilai
Normal |
|
CBC |
|
|
Leukosit |
1.980 |
3.600 � 11.000 /ul |
Eritrosit |
1.350.000 |
3.800.000 � 5.200.000 /ul |
Hemoglobin |
2,2 |
11,7 � 15,5 gr/dl |
Hematokrit |
9,1 |
35,0 � 47,0 % |
Trombosit |
58000 |
150.000 � 450.000 /ul |
MCV |
67,4 |
80-100 fL |
MCH |
16,3 |
26,0-34,0 pg |
MCHC |
24,2 |
32,0 � 36,0 gr/dl |
RDW-SD |
51 |
37 � 54 fL |
RDW-CV |
21,1 |
11 - 16 % |
Ureum |
15,5 |
10,0 � 50,0 mg/dl |
Kreatinin |
0,5 |
0,6 � 1,0 mg/dl |
Diff Count |
|
|
Neutrofil |
62,6 |
42,0 � 74,0 % |
Limfosit |
27,6 |
17,0 � 45,0 % |
Monosit |
8,4 |
5,0 � 12,0 % |
Eosinofil |
1,4 |
2,0 � 4,0 % |
Basofil |
0,0 |
0 � 1 % |
Limfosit Absolut |
0,59 |
0,90 � 5,20 % |
Tabel
5. Laboratorium Tanggal
03/09/2024
Hasil |
Nilai
Normal |
|
CBC |
|
|
Leukosit |
2.690 |
3.600 � 11.000 /ul |
Eritrosit |
2.980.000 |
3.800.000 � 5.200.000 /ul |
Hemoglobin |
7,2 |
11,7 � 15,5 gr/dl |
Hematokrit |
22,6 |
35,0 � 47,0 % |
Trombosit |
39.000 |
150.000 � 450.000 /ul |
MCV |
75,8 |
80-100 fL |
MCH |
24,2 |
26,0-34,0 pg |
MCHC |
31,9 |
32,0 � 36,0 gr/dl |
RDW-SD |
52 |
37 � 54 fL |
RDW-CV |
18,7 |
11 - 16 % |
Diagnosa
Diagnosa
Awal di IGD � : Anemia Gravis, Riwayat
Hematemesis Melena
Diagnosa
Ahir ������������� : Pansitopenia pada
riwayat Hematemesis Melena
Tatalaksana
dan Perjalanan Rawatan Pasien
Terapi
di IGD
O2 2
LPM
IVFD
dengan transfusi set RL loading 500 ml lanjut 20 tetes per menit
IV
pantoprazol 40 mg
IV
asam traneksamat 500 mg
IV
ondansentron 4 mg
Cek
Lab CBC, Ur, CR, GDS, EKG, Rontgen Thoraks
Konsul
DPJP
Tatalaksana
Dokter Penganggung Jawab Pasien (dokter spesialis penyakit dalam) Perjalanan
Pasien
Diet
biasa 1900 kkal
O2 2
LPM
IVFD
Asering 500 ml/ 24 jam
IV OMZ
2x1 amp
IV
Metoklopramide 1x1 amp
IV Mecobalamine
1x1 amp
IV Cefotaxime 3x1 gram
Transfusi
PRC 1000 ml, premed difenhidramine 1 amp per kolf
Pada hari
ketiga, setelah transfusi PRC 1000 ml, pasien mengatakan ingin pulang dan Pulang atas permintaan
sendiri, sehingga rencana transfusi PRC tambahan 500 ml (2 kolf) tidak jadi diberikan.
Pembahasan
Kasus
Pasien
seorang wanita datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan utama lemas yang diikuti dengan riwayat buang air besar hitam dan muntah darah lebih kurang
1 bulan terahir, namun saat ini
sudah berhenti. Terahir buang air besar hitam dan muntah darah adalah 14
hari yang lalu. Pusing (+), Mual (+), muntah (-). Pasien tidak mengeluhkan
demam. Buang Air Kecil dalam batas normal. Dari riwayat penyakit dahulu: riwayat
keluhan serupa disangkal, riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Dalam
keluarga riwayat keluhan serupa disangkal. Pada penggunaan obat: riwayat
penggunaan obat untuk pegal linu disangkal dan obat-obat lainnya disangkal.
Pasien sebelumnya pernah berobat ke spesialis penyakit dalam 2 hari yang lalu
dan disarankan untuk rawat inap untuk transfusi darah. Pada pemeriksaan fisik
keadaan umum dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
generalisata, ditemukan yang abnormal adalah konjungtiva mata yang anemis, dan
extremitas yang tampak pucat. Tidak terdengar murmur pada auskultasi jantung
serta tidak teraba organomegali pada pemeriksaan palpasi abdomen.
Pansitopenia,
suatu entitas klinis-hematologi, merupakan kelainan sumsum tulang yang sering
ditemui dalam praktik klinis. Pansitopenia lebih merupakan manifestasi klinis
akibat spektrum penyakit yang memengaruhi sumsum tulang dan/atau sel darah
putih (WBC), sel darah merah (RBC), serta trombosit darah, daripada sebuah
entitas penyakit. Bergantung pada tingkat keparahan anemia, leukopenia, dan
trombositopenia, presentasi klinisnya bervariasi. Kelemahan secara umum, demam,
penurunan berat badan, kecenderungan perdarahan abnormal, sesak napas, dll,
merupakan manifestasi pansitopenia yang umum, dan prognosisnya bergantung pada
diagnosis etiologi yang mendasarinya yang benar dan tepat waktu.7
Gejala yang di
alami pasien ini adalah lemas. Sesuai dengan teori yang mana gejala yang paling
sering muncul adalah kelelahan, diikuti oleh demam dan kecenderungan
pendarahan.7 Pada pasien ini juga didapat riwayat adanya perdarahan
dalam saluran cerna yaitu riwayat BAB pasien yang hitam dan riwayat muntah
disertai darah yang dialami pasien, namun sudah berhenti. Demam tidak di alami
pasien di laporan kasus kami karena kemungkinan tidak ada infeksi yang terjadi
pada kasus kami. Dan hanya anemia dan trombositopenia yang menyebabkan keluhan
yang muncul di pasien kasus kami. Hal ini juga sesuai dengan teori. Presentasi
klinis dapat bervariasi, dengan pansitopenia ringan yang tidak bergejala hingga
keadaan darurat yang mengancam jiwa pada pansitopenia berat. Gejala muncul
karena gangguan fungsi sel yang terlibat, dan meliputi kelelahan, infeksi, dan
pendarahan.� Namun, pansitopenia sering
kali hanya teridentifikasi pada pemeriksaan darah karena presentasinya yang
tidak spesifik. Pasien dapat menunjukkan manifestasi dari salah satu garis sel
yang menurun.1,5
Pada pasien
ini sayangnya tidak dilakukan pemeriksaan penunjang rontgen thoraks dan EKG
sehingga data dari dua penunjang itu tidak ada. Namun dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak menunjukkan ke arah kelainan dari jantung dan paru-paru
pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat di
Intalasi Gawat Darurat (IGD) dan setelah transfusi darah di ruangan. Hasil
ketika di IGD didapatkan nilai abnormal dari seluruh hasil darah lengkap, mulai
dari leukopeni (1.980/ul), eritrosit rendah (1.350.000/ul), anemia gravis (2,2
gr/dl), hematokrit rendah (9,1 %), trombositopenia (58.000/ul). Pemeriksaan
morfologi eritrosit didapatkan MCV 67,4 fL, MCH 16,3 pg, MCHC 24,2 gr/dl, serta
RDW-CV 21,1 %. Pemeriksaan differential count didapatkan nilai abnormal pada
eosinofil 1,4%. Kemudian pemeriksaan penunjang kedua� setelah dilakukan tranfusi dan rawatan hari
ketiga, didapatkan hasil leukopeni (2.690/ul), eritrosit rendah (2.980.000/ul),
anemia (7,2 gr/dl), hematokrit meningkat (22,6%), trombositopenia (39.000/ul),
pemeriksaan morfologi eritrosit ditemukan MCV (75,8fl) , MCH (24,2 pg) dan MCHC
(31,9 gr/dl).
Mengenai
manifestasi klinis pansitopenia, pansitopenia merupakan manifestasi dari
berbagai kelainan klinis primer ganas maupun non-ganas. Penurunan produksi sel
hematopoietik, seperti pada anemia aplastik, sel abnormal yang menyusup ke
sumsum tulang, seperti pada keganasan hematologi, kelainan autoimun,
hipersplenisme, destruksi sel berlebih akibat produksi yang tidak efektif
seperti pada anemia megaloblastik, dan lain-lain merupakan beberapa dari sekian
banyak kemungkinan mekanisme yang melatarbelakangi perkembangan pansitopenia.7
Pada kasus kami, pasien mengalami kondisi dimana morfologi sel darah merah atau
eritrosit mengalami penurunan baik Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) yang
merupakan jumlah rata-rata hemoglobin dalam setiap sel darah merah, dan Mean
Corpuscular Volume (MCV) yang merupakan ukuran atau volume rata-rata sel
darah merah. Pada pasien kami mengalami kondisi anemia mikrositik hipokromik.
Anemia
mikrositik hipokromik, sesuai namanya, adalah jenis anemia yang ditandai dengan
ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal (mikrositik) dan warna eritrosit
yang lebih pucat (hipokromik). Penyebab paling umum dari anemia ini adalah
berkurangnya cadangan zat besi dalam tubuh akibat berbagai faktor, termasuk
rendahnya asupan zat besi, gangguan penyerapan di usus, kehilangan darah akut
atau kronis, serta kebutuhan zat besi yang meningkat selama kehamilan atau
pemulihan pascaoperasi besar (Hamad & Madhukar, 2023). Pemeriksaan
morfologi eritrosit pada pasien menunjukkan karakteristik mikrositik
hipokromik, mengindikasikan bahwa pasien tidak mengalami defisiensi vitamin B12
atau B9, yang sering menjadi penyebab utama anemia di negara berkembang.
Diagnosis awal
pasien adalah anemia gravis dengan riwayat hematemesis dan melena, yang
kemudian berkembang menjadi pansitopenia setelah pemeriksaan darah lengkap.
Pansitopenia ditegakkan berdasarkan anamnesis yang mencatat riwayat hematemesis
dan melena, diikuti pemeriksaan hitung darah lengkap. Hitung retikulosit
digunakan untuk mengevaluasi respons sumsum tulang. Retikulosit rendah
menunjukkan gangguan produksi sumsum tulang, sedangkan retikulosit tinggi
mengindikasikan kerusakan perifer (Shaun & Majeed, 2024).
Keterbatasan
fasilitas kesehatan menyebabkan beberapa pemeriksaan penting seperti TIBC,
serum feritin, dan transferin tidak dapat dilakukan. Meski demikian, anemia
mikrositik hipokromik dapat disebabkan oleh perdarahan akut, trauma, atau
anemia sideroblastik. Tidak adanya splenomegali mengindikasikan bahwa
pansitopenia pasien lebih mungkin berasal dari gangguan produksi sumsum tulang
daripada destruksi perifer. Pemeriksaan lebih lanjut seperti biopsi sumsum
tulang diperlukan untuk diagnosis definitif (Shaun & Majeed, 2024; Osman
& Habip, 2016).
Anemia
aplastik adalah salah satu kemungkinan penyebab, yang sering kali idiopatik
atau terkait infeksi, obat-obatan, racun, atau kehamilan. Kondisi ini ditandai
dengan penurunan jumlah selularitas sumsum tulang akibat toksisitas langsung
atau defisiensi sel stromal (Christine & Koyamangalath, 2023). Di sisi
lain, mielodisplasia merupakan kelainan hematopoietik yang ditandai dengan
hematopoiesis tidak efektif, sitopenia, dan risiko tinggi berkembang menjadi
leukemia akut (Siswi et al., 2020). Kedua kondisi ini memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk konfirmasi.
Penanganan
awal pasien di IGD meliputi oksigenasi, pemberian cairan intravena, dan terapi
medikamentosa untuk mengatasi gejala akut. Setelah dirawat di ruang rawat inap,
pasien menerima transfusi PRC, terapi antibiotik, serta suplementasi vitamin
B12. Pada hari ketiga perawatan, kadar hemoglobin pasien meningkat dari 2,2
g/dL menjadi 7,2 g/dL. Meskipun dokter menyarankan tambahan transfusi PRC,
pasien memilih untuk pulang atas permintaan sendiri setelah diberikan edukasi
mengenai risiko yang mungkin terjadi (Shaun & Majeed, 2024).
Pada pasien
diberikan terapi omeprazol, kemudian metoklopramide, yang merupakan terapi
supportif untuk pencegahan perdarahan gastrointestinal. Menurut penelitian
Daneshmend et al, omeprazole gagal mengurangi angka kematian, perdarahan
ulang, atau kebutuhan transfusi, meskipun begitu pengurangan tanda-tanda
perdarahan endoskopi menunjukkan bahwa penghambatan asam lambung mungkin dapat
memengaruhi perdarahan intragastrik. Namun menurut Daneshmend et al, penelitian
mereka juga tidak membenarkan penggunaan rutin obat penghambat asam lambung
dalam penanganan hematemesis dan melena.11 Dan pemberian
metoklopramid yang merupakan prokinetik dengan tujuan mengurangi mual yang
mungkin di alami oleh pasien.
Mecobalamine
adalah bentuk lain dari vitamin B12 yang berfungsi untuk pembentukan sel darah
merah serta mendukung fungsi saraf. Vitamin ini efektif untuk pengobatan anemia
megaloblastik, neuropati perifer, dan saraf terjepit (Hamad & Madhukar,
2023). Pemberian cefotaxim juga sudah sesuai. Cefotaxim adalah antibiotik
sefalosporin generasi ketiga yang termasuk beta-laktam spektrum luas, digunakan
untuk mencegah infeksi akibat leukopenia (Seth & Sandeep, 2023).
Pasien
menerima terapi transfusi darah berupa Packed Red Cell (PRC) 1000 ml dengan
premed difenhidramine 1 amp per kolf (250 ml). Transfusi ini merupakan terapi
suportif untuk menangani penurunan hemoglobin (Hb). Transfusi PRC diberikan
karena tidak ada indikasi untuk transfusi trombosit pada saat itu (trombosit
58.000). Transfusi juga diindikasikan pada pasien dengan perdarahan aktif atau
anemia yang disertai gejala seperti takikardia, kelemahan, dan dispnea saat
aktivitas, serta hemoglobin kurang dari 8 g/dL (Novita & Banundari, 2015).
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 g/dL, diperlukan PRC sebanyak 4 mL/kgBB
atau satu unit/kolf yang dapat meningkatkan kadar hematokrit sebesar 3%. PRC
diberikan selama 2�4 jam dengan kecepatan 1�2 mL/menit setelah memastikan
kecocokan golongan darah ABO dan Rh (Novita & Banundari, 2015). Dalam kasus
ini, transfusi awal sebanyak 4 kolf (1000 ml) berhasil meningkatkan Hb dari 2,2
g/dL menjadi 7,2 g/dL pada hari ketiga perawatan. Rencana tambahan transfusi
500 ml (2 kolf) tidak terealisasi karena pasien memilih untuk pulang atas
permintaan sendiri.
Sebagian besar
kasus pansitopenia dapat disembuhkan dengan pengobatan spesifik berdasarkan
etiologi. Terkadang, terapi suportif yang tepat waktu diperlukan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas, sehingga meningkatkan kualitas hidup
pasien (Suhas et al., 2022). Perawatan suportif meliputi transfusi sel darah
merah untuk anemia dan transfusi trombosit bagi pasien dengan trombositopenia
berat (<10.000 per mL) untuk mencegah perdarahan intrakranial spontan.
Terapi antibiotik spektrum luas harus dimulai segera pada pasien dengan
neutropenia berat atau demam neutropenia untuk mencegah risiko sepsis fatal
(Shaun & Majeed, 2024). Pengobatan juga mencakup perbaikan kekurangan
nutrisi, penghentian obat penyebab pansitopenia, serta penanganan infeksi
seperti HIV atau TBC. Jika kondisi autoimun atau keganasan ditemukan, terapi
khusus harus segera diberikan (Shalini & Orlando, 2023; Alvin et al.,
2024).
Identifikasi
penyebab mendasar sangat penting dalam menangani pansitopenia. Ada perubahan
tren dari anemia aplastik menjadi anemia megaloblastik dalam beberapa tahun
terakhir. Anemia megaloblastik, yang sering ditemukan di India dan
negara-negara Asia lainnya akibat faktor gizi, cukup mudah diobati dengan
terapi yang tepat (Subhashish, 2020). Evaluasi pansitopenia memerlukan
pendekatan holistik karena faktor etiopatologis yang bervariasi. Teknologi
molekuler seperti profil genomik dan sekuensing generasi berikutnya menawarkan
potensi besar untuk pilihan diagnostik yang hemat biaya dan perlu lebih
dieksplorasi (Subhashish, 2020).
Dalam kasus
ini, meskipun kondisi pasien menunjukkan perbaikan, etiologi mendasar
pansitopenia tidak dapat dipastikan karena keterbatasan fasilitas pemeriksaan
di RSUD Kabupaten Batang. Pasien memilih untuk pulang atas permintaan sendiri,
meskipun telah diberikan edukasi terkait risiko dan efek sampingnya.
KESIMPULAN
Identifikasi
penyebab sangatlah penting bagi pasien dengan pansitopenia, parena patologi
yang mendasari akan menentukan penanganan dan prognosis pasien. Telah
dilaporkan seorang pasien wanita berusia 54 tahun dengan keluhan saat masuk
dengan lemas dengan memiliki riwayat BAB hitam dan muntah darah selama lebih
dari 1 bulan. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut didapatkan diagnosis
kerja berupa pansitopenia dengan riwayat hematemesis melena. Penentuan
diagnosis etiologi pada kasus ini sulit dilakukan karena minimnya pemeriksaan
penunjang, namun dari apa yang ada, terdapat kemungkinan pasien ini mengalami
pansitopenia tipe sentral, dan jenis yang primer. Kemudian pasien ini mendapat
penatalaksanaan berupa supportif sepeti pemberian PPI, antiemetik, antibiotik
dan transfusi darah untuk dapat mengurangi gejala yang dialami pasien. Hal ini
sudah sesuai dimana transfusi, pemberian antibiotik dan agen obat untuk
mencegah mual serta kemungkinan perdarahan saluran cerna, akan membantu
memerbaiki kondisi klinis dan pencegahan dari komplikasi lebih lanjut. Penentuan
etiologi sebenarnya sangat penting, namun membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
seperti marker atau penunjang lain supaya diagnosis pasti dari penyebab
diagnosis kerja pasien ini dapat diketahui dan ditangani lebih tepat dan untuk
mencegah kekambuhan. Namun disayangkan, pasien memutuskan untuk pulang atas
permintaan sendiri (PAPS) yang setelah digali info karena pasien merasa sudah
baikan dan ingin segera pulang. Hal ini menyebabkan etiologi pasti dari diagnosis
pasien belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Shalini, C.,
& Orlando, D. J. (2023). Pancytopenia.
StatPearls Publishing. Diakses pada 15 September 2025, dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563146/
Alvin, S., Caecilia, A. R., Dwiana, S. T. S., Siti, H. R. N., & Muhammad, B.
(2024). Pansitopenia. Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman. Diakses pada 15 September 2024, dari https://repository.unmul.ac.id/bitstream/handle/123456789/34437/TUTORIAL%20KLINIK%20HEMATO-ONKOLOGI%20Pansitopenia.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Osman, Y., & Gedik, H. (2016).
Etiological cause of pancytopenia: A report of 137 cases. Avicenna
Journal of Medicine, 6(4), 109�112. https://doi.org/10.4103/2231-0770.191447
Fika, F. D.,
Dewi, Z., & Nanan, N. (2022). Manajemen perdarahan ginggiva akibat
pansitopenia pada pasien dengan suspek anemia aplastik. Jurnal Kedokteran
Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 34(1). https://doi.org/10.24198/jkg.v34i1.33530
Shaun, C., & Majeed, K. (2024).
Approach to pancytopenia: From blood test to bedside. Clinical Medicine, 24(5),
100235. https://doi.org/10.1016/j.clinme.2024.100235
Gayatri, B.
N., & Kadam, S. R. (2011). Pancytopenia:
A Clinico Hematological
Study. Journal of Laboratory Physicians, 3(1), 15�20.
https://doi.org/10.4103/0974-2727.78555
Suhas, G. S., Akash, R. K.,
Avinash, D., & Swaragandha, S. J. (2022).
Clinical and Etiological Profiles of Patients With
Pancytopenia in a Tertiary Care Hospital. Cureus,
14(10), e30449. https://doi.org/10.7759/cureus.30449
Hamad, S. C.,
& Madhukar, R. K. (2023). Microcytic
Hypochromic Anemia. StatPearls
Publishing. Diakses pada 15 September 2025, dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470252/
Christine, A. M., & Koyamangalath, K. (2023). Aplastic Anemia.
StatPearls Publishing. Diakses pada 25 September 2024, dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470252/
Siswi, O.,
Adeodatus, Y. H., & Ibnu, P. (2020). Peningkatan profil klinik-hematologi
pada sindrom mielodisplasia multilini paska splenektomi total. Jurnal Penyakit
Dalam Udayana, 4(1),
1�4. https://doi.org/10.36216/jpd.v4il.133
Daneshmend, T. K., Hawkey, C. J., Langman, M.
J., Logan, R. F., Long, R. G., & Walt, R. P. (1992). Omeprazole versus
placebo for acute upper gastrointestinal bleeding: Randomised double blind
controlled trial. BMJ, 304(6820), 143�147.
https://doi.org/10.1136/bmj.304.6820.143
Seth, L., & Sandeep, S. (2023).
Blood Transfusion. StatPearls Publishing.
Diakses pada 25 September 2024, dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499824/
Novita, I.,
& Banundari, R. (2015). Packed Red Cell dengan Delta Hb dan Jumlah
Eritrosit Anemia Penyakit Kronis. Majalah Patologi Klinik Indonesia dan
Laboratorium Medik, 21(3), 220�223. Diakses dari https://www.indonesianjournalofclinicalpathology.org/index.php/patologi/article/download/1270/990/2070
Subhashish, D. (2020).
Pancytopenia: An Update. Journal of Experimental Pathology, 1(1), 28�32.
https://doi.org/10.33696/pathology.1.005
� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |