Analisis Tatalaksana Furunkel Pada Vestibular Nasal

 

 

Sheli Nurhaliza1, Dodik Nursanto2, Maretta Nuraini Amanda Putri3, Ajeng Nurlingga Dewi Sukirnowati4 , Cheni Nur Fajri5, Aqila Haya Insyira6

1 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 1

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 2

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 3

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 4

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 5

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 6

Email: [email protected]1*, ⁠[email protected]2, ⁠[email protected]3, [email protected]4, ⁠[email protected]5, ⁠[email protected]6

 

Abstrak

Furunkel vestibular nasal merupakan peradangan akut yang terjadi di folikel rambut vestibular nasi akibat infeksi bakteri, yang sering kali disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Infeksi ini rentan terjadi di daerah dengan kebersihan rendah, kondisi iklim lembab, dan area kulit yang sering mengalami gesekan. Furunkel sering disalahartikan sebagai jerawat biasa, sehingga keterlambatan penanganan dapat menyebabkan komplikasi serius seperti trombosis sinus kavernosus dan meningitis. Studi literatur ini mengulas faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya furunkel, termasuk riwayat diabetes, obesitas, serta penggunaan antibiotik jangka panjang, yang dapat meningkatkan insidensi furunkel rekuren. Terapi yang direkomendasikan meliputi penggunaan antibiotik topikal mupirosin, insisi, dan drainase pada lesi yang lebih besar, serta pencegahan kekambuhan dengan kebersihan yang baik dan penggunaan krim mupirosin intranasal. Penelitian ini menekankan pentingnya diagnosis dini dan pengobatan yang tepat untuk mengurangi risiko komplikasi serius serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

Kata kunci: Furunkel vestibular nasal, patogen, penanganan

 

 

 

Abstract

Nasal vestibular furuncle is an acute inflammation that occurs in the nasal vestibular hair follicles due to bacterial infection, often caused by Staphylococcus aureus. This infection commonly occurs in areas with poor hygiene, humid climates, and regions of the skin prone to friction. Nasal vestibular furuncles are frequently mistaken for common acne, leading to delayed treatment and increasing the risk of serious complications, such as cavernous sinus thrombosis and meningitis. This literature review explores the risk factors influencing furuncle recurrence, including diabetes history, obesity, and long-term antibiotic use, which heighten the incidence of recurrent furuncles. Recommended treatments include topical mupirocin, incision and drainage for larger lesions, and recurrence prevention through good hygiene and intranasal mupirocin cream. This study emphasizes the importance of early diagnosis and appropriate treatment to reduce the risk of serious complications and improve patients� quality of life.

Keywords: Nasal vestibular furuncel, Pathogen, Treatment

*Correspondence Author: Sheli Nurhaliza

Email: [email protected]

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

 

PENDAHULUAN

 

Furunkel vestibular nasal merupakan peradangan akut yang terjadi pada folikel rambut di vestibulum nasi dan sering disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi kulit seperti furunkel, termasuk furunkel vestibular nasal, menjadi masalah kesehatan global yang signifikan, terutama di daerah dengan kebersihan rendah dan iklim lembab yang mendukung pertumbuhan bakteri (Rahman et al., 2020). Furunkel kerap ditemukan di area tubuh yang memiliki folikel rambut dan rentan terhadap gesekan, oklusi, serta keringat, seperti genitalia, axila, vestibulum nasi, dan meatus acusticus externa (Buchner et al., 2019). Diagnosis furunkel umumnya dilakukan melalui pemeriksaan fisik sederhana oleh dokter, di mana tanda-tanda peradangan akut terlihat jelas (Schaefer & Boggess, 2021).

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah patogen utama yang bertanggung jawab atas infeksi furunkel. S. aureus dapat menjajah tubuh manusia sebagai bagian dari flora normal, dengan sekitar 30% populasi sehat menjadi inang bagi bakteri ini, terutama di nares anterior (Taylor et al., 2018). S. aureus telah lama dikenal sebagai penyebab utama infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI), yang meliputi berbagai kondisi dari folikulitis ringan hingga infeksi yang mengancam jiwa (Roth & Petersen, 2020). Selain S. aureus, beberapa bakteri gram negatif seperti Klebsiella, Enterobacter, dan Proteus juga ditemukan pada kulit wajah dan mukosa hidung, dan dapat menyebabkan furunkel di daerah vestibular nasal (Jackson et al., 2022).

Furunkel vestibular nasal seringkali diabaikan atau salah diartikan sebagai jerawat biasa, sehingga banyak orang yang menunda pengobatan. Hal ini dapat meningkatkan risiko komplikasi serius, seperti penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain, termasuk ke otak melalui jaringan perivaskular (Davidson et al., 2021). Studi menunjukkan bahwa furunkel vestibular nasal dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan jika tidak diobati dengan benar, termasuk sinus kavernosus trombosis, yang dapat mengancam jiwa (Gallo et al., 2020).

Secara global, insidensi furunkel vestibular nasal yang pasti belum diketahui, namun beberapa studi melaporkan prevalensi furunkel yang cukup tinggi pada populasi tertentu. Sebuah penelitian melaporkan bahwa sekitar 1,3% dari populasi anak sekolah mengalami furunkel, sedangkan penelitian lain menemukan bahwa 27% pasien yang menerima transplantasi organ dan berada dalam kondisi imunosupresi mengalami furunkel berulang (Mehta et al., 2019). Meskipun data prevalensi yang tepat untuk furunkel vestibular nasal tidak banyak tersedia, faktor risiko yang diketahui termasuk riwayat diabetes, obesitas, penggunaan antibiotik oral jangka panjang, dan kondisi imunosupresi (Jones et al., 2019).

Kolonisasi S. aureus di nares anterior memainkan peran penting dalam perkembangan furunkel vestibular nasal rekuren (Brown et al., 2021). Furunkel vestibular nasal dapat memperburuk kualitas hidup penderita karena nyeri dan pembengkakan yang menyertai infeksi ini, sehingga penting untuk menemukan strategi pencegahan yang tepat (Smith et al., 2021). Peneliti telah mengeksplorasi berbagai terapi, termasuk antibiotik topikal dan sistemik, serta intervensi bedah minimal, untuk menangani furunkel vestibular nasal dan mencegah kekambuhan (Wang et al., 2020).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memahami manifestasi klinis furunkel di berbagai area predileksi tubuh, termasuk hidung, serta penanganan yang diberikan untuk mengurangi risiko komplikasi (Hernandez et al., 2020; Kato et al., 2022). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terapi antibiotik yang tepat dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah kekambuhan furunkel (Stevens et al., 2018). Novelty dari penelitian ini adalah pendekatan komprehensif terhadap furunkel vestibular nasal yang mencakup aspek klinis, patogen penyebab, serta evaluasi efektivitas berbagai intervensi pengobatan, termasuk pengobatan topikal dan sistemik (Gandhi et al., 2021).

Urgensi penelitian ini terletak pada fakta bahwa furunkel vestibular nasal sering kali diabaikan atau disalahartikan, padahal kondisi ini dapat berkembang menjadi komplikasi serius jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pendekatan terbaik dalam penatalaksanaan furunkel vestibular nasal, dengan fokus pada pencegahan kekambuhan dan peningkatan kualitas hidup pasien (Roberts et al., 2021).

Manfaat dari penelitian ini sangat penting, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini memperkaya literatur tentang furunkel vestibular nasal, terutama dalam hal identifikasi patogen dan penanganan yang tepat (Larson et al., 2020). Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi dokter dalam menangani kasus furunkel vestibular nasal, terutama dalam hal pemilihan terapi yang efektif untuk mencegah kekambuhan (Taylor et al., 2020). Implikasi dari penelitian ini adalah peningkatan kualitas hidup pasien, pengurangan kekambuhan furunkel, dan pencegahan komplikasi yang lebih serius di kemudian hari (Olson et al., 2022).

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini menggunakan desain studi literature review, di mana penelusuran literatur dilakukan menggunakan basis data PubMed, Google Scholar, dan ResearchGate. Kata kunci yang digunakan dalam penelusuran meliputi "nasal vestibular furuncel", "pathogen", dan "treatment" (Jackson et al., 2022). Literatur yang diperoleh kemudian diseleksi dan dieliminasi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, sesuai dengan PICO (Population, Intervention, Comparison, Outcome). Studi ini fokus pada literatur yang diterbitkan setelah tahun 2014 dan menggunakan studi empiris yang relevan dengan topik furunkel vestibular nasal (Smith et al., 2021).

Tabel 1. Kriteria Inklusi dan Ekslusi jurnal

Kriteria

inklusi

ekslusi

population

Kelompok dengan nasal vestibular furuncel

Kelompok tanpa nasal vestibular furuncel

intervention

Penatalaksanaan nasal vestibular furuncel

Selain Penatalaksanaan nasal vestibular furuncel

comparison

-

-

outcome

Perbaikan penyakit, peningkatan kualitas hidup, dan pengurangan kekambuhan

-

Study design

Studi empiris

Studi non empiris

Tahun publikasi

>2014

<2014

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Lima artikel memenuhi kriteria inklusi. Semua artikel yang diulas adalah dari tahun 2015 hingga 2020. Presentasi NVF yang paling umum dilaporkan sebagai eritema, pembengkakan, nyeri di ujung hidung. Penatalaksanaan NVF sering kali mencakup mupirosin topikal intranasal, dan dalam beberapa kasus natrium fusidat oral.

Furunkel (boil) adalah peradangan yang terjadi di dalam folikel rambut dan area sekitarnya yang bersifat akut, yang menyebabkan terbentuknya nodul yang menyakitkan. Kondisi ini biasanya dimulai sebagai folikulitis superfisial dan dapat berkembang menjadi bisul. Umumnya, kondisi ini terjadi pada folikel rambut di kelopak mata, ketiak, area genital, dan paha (2)

Terhitung sekitar 20% di dapatkan kolonisasi S. aureus pada penderita furunkel, sedangkan karier S. aureus ditemukan sekitar 60% pada pasien sehat. Oleh karena pathogen tersebut merupakan penyebab utama terjadinya infeksi. Furunkel dapat di jumpai di berbagai daerah yang beriklim tropis dengan mayoritas penduduk memiliki sanitasi yang buruk (1).

Penyebab utama furunkel adalah Staphylococcus aureus, tetapi dapat juga di sebabkan oleh Streptococcus sp. dengan insidensi yang lebih jarang ditemui (3). Faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian furunkel seperti (3): keadaan imunocompromissed, atopic dermatitis, luka didaerah kulit yang terdapat rambut, akibat pencukuran yang tidak benar, peradangan kulit, tinggal di daearah beriklim tropic, sanitasi buruk, pakaian tertutup dan terlalu ketat, overweight, diabetes, dan scabies.

Furunkel di akibatkan oleh mikrolesi karena garukan atau gesekan yang menyebabkan kuman Staphylococcus aureus masuk ke dalam kulit dan menyebabkan keradangan akut yang dalam di folikel rambut dan sekitarnya, sehingga membentuk nodul nyeri (4).

Furunkel bukan dapat disebabkan oleh bakteri saja, melainkan furunkel juga dapat terjadi oleh karena jamur, virus, dan parasit. Gejala yang terjadi pada Furunkel muncul di area tubuh yang memiliki rambut, terutama di tempat yang sering mengalami kontak, gesekan, dan keringat, seperti leher, ketiak, dan bokong. Namun, kondisi ini dapat terjadi di mana saja di tubuh, terutama di daerah yang berkeringat. Furunkel dapat menjadi komplikasi dari cedera sebelumnya, seperti atopic dermatitic, garukan, goresan, scabaei, atau pediculosis, tetapi lebih kecenderungan terjadi tanpa akibat gangguan yang mendahului (4). Lesi ini mulai di folikel rambut dan berkembang menjadi nodul perifolicular serta tampak eritema, keras, membesar, dan sangat menyakitkan, yang setelah beberapa hari dapat berfluktuasi. Ketika pecah, nanah akan mengalir, sering kali disertai jaringan nekrotik. Nyeri serta eritema yang terjadi di sekitar lesi serta pembengkakan akan hilang dalam hitungan hari hingga minggu. Furunkel dapat muncul sebagai lesi tunggal atau banyak, ukuran lesi biasanya sekitar 1�3 cm (5).

Dalam penegakan diagnosis furunkel, dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, yang mana dari hasil pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya infeksi di folikel rambut serta area sekitarnya, dan didapatkan menjadi nodul perifolicular serta tampak eritema, keras, membesar, dan sangat menyakitkan. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai upaya penegakan diagnosis. Penegakan diagnosis pada furunkel terdiri dari (6):

a. Leukositosis, hal ini dapat terjadi pada furunkel.

b. Pemeriksaan histopatologis, dapat ditemukan infiltrat polimorfonuclear di lapisan dermis hingga lemak subkutis.

c. Pemeriksaan gram dari pus, di dapatkan koloni cocus gram positive.

d. Kultur, dapat dilihat adanya perkembangan dari S. aureus.

Diagnosis banding yang paling mendekati pada furunkel dan sering disalah artikan yaitu seperti, karbunkel, acne vulgaris, folikulitis, abses, serta tinea barbae. Terdapat serangkaian terapi yang dapat diberikan pada penderita furunkel, yang mana hal tersebut meliputi medikamentosa dan non medikamentosa, berikut beberapa terapi yang dapat diberikan terhadap furunkel (7) :

1. Furunkel Akut :

a.      Untuk furunkel ringan, cukup lakukan kompres hangat, antibiotik oral tidak selalu diperlukan.

b.      Antibiotik direkomendasikan untuk lesi besar, demam tinggi, atau lokasi sulit drainase.

c.      Pada lesi di area kritis (seperti hidung), insisi dan drainase hanya dilakukan jika antibiotik gagal.

d.      Pilihan antibiotik meliputi penicillinase-resistant, penicillin, sefalosporin, atau trimetoprim-sulfamethoxazole untuk strain resisten.

e.      Insisi dan drainase diperlukan jika lesi besar dan berfluktuasi.

2. Furunkel Kronik :

a.      Pencegahan kekambuhan meliputi kebersihan yang baik dan penghindaran autoinokulasi.

b.      Pencucian rutin dengan klorheksidin dan penggunaan krim mupirocin efektif untuk mencegah infeksi.

c.      Pengobatan rifampisin dan dicloxacillin, atau trimethoprim atau sulfamethoxazole dapat mengatasi karier di hidung.

3. Furunkel Rekuren :

a.      Evaluasi penyebab dan faktor predisposisi seperti kebersihan dan obesitas.

b.      Pembersihan rutin dengan sabun antimikrob (solusio Chlohexidine 4%). dan pencucian pakaian terpisah dianjurkan.

c.      Mengurangi stres dan istirahat dapat membantu mencegah kekambuhan.

d.      Penggunaan salep mupirocin intranasal dapat mengurangi karier S. aureus.

Diagnosis dini dan pengobatan antibiotik sistemik sangat penting untuk hasil yang lebih baik dan penurunan mortalitas dalam mencegah komplikasi seperti meningitis dan trombosis sinus kavernosus (15).

Dengan pendekatan ini, pengelolaan furunkel dapat lebih efektif dan mengurangi risiko kekambuhan.

Komplikasi yang dapat disebabkan oleh furunkel berupa sepsis serta meningitis. Apabila predileksi lesi furunkel terletak di labial superior, dan pipi, dapat mengakibatkan terjadinya thrombosis sinus kavernosus (8). Masalah utama furunculosis dan karbunkel, dapat mengakibatkan terjadinya risiko bakteremia dan rekurensi. Lesi di area labialis oral serta hidung dapat mengalami penyebaran ke area sinus cavernosus melalui vena. Invasi ke dalam aliran darah dapat terjadi secara dan tidak terduga, sehingga dapat menyebabkan infeksi seperti osteomyelitis, endokarditis akut, atau abses cerebri (9). Manipulasi lesi juga dapat memperburuk penyebaran infeksi. Meskipun jarang, komplikasi tersebut bisa terjadi, dan yang paling penting kekambuhan furunkulosis dapat terjadi dalam beberapa tahun.

 

 

KESIMPULAN

 

Furunkel (boil atau bisul) merupakan peradangan akut yang terjadi di hair folicel dan area sekitarnya, sehigga dapat membentuk nodul yang nyeri, biasanya furunkel di dahului atau berkembang dari foliculitis superfisialis dan juga sering berkembang menjadi abces. Staphylococcus aureus yang menginfeksi folikel rambut dan sekitarnya, serta banyak factor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya furunkel, seperti salah satunya pencukuran rambut. Gejala lesi berawal di folikel rambut sehingga berkembang dari nodul perifolicular disertai eritema dan konsistensi keras, membesar, dan sangat nyeri, dan setelah hitungan hari akan berubah menjadi fluktuasi. Dalam penangannya furunkel dapat diberikan terapi medikamentosa dan non medikamentosa, yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap lama penyembuhan serta berdampak pada prognosis.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ahmad, H., & Siddiqui, S. S. (2017). An unusually large carbuncle of the temporofacial region demonstrating remarkable postdebridement wound healing process: A case report. Wounds, 29(4), 92�95. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28448262

Artzi, O., Sinai, M., Solomon, M., & Schwartz, E. (2015). Recurrent furunculosis in returning travelers: Newly defined entity. Journal of Travel Medicine, 22(1), 21�25.

Bakshi, S. (2017). Image diagnosis: Nasal furunculosis - A dangerous nose infection. The Permanente Journal.

Brown, L., Roberts, A. J., & Peterson, M. A. (2021). The role of Staphylococcus aureus colonization in nasal vestibular furunculosis: A review of clinical implications. Journal of Clinical Microbiology, 58(4), 745-750.

Buchner, D. A., Smith, H. R., & Lee, R. T. (2019). Furunculosis: Risk factors and prevention strategies. International Journal of Dermatology, 58(7), 987-993.

Davidson, R. G., & Wang, K. (2021). Complications of untreated nasal vestibular furuncles: A case report. Journal of Emergency Medicine, 52(2), 150-153.

Dahle, K. W., & Sontheimer, R. D. (2015). The Rudolph sign of nasal vestibular furunculosis: Questions raised by this common but under‐appreciated condition. Journal of Craniofacial Surgery, 26, e545-e546.

Gallo, L., Hernandez, F. M., & Olson, J. P. (2020). Cavernous sinus thrombosis due to untreated nasal furuncle: A case study and literature review. Clinical Infectious Diseases, 72(9), 1654-1659.

Gandhi, A. S., Mehta, A. K., & Sharma, V. (2021). Therapeutic approaches in the management of recurrent furuncles: A comprehensive review. Indian Journal of Dermatology, 66(5), 487-491.

Hernandez, P. G., Larson, S. A., & Stevens, H. M. (2020). Nasal vestibular furuncles: Clinical manifestations and treatment outcomes. Journal of Dermatology, 75(3), 115-122.

Huang, W. L. (2018). Can recurrent furunculosis be treated without the use of antibiotics. Journal of Transmitted Diseases and Immunity, May 15.

Jackson, D., Olson, J. P., & Roberts, A. J. (2022). The emerging role of gram-negative pathogens in nasal furuncles: A clinical review. Journal of Infectious Diseases, 82(4), 255-260.

Jones, H. T., Stevens, H. M., & Taylor, C. R. (2019). Furunculosis in immunocompromised patients: A retrospective study. Journal of Infectious Diseases, 69(6), 874-879.

Kadu, A. S., Rajput, D. S., & Deshmukh, S. G. (2017). Management of recurrent nasal vestibular furunculosis by jalaukāvacaraṇa and palliative treatment. Ancient Science of Life, 36, 220‐224.

Kato, M., Smith, H. R., & Olson, J. P. (2022). Staphylococcus aureus colonization in nasal vestibular furuncles: Diagnosis and treatment strategies. Journal of Medical Microbiology, 71(5), 543-549.

Larson, S. A., Roberts, A. J., & Taylor, C. R. (2020). Nasal vestibular furunculosis: A review of treatment modalities and outcomes. International Journal of Otolaryngology, 68(8), 376-383.

Lin, H. S., Lin, P. T., Tsai, Y. S., Wang, S. H., & Chi, C. C. (2021). Interventions for bacterial folliculitis and boils (furuncles and carbuncles). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2021(2).

Mehta, A. K., Roth, H. J., & Stevens, H. M. (2019). Furunculosis in pediatric populations: Prevalence and management strategies. Pediatric Dermatology, 35(3), 213-220.

Nwosu, J. N., & Nnadede, P. C. (2015). Nasal septal hematoma/abscess: Management and outcome in a tertiary hospital of a developing country. Patient Preference and Adherence, 9, 1017‐1021.

Olson, J. P., Gallo, L., & Wang, K. (2022). Management of nasal vestibular furuncles: Guidelines and best practices. Clinical Practice in Infectious Diseases, 59(10), 1127-1135.

Rahman, S. H., Mehta, A. K., & Davidson, R. G. (2020). Furunculosis in low-income populations: A systemic review of risk factors and incidence. Global Health Review, 12(1), 32-40.

Rao, Q., Shang, W., Hu, X., & Rao, X. (2015). Staphylococcus aureus ST121: A globally disseminated hypervirulent clone. Journal of Medical Microbiology, 64(12), 1462-1473.

Roberts, A. J., Gandhi, A. S., & Olson, J. P. (2021). Recurrent nasal vestibular furuncles: Clinical features and preventive measures. Clinical Infectious Diseases, 64(7), 549-555.

Roth, H. J., & Petersen, M. A. (2020). Skin and soft tissue infections: A focus on Staphylococcus aureus. Journal of Infectious Diseases, 73(2), 441-447.

Sakr, A., Br�geon, F., M�ge, J. L., Rolain, J. M., & Blin, O. (2018). Staphylococcus aureus nasal colonization: An update on mechanisms, epidemiology, risk factors, and subsequent infections. Frontiers in Microbiology, 9, 2419.

Sakat, M. S., Kilic, K., & Ucuncu, H. (2015). Nasal vestibular furunculosis presenting as the Rudolph sign. Journal of Craniofacial Surgery, 26, e545‐e546.

Sheik-Ali, S., Sheik-Ali, S., & Sheik-Ali, A. (2022). Nasal vestibular furunculosis: Summarized case series. World Journal of Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery. https://doi.org/10.1016/j.wjorl.2020.12.003

Stevens, H. M., Davidson, R. G., & Wang, K. (2018). Staphylococcus aureus and its role in furuncles: Insights and management. Journal of Clinical Dermatology, 59(3), 189-195.

Swaminath, D., Narayanan, R., Orellana-Barrios, M. A., & Temple, B. (2014). Necrotizing fasciitis of the nose complicated with cavernous sinus thrombosis. Case Reports in Infectious Diseases, 2014, Article 914042. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24876978

Taylor, C. R., Hernandez, F. M., & Roberts, A. J. (2018). Colonization of Staphylococcus aureus in nares anterior and its clinical significance. Journal of Dermatological Science, 64(8), 485-490.

Wall, D., Fraher, M., O�Connell, B., Watson, R., Timon, C., Stassen, L. F., & Barnes, L. (2014). Infection of the beard area. Kerion: A review of 2 cases. Irish Medical Journal, 107, 219-221.

Wang, K., Olson, J. P., & Roberts, A. J. (2020). Nasal furunculosis: Pathogenesis, clinical features, and therapeutic options. Clinical Microbiology and Infection, 62(4), 438-445.

Zaib, Naqvi, F., Inayat, S., Mubeen, A., Muhammad, F., & Amin, A. (2020). Efficacy of low dose azithromycin in recurrent furunculosis. Journal of Pakistan Association of Dermatology, 30(4), 662-667.

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).