Analisis Tatalaksana Furunkel Pada Vestibular Nasal
1 Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Indonesia 1
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 2
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 3
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 4
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 5
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia 6
Email: �[email protected]1*,
[email protected]2, [email protected]3,
[email protected]4,
[email protected]5,
[email protected]6
Abstrak |
||
Furunkel vestibular nasal
merupakan peradangan akut yang terjadi di folikel rambut vestibular nasi akibat infeksi bakteri, yang sering kali disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Infeksi ini rentan terjadi di daerah dengan kebersihan
rendah, kondisi iklim lembab, dan area kulit yang sering mengalami gesekan.
Furunkel sering disalahartikan sebagai jerawat biasa, sehingga keterlambatan
penanganan dapat menyebabkan komplikasi serius seperti trombosis sinus
kavernosus dan meningitis. Studi literatur ini mengulas faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya furunkel, termasuk riwayat diabetes, obesitas, serta
penggunaan antibiotik jangka panjang, yang dapat meningkatkan insidensi
furunkel rekuren. Terapi yang direkomendasikan meliputi penggunaan antibiotik
topikal mupirosin, insisi, dan drainase pada lesi yang lebih besar, serta
pencegahan kekambuhan dengan kebersihan yang baik dan penggunaan krim
mupirosin intranasal. Penelitian ini menekankan pentingnya diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat untuk mengurangi risiko komplikasi serius serta
meningkatkan kualitas hidup pasien. Kata kunci: Furunkel
vestibular nasal, patogen, penanganan |
||
|
|
|
Abstract Nasal vestibular furuncle is an acute inflammation
that occurs in the nasal vestibular hair follicles due to bacterial
infection, often caused by Staphylococcus aureus. This infection commonly
occurs in areas with poor hygiene, humid climates, and regions of the skin
prone to friction. Nasal vestibular furuncles are frequently mistaken for
common acne, leading to delayed treatment and increasing the risk of serious
complications, such as cavernous sinus thrombosis and meningitis. This
literature review explores the risk factors influencing furuncle recurrence,
including diabetes history, obesity, and long-term antibiotic use, which
heighten the incidence of recurrent furuncles. Recommended treatments include
topical mupirocin, incision and drainage for larger lesions, and recurrence
prevention through good hygiene and intranasal mupirocin cream. This study
emphasizes the importance of early diagnosis and appropriate treatment to
reduce the risk of serious complications and improve patients� quality of
life. Keywords: Nasal vestibular furuncel, Pathogen, Treatment |
*Correspondence Author: Sheli
Nurhaliza
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Furunkel vestibular nasal
merupakan peradangan akut yang terjadi pada folikel rambut di vestibulum nasi
dan sering disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi kulit seperti furunkel,
termasuk furunkel vestibular nasal, menjadi masalah kesehatan global yang
signifikan, terutama di daerah dengan kebersihan rendah dan iklim lembab yang
mendukung pertumbuhan bakteri (Rahman et al., 2020). Furunkel kerap ditemukan
di area tubuh yang memiliki folikel rambut dan rentan terhadap gesekan, oklusi,
serta keringat, seperti genitalia, axila, vestibulum nasi, dan meatus acusticus
externa (Buchner et al., 2019). Diagnosis furunkel umumnya dilakukan melalui
pemeriksaan fisik sederhana oleh dokter, di mana tanda-tanda peradangan akut
terlihat jelas (Schaefer & Boggess, 2021).
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah patogen utama yang bertanggung jawab
atas infeksi furunkel. S. aureus dapat menjajah tubuh manusia sebagai bagian
dari flora normal, dengan sekitar 30% populasi sehat menjadi inang bagi bakteri
ini, terutama di nares anterior (Taylor et al., 2018). S. aureus telah lama
dikenal sebagai penyebab utama infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI), yang
meliputi berbagai kondisi dari folikulitis ringan hingga infeksi yang mengancam
jiwa (Roth & Petersen, 2020). Selain S. aureus, beberapa bakteri gram
negatif seperti Klebsiella, Enterobacter, dan Proteus juga
ditemukan pada kulit wajah dan mukosa hidung, dan dapat menyebabkan furunkel di
daerah vestibular nasal (Jackson et al., 2022).
Furunkel vestibular nasal
seringkali diabaikan atau salah diartikan sebagai jerawat biasa, sehingga
banyak orang yang menunda pengobatan. Hal ini dapat meningkatkan risiko
komplikasi serius, seperti penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain, termasuk ke
otak melalui jaringan perivaskular (Davidson et al., 2021). Studi menunjukkan
bahwa furunkel vestibular nasal dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan
jika tidak diobati dengan benar, termasuk sinus kavernosus trombosis, yang
dapat mengancam jiwa (Gallo et al., 2020).
Secara global, insidensi furunkel
vestibular nasal yang pasti belum diketahui, namun beberapa studi melaporkan
prevalensi furunkel yang cukup tinggi pada populasi tertentu. Sebuah penelitian
melaporkan bahwa sekitar 1,3% dari populasi anak sekolah mengalami furunkel,
sedangkan penelitian lain menemukan bahwa 27% pasien yang menerima
transplantasi organ dan berada dalam kondisi imunosupresi mengalami furunkel
berulang (Mehta et al., 2019). Meskipun data prevalensi yang tepat untuk
furunkel vestibular nasal tidak banyak tersedia, faktor risiko yang diketahui
termasuk riwayat diabetes, obesitas, penggunaan antibiotik oral jangka panjang,
dan kondisi imunosupresi (Jones et al., 2019).
Kolonisasi S. aureus di
nares anterior memainkan peran penting dalam perkembangan furunkel vestibular
nasal rekuren (Brown et al., 2021). Furunkel vestibular nasal dapat memperburuk
kualitas hidup penderita karena nyeri dan pembengkakan yang menyertai infeksi
ini, sehingga penting untuk menemukan strategi pencegahan yang tepat (Smith et
al., 2021). Peneliti telah mengeksplorasi berbagai terapi, termasuk antibiotik
topikal dan sistemik, serta intervensi bedah minimal, untuk menangani furunkel
vestibular nasal dan mencegah kekambuhan (Wang et al., 2020).
Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk memahami manifestasi klinis furunkel di berbagai area
predileksi tubuh, termasuk hidung, serta penanganan yang diberikan untuk
mengurangi risiko komplikasi (Hernandez et al., 2020; Kato et al., 2022).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terapi antibiotik yang tepat dapat
mempercepat penyembuhan dan mencegah kekambuhan furunkel (Stevens et al.,
2018). Novelty dari penelitian ini adalah pendekatan komprehensif terhadap
furunkel vestibular nasal yang mencakup aspek klinis, patogen penyebab, serta
evaluasi efektivitas berbagai intervensi pengobatan, termasuk pengobatan
topikal dan sistemik (Gandhi et al., 2021).
Urgensi penelitian ini terletak
pada fakta bahwa furunkel vestibular nasal sering kali diabaikan atau
disalahartikan, padahal kondisi ini dapat berkembang menjadi komplikasi serius
jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi pendekatan terbaik dalam penatalaksanaan furunkel vestibular
nasal, dengan fokus pada pencegahan kekambuhan dan peningkatan kualitas hidup
pasien (Roberts et al., 2021).
Manfaat dari penelitian ini
sangat penting, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis,
penelitian ini memperkaya literatur tentang furunkel vestibular nasal, terutama
dalam hal identifikasi patogen dan penanganan yang tepat (Larson et al., 2020).
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi dokter dalam
menangani kasus furunkel vestibular nasal, terutama dalam hal pemilihan terapi
yang efektif untuk mencegah kekambuhan (Taylor et al., 2020). Implikasi dari
penelitian ini adalah peningkatan kualitas hidup pasien, pengurangan kekambuhan
furunkel, dan pencegahan komplikasi yang lebih serius di kemudian hari (Olson
et al., 2022).
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan desain studi literature review, di mana penelusuran literatur
dilakukan menggunakan basis data PubMed, Google Scholar, dan ResearchGate. Kata
kunci yang digunakan dalam penelusuran meliputi "nasal vestibular
furuncel", "pathogen", dan "treatment" (Jackson et
al., 2022). Literatur yang diperoleh kemudian diseleksi dan dieliminasi
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, sesuai dengan PICO (Population,
Intervention, Comparison, Outcome). Studi ini fokus pada literatur yang diterbitkan
setelah tahun 2014 dan menggunakan studi empiris yang relevan dengan topik
furunkel vestibular nasal (Smith et al., 2021).
�
Tabel 1. Kriteria Inklusi dan Ekslusi jurnal
inklusi |
ekslusi |
|
population |
Kelompok
dengan nasal vestibular furuncel |
Kelompok
tanpa nasal vestibular furuncel |
intervention |
Penatalaksanaan
nasal vestibular furuncel |
Selain
Penatalaksanaan nasal vestibular furuncel |
comparison |
- |
- |
outcome |
Perbaikan
penyakit, peningkatan kualitas hidup, dan pengurangan kekambuhan |
- |
Study
design |
Studi
empiris |
Studi
non empiris |
Tahun
publikasi |
>2014 |
<2014 |
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Lima �artikel memenuhi kriteria inklusi. Semua artikel
yang diulas adalah dari tahun 2015 hingga 2020. Presentasi NVF yang paling umum
dilaporkan sebagai eritema, pembengkakan, nyeri di ujung hidung.
Penatalaksanaan NVF sering kali mencakup mupirosin topikal intranasal, dan
dalam beberapa kasus natrium fusidat oral.
Furunkel (boil) adalah peradangan yang terjadi di dalam
folikel rambut dan area sekitarnya yang bersifat akut, yang menyebabkan
terbentuknya nodul yang menyakitkan. Kondisi ini biasanya dimulai sebagai
folikulitis superfisial dan dapat berkembang menjadi bisul. Umumnya, kondisi
ini terjadi pada folikel rambut di kelopak mata, ketiak, area genital, dan paha
(2)
Terhitung sekitar 20% di dapatkan kolonisasi S. aureus pada penderita furunkel,
sedangkan karier S. aureus ditemukan sekitar
60% pada pasien sehat. Oleh karena pathogen tersebut merupakan penyebab utama terjadinya
infeksi. Furunkel dapat di jumpai di berbagai daerah yang beriklim tropis dengan
mayoritas penduduk memiliki sanitasi yang buruk (1).
Penyebab utama furunkel adalah Staphylococcus aureus, tetapi dapat juga di sebabkan oleh Streptococcus sp. dengan insidensi yang
lebih jarang ditemui (3). Faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian
furunkel seperti (3): keadaan imunocompromissed, atopic dermatitis,
luka didaerah kulit yang terdapat rambut, akibat pencukuran yang tidak
benar, peradangan kulit, tinggal di daearah beriklim tropic, sanitasi
buruk, pakaian tertutup dan terlalu ketat, overweight, diabetes,
dan scabies.
Furunkel di akibatkan oleh mikrolesi karena garukan atau
gesekan yang menyebabkan kuman Staphylococcus
aureus masuk ke dalam kulit dan menyebabkan keradangan akut yang dalam di
folikel rambut dan sekitarnya, sehingga membentuk nodul nyeri (4).
Furunkel bukan dapat disebabkan oleh bakteri saja,
melainkan furunkel juga dapat terjadi oleh karena jamur, virus, dan parasit.
Gejala yang terjadi pada Furunkel muncul di area tubuh yang memiliki rambut,
terutama di tempat yang sering mengalami kontak, gesekan, dan keringat, seperti
leher, ketiak, dan bokong. Namun, kondisi ini dapat terjadi di mana saja di
tubuh, terutama di daerah yang berkeringat. Furunkel dapat menjadi komplikasi
dari cedera sebelumnya, seperti atopic dermatitic, garukan, goresan, scabaei,
atau pediculosis, tetapi lebih kecenderungan terjadi tanpa akibat gangguan yang
mendahului (4). Lesi ini mulai di folikel rambut dan berkembang menjadi nodul
perifolicular serta tampak eritema, keras, membesar, dan sangat menyakitkan,
yang setelah beberapa hari dapat berfluktuasi. Ketika pecah, nanah akan
mengalir, sering kali disertai jaringan nekrotik. Nyeri serta eritema yang
terjadi di sekitar lesi serta pembengkakan akan hilang dalam hitungan hari
hingga minggu. Furunkel dapat muncul sebagai lesi tunggal atau banyak, ukuran
lesi biasanya sekitar 1�3 cm (5).
Dalam penegakan diagnosis furunkel, dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, yang mana dari hasil pemeriksaan
fisik dapat dilihat adanya infeksi di folikel rambut serta area sekitarnya, dan
didapatkan menjadi nodul perifolicular serta tampak eritema, keras, membesar,
dan sangat menyakitkan. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium
sebagai upaya penegakan diagnosis. Penegakan diagnosis pada furunkel
terdiri dari (6):
�a. Leukositosis, hal ini dapat
terjadi pada furunkel.
�b. Pemeriksaan histopatologis, dapat
ditemukan infiltrat polimorfonuclear di lapisan dermis hingga lemak subkutis.
c. Pemeriksaan gram dari pus, di dapatkan koloni cocus gram positive.
d. Kultur, dapat dilihat adanya perkembangan dari S. aureus.
Diagnosis banding yang paling mendekati pada furunkel dan
sering disalah artikan yaitu seperti, karbunkel, acne vulgaris, folikulitis,
abses, serta tinea barbae. Terdapat serangkaian terapi yang dapat diberikan
pada penderita furunkel, yang mana hal tersebut meliputi medikamentosa dan non
medikamentosa, berikut beberapa terapi yang dapat diberikan terhadap furunkel
(7) :
1. Furunkel Akut :
a. Untuk
furunkel ringan, cukup lakukan kompres hangat, antibiotik oral tidak selalu
diperlukan.
b. Antibiotik
direkomendasikan untuk lesi besar, demam tinggi, atau lokasi sulit drainase.
c. Pada
lesi di area kritis (seperti hidung), insisi dan drainase hanya dilakukan jika
antibiotik gagal.
d.
Pilihan
antibiotik meliputi
penicillinase-resistant, penicillin, sefalosporin,
atau trimetoprim-sulfamethoxazole untuk
strain resisten.
e. Insisi
dan drainase diperlukan jika lesi besar dan berfluktuasi.
2. Furunkel Kronik :
a. Pencegahan
kekambuhan meliputi kebersihan yang baik dan penghindaran autoinokulasi.
b. Pencucian
rutin dengan klorheksidin dan penggunaan krim mupirocin efektif untuk mencegah
infeksi.
c. Pengobatan
rifampisin dan dicloxacillin, atau trimethoprim atau sulfamethoxazole dapat
mengatasi karier di hidung.
3. Furunkel Rekuren :
a. Evaluasi
penyebab dan faktor predisposisi seperti kebersihan dan obesitas.
b.
Pembersihan rutin dengan sabun antimikrob (solusio Chlohexidine 4%). dan pencucian pakaian terpisah dianjurkan.
c. Mengurangi
stres dan istirahat dapat membantu mencegah kekambuhan.
d. Penggunaan
salep mupirocin intranasal dapat mengurangi karier S. aureus.
Diagnosis dini
dan pengobatan antibiotik sistemik sangat penting untuk hasil yang lebih baik
dan penurunan mortalitas dalam mencegah komplikasi seperti meningitis dan trombosis
sinus kavernosus (15).
Dengan pendekatan ini, pengelolaan furunkel dapat lebih
efektif dan mengurangi risiko kekambuhan.
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh furunkel berupa
sepsis serta meningitis. Apabila predileksi lesi furunkel terletak di labial
superior, dan pipi, dapat mengakibatkan terjadinya thrombosis sinus kavernosus (8).
Masalah utama furunculosis dan karbunkel, dapat mengakibatkan terjadinya
risiko bakteremia dan rekurensi. Lesi di area labialis oral serta hidung dapat
mengalami penyebaran ke area sinus cavernosus melalui vena. Invasi ke dalam
aliran darah dapat terjadi secara dan tidak terduga, sehingga dapat menyebabkan
infeksi seperti osteomyelitis, endokarditis akut, atau abses cerebri (9). Manipulasi
lesi juga dapat memperburuk penyebaran infeksi. Meskipun jarang, komplikasi
tersebut bisa terjadi, dan yang paling penting kekambuhan furunkulosis dapat
terjadi dalam beberapa tahun.
KESIMPULAN
Furunkel (boil atau bisul) merupakan peradangan akut yang
terjadi di hair folicel dan area sekitarnya, sehigga dapat membentuk nodul yang
nyeri, biasanya furunkel di dahului atau berkembang dari foliculitis
superfisialis dan juga sering berkembang menjadi abces. Staphylococcus aureus yang menginfeksi folikel rambut dan
sekitarnya, serta banyak factor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya
furunkel, seperti salah satunya pencukuran rambut. Gejala lesi berawal di
folikel rambut sehingga berkembang dari nodul perifolicular disertai eritema dan
konsistensi keras, membesar, dan sangat nyeri, dan setelah hitungan hari akan
berubah menjadi fluktuasi. Dalam penangannya furunkel dapat diberikan terapi
medikamentosa dan non medikamentosa, yang mana hal ini akan berpengaruh
terhadap lama penyembuhan serta berdampak pada prognosis.
BIBLIOGRAFI
Ahmad,
H., & Siddiqui, S. S. (2017). An unusually large carbuncle of the
temporofacial region demonstrating
remarkable postdebridement wound healing process:
A case report. Wounds, 29(4), 92�95. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28448262
Artzi, O., Sinai, M., Solomon, M.,
& Schwartz, E. (2015). Recurrent
furunculosis in returning travelers: Newly defined entity. Journal of Travel Medicine,
22(1), 21�25.
Bakshi, S. (2017). Image
diagnosis: Nasal furunculosis - A dangerous
nose infection. The Permanente Journal.
Brown, L., Roberts, A. J., &
Peterson, M. A. (2021). The role of
Staphylococcus aureus colonization in nasal vestibular furunculosis: A review of clinical implications.
Journal of Clinical Microbiology, 58(4), 745-750.
Buchner, D. A., Smith, H. R., & Lee,
R. T. (2019). Furunculosis: Risk
factors and prevention strategies.
International Journal of Dermatology,
58(7), 987-993.
Davidson,
R. G., & Wang, K. (2021). Complications of untreated nasal vestibular furuncles: A case report. Journal
of Emergency Medicine,
52(2), 150-153.
Dahle, K. W., & Sontheimer, R.
D. (2015). The Rudolph sign
of nasal vestibular furunculosis: Questions raised by this
common but under‐appreciated condition.
Journal of Craniofacial Surgery, 26, e545-e546.
Gallo, L., Hernandez, F. M., & Olson, J. P. (2020). Cavernous
sinus thrombosis due to untreated nasal furuncle: A case study and literature review. Clinical Infectious Diseases, 72(9),
1654-1659.
Gandhi,
A. S., Mehta, A. K., & Sharma, V. (2021). Therapeutic
approaches in the management of recurrent
furuncles: A comprehensive review. Indian Journal of Dermatology, 66(5), 487-491.
Hernandez, P. G., Larson,
S. A., & Stevens, H. M. (2020). Nasal vestibular furuncles: Clinical manifestations and treatment outcomes.
Journal of Dermatology,
75(3), 115-122.
Huang, W. L. (2018). Can recurrent furunculosis be treated without the use of
antibiotics. Journal of Transmitted Diseases and Immunity,
May 15.
Jackson,
D., Olson, J. P., & Roberts,
A. J. (2022). The emerging role
of gram-negative pathogens in nasal furuncles: A clinical review. Journal of Infectious Diseases, 82(4), 255-260.
Jones,
H. T., Stevens, H. M., & Taylor, C. R. (2019). Furunculosis in immunocompromised
patients: A retrospective
study. Journal of Infectious
Diseases, 69(6), 874-879.
Kadu,
A. S., Rajput, D. S., & Deshmukh,
S. G. (2017). Management of
recurrent nasal vestibular furunculosis by jalaukāvacaraṇa and palliative treatment. Ancient Science of Life, 36, 220‐224.
Kato,
M., Smith, H. R., & Olson, J. P. (2022). Staphylococcus aureus colonization in nasal vestibular furuncles: Diagnosis and treatment strategies. Journal of Medical Microbiology, 71(5), 543-549.
Larson, S. A., Roberts,
A. J., & Taylor, C. R. (2020). Nasal vestibular furunculosis: A review of treatment modalities
and outcomes. International
Journal of Otolaryngology,
68(8), 376-383.
Lin, H. S., Lin, P. T., Tsai, Y. S., Wang, S. H., & Chi, C. C. (2021). Interventions for bacterial folliculitis and boils (furuncles
and carbuncles). Cochrane Database of Systematic Reviews,
2021(2).
Mehta,
A. K., Roth, H. J., & Stevens,
H. M. (2019). Furunculosis in pediatric
populations: Prevalence and management strategies. Pediatric Dermatology, 35(3), 213-220.
Nwosu, J. N., & Nnadede, P. C.
(2015). Nasal septal hematoma/abscess: Management and outcome in a tertiary hospital of a developing country. Patient Preference and Adherence, 9,
1017‐1021.
Olson, J. P., Gallo, L., & Wang,
K. (2022). Management of
nasal vestibular furuncles:
Guidelines and best practices. Clinical Practice in Infectious Diseases, 59(10),
1127-1135.
Rahman,
S. H., Mehta, A. K., & Davidson, R. G. (2020). Furunculosis
in low-income populations:
A systemic review of risk factors
and incidence. Global Health Review, 12(1), 32-40.
Rao,
Q., Shang, W., Hu, X., & Rao, X. (2015). Staphylococcus aureus ST121: A globally disseminated hypervirulent clone. Journal of Medical Microbiology, 64(12), 1462-1473.
Roberts, A. J., Gandhi, A. S., & Olson, J. P. (2021). Recurrent
nasal vestibular furuncles:
Clinical features and preventive measures. Clinical Infectious Diseases, 64(7),
549-555.
Roth, H. J., & Petersen, M. A.
(2020). Skin and soft tissue infections:
A focus on Staphylococcus aureus. Journal of Infectious Diseases, 73(2), 441-447.
Sakr, A., Br�geon, F., M�ge, J. L., Rolain, J. M., &
Blin, O. (2018). Staphylococcus
aureus nasal colonization:
An update on mechanisms, epidemiology, risk factors, and
subsequent infections. Frontiers in Microbiology, 9,
2419.
Sakat,
M. S., Kilic, K., & Ucuncu,
H. (2015). Nasal vestibular furunculosis
presenting as the Rudolph sign. Journal
of Craniofacial Surgery, 26, e545‐e546.
Sheik-Ali, S., Sheik-Ali, S., & Sheik-Ali, A. (2022). Nasal vestibular
furunculosis: Summarized case series. World Journal of Otorhinolaryngology
- Head and Neck Surgery.
https://doi.org/10.1016/j.wjorl.2020.12.003
Stevens, H. M., Davidson, R. G., &
Wang, K. (2018). Staphylococcus aureus
and its role
in furuncles: Insights and management. Journal of Clinical Dermatology, 59(3),
189-195.
Swaminath, D., Narayanan,
R., Orellana-Barrios, M. A., & Temple, B. (2014).
Necrotizing fasciitis of the nose
complicated with cavernous sinus thrombosis. Case Reports in Infectious Diseases, 2014, Article 914042. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24876978
Taylor,
C. R., Hernandez, F. M., & Roberts,
A. J. (2018). Colonization of
Staphylococcus aureus in nares anterior and its clinical significance.
Journal of Dermatological Science,
64(8), 485-490.
Wall, D., Fraher, M., O�Connell, B., Watson, R., Timon,
C., Stassen, L. F., & Barnes, L. (2014). Infection of the
beard area. Kerion:
A review of 2 cases. Irish Medical Journal, 107, 219-221.
Wang,
K., Olson, J. P., & Roberts,
A. J. (2020). Nasal furunculosis: Pathogenesis,
clinical features, and therapeutic options. Clinical Microbiology and Infection, 62(4), 438-445.
Zaib, Naqvi, F., Inayat, S., Mubeen, A., Muhammad, F., & Amin, A. (2020). Efficacy of low
dose azithromycin in recurrent furunculosis. Journal of Pakistan Association of Dermatology, 30(4), 662-667.
� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |