�Kekerasan Seksual Terhadap Siswa SD di kota cirebon Dalam perspektif Kriminologi

 

 

Lubna Bayna Syabil, Rizka Hidayat, M Rizky Aditya Mawardi, Sanusi, Rd. Henda

Universitas Swadaya Gunung Jati, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

 

 

Abstrak

Dalam dunia pendidikan, guru mempunyai peranan yang penting untuk membimbing dan menjadi taudalan bagi siswanya. Namun dalam realisasinya, masih terdapat guru yang melakukan perbuatan tidak senonon di lingkup satuan pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan kriminologi dan spesifikasi penelitian berupa deskriptif analitis yang ditunjang dengan pengumpulan data melalui wawancara serta studi kepustakaan sebagai suatu penelitian kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif pelaku sebagai seorang tenaga pendidik dalam melakukan tindak kekerasan seksual dan bagaimana respon masyarakat dalam menyikapi terjadinya tindak kekerasan seksual tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya kejahatan tersebut adalah faktor psikologi dan ekonomi. Respon yang hadir di masyarakat menunjukkan bahwa tanggapan yang keras dan hukuman yang berat lebih diinginkan untuk menyelesaikan suatu kasus kekerasan seksual.

 

Kata kunci: Kekerasan Seksual; Reaksi Masyarakat; Sanksi

 

 

 

Abstract

In the world of education, teachers have an important role to guide and be an example for their students. However, in its realization, there are still teachers who commit indecent acts within the scope of the education unit. By using a criminological approach and research specifications in the form of analytical descriptive supported by data collection through interviews and literature studies as qualitative research, this study aims to determine the motive of the perpetrator as an educator in committing sexual violence and how the community responds to the occurrence of sexual violence. The results of this study show that the main factors that encourage the crime are psychological and economic factors. The response that is present in the community shows that harsh responses and severe punishment are more desirable to resolve a case of sexual violence.

 

Keywords: Sexual Violence; Community Reaction; Sanctions

 

*Correspondence Author: Lubna Bayna Syabil

Email: [email protected]

 

PENDAHULUAN

 

Pendidikan merupakan salah satu faktor kunci dalam pengembangan sumber daya manusia. Sebagai sarana pembentukan karakter dan pengetahuan, pemberian pendidikan dapat menghasilkan individu-individu yang mampu berkontribusi pada kemajuan bangsa.�(Kunaryo, 1999). Melalui pendidikan juga dapat terwujud kodrat pada diri setiap individu sehingga mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia maupun anggota masyarakat (Sangalang, 2022). Negara telah diberikan amanat melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menyelenggarakan sistem pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketercapaian cita-cita tersebut dapat terwujud dengan kontribusi berbagai pihak, salah satunya peran satuan pendidikan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman.

Sekolah dasar merupakan satu di antara bentuk satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar. Suatu kewajiban bagi sekolah dasar untuk mewujudkan terpenuhinya mutu pendidikan guna menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan secara global. Penjaminan mutu pendidikan ditunjang salah satunya dengan hadirnya tenaga kependidikan, dalam hal ini adalah guru. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa,

�Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.�

Menjadi representasi dari satuan pendidikan, guru mengemban mandat untuk menyelenggarakan pendidikan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun dalam tataran implementatifnya, mandat tersebut masih belum diakomodir dengan maraknya kasus pelanggaran hak asasi melalui tindak kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2023, terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak dengan 1.915 kasus (54%) pelecehan seksual, 958 kasus (27%)� pelecehan fisik, dan 674 kasus (19%) pelecehan psikis. Menilik pada tahun-tahun sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga telah menerima laporan korban kekerasan seksual di satuan pendidikan pada tahun 2019 sebanyak 123 kasus dengan 71 korban perempuan dan 52 korban laki-laki. Kemudian di tahun 2020-2021 terjadi penurunan catatan kekerasan seksual karena banyaknya sekolah yang melakukan sistem online.�(Anizha, Puluhulawa, & Towadi, 2023). Di tahun 2022, total kekerasan seksual yang terjadi 88% dilakukan oleh guru dan 22% oleh kepala sekolah.

Dalam lingkup yang lebih khusus, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kota Cirebon, Bapak Suwarso Budi Winarno, menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Cirebon sudah di tahap yang mengkhawatirkan. Data terbaru hingga bulan Juni 2024 menyatakan bahwa telah terjadi 18 kasus dengan 6 di antaranya melibatkan perempuan dan anak sebagai korban dan pengajar serta teman sekelas sebagai pelaku. Meninjau data pada tahun sebelumnya, tercatat sudah terjadi 63 kasus dengan 28 korban anak dan 35 korban dewasa sepanjang tahun 2022 dan 55 kasus dengan 30 korban anak dan 25 korban dewasa sepanjang tahun 2023.

Satu dari sekian kasus yang menunjukkan belum tercapainya pemenuhan hak asasi manusia di lingkup satuan pendidikan adalah terjadinya kekerasan seksual pada salah satu Sekolah Dasar di Kota Cirebon. Seorang tenaga pendidik mengajak siswa ke indekos di Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon dengan modus memberikan stiker jerawat yang bermotif bintang�(Media Cirebon, 2024). Hasil visum dari Rumah Sakit Daerah Gunung Jati No.45/III/2024 menjadi barang bukti yang menunjukkan telah terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik di lingkungan sekolah dasar. Kondisi ini menunjukkan bahwa satuan pendidikan masih tidak dapat memberikan ruang aman bagi peserta didik sebagai bentuk amanat pemenuhan hak asasi manusia.

Kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang mengancam tatanan sosial Indonesia. Harkat kemanusiaan dari korban kekerasan seksual telah direnggut yang menjadikannya termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia dengan kategori berat.�(Pristiwanti & Hariyanto, 2023). Perwujudan kebebasan serta hak asasi anak berkaitan erat dengan penyediaan perlindungan hukum, terkhusus dari tindakan kekerasan seksual. Oleh sebab itu, realisasi perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual menjadi suatu hal yang krusial. Kondisi ini juga sejalan dengan konstitusi yang telah memberikan penekanan yang kuat untuk melindungi anak-anak dari diskriminasi dan kekerasan, serta menjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang.

Menilik kembali pada ranah praktisnya, kasus kekerasan seksual masih banyak terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Fenomena ini tentu dapat berimplikasi pada tergerusnya kepercayaan publik terhadap tenaga pendidik hingga satuan pendidikan. Ketercapaian penyelesaian kasus yang efektif menjadi hal esensial untuk dilaksanakan. Guna mewujudkan urgensi tersebut, perlu dilakukan pendekatan aspek kriminologi yang menitikberatkan pada motif pelaku melakukan tindakan kekerasan seksual. Hal ini juga sejalan dengan teori anomie yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Robert K. Merton bahwa deregulasi sosial dalam kaitannya dengan kekerasan seksual dapat disebabkan oleh beberapa dorongan. Dalam proses peradilan pidana, pemahaman tentang motif pelaku kekerasan seksual dapat membantu pertimbangan mitigasi dan pengenaan sanksi yang sesuai.

Penelitian-penelitian yang telah hadir sebelumnya masih belum menggunakan pendekatan pada aspek kriminologi sebagai pisau analisis dalam kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan dasar. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang menyebabkan pelaku kekerasan seksual melakukan tindak kejahatan tersebut melalui pendekatan aspek kriminologi serta respon masyarakat terhadap tindakan tenaga pendidik tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Prameswara & Firmansyah (2023) menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual perlu didasarkan pada lima elemen utama, yaitu Undang-Undang, kebijakan dan prosedur internal, penegakkan hukum, pencegahan dan pendidikan, serta dukungan korban. Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Pristiwanti & Hariyanto (2023) menitikberatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan seksual pada pemenuhan hak asasi manusia. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Astradi, Fuadi, & Rachmad (2021) menitikberatkan analisis pada hadirnya faktor psikologis dan faktor lingkungan dalam kaitannya dengan pendekatan aspek kriminologi.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Dalam penyusunannya, penelitian ini menggunakan pendekatan kriminologi yang termasuk ke dalam rumpun ilmu sosial. Pendekatan ini dilakukan dengan menitikberatkan analisis pada motif pelaku kekerasan seksual. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan menganalisis pengenaan peraturan perundang-undangan untuk kemudian dikaitkan dengan teori hukum. Tujuan utama dari deskriptif analitis adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin terhadap objek penelitian pada suatu masalah, dalam hal ini kekerasan seksual melalui pendekatan kriminologi�(Setyosari, 2016).

Informasi berupa rincian data yang diperlukan akan dikumpulkan melalui teknik wawancara serta studi kepustakaan. Wawancara dilakukan mengenakan sampel informan berupa stakeholder terkait disertai penyebaran kuesioner online kepada mahasiswa, guru, dan masyarakat untuk mencapai pemahaman komprehensif dan menyeluruh terkait tindak kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan (Nartin, et al., 2024). Pada tahapan selanjutnya, metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian adalah metode kualitatif. Melalui metode ini, hasil analisis mengenai situasi yang sedang diteliti akan disampaikan secara naratif. Penggunaan metode ini didasarkan pada kondisi bahwa kebenaran adalah suatu hal yang dinamis dan hanya dapat ditemukan melalui interaksi dengan situasi sosial.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Faktor Penyebab Terjadinya Guru Melakukan Kekerasan Seksual

Kejahatan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks realisasinya, kejahatan tidak serta merta terjadi. Proses kriminalisasi adalah proses yang panjang, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Kondisi yang serupa terjadi pada kasus kekerasan seksual oleh tenaga pendidik dalam lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr.Dian selaku Plt.kepala bidang perlindungan anak. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Cirebon mengungkapkan bahwa ada dua faktor utama terjadinya tindak kekerasan seksual oleh guru terhadap siswa, yaitu faktor psikologis dan faktor ekonomi (Galih, 11 Juni 2024).

Faktor psikologis dalam tindak kekerasan seksual dapat dijelaskan melalui teori anomie dari Emile Durkheim. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa ketidaksesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dan metode yang digunakan dapat mendorong kejahatan terjadi. Realitas ini mendorong sifat individualistis pelaku untuk kemudian melepaskan pengendalian sosial yang hadir dan diikuti adanya perilaku menyimpang�(Alam & Ilyas, 2018). Norma yang ditetapkan dalam masyarakat sudah tidak lagi memiliki makna dan menghadirkan keadaan deregulasi sosial. Padahal sejatinya, norma hadir untuk membuat kehidupan bermasyarakat yang tertib dan tenteram�(Wirawan, Landrawan, & Ardhya, 2022).

Meninjau kembali pada kasus posisi, oknum tenaga pendidik pada lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon melakukan kekerasan seksual karena kondisi psikisnya terganggu. Pelaku melakukan kekerasan seksual kepada siswanya yang masih berusia 12 tahun, yang kemudian dapat dipahami bahwa pelaku memiliki penyimpangan seksual berupa pedofilia. Dalam pengertian praktisnya, pedofilia merupakan kelainan seksual yang menjadikan anak-anak sebagai objek seksual. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mempertegas bahwa,

�Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.�

Faktor kedua yang mendasari terjadinya tindak kekerasan seksual dalam lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon adalah faktor ekonomi. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan sehari-hari�(Hutabarat, Ashari, & Hernanda, 2024). Implikasi kemajuan ini memunculkan masalah yang kompleks dalam berbagai bidang, salah satunya ekonomi. Menilik pada kasus posisi, kondisi pelaku sebagai guru honorer menempatkannya pada situasi yang tidak berkecukupan secara finansial.

Ketiadaan kemampuan pelaku untuk memenuhi kebutuhan biologisnya karena keterbatasan ekonomi mendorong terjadinya tindak kekerasan seksual. Terlebih, relasi yang kuat antara pelaku dengan korban semakin mendorong terlaksananya tindak kejahatan tersebut. Hubungan horizontal antara pelaku dan korban dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memenuhi kebutuhan biologis pelaku. Keadaan tersebut sejalan dengan pembuktian opportunity theory yang dikemukakan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin bahwa kriminalitas dapat terjadi karena dipicu pada kesempatan atau peluang untuk melakukannya. Peluang melalui relasi yang kuat mendorong pelaku yang merupakan tenaga pendidik untuk melakukan kekerasan seksual.

Reaksi dari Kalangan Mahasiswa, Orangtua Siswa, dan Profesi Guru terhadap Pelaku yang Melakukan Kekerasan Seksual

Profesi guru mengemban tanggung jawab yang sangat besar dalam membangun generasi penerus bangsa. Kelancaran proses seluruh kegiatan pendidikan terutama di sekolah, sepenuhnya berada dalam tanggung jawab para guru�(Dewi, 2017). Guru adalah sosok panutan bagi anak didiknya. Kedudukan guru sebagai tenaga pendidik profesional membentuk pandangan yang baik dalam masyarakat. Kondisi ini juga berimplikasi pada hadirnya kepercayaan untuk menggantikan peran orang tua siswa di rumah dalam lingkup satuan pendidikan.

Maraknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan tenaga pendidik di lingkungan satuan pendidikan, terkhusus pada satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat. Reaksi yang timbul dari kalangan mahasiswa, orang tua siswa, sampai sesama profesi tenaga pendidik terhadap pelaku terbentuk di saat melihat dan menilai bagaimana peran dan perilaku yang dimiliki oleh pelaku sebagai seorang guru honorer. Meninjau dari societal theory, penyimpangan seksual yang dilakukan oknum tenaga pendidik tersebut merupakan produk dari interaksi sosial antara individu dengan berbagai jenis khalayak (Grattet, 2011). Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan memainkan peran penting dalam menentukan masa depan pelaku. Reaksi yang keras dan hukuman yang berat dapat menyebabkan pelaku merasa terasing dan lebih mungkin untuk mengulangi kejahatan. Sedangkan dalam sudut pandang yang lain, pendekatan rehabilitasi dapat membantu pelaku mengubah perilaku mereka dan berintegrasi ke masyarakat.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon tentu melahirkan citra yang buruk di masyarakat. Guru sebagai tenaga pendidik yang seharusnya menjadi teladan dalam lingkup pendidikan dan masyarakat justru berubah menjadi tokoh yang gagal mengemban kehormatan. Fenomena tersebut berimplikasi pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga pendidik dan satuan pendidikan. Terlebih korbannya yang masih tergolong anak-anak akan menyimpan trauma yang berat dan berdampak pada keberlangsungan masa depannya.

Berdasarkan hasil kuesioner online yang telah disebarkan kepada masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, orang tua siswa, dan sesama profesi guru, terdapat beragam tanggapan terkait terjadinya tindak kekerasan seksual dalam lingkup satuan pendidikan di Kota Cirebon. Sebanyak 50% tanggapan yang berasal dari mahasiswa berpendapat agar tenaga pendidik tersebut dikeluarkan dari jabatannya dalam lingkup satuan pendidikan. Hal ini didasarkan kepada hadirnya potensi terlaksananya kejahatan serupa kepada siswa yang lain. Sebanyak 20% tanggapan yang berasal dari orangtua siswa menginginkan agar tenaga pendidik tersebut sebaliknya diberhentikan dan tidak hanya dipindah tugaskan saja. Orangtua siswa juga berpendapat bahwa potensi terlaksananya kejahatan serupa akan terjadi jika tenaga pendidik tersebut tidak diberhentikan dan dikenakan sanksi pidana. Terakhir sebanyak 14% tanggapan yang berasal dari sesama profesi tenaga pendidik menginginkan agar pemerintah memberikan waktu khusus untuk guru agar dapat memberikan pendidikan seksual terhadap siswa dan guru dalam kurun waktu tertentu.

Data hasil kuesioner tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak yang berpendapat tanggapan yang keras dan hukuman yang berat terhadap kasus kekerasan seksual adalah hal yang efektif. Pendekatan rehabilitasi tidak menjadi solusi utama bagi masyarakat. Padahal di satu sisi, pendekatan ke arah rehabilitas lebih memungkinkan pelaku untuk mengubah perilakunya dan tidak mengulang kejahatan yang serupa. Tetapi kondisi ini juga perlu ditunjang dengan peran pemerintah melalui satuan pendidikan untuk menghadirkan sistem pengawasan di lingkup pendidikan dasar yang memumpuni. Transparansi penyelesaian kasus juga perlu dibenahi dengan tanpa memikirkan penurunan akreditasi satuan pendidikan yang terlibat.

 

 

KESIMPULAN

 

Faktor psikologi dan ekonomi adalah dua faktor utama yang melandasi tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik dalam lingkup satuan pendidikan dasar di Kota Cirebon. Dengan meninjau pada penggunaan teori anomie yang ditunjang dengan opportunity theory, terganggunya kondisi psikis pelaku dengan ketidakmampuan finansial mendorong terjadinya penyimpangan seksual. Atas terjadinya kasus tersebut, tanggapan yang keras dan hukuman yang berat lebih diinginkan oleh masyarakat untuk diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual. Jika menilik pada societal theory, mitigasi yang seharusnya dilakukan terhadap pelaku adalah melalui pendekatan rehabilitasi. Satuan pendidikan bekerja sama dengan pembentuk kebijakan dapat meninjau kembali sistem pengawasan dan transparansi penyelesaian kasus yang terjadi di lingkup satuan pendidikan dasar agar kejahatan serupa dapat diselesaikan dengan efektif.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alam, & Ilyas, A. (2018). Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana.

Anizha, S. N., Puluhulawa, M. R., & Towadi, M. (2023, April-Juli). Tinjauan Kriminologi terhadap Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Guru pada Anak. Jurnal Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni (JISHS), 1(3), 436-444. Retrieved October 10, 2024

Astari, P., Fuadi, & Rachmad, A. (2021). Tinjauan Kriminologi Pencabulan Anak yang Dilakukan Guru Mengaji. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Meukuta Alam, 11-22.

Dewi, A. A. (2017). Guru Mata Tombak Pendidikan. Sukabumi: CV Jejak.

Grattet, R. (2011). Societal Reactions to Deviance. Annual Review of Sociology, 185-204.

Hutabarat, H. R., Ashari, H., & Hernanda, L. R. (2024, Mei). Tinjauan Hukum terhadap Kasus Tertangkapnya 55 Orang Asing yang Berada di Indonesia Pelaku Penipuan Menggunakan Media Elektronik: Sebuah Studi Kriminologi Menggunakan Perspektif Opportunity Theory. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 10(10), 337-350. Retrieved Oktober 11, 2024

Kunaryo, H. (1999). Pengantar Pendidikan. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Media Cirebon. (2024). Dirayu Stiker Anti Jerawat, Oknum Guru di Kota Cirebon Cabuli Muridnya. Cirebon: Media Cirebon.

Nartin, Faturrahman, Deni, H. A., Santoso, Y. H., Paharuddin, Saucana, I. W., . . . Eliyah. (2024). Metode Penelitian Kualitatif. Batam: Yayasan Cendikia Mulia Mandiri.

Prameswara, D. R., & Firmansyah, H. (2023). Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 2101-2113.

Pristiwanti, D., & Hariyanto, D. R. (2023). Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan HAM. Kertha Negara, 11(1), 1-15. Retrieved October 2024

Sangalang, R. S. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Lingkungan Pendidikan. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, 7(2), 176-192. Retrieved October 10, 2024

Setyosari, P. (2016). Metode Penelitian Pendidikan dan Pembangunan. Jakarta: KENCANA.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Wirawan, K. H., Landrawan, I. W., & Ardhya, S. N. (2022). Tinjauan Kriminologi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Kabupaten Buleleng. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 86-96.

 

 

���������� � 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).