Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 635
Kepada Kampung (BK3), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
RESPEK (Rencana Strategis Pengembangan Kampung), PROSPEK (Program Strategis
Pembangunan Kampung), dan Gerbangmas Hasrat Papua (Gerakan Bangkit, Mandiri dan
Sejahtera Harapan Masyarakat Papua) yang dibiayai dengan anggaran Otonomi Khusus,
serta program lainnya yang berasal dari kementerian. Berbagai program pemberdayaan
masyarakat baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pertanian telah dilaksanakan di
Kampung Usku, baik melalui pemberian bantuan seperti raskin (sekarang disebut Rastra),
dana desa dan bantuan lainnya, maupun pelatihan-pelatihan terkait bidang kesehatan,
seperti pelatihan cara hidup sehat, maupun pelatihan bidang pertanian seperti bercocok
tanam.
Program Bantuan Keuangan Kepada Kampung (BK3) ternyata hasilnya belum
sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dimana penyebabnya adalah karena
kurangnya tenaga pendamping dan keterbatasan kemampuan aparatur pemerintah
kampung dalam mengelola keuangan Program Bantuan Keuangan Kepada Kampung
(BK3) (Baru, 2014). Sementara, meski secara keseluruhan masyarakat lokal memandang
baik Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), RESPEK (Rencana Strategis
Pengembangan Kampung) sebagai program pembangunan yang benar-benar
menyampaikan apa yang telah dijanjikan terutama dari proyek infrastruktur, namun
masyarakat tidak sepenuhnya puas dengan cara bagaimana program tersebut
dilaksanakan, karena belum memenuhi keinginan masyarakat, yaitu program yang
sifatnya lebih partisipatif dan inklusif dengan melibatkan masyarakat umum di setiap
langkah program, terutama selama tahap perencanaan (World Bank, 2014). PROSPEK,
program yang menjadikan kampung sebagai pusat pembangunan untuk mendorong
peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan kapasitas fiskal daerah yang
bersumber dari potensi masing-masing wilayah/kampung selain tambang, yang
menempatkan masyarakat menjadi subyek pembangunan (people driven development
(Enembe, 2016) dalam pelaksanaannya dianggap gagal.
Kampung Usku memang mempunyai permasalahan yang sangat kompleks baik
dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari aspek politik, Kampung Usku
dahulunya merupakan kawasan yang dinilai sangat berbahaya karena termasuk salah satu
kawasan zona merah, karena menjadi sentral pergerakan Organisasi Papua Merdeka
(OPM), dimana pada saat itu hampir setiap laki-laki di kampung tersebut menjadi anggota
OPM dan bersenjatakan senjata api. Namun ketika sampai pada satu titik di mana banyak
warga yang merasakan kesengsaraan karena kekurangan logistik atau bahan makanan
serta layanan kesehatan, maka para anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
kampung tersebut akhirnya menyerahkan senjata dan memasrahkan diri untuk menjadi
warga negara Republik Indonesia. Setelah mereka menyerahkan dan memasrahkan diri
untuk menjadi warga negara Republik Indonesia pemerintah mulai masuk, dan kehidupan
mereka mulai membaik, karena layanan kesehatan mulai menjangkau mereka, dan
logistik berupa beras (Raskin dan sekarang berubah menjadi Rastra) juga diberikan untuk
mereka sampai saat ini.
Dari aspek ekonomi, masyarakat Kampung Usku masih menggantungkan
pemenuhan kebutuhan hidupnya dari hutan, dengan cara hidup yang masih tradisional,
yaitu berburu, meramu dan bertani ladang berpindah. Dengan kekayaan hutan yang
sangat berlimpah, seperti binatang buruan, ikan di sungai, berbagai jenis kayu seperti
gaharu, masohi, kayu lawang, kayu besi, berbagai tanaman sayur, umbi-umbian dan sagu
yang bisa mereka panen sewaktu-waktu, material bangunan seperti batuan dan pasir
masyarakat Kampung Usku bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan kekayaan
hutan tersebut selain bisa mengambil dan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari, mereka juga memanfaatkannya untuk mendapatkan uang, seperti
adanya permintaan “uang permisi dan uang premi” kepada perusahaan yang mengambil
kayu dari hutan mereka, ataupun kepada pemerintah ketika melaksanakan program
pembangunan yang menggunakan lahan mereka. Ketika ditemukan emas di sungai-sungai