Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Juni 2021, 1 (6), 633-647
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
10.36418/cerdika.v1i6.106 633
PENGARUH INSENSITIVITAS BUDAYA COMMUNITY WORKER
DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAMPUNG USKU
PAPUA
Herwini Wahyu Susanti
1
, Arif Purbantara
2
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
herwini.susanti@gmail.com
1
; taralitbang@gmail.com
2
Abstract
Received:
Revised :
Accepted:
07-06-2021
25-06-2021
26-06-2021
Community worker have an important role in community
empowerment. As an enabler (accelerating change) that
works for indigenous peoples, cultural sensitivity is an
important factor that influences the success of community
empowerment program. This study aims to 1) identify the role
of community workers in the implementation of community
empowerment in Usku Village, 2) identify cultural
sinsensitivity of community worker in implementing
community empowerment in Usku Village; 3) analyze the
influence of community worker’s cultural insensitivity on the
community empowerment in Usku Village. This study uses a
qualitative approach, through case studies to gain an in-depth
understanding of the role and cultural insensitivity of
community worker in the process of community empowerment
in Usku Village. The results showed that 1) community
worker in community empowerment in Usku Village had a
fairly dominant role, namely as agricultural expert, trainer,
community mobilizer, and field leader, 2) The cultural
insensitivity of community worker can be seen from the way
he force the entry of foreign culturals to the local community,
the lack of respect for the knowledge, skills, and cultural of
the local community; 3) the cultural insensitivity of
community worker causes community empowerment in Usku
Village to be less successful, which is indicated by the low
community participation and discontinuation the program
being run. The conclusion of this study is that the cultural
insensitivity of community worker has a considerable
influence on the lack of success of the community
empowerment program in Usku Village.
Keywords: Cultural Insensitivity; Community Empowerment;
Community Worker.
Abstrak
Community Worker mempunyai peran penting dalam
pemberdayaan masyarrakat. Sebagai enabler (pemercepat
perubahan) yang bekerja pada masyarakat adat, kepekaan
budaya (sensitivitas budaya) menjadi faktor penting yang
mempengaruhi keberhasilan suatu program pemberdayaan
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 634
mengidentifikasi peran community worker dalam
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku,
(2) mengidentifikasi ketidakpekaan (insensitivitas) budaya
community worker dalam pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat di Kampung Usku, (3) menganalisis pengaruh
insensitivitas budaya community worker terhadap tingkat
keberhasilan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, melalui
studi kasus untuk mendapatkan pemahaman mendalam
tentang peran dan insensitivitas budaya community worker
dalam proses pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1)
community worker
pada pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku
mempunyai peran yang cukup dominan, yaitu sebagai ahli
pertanian, pelatih, penggerak masyarakat, dan pemimpin
lapangan. 2) Insensitivitas budaya community worker terlihat
dari caranya dalam memaksakan masuknya budaya luar
kepada masyarakat lokal, kurangnya penghargaan terhadap
pengetahuan, keterampilan dan budaya masyarakat lokal. 3)
Insensitivitas budaya community worker menyebabkan
pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku kurang
berhasil, yang ditunjukkan oleh rendahnya partisipasi
masyarakat dan tidak berlanjutnya program yang dijalankan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah, bahwa insensitivitas
budaya community worker mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap kurang berhasilnya program pemberdayaan
masyarakat di Kampung Usku.
Kata kunci: Insensitivitas Budaya; Pemberdayaan
Masyarakat; Community Worker.
Coresponden Author : Herwini Wahyu Susanti
Email: herwini.susanti@gmail.com
PENDAHULUAN
Kampung Usku merupakan salah satu kampung di Papua, yang menjadi bagian
dari Distrik Senggi Kabupaten Keerom, termasuk lokasi yang terletak di daerah yang
berbatasan dengan Papua New Guinea. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM),
suatu instrument pengukuran status Desa yang mengklasifikasikan desa-desa di Indonesia
menjadi 5 (lima) tingkatan, yaitu Sangat Tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju, dan
Mandiri, sesuai dengan data yang dimuat pada portal Kementerian Desa, pada tahun
2018-2020 menempatkan Kampung Usku dalam kategori kampung sangat tertinggal
dengan nilai Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2018-2020 sebesar 0,4068; 0,4008
dan 0,4068 (“kemendesa”). Masuk dalam kelompok masyarakat marginal karena letak
lokasinya yang terpencil, dengan infrastruktur yang masih tertinggal dibanding dengan
desa-desa di daerah lain, Kampung Usku sesungguhnya sudah cukup mendapat perhatian
dari pemerintah dengan masuknya beberapa program pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat dalam upaya meningkatkan kehidupan masyarakat dan mengurangi
ketertinggalan daerahnya.
Program-program pemberdayaan yang pernah dilaksanakan di Kampung Usku,
dan juga di beberapa kampung lain di Papua diantaranya, program Bantuan Keuangan
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 635
Kepada Kampung (BK3), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
RESPEK (Rencana Strategis Pengembangan Kampung), PROSPEK (Program Strategis
Pembangunan Kampung), dan Gerbangmas Hasrat Papua (Gerakan Bangkit, Mandiri dan
Sejahtera Harapan Masyarakat Papua) yang dibiayai dengan anggaran Otonomi Khusus,
serta program lainnya yang berasal dari kementerian. Berbagai program pemberdayaan
masyarakat baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pertanian telah dilaksanakan di
Kampung Usku, baik melalui pemberian bantuan seperti raskin (sekarang disebut Rastra),
dana desa dan bantuan lainnya, maupun pelatihan-pelatihan terkait bidang kesehatan,
seperti pelatihan cara hidup sehat, maupun pelatihan bidang pertanian seperti bercocok
tanam.
Program Bantuan Keuangan Kepada Kampung (BK3) ternyata hasilnya belum
sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dimana penyebabnya adalah karena
kurangnya tenaga pendamping dan keterbatasan kemampuan aparatur pemerintah
kampung dalam mengelola keuangan Program Bantuan Keuangan Kepada Kampung
(BK3) (Baru, 2014). Sementara, meski secara keseluruhan masyarakat lokal memandang
baik Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), RESPEK (Rencana Strategis
Pengembangan Kampung) sebagai program pembangunan yang benar-benar
menyampaikan apa yang telah dijanjikan terutama dari proyek infrastruktur, namun
masyarakat tidak sepenuhnya puas dengan cara bagaimana program tersebut
dilaksanakan, karena belum memenuhi keinginan masyarakat, yaitu program yang
sifatnya lebih partisipatif dan inklusif dengan melibatkan masyarakat umum di setiap
langkah program, terutama selama tahap perencanaan (World Bank, 2014). PROSPEK,
program yang menjadikan kampung sebagai pusat pembangunan untuk mendorong
peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan kapasitas fiskal daerah yang
bersumber dari potensi masing-masing wilayah/kampung selain tambang, yang
menempatkan masyarakat menjadi subyek pembangunan (people driven development
(Enembe, 2016) dalam pelaksanaannya dianggap gagal.
Kampung Usku memang mempunyai permasalahan yang sangat kompleks baik
dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari aspek politik, Kampung Usku
dahulunya merupakan kawasan yang dinilai sangat berbahaya karena termasuk salah satu
kawasan zona merah, karena menjadi sentral pergerakan Organisasi Papua Merdeka
(OPM), dimana pada saat itu hampir setiap laki-laki di kampung tersebut menjadi anggota
OPM dan bersenjatakan senjata api. Namun ketika sampai pada satu titik di mana banyak
warga yang merasakan kesengsaraan karena kekurangan logistik atau bahan makanan
serta layanan kesehatan, maka para anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
kampung tersebut akhirnya menyerahkan senjata dan memasrahkan diri untuk menjadi
warga negara Republik Indonesia. Setelah mereka menyerahkan dan memasrahkan diri
untuk menjadi warga negara Republik Indonesia pemerintah mulai masuk, dan kehidupan
mereka mulai membaik, karena layanan kesehatan mulai menjangkau mereka, dan
logistik berupa beras (Raskin dan sekarang berubah menjadi Rastra) juga diberikan untuk
mereka sampai saat ini.
Dari aspek ekonomi, masyarakat Kampung Usku masih menggantungkan
pemenuhan kebutuhan hidupnya dari hutan, dengan cara hidup yang masih tradisional,
yaitu berburu, meramu dan bertani ladang berpindah. Dengan kekayaan hutan yang
sangat berlimpah, seperti binatang buruan, ikan di sungai, berbagai jenis kayu seperti
gaharu, masohi, kayu lawang, kayu besi, berbagai tanaman sayur, umbi-umbian dan sagu
yang bisa mereka panen sewaktu-waktu, material bangunan seperti batuan dan pasir
masyarakat Kampung Usku bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan kekayaan
hutan tersebut selain bisa mengambil dan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari, mereka juga memanfaatkannya untuk mendapatkan uang, seperti
adanya permintaan “uang permisi dan uang premi” kepada perusahaan yang mengambil
kayu dari hutan mereka, ataupun kepada pemerintah ketika melaksanakan program
pembangunan yang menggunakan lahan mereka. Ketika ditemukan emas di sungai-sungai
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 636
di hutan mereka, masyarakat Kampung Usku ketika pergi ke hutan tidak lagi hanya
berburu, meramu atau berkebun, tetapi juga melakukan aktivitas mencari emas secara
tradisional. Mereka biasanya menjual emas yang mereka dapatkan ke Jayapura atau ke
lokasi transmigrasi, dan hasilnya untuk membeli beras atau keperluan yang lain.
Dari aspek sosial, setelah mereka mau bergabung dan tunduk kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah memberikan bantuan rumah agar
mereka hidup menetap di satu kampung. Setelah dua kali pindah kampung karena
lokasinya sering kena banjir, kini mereka tinggal di Kampung Usku dengan menempati
rumah bantuan dari pemerintah, berupa rumah permanen bertembok lengkap dengan
panel surya untuk penerangan. Namun meski sudah mempunyai rumah untuk tempat
tinggal, dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka tetap berburu dan bertani
berpindah-pindah. Kalau untuk kebutuhan tempat tinggal mereka mendapatkan bantuan
rumah dari pemerintah, untuk kebutuhan pendidikan pemerintah sudah membangun
infrastruktur berupa gedung Sekolah Dasar dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Meski sudah terbangun infrastruktur untuk sekolah, namun proses belajar mengajar di
Kampung Usku masih mengalami kendala, baik dari ketersediaan pengajar dan kesadaran
anak-anak usia sekolah untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Keterbatasan guru yang
mau mengajar di Kampung Usku akhirnya bisa diatasi oleh pemerintah Kabupaten
melalui program Kementerian Pendidikan tentang penempatan Guru Garis Depan untuk
daerah terpencil, dengan menempatkan beberapa guru di Kampung Usku. Dan sekarang
guru-guru tersebut sudah mulai mengajar di Kampung Usku meski untuk tinggalnya
masih di luar kampung. Memang tidak mudah merubah mindset masyarakat Kampung
Usku tentang pentingnya pendidikan meski telah dicoba melalui pendekatan adat ataupun
pelayanan misionaris gereja. Menurut informasi, anak-anak Kampung Usku mudah bosan
kalau mengikuti kegiatan sekolah, mereka cenderung sulit diatur. Kadang guru sudah
disiapkan, namun untuk mengajak anak-anak agar mau bersekolah mereka harus
membangunkan dan memberitahu anak-anak tersebut, bahkan untuk masuk ruang
sekolah. Kalaupun anaknya sudah mau sekolah terkadang orang tuanya suka memanggil
mereka untuk diajak berburu atau disuruh menjaga adiknya karena mereka harus pergi ke
hutan, dan anaknya yang masih kecil tidak bisa diajak sehingga harus ada yang
menjaganya.
Dari aspek kesehatan, masyarakat Kampung Usku sudah memiliki infrastruktur
berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) dengan dua petugas. Pada awalnya, petugas Pustu
takut ketika ditempatkan di Kampung Usku, karena menurut cerita keadaannya masih
menakutkan, masyarakatnya masih enggan menerima orang dari luar, keamanan bagi
petugas yang di tempatkan di kampung tersebut tidak terjamin karena sering diganggu,
sehingga mereka harus tinggal di Distrik Senggi meski bertugas di Kampung Usku.
Sebagai kampung yang lokasinya terpencil, kondisi masih tertinggal dan penduduknya
masih dikategorikan miskin dan masih banyak penyakit yang sifatnya menular dan
endemik, Kampung Usku menerima banyak bantuan di bidang kesehatan dari program
Gerbangmas Hasrat Papua (Gerakan Bangkit, Mandiri dan Sejahtera Harapan Masyarakat
Papua). Tahun 2014-2015, program-program yang diberikan antara lain, pemberian
asupan makanan bagi anak-anak, pelatihan kader buat program pemberantasan malaria,
pelatihan kader pendampingan upaya perbaikan gizi, penyuluhan dan bantuan untuk
kesehatan rumah berupa pemasangan kelambu tempat tidur, pemberian garam dapur, dan
cara-cara menjaga kebersihan. Tahun 2016 melalui program Gerbangmas bidang
kesehatan dibangunlah tandon air, kamar mandi dan Mandi, Cuci, Kakus (MCK) di
Kampung Usku, serta pemberian pelatihan bagi anak-anak tentang menjaga kebersihan.
Di Kampung Usku juga masih banyak terdapat penyakit menular maupun endemik,
seperti malaria, vilariasis (kaki gajah), Tuberkulosis (TBC), Trambosit, dan Cascado.
Pola hidup yang masih jauh dari menjaga kebersihan menyebabkan masih banyaknya
warga yang terserang penyakit kulit. Disamping penyakit-penyakit tersebut, penyakit
human immunodeficiency virus (HIV) juga masih menjadi ancaman bagi masyarakat
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 637
Kampung Usku, yang disebabkan karena pola pergaulan hidup di lingkungan kampung
tersebut.
Dari aspek budaya masyarakat Kampung Usku masih menganut tradisi nenek
moyang mereka dalam beberapa hal, seperti dalam bermata pencaharian dengan berburu,
meramu, dan bertani ladang berpindah, di mana aktifitas tersebut dilakukan hampir setiap
hari di hutan. Setiap suku yang ada di Kampung Usku pasti mempunyai tanah ulayat
dengan luasan yang batasnya tidak bisa ditentukan secara jelas, dan biasanya
menggunakan gunung. Beberapa hutan ulayat milik warga Kampung Usku letaknya
sangat jauh dari kampung, sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk berburu di hutan
mereka sendiri. Namun terdapat ketentuan yang berlaku di masyarakat Kampung Usku,
bahwa mereka diperbolehkan untuk berburu di hutan yang bukan miliknya, dengan
catatan hanya untuk mencari makan, dan tidak diperbolehkan berburu untuk mendapatkan
hasil, seperti mengambil kayu yang bisa dijual.
Kehidupan masyarakat Kampung Usku yang kesehariannya lebih banyak berada
di hutan untuk berburu, meramu dan bertani ladang berpindah, menjadi salah satu
penyebab juga sulitnya proses belajar mengajar untuk anak-anak usia sekolah, karena
mereka sering harus ikut orang tuanya ke hutan, begitu juga dengan upaya pemberian
akses kesehatan. Tradisi dalam bermata pencaharian masyarakat Kampung Usku dengan
berburu, meramu dan berkebun ladang berpindah ini ternyata membawa pengaruh bagi
berhasil atau tidaknya pembangunan ataupun pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
di kampung tersebut. Kondisi tersebut yang menjadi dasar pemikiran pemerintah untuk
melakukan upya mempermudah akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat
Kampung Usku, dengan cara mengajak mereka untuk lebih sering berada di kampung
dengan bertani secara menetap.
Tahun 2016-2018 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (Kemendesa, PDTT) melakukan suatu pilot proyek pemberdayaan
masyarakat yang berbasis Adat dan Sumber Daya Alam di Kampung Usku, dengan
memberikan pelatihan bercocok tanam tanaman pangan dan holtikultura, dengan harapan
ke depannya masyarakat bisa lepas ketergantungannya dari alam, dan menjadi petani
menetap dengan bercocok tanam secara budidaya di lahan pekarangan rumahnya. Ketika
masyarakat sudah hidup sebagai petani menetap, maka akses pendidikan, kesehatan,
teknologi dan informasi akan lebih mudah diberikan (Mashar, 2017). Kerangka
Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Adat dan Sumber Daya Alam (SDA)
tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
Pertanian Modern
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Adat dan SDA
Sumber: Mashar (2017):Telah diolah peneliti
Petani Menetap,
Mandiri secara
Ekonomi
Masyarakat
Tradisional
Kampung Usku
(Berburu,
Meramu,
Nomaden)
C
Community
Worker
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 638
Pilot proyek yang dilaksanakan oleh seorang community worker ditempatkan di
lapangan untuk memberikan sosialisasi, bimbingan teknis dan pelatihan cara bercocok
tanam, dibantu dengan seorang pendamping dan mahasiswa yang melakukan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di kampung tersebut. Intervensi yang diberikan kepada masyarakat
Kampung Usku melalui pemberian pengetahuan dan praktik bercocok tanam di lahan
pekarangan, dengan harapan bisa merubah masyarakat Kampung Usku menjadi bertani
menetap dan tidak berburu lagi di hutan ternyata tidak memberikan hasil sebagaimana
yang diharapkan. Meskipun sudah diberikan sosialisasi, pelatihan dan pendampingan agar
masyarakat mau bercocok tanam di lahan pekarangan secara menetap, namun sampai
program berakhir setelah tiga tahun masyarakat masih tidak berhasil diajak untuk menjadi
petani menetap. Pergi ke hutan untuk berburu, meramu dan bertani ladang berpindah
tetap menjadi aktivitas keseharian bagi masyarakat Kampung Usku dalam memenuhi
kebutuhan makan sehari-harinya. Perbedaan budaya dalam bertani yang diajarkan
community worker yang tidak sesuai dengan budaya mereka, menjadikan masyarakat
Kampung Usku tidak antusias, bahkan terlihat malas melakukannya. Bisa dikatakan
bahwa pilot proyek pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan bercocok tanam di lahan
pekarangan untuk menjadikan masyarakat Kampung Usku menjadi petani menetap tidak
berhasil. Berdasarkan gambaran ketidakberhasilan pilot proyek pemberdayaan
masyarakat Berbasis Adat dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dilaksanakan di
Kampung Usku melalui pelatihan bercocok tanam, maka beberapa pertanyaan yang harus
dijawab melalui penelitian ini, adalah: 1) bagaimana peran community worker dalam
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berbasis adat dan Sumber Daya Alam (SDA), 2)
bagaimana bentuk insensitivitas budaya (ketidakpekaan budaya) community worker
dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berbasis adat dan SDA, dan 3) bagaimana
insensitivitas budaya community worker tersebut mempengaruhi tingkat keberhasilan
pemberdayaan masyarakat berbasis adat dan Sumber Daya Alam (SDA).
Beberapa penelitian membahas sensitivitas budaya dari berbagai aspek, yaitu
pendidikan, kesehatan, dan sosial dengan berbagai kelompok sasaran, seperti kelompok
disabilitas, korban bencana, pasien penderita penyakit, pengguna narkoba, perokok, dan
penderita pelecehan/kekerasan. Penelitian tentang sensitivitas budaya pada aspek
pendidikan dengan kelompok sasaran disabilitas ditulis oleh Kayama (2012), di mana
terminologi sensitivitas budaya digunakan untuk melihat bagaimana memasukkan budaya
baru melalui intervensi yang disesuaikan dengan budaya tradional Jepang, dalam dunia
pendidikan untuk development disabilitas. Penelitian tentang sensitivitas budaya pada
aspek kesehatan dilakukan oleh beberapa peneliti, yaitu (Harris (2001) untuk kelompok
sasaran perokok, dan Garnweidnev (2012) dengan kelompok sasaran perempuan imigran,
menggunakan teminologi sensitivitas budaya untuk mengidentifikasi aspek-aspek
makanan asli imigran Afrika dan Asia, dan bagaimana sensitivitas secara budaya ketika
mempersiapkan aspek-aspek tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yilmaz (2017)
dengan kelompok sasaran perawat, menggunakan terminologi sensitivitas budaya pada
perawat dalam bekerja di Rumah Sakit di Desa dan Kota di Turkey.
Penelitian ini dilakukan kepada masyarakat kampung di Papua, yang mempunyai
permasalahan yang khas. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang Papua,
yaitu membahas tentang pembangunan di Papuayang masih dilakukan dengan
pendekatan top down (Anangkota, 2019; Kum dan Sasmito, 2018), dan beberapa
penilitian membahas tentang sistem pengetahuan budaya dan hubungannnya dengan
alam, budaya dalam bertani dalam kaitannya dengan menjaga kelestarian alam di Papua
(Veronika, 2013, Mulyadi & Iyai, 2016). Penelitian tentang sensitivitas budaya
sebagaimana disebutkan di atas dilakukan pada bidang pendidikan dan kesehatan, dengan
sasaran pada kominitas fungsional. Studi ini ingin melihat sensitivitas budaya pada
bidang pemberdayaan dengan sasaran yang dituju adalah komunitas pada suatu kampung,
yaitu masyarakat kampung di Papua yang mempunyai karakteristik yang sangat khas,
baik dari aspek ekonomi, sosial, politik dan khususnya budaya. Dalam pemberdayaan
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 639
masyarakat, faktor community worker mempunyai peran yang sangat besar, sehingga
ketidakpekaan terhadap budaya masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan akan
mempengaruhi ketidakberhasilan suatu program pemberdayaan, oleh karenanya
penelitian ini dilakukan dengan fokus pada pengaruh insensitivitas budaya community
worker pada pemberdayaan masyarakat dengan studi kasus mengambil Kampung Usku.
Terminologi sensitivitas budaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sejauhmana karakteristik etnis/budaya, norma, nilai-nilai dan perilaku populasi target
dimasukkan dalam pemahaman pelaku program pemberdayaan masyarakat. Sensitivitas
budaya pada pemberdayaan masyarakat bisa dilihat dari penggunaan perspektif bottom up
pada pengembangan masyarakat, dan unsur pengembangan budaya yang digagas oleh
(Ife, 2013), yaitu pemberdayaan dalam perspektif keadilan sosial sebagai inti dari
strateginya: “bahwa sebagai salah satu perspektif yang dikembangkan, keadilan sosial
merupakan salah satu landasan prinsip dalam pengembangan masyarakat. Dan sebagai
bagian dari keadilan sosial, pemberdayaan mempunyai tujuan untuk meningkatkan
keberdayaan/kekuasaan dari pihak yang tidak beruntung. (Ife, 2013) juga
menggambarkan, bahwa pengembangan masyarakat sebagai model alternatif
pembangunan yang berbasis pada masyarakat, menempatkan pemberdayaan sebagai
sentral dan tujuan yang harus dicapai. Dan oleh karenanya, maka pemilihan strategi
pemberdayaan yang tepat menjadi hal yang penting agar dapat tercipta masyarakat yang
lebih berkeadilan sosial. Adi (2013) memberikan gambarannya tentang model
pengembangan masyarakat yang merupakan model intervensi komunitas yang sangat
memperhatikan aspek manusia serta pemberdayaan masyarakat, dimana di dalamnya
kental terasa adanya unsur pendidikan dalam upaya mengubah suatu komunitas.
Komponen penting dalam perspektif bottom up adalah: menghargai pengetahuan
lokal, budaya lokal, sumberdaya lokal, proses lokal, dan keterampilan lokal. Sedang
dalam pengembangan budaya sendiri terdapat 4 (empat) unsur utama, yaitu: melestarikan
dan menghargai budaya lokal, melestarikan dan menghargai budaya asli (indigenous
culture), multikulturalisme, dan budaya partisipastif, yang tergambarkan pada skema di
bawah:
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 640
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk (1)
mengidentifikasi peran community worker dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
di Kampung Usku, (2) mengidentifikasi ketidakpekaan (insensitivitas) budaya community
worker dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku, (3)
menganalisis pengaruh insensitivitas budaya community worker terhadap tingkat
keberhasilan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku. Manfaat dari penelitian ini
adalah: manfaat untuk ilmu pengetahuan, memberikan kontribusi bagi pemikiran tentang
bagaimana konsep insensitivitas budaya menjadi bagian penting dalam literatur akademik
Indonesia, dan bagaimana penelitian ini menyumbang pemikiran penting karena
dilakukan di Tanah Papua yang mempunyai kompleksitas tersendiri, dan dilihat pada
sebuah pilot proyek pemberdayaan di kampung yang mempunyai sistem adat dan
pengelolaan Sumber Daya Alam yang khas. Sedang manfaat bagi masyarakat luas,
penelitian ini memberikan gambaran tentang masyarakat Kampung Usku dengan budaya
yang khas Papua, dan perlunya pemahaman tentang kepekaan terhadap budaya suatu
komunitas, khususnya bagi pelaku pemberdayaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, melalui studi kasus dengan
fokus pada kasus yang terjadi di Kampung Usku, yaitu ketidakberhasilan pilot proyek
pemberdayaan masyarakat Berbasis Adat dan Sumber Daya Alam melalui pemberian
pelatihan bercocok tanam di lahan pekarangan penduduk, dalam rangka mengajak
masyarakat kampung Usku untuk berubah menjadi petani menetap dan tidak berburu lagi
di lahan hutan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka data yang dikumpulkan adalah
data kualitatif. Untuk memperoleh data-data tersebut, maka cara yang dilakukan adalah
melalui observasi partisipatif, wawancara/interview mendalam (indepth interiew), diskusi
kelompok dan dokumentasi, dengan instrumen utama dalam pengumpulan data kualitatif
adalah peneliti sendiri. Pemilihan Informan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan purposive sampling yang berasal dari berbagai sumber, seperti pejabat dari
berbagai instansi terkait, tokoh-tokoh dan masyarakat di Kampung Usku, pendamping
yang ada di kampung yang dipekerjaan oleh Kemendesa, PDTT, dan mahasiswa yang
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Kampung Usku, yang kesemuanya berjumlah 23
informan. Dalam penelitian ini indepth interview dilakukan untuk menggali informasi
dari beberapa masyarakat yang tinggal di Kampung Usku yang dipilih berdasarkan
kriteria tertentu, yaitu mampu menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang diajukan
peneliti tentang keseharian mereka, mata pencaharian mereka, persepsi mereka tentang
pilot proyek pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan bercocok tanam. Indepth
interview dilakukan dengan cara tatap muka dengan informan, dan dengan cara telepon.
Cara telepon dilakukan ketika kebutuhan data masih kurang, namun tidak memungkinkan
untuk bertatap muka secara langsung karana masih berada pada situasi pandemik covid
19.
Peneliti melakukan observasi di Kampung Usku dan melakukan pengamatan
terhadap apa yang dilakukan oleh informan, yaitu peneliti ikut aktif sebagai observer
dalam kegiatan pemberian pelatihan cara bercocok tanam di lahan pekarangan,
mengamati perkembangan proses bercocok tanam warga Kampung Usku, mengamati cara
kerja community worker dalam berinteraksi dengan tokoh dan masyarakat Kampung
Usku, mengikuti pertemuan community worker dengan pendamping, mahasiswa Kuliah
Kerja Nyata (KKN), dan dengan pejabat pemerintah daerah Kabupaten Keerom, dalam
rangka koordinasi program untuk pemberdayaan masyarakat Kampung Usku.
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 641
Untuk mendapatkan data yang valid dalam penelitian ini digunakan teknik
triangulasi, yang dilakukan dalam beberapa hal diantaranya adalah pemilihan informan
yang tepat sesuai dengan kebutuhan penelitian dan melakukan pengecekan kepada
sumber-sumber yang berbeda mengenai pertanyaan yang sama terkait dengan pertanyaan
penelitian, atau melakukan wawancara dengan informan yang sama pada waktu lain
dengan pertanyaan yang sama.
Analisis data dalam penelitian kualitatif akan berlangsung bersamaan dengan
bagian-bagian lain dari pengembangan penelitian kualitatif, yaitu pengumpulan data dan
penulisan temuan (Creswell, 2017). Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan
bantuan aplikasi Nvivo 12 Plus, yaitu aplikasi yang membantu peneliti dalam
mengorganisasikan dan menganalisis data kualitatif. Sumber data kualitatif yang berupa
hasil wawancara, hasil observasi berupa foto-foto dan video, dan data-data lain yang
berasal dari internet diolah dan dianalisis menggunakan aplikasi ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebagaimana yang menjadi tujuan dari pilot proyek pemberdayaan masyarakat
berbasis adat dan SDA, keberdayaan yang diharapkan dari masyarakat Kampung Usku
dengan masuknya intervensi melalui kegiatan brcocok tanam adalah kemampuan
masyarakat untuk bercocok tanam secara budidaya, yaitu bagaimana mengolah tanah,
menanam benih, memupuk dan merawat, sampai akhirnya berhasil panen. Setelah panen
keberdayaan yang diharapkan selanjutnya dari masyarakat tersebut adalah
memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan pangannya, bahkan kalau bisa sampai
menjual hasil panennya untuk mendapatkan tambahan pendapatan dalam bentuk uang.
Keberdayaan terakhir yang diharapkan adalah masyarakat Kampung Usku mampu
menjadi petani menetap dengan bercocok tanam di pekarangan rumahnya masing-masing,
sehingga mereka mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya tanpa perlu lagi harus
berburu ke hutan, dengan demikian mereka akan lebih mudah mendapatkan akses bidang
lain, seperti pendidikan, kesehatan, teknologi dan informasi. Hasil dari penelitian ini akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana diajukan di pendahuluan, yaitu:
1. Peran Community worker.
Peran community worker dalam pelaksanakan pemberdayaan masyarakat
melalui pemberian pelatihan bercocok tanam di lahan pekarngan di Kampung Usku
cukup dominan. Dimulai dari perannya dalam memperkenalkan program kepada tokoh
dan masyarakat Kampung Usku melalui sosialisasi dan bimbingan teknis, memimpin
pelaksanaan pelatihan dan praktik mengolah lahan dan bercocok tanam di lahan
pekarangan, serta melakukan pendampingan selama program berjalan dengan dibantu
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 642
oleh pendamping yang ditempatkan di kampung dan mahasiswa KKN, sampai
menyiapkan benih dan pupuk yang dibutuhkan selama proses pemberdayaan tersebut.
Dengan keahliannya dalam bidang pertanian, community worker juga mengajarkan
ilmu bercocok tanam secara budidaya kepada masyarakat kampung dibantu oleh
pendamping, dengan memperkenalkan berbagai jenis tanaman dan bagaimana cara
menanamnya.
2. Insensitivitas budaya pada Community Worker
Program pemberdayaan masyarakat yang berlangsung selama 3 (tahun) dari
2016-2018, memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat Kampung Usku untuk
mengikuti kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan bercocok tanam di
lahan pekarangan sangat rendah, bahkan setelah satu kali panen mereka tidak mau
melanjutkan lagi bercocok tanam di lahan pekarangan. Meski pada awalnya
masyarakat mau mengikuti kegiatan sosialisasi, bimbingan teknis, dan praktik
mengolah lahan dan menanam tanaman pangan dan holtikultura yang diajarkan,
namun hanya berlangsung sekali saja sampai panen, dan selanjutnya yang
mengerjakan penanaman lebih banyak pendamping dan mahasiswa KKN, masyarakat
lebih banyak menonton. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di
lapangan, masyarakat Kampung Usku merasa bahwa mereka tidak bisa kalau disuruh
merawat tanaman. Mereka juga mengatakan tidak tertarik dan tidak bisa kalau disuruh
menanam padi, namun masih mau kalau disuruh menanam betatas atau keladi, karena
selama ini sudah biasa menanamnya di hutan. Di sini terlihat ketidakpekaan
community worker terhadap budaya masyarakat setempat, di mana community worker
tidak mau melihat dan menghargai keberadaan budaya bertani masyarakat Kampung
Usku. Meski cara bertani masyarakat Kampung Usku masih dilakukan secara
tradisional, namun sesungguhnya mengandung nilai di mana dengan bertani secara
ladang berpindah mereka berusaha menjaga keberlanjutan (sustainability) sumber
daya alam hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sebagai masyarakat yang
kesehariannya berada di hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik melalui
berburu, meramu, dan bertani ladang berpindah, tentunya tidak mudah kalau secara
tiba-tiba disuruh melakukan suatu aktivitas yang merupakan budaya lain yang masuk
yang sangat berbeda dengan budaya mereka. Community worker yang menganggap
ilmu bertaninya lebih tinggi dibandingkan dengan cara bertani tradisional yang
dilakukan masyarakat Kampung Usku juga merupakan bentuk ketidakpekaan budaya
(insensitivitas budaya). Mengajarkan dan memaksakan masyarakat Kampung Usku
untuk belajar menanam padi, sementara masyarakat sesungguhnya mempunyai
makanan pokok sagu dan umbi-umbian juga merupakan bentuk insensitivitas budaya
dari community worker.
3. Pengaruh insensitivitas budaya community worker pada tingkat keberhasilan
pemberdayaan masyarakat
Insensitivitas budaya yang ditunjukkan oleh community worker dalam
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku, pada akhirnya
mempengaruhi tingkat keberhasilan pilot proyek tersebut. Program yang pada awalnya
bertujuan untuk mengajak masyarakat Kampung Usku menjadi petani menetap dengan
bercocok tanam di lahan pekarangan bisa dikatakan tidak berhasil, karena sebagaian
besar masyarakat kampung tidak mau melanjutkan lagi aktivitas bercocok tanam di
lahan pekarangan mereka. Masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti yang selama
ini mereka lakukan, yaitu pergi ke hutan untuk berburu, meramu dan bertani ladang
berpindah, bahkan mencari emas dengan mendulang secara tradisional. Mereka lebih
memilih mencari bahan makan di hutan yang masih menyediakan sumber daya alam
yang melimpah dan mudah mendapatkannya, dibandingkan harus menanam tanaman-
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 643
tanaman yang tidak mereka kenal sebelumnya, yang memerlukan perawatan dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memanennya.
B. Pembahasan
1. Peran Community Worker
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pilot proyek pemberdayaan
masyarakat berbasis adat dan SDA melalui pelatihan bercocok tanam di lahan
pekarangan bertujuan untuk mengajak masyarakat Kampung Usku bertani secara
menetap, dan dalam jangka panjang mengurangi kegiatan pergi ke hutan untuk
berburu dan untuk hidup menetap di kampung. Dengan demikian akses terhadap
Pendidikan, Kesehatan, teknologi dan informasi akan lebih mudah diberikan. Dalam
pelatihan bercocok tanam, jenis tanaman yang diajarkan oleh community worker
kepada masyarakat Kampung Usku adalah berbagai tanaman pangan dan holtikultura,
seperti padi, jagung, kedelai, ubi, kacang panjang, terong, tomat, cabe, gambas,
edamame (kedelai). Dalam pelaksanaan pilot proyek tersebut, peran community
worker memang sangat dominan, karena sebagai ahli di bidang pertanian, community
worker yang merancang desain pilot proyek tersebut, menentukan bidang
pemberdayaan dan jenis intervensi yang akan diberikan, melakukan pendekatan
kepada pihak-pihak terkait (seperti pemerintah daerah Kaupaten Keerom, Distrik
Senggi, dan pemimpin Kampung Usku), serta menentukan model pendampingan yang
digunakan. Sebagai ahli bidang pertanian, community worker dalam hal ini
menganggap bahwa ilmu pertanian yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Usku
masih sangat tradisional, oleh karenanya perlu ditingkatkan dengan cara memberikan
bimbingan teknis dan pelatihan melalui praktek langsung bercocok tanam tanaman
pangan dan holtikulktura di lahan pekarangan. Community worker juga yang
menentukan model pendampingan terhadap pelaksanaan pemberdayaan, dengan
menunjuk dan menempatkan seorang pendamping untuk tinggal di Kampung Usku,
serta melibatkan beberapa mahasiswa dari Universitas Cendrawasih untuk
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung tersebut, untuk bersama-sama
dengan pendamping yang ditempatkan di kampung, membantu masyarakat Kampung
Usku melakukan aktivitas bercocok tanam. Jika dikaitkan dengan teori tentang peran
seorang pelaku perubahan dalam intervensi komunitas, peran yang seharusnya
dilakukan oleh community worker di dalam pemberdayaan masyarakat di Kampung
Usku adalah sebagai enabler (pemercepat perubahan), dan educator (pendidik).
Sebagai enabler, community worker seharusnya membantu masyarakat agar dapat
mengartikulasikan kebutuhan, mengidentifikasikan masalah, dan mengembangkan
kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif,
atau help people to help themselves (Adi, 2013). Namun peran sebagai enabler ini
tidak dilakukan dengan baik oleh community worker, karena yang terjadi masyarakat
hanya menerima dan melakukan apa yang diinginkan oleh community worker. Sedang
sebagai educator, community worker diharapkan bisa menyampaikan informasi
dengan baik dan jelas, serta mudah ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran
perubahan. Aspek lain yang terkait dengan peran ini adalah keharusan bagi community
worker untuk selalu belajar, agar tidak terjebak untuk menyampaikan pandangan yang
kurang up-to-date dan kurang menjawab masalah yang muncul pada saat itu (Adi,
2013). Namun peran sebagai educator ini juga belum dilakukan secara baik oleh
community worker, karena meskipun ilmu pertanian yang modern bisa disampaikan
dan diterimakan kepada masyarakat, masalah yang timbul dilapangan tidak berusaha
diatasi, ketidaksesuaian budaya dalam tata cara bertani tidak berusaha diselesaikan
dan disesuaikan.
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 644
2. Insensitivitas budaya Community Worker
Sebagaimana dijelaskan dalam hasil penelitian, bahwa setelah pilot proyek
berjalan setahun masyarakat tidak mau lagi melanjutkan aktivitas bercocok tanam,
bahkan setelah batas waktu yang telah ditetapkan untuk pilot proyek pemberdayaan
masyarakat tersebut selesai, yaitu 3 (tiga) tahun, aktivitas tersebut berhenti, hanya 2
sampai 3 orang yang masih mau meneruskan. Sebagian besar masyarakat Kampung
Usku tidak mau melanjutkan bercocok tanam secara budidaya sebagaimana yang
diajarkan community worker dan pendamping-pendampingnya. Mereka merasa tidak
bisa merawat tanaman, apalagi mengelola hasil panennya, sehingga yang terjadi
sebagian besar masyarakat Kampung Usku tidak melanjutkan lagi menanam di lahan
pekarangan, hanya tinggal 2 sampai 3 orang yang masih mau bercocok tanam di lahan
pekarangannya. Ketidakmauan dan ketidakmampuan community worker memahami
budaya masyarakat Kampung Usku (insensitivitas budaya merupakan faktor yang
mempengaruhi ketidakberhasilan tersebut. Ketidakpekaan community worker terhadap
budaya masyarakat Kampung Usku bisa dilihat dalam beberapa hal, seperti: tidak
menganggap penting penghormatan terhadap budaya bertani secara tradisional (bertani
ladang berpindah) yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Usku, dan bahkan
menganggap ilmu bertaninya lebih tinggi dan lebih cocok diterapkan di masyarakat
tersebut. Mengacu pada perspektif bottom up pada pengembangan masyarakat, dan
unsur pengembangan budaya yang digagas oleh (Ife, 2013), dimana komponen
penting dalam perspektif bottom up tarsebut meliputi menghargai pengetahuan lokal,
budaya lokal, sumberdaya lokal, proses lokal, dan keterampilan lokal, maka bisa
dikatakan bahwa community worker tidak melaksanakan prinsip-prinsip yang ada pada
perspektif bottom up yang seharusnya menjadi landasan dalam pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat. Hampir semua unsur-unsur kolakalan tersebut didak
melandasi pemikiran maupun tindakan community worker, seperti menganggap ilmu
bertani ladang berpindah adalah ilmu bertani yang tingkatannya rendah sehingga harus
digantikan dengan ilmu bertani yang lebih modern, menganggap kehidupan berburu di
hutan merupakan budaya yang masih tertinggal sehingga perlu diubah menjadi
kehidupan sebagai petani yang menetap, tanaman padi dianggap perlu menggantikan
tanaman yang menjadi makanan pokok mereka seperti sagu dan umbi-umbian.
3. Pengaruh insensitivitas budaya community worker terhadap tingkat keberhasilan pilot
proyek pemberdayaan masyarakat berbasis adat dan Sumber Daya Alam (SDA)
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa insensitivitas budaya community
worker mempunyai pengaruh terhadap ketidakberhasilan pilot proyek pemberdayaan
masyarakat berbasis adat dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dilaksanakan di
Kampung Usku, yang bertujuan untuk mengajak masyarakat Kampung Usku menjadi
petani menetap dengan memberikan pelatihan bercocok tanam di lahan pekarangan.
Ketidakberhasilan ini bisa dilihat dari fakta di lapangan, bahwa sebagian besar
masyarakat tidak mau melanjutkan lagi aktivitas bercocok tanam di lahan pekarangan.
Masyarakat Kampung Usku masih tetap pergi ke hutan untuk berburu, meramu dan
bertani ladang berpindah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Budaya bertani ladang berpindah yang mereka lakukan di hutan selama ini
sesungguhnya merupakan upaya mereka menjaga keberlanjutan alam yang menjadi
sandaran hidup mereka. Kekayaan alam yang masih berlimpah, menjadikan mereka
tidak tertarik untuk melakukan aktivitas bercocok tanam yang memerlukan perawatan
dan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasilnya, sementara dengan pergi ke
hutan mereka dengan mudah bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Budaya
inilah yang kurang dipahami dan dihargai oleh community worker. Dalam hal ini
community worker lebih menggunakan pendekatan normative needs (kebutuhan yang
tidak disadari oleh masyarakat tetapi disadari oleh pelaku) atau kebutuhan yang tidak
diinginkan oleh masyarakat, dibandingkan felt needs (kebutuhan yang dirasakan oleh
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 645
masyarakat) (Adi & Komunitas, 2013). Community worker menganggap bahwa
masyarakat Kampung Usku akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik ketika
mereka hidup menetap dan bercocok tanam di lahan pekarangan, karena ketika mereka
menetap, maka akses pendidikan untuk anak mereka menjadi lebih mudah. Namun
meski dari kacamata community worker hal itu benar, ada hal yang luput dari
kacamata community worker, yaitu budaya masyarakat lokal yang masih belum bisa
ditinggalkan dalam kesehariannya, yaitu berada di hutan untuk berburu, meramu dan
bertani ladang berpindah. Budaya tersebut terbentuk karena dukungan sumber daya
alam yang mereka miliki, berupa hutan dengan berbagai kekayaan alam yang ada di
dalamnya. Need asesment yang dilakukan community worker masih kurang
menyentuh aspek budaya masyarakat setempat, sehingga dalam pelaksanaannya
mengalami kesulitan untuk mengajak masyarakat Kampung Usku berpartisipasi secara
total. Jika kita kaitkan dengan strategi pemberdayaan berbasis kekuasaan, yaitu
kekuasaan untuk mendefinisikan kebutuhan, maka seperti yang dikatakan dalam Ife
(2013), bahwa salah satu karakteristik masyarakat modern adalah “kediktatoran atas
kebutuhan”, dalam hal bahwa berbagai kebutuhan seringkali ditentukan dan
didefinisikan bukan oleh yang mengalaminya.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa disampaikan berdasarkan fakta yang ditemukan di
lapangan adalah sebagai berikut: 1) Community worker mempunyai peran yang dominan
dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku, yaitu sebagai ahli
pertanian yang memberikan pelatihan bercocok tanam, memimpin pelaksanaan program
di lapangan, melakukan pendampingan, dan menyediakan keperluan untuk bercocok
tanam seperti peralatan mengolah lahan, benih dan pupuk. 2) Insensitivitas budaya
community worker terlihat melalui tindakannya yang dilakukan selama proses
pemberdayaan masyarakat Kampung Usku, yaitu kurang menghargai pengetahuan lokal
yang berkaitan dengan tradisi bertani ladang berpindah, kurang menghargai budaya
masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas berburu, dan kurang menghargai keberadaan
budaya asli masyarakat yang terkait dengan tanaman yang menjadi makanan pokok
mereka, serta karena merasa ilmu bertaninya lebih tinggi sehingga cenderung
memaksakannya untuk digunakan masyarakat lokal. 3) Insensitivitas budaya yang
dimiliki community worker berpengaruh kepada tingkat keberhasilan pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan di Kampung Usku, yaitu tidak berlanjutnya kegiatan bercocok
tanam di lahan pekarangan sehingga tidak mendukung tujuan program yang
menginginkan masyarakat untuk menjadi petani menetap.
BIBLIOGRAFI
Adi, Isbandi Rukminto. (2013). Intervensi Komunitas dan pengembangan masyarakat,
Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Edisi Revisi 2012. Devisi Buku
Perguruan Tinggi, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Anangkota, Muliadi. (2019). Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan Rakyat
Papua Mengukur Implementasi Kebijakan Pemerintah Pasca Otonomi Khusus,
Journal of Government and Political Studies; Gorontalo.
Baru, Yohanes Yanuarius, Mesak Iek & Agustina Sanggrangbano. (2014). Analisis
Persepsi Masyarakat Terhadap Program Bantuan Keuangan Kepada Kampung
Herwini Wahyu Susanti, Arif Purbantara/Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(6), 633-647
Pengaruh Insensitivitas Budaya Community Worker dalam Pemberdayaan Masyarakat
di Kampung USKU Papua 646
(BK3) di Kabupaten Keerom, Jurnal Kajian Ekonomi dan Studi Pembangunan,
Volume 1 No. 2.
Creswell, John W. (2014). Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches, Fourth Edition, SAGE Publication, Inc.
Enembe, Lukas. (2016). Papua Antara Uang dan Kewenangan, RMBOOKS, PT.
Wahana Semesta Intermedia.
Garnweidner, Lisa Maria et al. (2012). Perception of The Host Country’s Food Culture
Among Female Immigrants from Africa and Asia: Aspects Relevant for Cultural
Sensitivity in Nutrition Communication, Journal of Nutrition Education and
Behavior, Vol. 44. No. 4.
Harris, Kari Jo., Backinger, Cathy L., & Resnicow, Ken. (2001). Addressing Cultural
Sensitivity in a Smoking Cessation Intervention: Development of The Kick It at
Swope Project, Journal of Community Psychology, Vol. 29. No. 4, John Wiley &
Sons. Inc.
Ife, Jim. (2017). Community Development in an Uncertain World, Vision, Analysis and
Practice, Cambridge University Press, Australia.
Kum, Krinus, Cahyo Sasmito. (2018). Analisis Implementasi Pengelolaan Dana Otonomi
Khusus Papua Berbasis Program Rencana Strategis Pembangunan Kampung
(RESPEK) di Kabupaten Mimika Propinsi Papua; REFORMASI, Volume 8
Nomor 1.
PNPM Support Facility. (2015). Studi Penilaian Penerima Manfaat PNPM/RESPEK,
World Bank Group, Jakarta.
Mashar, Ali Zum; Yuniarti, Lisa. (2017). Model Klaster Kampung Berbasis Adat & SDA
di Papua, PT. Sulaksana Watinsa Indonesia.
Mulyadi, Deny A Iyai. (2016). Pengaruh Nilai Budaya Lokal terhadap Motivasi Bertani
Suku Arfak di Papua Barat, Jurnal Peterakan Sriwijaya.
Surianto, Fulgensius. (2019). Modul Pelatihan Penggunaan Nvivo12 Plus dalam
Manajemen dan Analisis Data Penelitian Kualitatif & Metode Campuran,
Aeropagus Indonesia.
Veronika, Lany. (2013). Memahami Sistem Pengetahuan Budaya Masyarakat
Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan,
Indonesian Journal of Social and Anthropology.
Yilmaz, Medine et al. (2017). Cultural Sensitivity Among Clinical Nurses: A Descriptive
Study; Journal of Nursing Scholarship, Sigma Theta Tan International.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY ND)
license (https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).