Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Juni 2021, 1 (6), 724-734
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
10.36418/cerdika.v1i6.105 724
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR DALAM MENDUKUNG POTENSI BISNIS
TRANSPORTASI LAUT KEPULAUAN RIAU
Noni Kusnita
1,
Yogi Sumarsono Wibowo
2
, Irwan Syari Tanjung
3
dan Riant
Nugroho
4
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
1
Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI
2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMSU Medan
3
Rumah Reformasi Kebijakan
4
nonikusnita.nk@gmail.com
1
, s_wibowo2005@yahoo.com
2
,
irwansyaritanjung71@gmail.com
3
, yayasanrumahreformasi@gmail.com
4
Abstract
Received:
Revised :
Accepted:
29-05-2021
26-06-2021
26-06-2021
This study analyzes the management policy of the outermost
small islands in supporting the marine transportation
business potential of the Riau archipelago as a port city, with
how this management is optimized by the Riau Islands
regional government and also supports the growth of marine
transportation business and the welfare of its people. The
method in this research uses a descriptive qualitative
approach by analyzing the policy content of the outermost
small islands management through William Dunn's policy
analysis method. With the opening of the port business for
local governments, both BUMD and by the private sector, it is
hoped that it can become a source of income for the region.
There is a potential Regional Original Revenue (PAD) of Rp.
6 trillion which could go to the regional treasury in the 12 sea
mile area in Riau Islands. Meanwhile, specifically for
Tanjung Pinang, because Tanjung Pinang was the capital of
Riau province in ancient times and later became the capital of
the Riau Islands Province, the city of Tanjung Pinang has the
potential to be used as a City port.
Keywords: Policy Analysis; Management of Outside Island;
Sea Transportation Business; City Port.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dalam mendukung
potensi bisnis transportasi laut kepulauan Riau sebagai Kota
Pelabuhan, dan bagaimana pengelolaan tersebut
dioptimalkan oleh pemerintah daerah Kepulauan Riau dan
juga mendukung pertumbuhan bisnis transportasi laut dan
kesejahteraan masyarakatnya. Metode dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan
menganalisa isi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar melalui metode analisis kebijakan William Dunn.
Dengan dibukanya usaha Pelabuhan tersebut bagi
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
725
pemerintah daerah baik BUMD maupun oleh pihak swasta,
tentu diharapkan dapat menjadi salah satu keran pendapatan
bagi daerah. Ada potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebesar Rp 6 triliun yang bisa masuk ke kas daerah di
wilayah 12 mill laut di Kepri. Sedangkan, khusus Tanjung
Pinang, karena Tanjung Pinang merupakan ibu kota
provinsi Riau pada zaman dahulu kemudian menjadi Ibu
Kota Provinsi Kepri, maka kota Tanjung Pinang sangat
potensial dijadikan sebagai City port.
Kata kunci: Analisis Kebijakan; Pengelolaan Pulau Terluar;
Bisnis Transportasi Laut; Kota Pelabuhan.
Coresponden Author : Yogi Sumarsono Wibowo
Email : s_wibowo2005@yahoo.com
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Salah
satunya adalah Kepulauan Riau. Wilayah Kepulauan Riau memiliki pulau sebanyak 2.408
pulau, yang terdiri dari; (a) pulau berpenghuni sebanyak 366 pulau, (b) pulau belum
berpenghuni sebanyak 2.402 pulau, (c) pulau terdepan sebanyak 52 pulau, dan (d) pulau
terluar sebanyak 19 pulau berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar (Himawan, 2014).
Berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005, Pulau Kecil Terluar dapat didefinisikan
sebagai pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter
persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis
pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional (Papacostas,
1987).
Provinsi Kepulauan Riau secara geografis berupa kepulauan dan sebagian besar
wilayahnya yang terdiri dari lautan membuat transportasi laut memiliki peranan penting
untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan yang lain. Namun, kondisi
pelayanan transportasi laut yang belum optimal membuat sebagian pulau-pulau di
wilayah Kepulauan Riau menjadi daerah yang terpencil atau terisolir (Ginting, 2016).
Di sisi lain, kondisi geografis ini berbatasan langsung dengan Vietnam, Malaysia,
Kamboja dan Singapura (Leste, n.d.). Tak heran posisinya ini membuat Kepri berada di
posisi yang strategis karena merupakan lintasan dunia yang menghubungkan antara
mediterania hingga ke Asia Pasifik. Kapal yang melewati alur pelayaran selat Malaka di
perairan Singapura melewati halaman depan kepulauan Riau, sehingga kota-kota di
kepulauan Riau seperti Batam, Karimun dan Tanjung Pinang atau di pulau Bintan
merupakan potensi yang sangat besar untuk turut melakukan layanan atau pengembangan
jasa kepelabuhanan. Kemudian dari potensi itu maka masing-masing wilayah berusaha
mengembangkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan kapal-kapal yang melalui
wilayah tersebut.
Posisinya yang strategis yakni di selat Malaka, menjadikan Kepri sebagai Choke
Point Kedua di dunia yang sangat penting bagi kepentingan ekonomi dan militer,
utamanya bagi proyeksi armada Angkatan laut negara-negara yang memiliki kepentingan
di Asia Pasifik (Sugiono, n.d.). Dengan posisinya tersebut, Kepri menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari Marine Electronic Highway-(MEH) dalam meningkatkan
keselamatana pelayaran dan perlindungan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura
(Fitriani, 2017). Marine Electronic Highway (MEH) merupakan sebuah sistem berupa
stasiun yang dipasang di perairan untuk memantau polusi laut, mengawasi pergerakan
kapal, sampai dengan mengenal jenis terumbu karang yang ada di perairan tersebut. Di
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
726
Indonesia sendiri telah dipasangkan MEH oleh International Maritime Organization
(IMO) di wilayah perairan Batam pada tahun 2012 yang merupakan sistem pertama di
dunia (kontan.co.id. 2012). Batam sendiri yang merupakan bagian dari wilayah Kepri
dipilih sebagai lokasi proyek karena letaknya yang strategis untuk navigasi Selat Malaka
dan Selat Malaysia.
Dengan dipasangkannya MEH di perairan Kepri, ada empat aspek yang menjadi
focus MEH yaitu aspek keselamatan, keamanan, efisiensi pergerakan kapal, serta
keberlangsungan lingkungan hidup. Hasil pemantauan empat aspek tersebut tak hanya
dapat diakses oleh Indonesia saja, tetapi juga dapat diakses oleh negara-negara yang juga
dipasangi MEH seperti Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain yang menjadi
pengguna industry pelayaran di sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura.
Selain itu, Kepri menjadi salah satu dari 24 Pelabuhan Strategis Pendukung Tol
Laut yang dibangun pemerintah dalam mewujudkan terselenggaranya konektivitas
transportasi laut yang efektif secara rutin dari barat Indonesia sampai timur wilayah
Indonesia. pembangunan Poros Maritim Nasional atau Tol Laut bertujuan untuk
membuka akses pelayaran peti kemas regional dengan membuat suatu pelabuhan besar
berskala hubungan internasional yang dapat melayani kapal-kapal niaga besar di atas
3.000 TEUs atau sekelas dengan kapal Panamax 6.000 TEUs (Ramadhan, 2021).
Untuk itu Maritim Indonesia merupakan bagian dari poros maritim dunia, maka
wilayah Indonesia harus menjadi dan memberikan pelayanan sebagai pusat-pusat
kegiatan maritim dan kelautan yang berkelas dunia dalam melayani kegiatan pelayanan
maritime dari seluruh dunia. Pelayanan yang dihadirkan harus berstandar internasional,
memberikan rasa kenyamanan dan keamanan (safety) keselamatan di dalam pelayaran
baik itu kapal barang maupun manusia.
Selain itu salah satu fungsi pelayanan publik yang masih sangat kurang, yang
dirasakan sebagian besar masyarakat di daerah kepulauan yaitu ketersediaan sarana dan
prasarana transportasi laut antar daerah dan pulau-pulau yang ada, baik itu antar Ibu Kota
Propinsi dengan kota/kabupaten maupun antar pulau-pulau yang ada di wilayah tersebut
dan sarana dan prasarana pendukung transportasi laut tersebut. Pemerintah wajib
memberikan pelayanan kepada masyarakat (public services) tidak terkecuali dibidang
transportasi laut yang mempunyai peran penting dalam mendukung pengembangan
ekonomi, pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan, perubahan sosial pendidikan,
membuka keterisolasian serta memperkuat ketahanan negara serta sebagai penghubung
antara satu pulau dengan pulau lainnya (Akhyary, 2019).
Untuk itu dalam rangka meminimalisir berbagai macam permasalahan trasportasi
laut pemerintah mengeluarkan regulasi, melalui UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
dimana pemerintah pusat, pemerintah daerah serta mereka yang terlibat dalam
pelaksanaan transportasi laut harus tunduk dan taat kepada kebijakan ini.
Selain itu dalam rangka mengoptimalkan potensi bisnis transportasi di Kepulauan
Riau tersebut, pemerintah membuat kebijakan yang dituangkan dalam UU No 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan daerah, khususnya pasal 27 ayat satu (1) yang menyatakan
bahwa Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut
yang ada di wilayahnya. Kemudian ayat dua (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk
mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas
bumi; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; ikut serta dalam memelihara
keamanan di laut; dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Kemudian
pada ayat tiga (3) dikatakan bahwa Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola
sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas)
mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Dari kewenangan yang telah diberikan tersebut, maka kita akan analisis apakah
hal ini sudah cukup optimal digunakan oleh pemerintah daerah? Apakah kebijakan ini
berdampak baik atau sebaliknya. Seperti yang kita ketahui kemajuan suatu negara dapat
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
727
dilihat dari kualitas kebijakan publiknya, jika kebijakan publiknya buruk bisa dipastikan
keadaan negara tersebut juga tidak jauh dari kualitas kebijakan publiknya. Penetapan
kebijakan merupakan proses membutuhkan pertimbangan yang matang dan tidak mudah.
Diperlukan analisis yang mendalam untuk bisa menghasilkan kebijakan publik yang tepat
dengan kondisi negara dan tepat dengan kebutuhan negara.
Maka untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kualitas
kebijakan ini dilaksanakan dan dioptimalkan oleh pemerintah daerah dalam rangka
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dalam mendukung potensi bisnis transportasi laut
kepulauan riau sebagai kota Pelabuhan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk
mengetahui dan menganalisis kondisi faktual pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dalam
mendukung potensi bisnis transportasi laut Kepulauan Riau sebagai kota pelabuhan.
Penelitian kualitatif ini akan mengeksplorasi dan memahami makna yang didasarkan
kepada peraturan dan data yang didapatkan dari sumber-sumber yang berkompeten.
Teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pustaka atau
mempelajari literatur-literatur dengan mengambil data teoritis yang digunakan dan
relevan untuk membangun landasan teori yang kuat untuk mendukung analisis yang
digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Area Free Trad Zone
Di Kepulauan Riau sendiri terdapat tiga area yang ditetapkan sebagai Area Fre
Trap Zone yaitu Karimun, Batam dan Panggalang hingga sebelah utara Pulau Bintan.
Kawasan Perdagangan Bebas Indonesia (Indonesia Free Trade Zone) merupakan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan dilaksanakan oleh BP
Batam (Badan Pengusahaan Batam) menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas di mana pelabuhan di Kota Batam, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun
memiliki izin bebas pajak barang ekspor-impor yang berlaku mulai 1 April 2009 oleh
Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan. Tak heran jika hal ini membuat barang
elektronik di Kota Batam atau kendaraan dibebaskan dari PPN, dan menyebabkan barang
elektronik yang akan keluar dari Batam dikenakan Pajak Tambahan, serta mobil yang saat
dibeli tidak dibayar PPN-nya, tidak bisa dibawa keluar Batam, sebelum membayar PPN
10%.
Di daerah Free trade zone ini seluruh kegiatan diberikan kemudahan tentang
pajak bahkan ada beberapa pajak seperti PPN dan Biaya masuk yang ditiadakan, sehingga
sangat potensial menjadi daerah perbaikan kapal atau layanan kebutuhan kapal lainnya.
Potensi Pendapatan Daerah
Dengan adanya uraian di atas maka kita dapat simpulkan bahwa Kepri memiliki
potensi bisnis transportasi laut yang sangat menjanjikan. Untuk itu maka Provinsi Kepri
mendirikan perusahaan transportasi laut yang sesuai dengan UU No 17 tahun 2008
tentang pelayaran bahwa pemerintah daerah, badan usaha daerah, atau perorangan atau
BUMN dapat mendirikan badan usaha Pelabuhan.
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
728
Sehingga PT Pelabuhan Kepri yang milik Provinsi, PT Pelabuhan Batam
Indonesia kemudian PT Pelabuhan Karya Karimun Mandiri dan PT Kota Tanjung Pinang.
Masing-masing pendirian badan usaha Pelabuhan tersebut ditujukkan untuk melakukan
layanan sesuai dengan yang diamanahkan dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran pada pasal 31 tentang Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan atau
Pelabuhan adalah (1) bongkar muat barang; (2) jasa pengurusan transportasi; (3) angkutan
perairan pelabuhan; (4) penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait
dengan angkutan laut; (5) tally mandiri; (6) depo peti kemas; (7) pengelolaan kapal (ship
management); (8) perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker); (9) keagenan
Awak Kapal (ship manning agency); (10) keagenan kapal; dan (11) perawatan dan
perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).
Selain itu jika kita bentangkan lagi, bidang usaha terkait kepelabuhanan sesuai
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, terdiri dari 2 (dua) kelompok usaha yaitu
Penyediaan dan pelayanan jasa kepelabuhanan dan Penyediaan dan pelayanan jasa terkait
dengan kepelabuhanan.
Pada kelompok jasa kepelabuhanan meliputi penyediaan dan pelayanan jasa kapal,
penumpang, dan barang yang secara rinci terdiri dari:
a. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat.
b. Penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih.
c. Penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan.
d. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar
muat barang dan petikemas.
e. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat
bongkat muat, serta peralatan pelabuhan.
f. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering,
dan Ro-Ro.
g. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang.
h. Penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang.
i. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.
Pada kelompok jasa terkait dengan kepelabuhanan meliputi kegiatan yang
menunjang operasional dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang secara rinci
terdiri dari:
a. Perkantoran;
b. Fasilitas pariwisata dan perhotelan;
c. Instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi;
d. Jaringan air limbah dan sampah;
e. Pelayanan bunker;
f. Tempat tunggu kendaraan bermotor.
Dengan dibukanya usaha Pelabuhan tersebut bagi pemerintah daerah baik BUMD
maupun oleh pihak swasta, tentu diharapkan dapat menjadi salah satu keran pendapatan
bagi daerah. Dalam hal ini PT Pelabuhan provinsi Kepri, kabupaten kota mendapatkan
kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup signifikan sehingga pemanfaatan
kewenangannya mengelola sejumlah kegiatan bisnis di wilayah laut hingga 12 mill dari
garis pantai Kepri sesuai dengan UU 23 tahun 2014 dapat dilaksanakan.
Ada potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 6 triliun yang bisa masuk
ke kas daerah di wilayah 12 mill laut di Kepri. Potensi ini bisa digenjot melalui aktifitas
labuh jangkar, parkir kapal, reparasi kapal, suplai bahan makanan dan minuman, serta
kebutuhan logistik lainnya (bisnis.com, 2018). Dengan demikian kiranya hal ini dapat
lebih mensejahterakan masyarakat kapulauan Riau secara umum dan kabupaten kota
secara khususnya.
Sedangkan, khusus Tanjung Pinang, karena Tanjung Pinang merupakan ibu kota
provinsi Riau pada zaman dahulu kemudian menjadi Ibu Kota Provinsi Kepri, maka kota
Tanjung Pinang sangat potensial dijadikan sebagai City port.
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
729
B. Pembahasan
Pengelolaan Pulau Terluar
Berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005, Pulau Kecil Terluar dapat didefinisikan
sebagai pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km
2
yang memiliki titik-
titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai
dengan hukum internasional dan nasional. Menurut Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia pada tahun 2011 telah menginventarisasi setiap jengkal tanah yang masuk ke
dalam kedaulatan negara di kawasan perbatasan Indonesia, dimana hasilnya di sepanjang
perbatasan Indonesia terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan laut dengan 10
(sepuluh) negara tetangga yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Singapura, Papua
Nugini, Palau,Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
Hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI
AL, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar tersebut, sisanya ada di
tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang
harus mendapatkan perhatian khusus karena sebagai penentu Titik Dasar. Pulau-pulau
tersebut adalah Pulau Rondo di NAD, Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Nipa dan
Pulau Sekatung di Kepulauan Riau, Pulau Marore, Pulau Marampit, dan Pulau Miangas
di Sulawesi Utara, Pulau Fani, Pulau Fanildo, dan Pulau Brasdi Papua, serta Pulau Dana
dan Pulau Batek di Nusa Tenggara Timur (Sari & Muslimah, n.d.).
Sesuai dengan Perpres Nomor 78 Tahun 2005, pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lingkup
pengelolaannya meliputi bidang-bidang : (1) sumberdaya alam dan lingkungan hidup (2)
infrastruktur dan perhubungan (3) pembinaan wilayah (4) pertahanan dan kemanan (5)
ekonomi, sosial, dan budaya.
Usaha pengelolaan pulau kecil terluar ini dikoordinasikan oleh sebuah Tim
Koordinasi yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan. Tugas Tim Koordinasi sehari hari dibantu oleh dua Tim Kerja yang
dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 juga dinyatakan bahwa
Pemerintah Pusat berwenang untuk menyusun rencana pengelolaan pulau- pulau kecil
terluar. Selanjutnya, dalam rangka pengawasan dan pengendalian pemanfaatan pulau
kecil terluar, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukanpemantauan, pengamatan lapangan, dan/atauevaluasi terhadap perencanaan
dan pelaksanaannya.
Pulau-pulau kecil terluar ini merupakan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
(KSNT), yaitu kawasanyang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan
hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi
kepentingan nasional. Pemanfatan pulau kecil terluar hanya dapat dilakukan untuk tiga
hal berikut :
1. pertahanan dan kemanan; seperti untuk akselerasi penyelesaian batas negara,
penempatan pos pertahanan beserta aparatnya, penempatan batas negara,
penempatan sarana bantu navigasi pelayaran,dan pengembangan potensi maritim
lainnya
2. kesejahteraan masyarakat; seperti untuk usaha kelautan dan perikanan, ekowisata
bahari, pendidikan dan penelitian, pertanian subsisten, penempatan sarana sosial
ekonomi, dan industri jasa maritim
3. pelestarian lingkungan; yaitu dengan menetapkan pulau kecil terluar sebagai
kawasan yang dilindungi atau kawasan konservasi
Pemanfaatan pulau kecil terluar untuk poin a dan b, harus
mendapatizin/persetujuan dari menteri/pimpinan lembagapemerintah nonkementerian
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
730
terkait sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan untuk pemanfaatan poin c, wajib
mendapat izin dari menteri setelah mendapat rekomendasi dari gubernurdan/atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, perencanaan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil terdiri atas Rencana Strategis, Rencana Zonasi,
Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana tersebut sesuai dengan
kewenangan masing-masing, kemudian disampaikan kepada gubernur dan menteri untuk
diketahui dan mendapatkan tanggapan atau saran.
Sedangkan, dalam Undang-Undang No.43 Tahun 2008, dinyatakan bahwa
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berwenang mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Komponen Transposrtasi Laut
Indonesia sebagai salah satu negara maritim yang memiliki 17.508 pulau dan
memiliki pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh pelosok negeri
memiliki kebutuhan agar konektivtas dapat terjalin dengan baik. Di sinilah peran
transportasi sangatlah penting, utamanya dalam hal ini adalah transportasi laut. Bicara
terkait layanan transposrtasi laut, maka tidak lepas dengan komponen transportasi laut
dalam upaya mendukung pelayanan yang berstandar internasional.
Kepulaun Riau sendiri terdiri dari dua kota dan lima kabupaten mulai dari
kebupaten natuna, kabupaten Karimun, Kabupaten Anambas, Kota Batam, Tanjung
Pinang dan Bintan. Dimana Natuna sebelah utara kaya dengan Migas, sementara untuk
Bintan, Batam dan Karimun merupakan lokasi kepulauan strategis yang menjadi lintasan
dunia sehingga kapal-kapal yang memanfaatkan peraian sebagai daerah lalu lintasnya
atau alur pelayaran atau transportasi.
Transportasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu beserta
arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari
suatu temapat ke tempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung
aktivitas manusia (Papacostas, 1987). Dalam transportasi kita kenal ada tiga unsur yaitu
sarana, prasarana dan jaringan. Pertama, sarana dalam hal ini berarti kapal laut. kapal
dapat didefinisikan sebagai “a ship is a floating vessel which is self propelled an capable
of carrying cargo or passenger” dalam The Marine Encyclopaedic Dictionary by Eric
Sullivan, atau kapal adalah sarana angkutan terapung di air yang dapat
bergerak/berpindah sendiri dari satu tempat ke tempat lain dan mampu mengangkut atau
memindahkan muatan/barang atau penumpang.
Ditinjau dari fungsi dan tujuannya, kapal terdiri dari kapal industry, kapal
service, kapal supply, dan kapal niaga. Kemudian jika ditinjau dari jenis muatannya kapal
terdiri dari kapal barang atau kargo, seperti kapal general cargo dan kapal peti kemas
(container). Kapal penumpang yang digunakan untuk mengangkut penumpang seperti
kapal Ro-Ro, Kapal Fery dan lainnya. Kemudian kapal Muatan Curah atau bulk carrier
atau kapal yang dibangun khusus mengangkut muatan curah seperti kapal tangker dan
lainnya. Dan selajutnya adalah kapal khusus yaitu kapa yang secara khusus memuat
muatan tertentu saja, seperti kapal ternak, kapal LNG, dan lainnya. Dan yang terakhir
kapal keruk (dreger) kapal yang berfungsi untuk memperdalam kolam pelabuhan, alur
pelayaran, sungai ataupun penyediaan tanah untuk reklamasi.
Kedua, prasarana adalah pelabuhan. Pelabuhan merupakan suatu mata rantai
dalam penyelenggaraan angkutan ke/dari pedalaman yang menghubungkan berbagai
sarana angkutan dengan sarana angkutan laut (Umar, 2001). Pelabuhan juga berfungsi
sebagai pintu gerbang perekonomian, pusat akumulasi barang, dari tempat produksi guna
diangkut ke tempat tujuan dan sebagai pusat distribusi barang ke pasaran (Sasongko,
2020).
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
731
Pelabuhan menurut Fair (2012:1) yakni
... port is a place which regularly
provides accommodations for the transfer of passangers and/or goods to and from water
carriers
. Pelabuhan pada umumnya terletak di perbatasan antara laut dengan daratan,
atau terletak di sungai atau danau. Pelabuhan menurut Fair terdiri dari tiga bagian, yaitu:
(1) perairan atau kolam yang menyediakan tempat berlindung; (2) fasilitas waterfront
seperti tambatan, dermaga, gudang atau fasilitas pelayanan penumpang, muatan, bahan
bakar, bahan pasokan untuk kapal; (3) peralatan apung seperti kapal- kapal penolong dan
alat angkat di perairan.
Kemudian (Branch, 2009) menyatakan:
A port is a terminal and area within which vessels load or discharge cargo
whether at berths, anchorages, buoys, or the like, and shall also include the usual
places where vessels wait for their turn or are ordered or obliged to wait for their
turn no matter the distance from that area. ...Usually it has an interface with
other forms of transport and in so doin provides connecting services; or it is the
left hand side of the ship/aircraft when facing forward
Pernyataan tersebut menambahkan lokasi perairan (anchorage area) sebagai
tempat kapal menunggu giliran untuk bongkar muat sebagai bagian dari fasilitas
pelabuhan. Biasanya sebuah pelabuhan mempunyai antarmuka (interface) sebagai
layanan penghubung antar jenis alat transportasi.
Pembangunan pelabuhan Kepri sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jembatan, Undang undang no. 17 tahun 2008
tentang Pelayaran, PP 61 tahun 2009 tentang kepelabuhan, Jembatan / Pelabuhan sebagai
salah satu prasarana Transportasi yang mempunyai peranan dalam hal distribusi ekonomi
mulai dari yang berskala lokal, regional maupun nasional yang bertujuan untuk
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan meningkatnya tarap kehidupan
masyarakat.
Pembangunan Pelabuhan memiliki arah kebijakan membangun dan
mengembangkan jaringan prasarana transportasi, terutama daerah Hinterland untuk
meningkatkan dan memperlancar arus mobilitas orang dan barang terutama hasil produksi
yang dihasilkan daerah tersebut. pada tahun 2013 Pemerintahan Kota Batam melalui
Dinas Perhubungan telah membangun 2 (dua) Unit Pembangunan dengan lokasi Pulau
Akar dan Galang Baru Kecamatan Galang.
Di Kepri khususnya di kota Batam, memiliki Pelabuhan Internasional Logistik
yang menghubungkan Kota Batam dengan Singapura dan Malaysia: Sekupang, Batu
Ampar, dan Kabil. Pelabuhan Internasional Penumpang: Batam Centre, Harbour Bay,
Nongsa, Waterfront dan Sekupang. Pelabuhan Domestik Penumpang: Harbour Bay,
Sekupang, dan Telaga Punggur. Pelabuhan Internasional Penumpang: Batam Centre,
Harbour Bay, Nongsa, Waterfront dan Sekupang. Pelabuhan Domestik Penumpang:
Harbour Bay, Sekupang, dan Telaga Punggur.
Ketiga, jaringan adalah alur pelayaran atau jika di darat adalah jalan raya. Di
kepri sendiri berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Terluar, di Provinsi Kepulauan Riau terdapat 19
pulau yang berbatasan dengan negara tetangga yang tersebar di 5 Kabupaten/Kota, yakni:
Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Kabupaten Bintan, Kabupaten
Karimun, dan Kota Batam. Pulau-pulau kecil terluar yang berada di Kepri tersebut pada
umumnya belum memiliki jaringan Angkatan laut yang secara tetap melayani pualu
tersebut (Himawan, 2014).
Pelayanan Berstandar Internasional
Pemerintah Indonesia memberi perhatian khusus terhadap pembangunan sector
maritim, dimana ada 34 pelabuhan di seluruh Indonesia yang akan dibangun dan
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
732
menerapkan standar internasional agar Indonesia dapat berkompetisi dengan negara
maritm lainnya di dunia. Apalagi Pelabuhan merupakan infrastruktr penting dalam roda
perekonomian Indonesia. Pelabuhan merupakan salah satu sumber pemasukan negara.
Maka dibutuhkan kualitas pelayanan yang berstandar Internasional, dengan meratifikasi
(International Ship and Port Facility Security/ISPS Code) melalui Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor : KM 33 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Amandemen SOLAS
tahun 1974 tentang Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan di Wilayah Indonesia,
aturan ini di Indonesia berlaku mulai 1 Juli 2004.
Berangkat dari itu, peningkatan kapasitas pelayanan Pelabuhan menjadi focus
dari pengembangan Pelabuhan di seluruh Indonesia, termasuk di Kepri. Mulai dari
pembangunan fisik infrastruktur, Pelabuhan terminal peti kemas yang modern maupun
Pelabuhan terminal penumpang selain nyaman tetapi juga harus memperhatikan
keamanan lingkungan.
Dalam konteks organisasi bisnis, kualitas pelayanan menjadi determinan utama
dalam memenangkan kompetisi. Lingkungan bisnis yang sarat dengan persaingan
menuntut setiap perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan secara
total (Zeithaml, 2002; Dick, 2007). Maka dapat dikatakan bahwa sebuah organisasi yang
bisa eksis adalah organisasi yang mampu memberikan pelayanan prima dan mampu
memenuhi kebutuhan pelanggan dengan sebaik- baiknya (excellent service).
Dalam literatur administrasi publik, terdapat tiga perspektif teori arus utama
(mainstream) yang dapat dijadikan basis untuk menganalisis kualitas pelayanan, yaitu
paradigma administrasi publik klasik (old public administration), manajemen publik baru
(new public management), dan pelayanan publik baru (new public service). Kualitas
pelayanan kini memainkan peranan penting dalam banyak industri jasa karena merupakan
pembeda yang paling efektif bagi sejumlah produk. kualitas pelayanan dapat dilihat
dengan menganalisis perbandingan antara pelayanan yang diperoleh (perceived service)
dan pelayanan yang diharapkan (expected service) (Randheer, Al-Motawa, & Vijay,
2011).
Dalam pelayanan di Pelabuhan, contohnya adalah menyediakan pelayanan kapal
yang besar-besar terutama yang memiliki ukuran diatas 30.000/40.000 dbt hingga
300.000 dbt vlcc (very hight container diesel) merupakan kapal yang sangat
membutuhkan berbagai kebutuhan-kebutuhan seperti ship-chandler kemudian
comsumables. Shi-chandler adalah dealer retail atau distributor yang menyediakan
kebutuhan kapal, seperti air minuman dan makanan. Sedangkan consumable adalah
kebutuhan akan pasokan BBM, minyak hitam atau oli mesin dan lain sebagainya.
Tentu saja hal di atas merupakan satu potensi yang dapat dilayani oleh
pemerintah provinsi Kepri atau kabupaten kota dengan melakukan spesialisasi dan
deferensiensi layanan. Penerapan sistem digitaliasi juga sangatlah penting di era revolusi
industry 4.0 ini. Seperti penerapan teknologi digital Terminal Operating System (TOS)
yang tidak hanya meningkatkan pelayanan karena handling peti kemas menggunakan
sistem, namun juga menghemat pengeluaran biaya operasional pengguna jasa yang dapat
menurunkan biaya logistic
Potensi lainnya adalah misalnya kabupaten Batam yang memiliki 108 industri
perkapalan atau shipboard yang selama ini terkenal sebagai daerah yang memperoduksi
kapal-kapal baik untuk kebutuhan local maupun internasional (Harefa, 2018).
Area Free Trad Zone
Di Kepulauan Riau sendiri terdapat tiga area yang ditetapkan sebagai Area Free
Trad Zone yaitu Karimun, Batam dan Panggalang hingga sebelah utara Pulau Bintan.
Kawasan Perdagangan Bebas Indonesia (Indonesia Free Trap Zone) merupakan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan dilaksanakan oleh BP
Batam (Badan Pengusahaan Batam) menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas di mana pelabuhan di Kota Batam, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
733
memiliki izin bebas pajak barang ekspor-impor yang berlaku mulai 1 April 2009 oleh
Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan (Widyastuti, 2014). Tidak heran jika hal ini
membuat barang elektronik di Kota Batam atau kendaraan dibebaskan dari PPN, dan
menyebabkan barang elektronik yang akan keluar dari Batam dikenakan Pajak
Tambahan, serta mobil yang saat dibeli tidak dibayar PPN-nya, tidak bisa dibawa keluar
Batam, sebelum membayar PPN 10%.
Di daerah Free trade zone ini seluruh kegiatan diberikan kemudahan tentang
pajak bahkan ada beberapa pajak seperti PPN dan Biaya masuk yang ditiadakan, sehingga
sangat potensial menjadi daerah perbaikan kapal atau layanan kebutuhan kapal lainnya.
KESIMPULAN
Pulau-pulau terpencil dan terluar yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, memiliki
potensi keindahan alam dan perikanan yang perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah
untuk mengembangkan potensi tersebut. Hal ini, perlu didukung oleh pembangunan
sarana dan prasarana transportasi laut yang memadai guna mendorong pengembangan
ekonomi di Pulau tersebut. Kepulauan Riau sebagai salah satu provinsi yang memiliki
kewenangan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah 12 mill laut seyogianya dapat
mengoptimalkan potensi itu dengan mendukung pertumbuhan bisnis transportasi laut
dalam rangka menggenjot pendapatan daerah atau PAD yang diperkirakan mencapai 6
triliun. Dengan kewenangan itu juga seyogiyanga sebagai provinsi dengan pulau-pulau
terluar yang cukup banyak dapat mendukung bisnis transportasi laut sehingga hal ini
dapat membentuk kota Kepri sebagai City Port.
BIBLIOGRAFI
Akhyary, E. (2019). Resources Presence Analysis On Sea Transportation Policy
Implementation At The Riau Islands Province Border Area. Publikauma: Jurnal
Administrasi Publik Universitas Medan Area, 7(1), 1229.DOI:
https://doi.org/10.31289/publika.v7i1.2094
Branch, R. M. (2009). Instructional design: The ADDIE approach (Vol. 722). Springer
Science & Business Media.
Fitriani, R. (2017). Aspek Hukum Legalitas Perusahaan atau Badan Usaha dalam
Kegiatan Bisnis. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 12(1), 136145.
Ginting, A. M. (2016). Kendala pembangunan provinsi daerah kepulauan: Studi kasus
Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri
Dan Hubungan Internasional, 4(1). 10.22212/jp.v4i1.328
Harefa, T. M. (2018). Efektifitas Model Pembelajaran Arias (Assurance, Relevance,
Interest, Assessment, Satisfaction) Terhadap Kemampuan Menulis Pantun Oleh
Siswa Kelas Vii Smp Swasta Dharma Bakti Lubuk Pakam Tahun Pembelajaran
2017/2018. UNIMED.
Himawan, T. (2014). Kebutuhan Angkutan Laut yang Menghubungkan Pulau-Pulau
Terpencil di Wilayah Kepulauan Riau. Warta Penelitian Perhubungan, 26(6), 287
298. 10.25104/warlit.v26i6.899
Leste, T. (n.d.). Studi Perbandingan Proses Keanggotaan ASEAN: Vietnam, Myanmar,
Kamboja dan. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 4(1).
Papacostas, C. S. (1987). Fundamentals of transportation engineering.
Noni Kusnita, Yogi Sumarsono Wibowo, Irwan Syari Tanjung, Riant Nugroho /Cerdika: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(6), 724-734
Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Mendukung Potensi Bisnis
Transportasi Laut Kepulauan Riau
734
Ramadhan, A. W. (2021). Model Kontrak Kerjasama Pengelolaan Bidang Infrastruktur
Pelabuhan. Jurist-Diction, 4(1), 3352. = http://dx.doi.org/10.20473/jd.v4i1.24291
Randheer, K., Al-Motawa, A. A., & Vijay, P. J. (2011). Measuring commuters’
perception on service quality using SERVQUAL in public transportation.
International Journal of Marketing Studies, 3(1), 21.
Sari, D. A. A., & Muslimah, S. (n.d.). Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Indonesia Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Global. Yustisia Jurnal Hukum,
3(3), 5772.DOI: https://doi.org/10.20961/yustisia.v3i3.29548
Sasongko, A. (2020). Implementasi Keselamatan dan Keamanan Kapal Kapal yang
Berlabuh (Drop Anchor) di Wilayah Perairan Batam. Journal of Law and Policy
Transformation, 4(2), 189206.DOI: http://dx.doi.org/10.37253/jlpt.v4i2.680
Sugiono, M. (n.d.). Geopolitik Asia dan Tantangan Diplomasi Struktural Indonesia.
Jurnal majelis, 119.
Umar, M. H. (2001). Hukum maritim dan masalah-masalah pelayaran di Indonesia.
Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan Persatuan Pelayaran Niaga Indonesia.
Widyastuti, V. M. E. (2014). Penerapan Pola Enclave Pada Kawasan Perdagangan
Bebas Dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone) Di Kabupaten Karimun Provinsi
Kepulauan Riau. UNS (Sebelas Maret University).
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the
terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY ND)
license (https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).