Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, April 2021, 1 (4), 357-364
p-ISSN: 2774-6291 e-ISSN: 2774-6534
Available online at http://cerdika.publikasiindonesia.id/index.php/cerdika/index
- 357 -
ANGKA KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA DI INDONESIA
Hermiaty Nasruddin
1
, Rachmat Faisal Syamsu
2
, dan Dinda Permatasari
3
Dosen Bagian IKM-IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
1
,
Dosen Bagian IKM-IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
2
,
MPPD Bagian IKM-IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
3
.
herminas@gmail.com, rachm[email protected].id, dindapsari29@gmail.com
Received : 17-04-2021
Revised : 20-04-2021
Accepted : 22-04-2021
Abstract
According to the 2013 Riskedas data, young women
experienced anemia, namely 37.1%, an increase to 48.9% in
Riskesdas 2018, with the proportion of anemia in the age
group 15-24 years and 25-34 years. Factors that cause the
high incidence of anemia in adolescents include low intake of
iron and other nutrients such as vitamin A, vitamin C, folate,
riboflavin and vitamin B12, errors in iron consumption such
as consumption of iron along with other substances that can
interfere with absorption of iron. the iron. This study uses the
review article method. The data source of this research comes
from literature obtained via the internet in the form of
research results from journal publications. Based on the
results of the article review, it can be concluded that the
increase in the incidence of anemia in adolescents is due to a
lack of education about balanced nutritional intake.
Keywords: anemia; adolescence; prevalence.
Abstrak
Menurut data hasil Riskedas tahun 2013 remaja putri
mengalami anemia yaitu 37,1%, mengalami peningkatan
menjadi 48,9% pada Riskesdas 2018, dengan proporsi anemia
ada di kelompok umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun. Faktor
yang menyebabkan tingginya angka kejadian anemia pada
remaja diantaranya rendahnya asupan zat besi dan zat gizi
lainnya misalnya vitamin A, vitamin C, folat, riboflavin dan
vitamin B12, kesalahan dalam konsumsi zat besi misalnya
konsumsi zat besi bersamaan dengan zat lain yang dapat
mengganggu penyerapan zat besi tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode review article. Sumber data penelitian
ini berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet
berupa hasil penelitian dari publikasi jurnal. Berdasarkan hasil
dari article review yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
terjadinya peningkatan angka terjadinya anemia pada remaja
disebabkan oleh karena kurangnya edukasi tentang asupan
gizi yang seimbang.
Kata kunci: anemia; remaja; prevalensi.
CC BY
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 358 -
PENDAHULUAN
Anemia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah masa eritrosit yang
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan hitung eritrosit. Sintesis
hemoglobin memerlukan ketersediaan besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein
berperan dalam pengangkutan besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul
hemoglobin yang baru (Kulsum, 2020). Pada dasarnya, anemia dipengaruhi secara langsung
oleh konsumsi makanan sehari-hari yang kurang mengandung zat besi. Secara umum,
konsumsi makanan berkaitan erat dengan status gizi. Bila makanan yang dikonsumsi
mempunyai nilai yang baik, maka status gizi juga baik, sebaliknya bila makanan yang
dikonsumsi kurang nilai gizinya, maka akan menyebabkan kekurangan gizi dan dapat
menimbulkan anemia.
Secara universal, Iron Deficiency Anemia (IDA) adalah masalah nutrisi paling
umum yang mempengaruhi sekitar 2 miliar orang di dunia, kebanyakan dari mereka (89%)
berada di negara berkembang. IDA mempengaruhi sekitar 300 juta anak di seluruh dunia,
berusia dari enam bulan sampai lima tahun. Di negara berkembang, IDA adalah masalah
kesehatan umum yang menyerang bayi, anak prasekolah dan sekolah karena tingkat
pertumbuhan yang cepat dikombinasikan dengan habisnya penyimpanan zat besi, kondisi
hidup yang buruk dan pola makan yang tidak memadai (Youssef, Hassan, & Yasien, 2020).
Secara global, sekitar 600 juta anak usia prasekolah dan sekolah menderita anemia. China
telah mengalami transisi ekonomi yang cepat selama beberapa dekade terakhir, pola makan
anak dan status gizi telah meningkat pesat dan prevalensi anemia di antara anak usia sekolah
menurun dari 18,8% pada tahun 1995 menjadi 9,9% pada tahun 2010 (Zhang, Chen, & Liu,
2021).
Hasil Survei Kesehatan Nasional Indonesia 2013 menunjukkan prevalensi anemia
pada anak usia 1-4 tahun, 5-14 tahun, dan 15-24 tahun masing-masing adalah 28,1%, 26,4%,
dan 18,4%. Terjadi peningkatan prevalensi dibandingkan dengan survei sebelumnya yang
dilakukan pada tahun 2007, yaitu masing-masing 27,7%, 9,4% dan 6,9% pada anak usia 1-
4 tahun, 5-14 tahun dan 15-24 tahun. Secara khusus, prevalensi anemia pada anak usia
sekolah dan remaja hampir tiga kali lipat (Linder, 1958). Menurut data hasil Riskedas tahun
2013 remaja putri mengalami anemia yaitu 37,1%, mengalami peningkatan menjadi 48,9%
pada Riskesdas 2018, dengan proporsi anemia ada di kelompok umur 15- 24 tahun dan 25-
34 tahun. (Kesehatan, 2018). Survei Kesehatan Nasional juga menunjukkan bahwa
prevalensi anemia di pinggiran kota lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (Kemenkes,
2007).
Faktor yang menyebabkan tingginya angka kejadian anemia pada remaja
diantaranya rendahnya asupan zat besi dan zat gizi lainnya misalnya vitamin A, vitamin C,
folat, riboflavin dan B12, kesalahan dalam konsumsi zat besi misalnya konsumsi zat besi
bersamaan dengan zat lain yang dapat mengganggu penyerapan zat besi tersebut (Julaecha,
2020).
Anemia gizi besi adalah anemia yang timbul karena kosongnya cadangan zat besi di
dalam tubuh sehingga pembentukan hemoglobin terganggu. Hemoglobin adalah bagian dari
sel darah merah yang digunakan untuk menentukan status anemia. Nilai normal kadar
hemoglobin pada wanita adalah 12-16 g/dl. Zat besi merupakan unsur utama yang
dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin. Menurunnya asupan zat besi dapat
menurunkan kadar hemoglobin di dalam tubuh. Hasil penelitian Kaur, et al menyatakan
bahwa asupan zat besi yang kurang dapat menyebabkan remaja putri mengalami anemia.
Penelitian Nelima menyatakan bahwa remaja putri yang memiliki asupan zat besi yang
rendah akan berisiko 9 kali lebih besar untuk menderita anemia.
Gejala anemia yang timbul adalah seperti kehilangan selera makan, sulit fokus,
penurunan sistem kekebalan tubuh dan gangguan perilaku atau orang awam lebih mengenal
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 359 -
dengan Gejala 5L (lemah, letih, lesu, lelah, lunglai), wajah pucat dan kunang-kunang.
Anemia adalah salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius karena menimbulkan
berbagai komplikasi pada kelompok maupun anak baru lahir dan perempuan. Anemia pada
remaja akan berdampak pada penurunan konsentrasi belajar, penurunan kesegaran jasmani,
dan gangguan pertumbuhan sehingga tinggi badan dan berat badan tidak mencapai normal
(Herwandar & Soviyati, 2020).
Anemia gizi besi pada remaja putri beresiko lebih tinggi karena menyebabkan
seseorang mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena masalah
kesehatan. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya dan
sedang dalam masa pertumbuhan sehingga membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak.
Selain itu, ketidakseimbangan asupan zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja.
Salah satu faktor pemicu anemia adalah kondisi siklus menstruasi yang tidak normal.
Kehilangan darah yang sebenarnya apabila mengalami kadar menstruasi yang berlebihan
lebih dari 3-4 hari, pembalut atau tampon selalu basah setiap jamnya dan sering
menggantinya. Jika hal ini terjadi lebih dari 3 hari, maka segera kunjungi dokter, dan apabila
pada saat menstruasi terlihat pucat atau merasa ingin pingsan jangan tunggu sampai tiga hari.
Kehilangan banyak darah saat menstruasi diduga dapat menyebabkan anemia (Herwandar &
Soviyati, 2020).
Hasil penelitian Mangalik et al. menunjukkan bahwa kerugian yang disebabkan oleh
Anemia Zat Gizi Besi (AGB) di Indonesia adalah sebesar Rp 62,02 triliun per tahun atau
sekitar US$5,08 miliar, nilai tersebut merupakan 0,711% dari produk domestik bruto
Indonesia. Kerugian ekonomi tersebut dihitung berdasarkan kerugian akibat penurunan
kecerdasan, produktivitas kerja dan peningkatan biaya perawatan akibat kejadian Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) (Alfiah, Yusuf, & Puspa, 2021).
Pemerintah Indonesia telah berupaya mengatasi permasalahan anemia khususnya
pada wanita dengan melakukan program suplementasi zat gizi besi yang pada awalnya hanya
diberikan pada ibu hamil selama masa kehamilannya sebanyak minimal 90 Tablet Tambah
Darah (TTD). Saat ini, pemerintah mengembangkan program suplementasi zat besi dengan
sasaran remaja (12-18 tahun) melalui institusi pendidikan.
Prevalensi anemia yang tinggi pada remaja putri memerlukan penanganan yang tepat
sasaran dan cepat. Intervensi yang berkaitan dengan pencegahan dan penanganan anemia
perlu menyertai peningkatan asupan zat gizi melalui diversifikasi pangan dan fortifikasi zat
besi, suplementasi zat besi dan peningkatan sanitasi serta pelayanan kesehatan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode review article. Sumber data penelitian ini
berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet berupa hasil penelitian dari publikasi
jurnal. Dalam hal kepustakaan menggunakan literatur internasional dan nasional. Kriteria
inklusi adalah variable-variable yang diteliti oleh peneliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Indonesia adalah negara berpenghasilan rendah hingga menengah, dengan 10,6%
penduduknya masih hidup dalam kemiskinan pada tahun 2017. Kemiskinan adalah akar
penyebab sebagian besar kekurangan gizi, seperti kekurangan zat besi. Anak-anak dan
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 360 -
remaja dengan status sosial ekonomi rendah lebih rentan mengalami defisiensi zat besi
karena asupan zat besi yang rendah dan makanan yang rendah zat besi yang tersedia secara
hayati, yang dapat diperburuk dengan kehilangan darah kronis akibat infeksi parasit dan
malaria. Faktor lain seperti kehilangan darah kronis akibat menstruasi dan malabsorpsi zat
besi dari masalah gastrointestinal dapat menyebabkan anemia defisiensi besi pada anak-
anak dan remaja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan kesimpulan diantaranya
terdapat 21.6% siswi kelas VII SMPN 1 Majene yang mengalami anemia, 10.3% yang
mengalami wasting, 0.9% yang memiliki status gizi wasting dan mengalami anemia, 79.3%
yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) dan sebanyak 9.8% yang mengalami KEK
dan anemia. Ada hubungan antara KEK dan wasting dengan kejadian anemia pada siswi
kelas VII SMPN 1 Majene, sehingga disarankan bahwa remaja putri tetap perlu
mengonsumsi makanan bergizi yang adekuat dan mengkonsumsi suplemen zat besi untuk
mengendalikan anemia (Patimah, 2021).
Menurut Dinas Kabupaten Jepara (2018), angka kejadian anemia defisiensi besi di
Kabupaten Jepara pada tahun 2018 mencapai 1879 orang pada siswa SMA/MA/SMK.
Berdasarkan hasil survei pada tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Jepara terhadap remaja di 21 sekolah yang ada di Kabupaten Jepara
menunjukkan jumlah sasaran 59057, komulatif 249100, dengan rata-rata perbulan 20754
dan jumlah presentase komulatif 35,1% orang siswa perempuan dinyatakan mengalami
risiko anemia defisiensi besi melalui penilaian status kesehatan sakit yang diderita 13 tahun
lalu dan keluhan sakit 1 bulan lalu yang paling utama riwayat penyakit infeksi yang
mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat besi untuk pembentukan hemoglobin dalam
darah, kebiasaan tidak sarapan pagi, pola makan, riwayat kesehatan keluarga terhadap
anemia dan status gizi.
Pada penelitian yang dilakukan di SMK Islam Jepara didapatkan dari 80 siswa, 56
siswa didapatkan mengalami anemia. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa ada hubungan
bermakna antara IMT dengan kejadian anemia. Remaja umur 16-18 tahun menurut
prevalensi secara nasional yaitu 9,4 persen kurus dengan pembagian 1,9% sangat kurus dan
7,5% kurus. Sedangkan 7,3 persen dengan prevalensi yang gemuk terdiri dari 5,7 persen
gemuk dan 1,6 persen obesitas. Rendahnya IMT mempengaruhi durasi atau lamanya
menstruasi (Cholifah, Rusnoto, Himawan, & Trisnawati, 2020).
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan di SMK di Kota Bekasi didapatkan
siswi dengan Anemia 106 orang dari 343 siswi. Penelitian menunjukkan kejadian anemia
dapat disebabkan oleh beberapa multi faktor yaitu kondisi menstruasi atau haid, status gizi,
tingkat pendidikan ibu dan asupan zat besi serta protein. Faktor pendukung meningkatnya
anemia juga dapat disebabkan pola makan yang salah dengan konsumsi makanan yang
dapat menghambat penyerapan zat besi (Rositadinyati, Purwanti and Faculty, 2020).
Pada penelitian Adriastuti, Murti et al. menemukan bahwa prevalensi anemia, ID
dan penurunan zat besi lebih tinggi pada kelompok remaja. Ini mungkin karena ada lebih
banyak sampel pada kelompok remaja dibandingkan pada kelompok anak-anak (162 vs.
45). Kami juga menemukan bahwa perempuan memiliki prevalensi IDA, ID dan deplesi
zat besi yang lebih tinggi. Namun, tidak ada perbedaan signifikan dalam parameter
hematologi antara jenis kelamin seperti yang ditunjukkan. Remaja putri lebih rentan
mengalami IDA karena mengalami menstruasi. Ada kebutuhan zat besi tambahan untuk
remaja perempuan di luar kebutuhan pertumbuhan karena jumlah zat besi yang hilang
selama menstruasi. Kebutuhan tambahan zat besi untuk menyeimbangkan kehilangan
darah menstruasi sekitar 2,1 mg/ hari lebih banyak dari kebutuhan zat besi harian
(Andriastuti, Ilmana, Nawangwulan, & Kosasih, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 30 responden remaja putri
pada siswi putri di SMAN 2 Ngaglik setelah dilakukan pemeriksaan minimum terjadi pada
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 361 -
Kadar Hb 9.9 g/dL dan maksimum terjadi pada kadar Hb 14 g/dL, selain itu dari 30
responden yang mengalami anemia sebanyak 2 orang (6,7%) dan tidak anemia sebanyak
28 orang. Dari hasil telah diketahui bahwa dari 30 responden terdapat 2 orang mengalami
anemia, yang disebabkan saat dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin ada yang sedang
mengalami menstruasi atau baru selesai menstruasi dan ada yang melakukan program diet
sehingga frekuensi makan dalam sehari tidak teratur 3 x sehari, selain itu juga siswa putri
sangat suka mengkonsumsi makanan siap saji seperti mie, batagor, siomay, bakso dan lain-
lain, serta responden juga mengatakan bahwa mereka sering mengkonsumsi teh atau kopi
atau susu atau minuman buatan yang siap saji, selain itu mereka juga lebih banyak
melakukan aktivitas di sekolah dikarenakan pelajaran dimulai dari jam 07.00-15.00 dan
kadang masing mengikuti ekstrakulikuler disekolah hingga malam atau masih mengikuti
les setelah pulang sekolah (Estri & Cahyaningtyas, 2021).
Penelitian yang dilakukan di SMAN 1 Nganjuk membuktikan diketahui bahwa
sebagian besar responden mengalami anemia ditandai dengan kadar hemoglobin dibawah
normal, status gizi (IMT/U) normal dan kebiasaan sarapan yang tergolong rutin. Meskipun
demikian untuk tingkat kecukupan kalsium, tingkat kecukupan Fe dan tingkat kecukupan
vitamin E masih tergolong tidak cukup dan belum mencukupi anjuran AKG harian remaja
putri. Tingginya angka anemia di SMAN 1 Nganjuk dapat disebabkan karena kurangnya
pengetahuan terhadap asupan sumber Fe. Selain itu, hal lain yang menyebabkan anemia
adalah asupan zat besi yang kurang optimal serta makan tidak teratur dapat menyebabkan
anemia. Anemia dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari remaja putri terutama
penurunan konsentrasi belajar. Anemia berpotensi mengakibatkan penurunan daya ingat
dan rendahnya kemampuan pemecahan masalah yang dapat berpengaruh pada prestasi
belajar (Does, Probabilistic and Work, 1976).
Prevalensi anemia remaja putri di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012
sebesar 36 persen dan prevalensi di Kota Yogyakarta mencapai 35,2 persen. Kerugian
akibat anemia berkaitan dengan penurunan produktivitas kerja dan daya tahan,
terganggunya perkembangan fisik dan psikis, peningkatan kesakitan, hingga kematian
(Hermanto, Kandarina, & Latifah, 2020).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2014 angka kejadian
anemia pada remaja dengan usia 10-14 tahun sebanyak 337 orang (0,13%) dari 269.164
jiwa dan usia 16-18 tahun sebanyak 374 orang (0,14%) dari 267.640 jiwa. Tahun 2015
terjadi peningkatan anemia pada remaja yaitu pada kelompok usia 10-14 tahun sebanyak
431 orang (0,16%) dari 264.915 jiwa, kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 454 orang
(0,17%) dari 263.416 jiwa. Di Kota Palu jumlah anemia pada kelompok 10-14 tahun
sebanyak 16 orang dan kelompok umur 16-18 tahun sebanyak 22 orang (Suryani, Rafika,
& Gani, 2020).
Sedangkan data lain menunjukan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun di Jawa
Barat prevalensi anemia mencapai 42,4% yang diperoleh dari beberapa faktor yaitu asupan
energi, protein, zat besi, vitamin C, kebiasaan minum teh dan kopi serta karena pola
menstruasi (Herwandar & Soviyati, 2020).
Pada penelitian Raditya Atmaka, et al. menyatakan di antara 189 siswi, 69 baru
didiagnosis dengan anemia defisiensi besi (insiden = 36,5 persen), tetapi 7 siswa menolak
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil skrining, rerata hemoglobin subjek
10.365 g / dL dan rerata feritin serum 8.885 µg / L (Atmaka, Ningsih, & Maghribi, 2020).
Persentase prevalensi anemia di Provinsi Jawa Tengah yaitu 57,7% dan masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena persentasenya >20%. Penelitian
sebelumnya di Kota Semarang menunjukan prevalensi anemia pada remaja putri di SMAN
2 Semarang sebesar 36,7%. Hasil penelitian terbaru menunjukan remaja putri yang
mengalami kejadian anemia 83,7% disebabkan akibat kurangnya asupan zat besi (Pancera
et al., 2014).
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 362 -
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada anak dengan status sosial ekonomi rendah. Status
sosial ekonomi rendah diketahui menjadi salah satu faktor risiko terjadinya Iron Deficiency
(ID) dan Iron Deficiency Anemia (IDA). Namun, kami menemukan bahwa prevalensi IDA
kami lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan pada penelitian lain yang
dilakukan di Indonesia yang menemukan prevalensi IDA sebesar 32% pada anak usia 6-12
tahun. Menurut sebuah penelitian pada gadis remaja Korea, prevalensi IDA menurun
seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga, yang mungkin disebabkan oleh
fakta bahwa anak perempuan dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi mengkonsumsi
lebih banyak zat besi dan vitamin. Namun, sebuah penelitian pada remaja putri di Indonesia
menemukan bahwa tidak ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan prevalensi ID
dan IDA. Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa prevalensi anemia, ID dan deplesi
zat besi lebih tinggi pada kelompok remaja. Ini mungkin karena ada lebih banyak sampel
pada kelompok remaja dibandingkan pada kelompok anak-anak (162 vs. 45). Kami juga
menemukan bahwa perempuan memiliki prevalensi IDA, ID dan deplesi zat besi yang lebih
tinggi. Namun, tidak ada perbedaan signifikan dalam parameter hematologi antar gender.
Remaja perempuan lebih rentan terkena IDA karena mengalami menstruasi. Ada
kebutuhan zat besi tambahan untuk remaja perempuan di luar kebutuhan pertumbuhan
karena jumlah zat besi yang hilang selama menstruasi. Kebutuhan tambahan zat besi untuk
menyeimbangkan kehilangan darah menstruasi sekitar 2,1 mg/ hari lebih banyak dari
kebutuhan zat besi harian (Andriastuti et al., 2020).
Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil penelitian sebagian besar responden dalam
masa menstruasi memiliki kadar hemoglobin pada rentang 10,4-10,5 gr/dL dengan kategori
anemia ringan dan akan mengalami penurunan selama masa menstruasi sebanyak 0,4-1,27
gr/dL. Namun, sebagian besar responden dalam penelitian ini dalam kesehariannya kurang
mengkonsumsi protein hewani, yang bersumber dari ikan, hati dan daging, serta sebagian
dari mereka banyak mengkonsumsi makan fast food selama masa menstruasi. Salah satu
faktor penyebab respoden tidak mengkonsumsi gizi Fe adalah kesulitan keuangan untuk
memenuhi asupan makanan mengandung gizi fe. Berdasarkan data demografi wilayah
penelitian ini merupakan daerah yang sangat padat penduduk. Mayoritas orang tua para
responden bekerja sebagai pedagang dan buruh, sehingga faktor ekonomi juga merupakan
alasan utama sulitnya mendapatkan sumber bahan pangan protein tinggi setiap
harinya.Sumber zat besi berasal dari makanan hewani dan nabati, sumber hewani terdapat
pada telur, susu, daging, ikan dan hati, sumber nabati terdapat pada kacang kedelai, kacang
hijau, kedelai, tempe, tahu, bayam, kangkung dan katuk (Silawati & Sari, 2020).
Studi pendidikan gizi di Semarang meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa
dalam menjalani pola makan seimbang. Rata-rata pengetahuan sebelum pendidikan gizi
66,46% meningkat menjadi 71,61% setelah intervensi. Cara pemberian status gizi dapat
melalui penyuluhan, pemberian poster, leaflet atau booklet kepada siswa (Gambir, Jaladri,
Sari, & Kurniasari, 2021).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari article review yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
terjadinya peningkatan angka terjadinya anemia pada remaja disebabkan oleh karena
kurangnya edukasi tentang asupan gizi yang seimbang. Selama masa remaja, anemia
diperkirakan menjadi masalah gizi terbesar. Anemia pada remaja dan dewasa muda dapat
berdampak negatif pada kinerja dan pertumbuhan kognitif mereka. Pemberantasan anemia
pada remaja putri adalah dengan meningkatkan suplementasi zat besi. Pemerintah Indonesia
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 363 -
telah melakukan program suplementasi zat besi pada remaja perempuan usia 12-18 tahun di
sekolah tetapi tidak dilakukan secara menyeluruh di semua sekolah. Kurangnya pengetahuan
dapat mempengaruhi status gizi karena terbatasnya penerapan informasi tentang gizi dan
kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya peningkatan pengetahuan dapat dilakukan
melalui pendidikan gizi sedini mungkin.
BIBLIOGRAPHY
Alfiah, E., Yusuf, A. M., & Puspa, A. R. (2021). Status Anemia dan Skor Diet Quality
Index (DQI) pada Remaja Putri di SMP Ibnu Aqil, Bogor. JURNAL Al-AZHAR
INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, 6(1), 1622.
Andriastuti, M., Ilmana, G., Nawangwulan, S. A., & Kosasih, K. A. (2020). Prevalence of
anemia and iron profile among children and adolescent with low socio-economic
status. International Journal of Pediatrics and Adolescent Medicine, 7(2), 8892.
Atmaka, D. R., Ningsih, W. I. F., & Maghribi, R. (2020). Dietary intake changes in
adolescent girl after iron deficiency anemia diagnosis. Health Science Journal of
Indonesia, 11(1), 2731.
Cholifah, N., Rusnoto, R., Himawan, R., & Trisnawati, T. (2020). Hubungan Siklus
Menstruasi Dan Indek Massa Tubuh (IMT) Dengan Kejadian Anemia Pada
Remaja Di Smk Islam Jepara. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 11(2),
302307.
Estri, B. A., & Cahyaningtyas, D. K. (2021). Hubungan IMT Dengan Kejadian Anemia
Pada Remaja Putri DI SMAN 2 Ngaglik Kabupaten Sleman. JKM (Jurnal
Kesehatan Masyarakat) Cendekia Utama, 8(2), 192206.
Gambir, J., Jaladri, I., Sari, E. M., & Kurniasari, Y. (2021). A nutrition diary-book
effectively increase knowledge and adherence of iron tablet consumption among
adolescent female students. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia (Indonesian
Journal of Nutrition and Dietetics), 8(2), 8792.
Hermanto, R. A., Kandarina, B. J. I., & Latifah, L. (2020). Hubungan Antara Status
Anemia, Tingkat Aktivitas Fisik, Kebiasaan Sarapan Dan Depresi Pada Remaja
Putri Di Kota Yogyakarta. Media Gizi Mikro Indonesia, 11(2), 141152.
Herwandar, F. R., & Soviyati, E. (2020). Perbandingan Kadar Hemoglobin Pada Remaja
Premenarche Dan Postmenarche Di Desa Ragawacana Kecamatan Kramatmulya
Kabupaten Kuningan Tahun 2018. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health
Sciences Journal, 11(1), 7182.
Julaecha, J. (2020). Upaya Pencegahan Anemia pada Remaja Putri. Jurnal Abdimas
Kesehatan (JAK), 2(2), 109112.
Kulsum, U. (2020). Pola Menstruasi Dengan Terjadinya Anemia Pada Remaja Putri. Jurnal
Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 11(2), 314327.
Linder, F. E. (1958). National health survey. Science, 127(3309), 12751280.
Hermiaty Nasruddin, Rachmat Faisal Syamsu, Siska Nuryanti dan Dinda Permatasari/Cerdika:
Jurnal Ilmiah Indonesia 1(4), 357-364
- 364 -
Pancera, M., Zhou, T., Druz, A., Georgiev, I. S., Soto, C., Gorman, J., … Ofek, G. (2014).
Structure and immune recognition of trimeric pre-fusion HIV-1 Env. Nature,
514(7523), 455461.
Patimah, S. (2021). Hubungan KEK dan Wasting dengan Kejadian Anemia Pada Remaja
Putri di Kabupaten Majene. Window of Public Health Journal, 561569.
Silawati, V., & Sari, A. K. (2020). Upaya Berbasis Sekolah Peningkatan Hemoglobin
dalam Masa Menstruasi Remaja Putri: Studi di SMP 113 Jakarta. Jurnal Sosiologi
Andalas, 6(2), 9196.
Suryani, L., Rafika, R., & Gani, S. I. A. S. (2020). Hubungan Pengetahuan Dan Sosial
Ekonomi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri SMK Negeri 6 Palu. Jurnal
Media Analis Kesehatan, 11(1), 1926.
Youssef, M. A. M., Hassan, E. S., & Yasien, D. G. (2020). Effect of iron deficiency anemia
on language development in preschool Egyptian children. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology, 135, 110114.
Zhang, Y.-X., Chen, J., & Liu, X.-H. (2021). Profiles of anemia among school-aged
children categorized by body mass index and waist circumference in Shandong,
China. Pediatrics & Neonatology, 62(2), 165171.